Afif mengurung diri di kamar yang dulu ia tempati bersama Arumi. Rasa sesalnya mampu menghipnotis Afif dari dunia sekitarnya, Afif terlalu larut dengan masa lalu dan melupakan bahwa kini ia sedang berada di masa sekarang dan akan menuju masa depan. Sejuta kata seandainya selalu berputar menari nari di fikiran Afif. Tak ada lagi ingatan tentang Dinda, hanya Arumi lah yang ada dalam ingatannya.Tok tok tok"Masuk!""Tuan, makan malam sudah siap!""Baiklah, bi."Afif beranjak dari tidurnya untuk makan malam, tak berkata sepatah kata pun Afif langsung mengambil nasi serta lauk pauknya dan memakannya dalam diam. Sungguh begitu prihatin bi Yuni melihat keadaan majikannya itu.Selesai makan, Afif pun kembali ke kamar atas. Dan melanjutkan meratapi kesalahan di masa lalunya sehingga membuat sang istri tercinta meninggalkannya.****Dalam perjalan pulang menuju rumah mama Ina, tiba tiba Dinda mengeluhkan perutnya sakit."Ma, perutku sakit sekali, ma.""Apa kamu mau melahirkan, nak? apa cucu Om
Setelah mendengar kabar bahwa Dinda telah pergi meninggalkan dirinya, dunianya seakan runtuh. Kedua istrinya sudah Taka dan lagi di sisinya, ia sudah tak punya siapa siapa lagi. Arumi? ah, apakah wanita itu mau memaafkan dan kembali kepadanya? Sungguh hukum alam kini sudah berlaku, bertamu menghampiri sang tuan rumah. Memporak porandakan isi di dalamnya dan hampir merenggut kewarasannya. Entah, ini ujian untuk keimanannya ataukah sebuah hukuman atas segala perbuatannya.Penyesalan demi penyesalan hinggap di hati Afif, membuat Afif ingin ikut mati saja bersama sang istri."Afif, mari kita urus administrasinya agar jenazah Dinda bisa segera di bawa pulang." Ajak papa Aldo.Suara papa Aldo mampu menyadarkan Afif dari lamunannya. Afif bangkit mengikuti langkah papanya menuju tempat administrasi. Setelah menyelesaikan administrasinya, mereka segera membawa pulang jenazah Dinda dan bayinya. Tangisan kehilangan mengiringi kepulangan mereka, tak menyangka hidup Dinda hanya sampai disini. Meni
Hari-hari setelah kepergian Dinda, membuat Afif enggan melakukan apapun. Ia tak lagi semangat hidup, kedua wanita yang di cintainya sama-sama pergi meninggalkan dirinya. Sungguh takdir begitu jahat mempermainkan perasaannya, sehingga membuat Afif benar benar merasa jatuh ke jurang yang paling dalam.Baby Gina tumbuh dalam asuhan bi Yuni dan kedua orang tua Afif. Afif tak begitu memperdulikan putri kecilnya itu, ia bahkan enggan melihat wajah putrinya yang selama ini di harapkan nya. Setiap kali Afif melihat bayi mungil itu, saat itu juga fikirannya melayang kepada setiap perbuatannya kepada Arumi. Dan Afif menyalahkan bayi itu karena telah hadir dan merusak hidupnya dengan Arumi.Tak ada lagi yang ada di fikiran Afif kecuali kerja, kerja dan kerja. Setiap orang yang kenal dengannya tak lupa untuk menasehati Afif agar tak larut dalam masa lalu dan tak mengabaikan baby Gina, tapi nasehat hanyalah tinggal nasehat yang tak pernah merasuk kedalam hati Afif dan hanya menjadi angin lalu bag
""Don't touch my wife!"Arumi yang mendengar jawaban dari suaminya tersebut hanya menatap Afif dengan pandangan yang, entahlah."Please, untuk yang terakhir!""Satu detik!"Mendapat persetujuan dari Darryl, Afif segera memeluk Arumi. Air mata yang sedari di tahannya kini tumpah sudah, tak peduli akan tatapan orang-orang yang memandangnya, Sedangkan Arumi hanya diam tak membalas pelukan Afif."Aku masih sangat mencintaimu, Ar. Aku pernah berharap untuk kembali lagi bersamamu, tapi kenyataan hari ini begitu menamparku."Arumi tak bergeming mendengar pernyataan dari Afif, memori-memori saat bersama Afif kini muncul kembali membuat luka itu seakan masih sangat terasa.Arumi mendorong tubuh Afif agar melepaskan pelukannya, setelah pelukan mereka terlepas, Arumi mengalihkan pandangannya enggan menatap Afif."Aku pamit, terimakasih untuk pelukan terakhirnya."Afif berlalu dari hadapan Arumi, tanpa menyentuh hidangan yang tersaji, Afif memutuskan untuk pilang terlebih dahulu. Ia tak sanggup m
Tiga tahun sudah Arumi tinggal di Singapura ikut dengan suaminya. Tak mudah bertahan hidup dalam waktu tiga tahun ini. Arumi harus melakukan perawatan kesana-kemari untuk menyembuhkan penyakit kankernya. Tak hanya pada pengobatan medis, pengobatan non medis pun seperti menggunakan obat-obatan herbal dan alami di lakukan Arumi agar bisa sembuh dari penyakitnya. Usaha tak akan mengkhianati hasil, sebuah keajaiban pada tahun ketiga ini, lebih tepatnya lima bulan yang lalu, Arumi di nyatakan sembuh total. Bahkan dokter pun menyatakan bahwa kanker tersebut sudah tidak ada sama sekali.Rasa bahagia menyusup di hati Arumi, Darryl beserta keluarga Darryl, termasuk juga Andra dan keluarga tak kalah bahagia mendengan kesembuhan Arumi. Tentu saja mereka sangat bersyukur atas kesembuhan Arumi, mengingat bagaimana saat Arumi masih berada di Indonesia, wanita itu berjuang melawan kanker serta sakit hatinya. Kondisi yang tak kunjung membaik akibat beban pikiran yang di emban, membuat Arumi kehilanga
"Honey, pelan-pelan jalannya, jangan lari-lari! Kasian Dede nya kalau di bawa lari.""Aku nggak lari, cuma jalan cepet. Lihat tuh! Bagus banget tempat tidur bayinya, aku mau yang itu,""Iya, pelan-pelan, sayang. Gak akan di ambil orang!"Arumi tak menghiraukan perkataan Darryl, Arumi terus saja berlari kecil ingin segera sampai pada box bayi yang tadi ditunjuknya. Perutnya yang sudah membuncit membuat ia sedikit kesulitan membawa bobot tubuhnya.Kini kandungan Arumi sudah memasuki bulan ke delapan, yang artinya sebentar lagi bayi mungil yang belum di ketahui jenis kelaminnya tersebut akan segera hadir ke dunia. Tak mudah bagi Darryl menghadapi mood Arumi yang sering berubah-ubah akibat hormon kehamilannya. Namun Darryl tak keberatan sama sekali akan hal itu, justru ia senang, ia bisa menjadi suami yang siaga untuk sang istri. Sering kali Arumi meminta makan di tengah malam, dan dengan senang hati Darryl menemani istri tercintanya. Namun, ketika Darryl mendapatkan sift malam, maka Darr
"Sudah ku bilang jangan terlalu dekat dengannya!" Teriakan seorang perempuan dari dalam sebuah kamar terdengar begitu menggema sampai ke luar, membuat seorang wanita yang hendak mengetuk pintu mengurungkan niatnya. Ia memilih diam untuk mencuri dengar apa yang tengah sepasang manusia di dalam tersebut perdebatkan."Jangan egois, Fika!" teriakan si lelaki pun tak kalah nyaringnya dari perempuan yang di panggilnya Fika itu."Pokoknya aku gak mau kamu dekat dengan wanita itu, Arfan!""Untuk apa kau memintaku menikah dengannya, jika kau melarang aku dekat dengan dia?""Aku memang memintamu menikah dengan dia, tapi bukan berarti aku mau melihat kamu bermesraan dengan wanita itu, Arfan. Mengertilah, aku sakit melihat kalian begitu dekat!" Kata wanita yang bernama Fika itu dengan lirih sambil terduduk lesu di pinggir tempat tidur dengan air mata yang mengalir dengan derasnya"Maumu apa, Fika? Kamu mau aku gimana? Aku pusing hampir setiap saat bertengkar dan semua berhubungan dengan Hilmi!" A
"Hilmi, kamu sudah pulang?" tanya Arfan di sebrang telpon."Sudah, Mas. Nih, baru saja tiba." jawab Hilmi sambil meletakkan tas pada gantungan di samping lemari.Handphonenya ia pindahkan ke sebelah kiri karena tangan kanannya hendak mengambil baju ganti."Aku minta tolong boleh?""Boleh, Mas,""Kamu masuk ke ruang kerjaku dan ambilin map warna hijau yang ada di atas meja. Terus antarkan ke sini ya, sekalian bawakan aku makan siang," pinta Arfan dari sebrang sana."Baik, Mas. Tapi, bukannya mbak Fika yang biasa bawakan makan siang untuk mas?""Fika sekarang ada pemotretan, jadi dia gak bisa membawakan aku makan siang,"Hilmi mendesah pelan mendengar jawaban Arfan, dia hanya akan dianggap saat di keadaan darurat saja. Sakit? Tentu, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa. Diam, adalah caranya menyikapi semuanya. Hilmi selalu mengingatkan pada dirinya sendiri bahwa dia harus sadar posisinya saat ini."Baik, Mas,""Bawa dua porsi, ya. Kita makan siang bersama," pinta arfan"I-iya, Mas." ada ras
"Kamu mencintaiku?"DegKedua mata Hilmi membola mendengar pertanyaan Arfan yang to the point. Jantungnya berdentam dentam dengan tubuh yang menegang."Apa maksudmu menanyakan itu, Mas?"Arfan merutuki dirinya yang bicara tanpa basa-basi hingga membuat ia salah tingkah sendiri. Ia menggaruk pelipisnya yang tak gatal lalu tersenyum canggung pada Hilmi."Ehm, anu, itu, maksudku gini, mengingat apa yang sudah pernah terjadi diantara kita, tentang semua yang pernah kita lewati, tentu hal itu tak mungkin terlewati begitu saja. Pasti ada sebuah rasa yang tertanam dan ada sebuah kisah yang terkenang. Apakah selama pernikahan kita ini kamu mulai ada rasa padaku?""Untuk apa mas menanyakan itu padaku?"Hilmi tak mengerti kenapa Arfan membahas masalah perasaan terhada
Arfan terpaku dengan kepala yang dipenuhi pikiran akan segala hal. Penjelasan Fika entah kenapa membuat hatinya merasa tidak tenang. Harusnya dia senang karena Fika mau adopsi anak dari panti, dan dirinya akan terbebas dari Hilmi. Namun, kenapa justru ada rasa tak rela jika harus berpisah dari Hilmi?"Kamu beneran mau adopsi anak dari panti?""Beneran, Mas. Dari pada milih wanita lagi untuk jadi istrimu, lebih baik milih anak saja buat di adopsi. Aku kapok ngerasain cemburu dan sakit hati!""Kenapa nggak dari dulu kamu setuju, sayang? Jika setuju dari dulu, pasti kita sudah menemani anak kita belajar berjalan.""Aku kira mudah membawa wanita lain ke rumah ini dan jadi istri keduamu sampai dia memberikan kita anak, tapi nyatanya nggak mudah, bahkan sangat sulit. Setiap saat aku dilanda cemburu akibat ulahku sendiri dan aku gak mau merasakan itu lagi,"Mungkin hati Arfan sudah terb
"Ini sudah tespack ke tujuh dan hasilnya tetap sama, garis satu!" "Kapan aku punya cucunya, kalau kamu belum hamil juga! Padahal udah dua bulan lebih!" "Apa kalian hanya mengelabui mama tidur satu kamar, tapi tak melakukan itu?" "Atau jangan-jangan kamu mengonsumsi pil KB agar kamu nggak cepat hamil?" Serentet omelan mama Agni membuat suasana pagi ini menjadi suram. Ia tak hentinya mengomel karena Hilmi belum juga hamil padahal sudah dua bulan sejak Hilmi tinggal disini. Sangat besar harapannya setiap kali benda pipih panjang itu ia pegang, tapi harapan itu selalu patah karena hasil yang di tampilkan setelah selesai digunakan itu menunjukkan satu garis saja. Setiap sepekan sekali mama Agni akan melakukan tes kehamilan pada Hilmi, dan tentu mama Agni tak akan hanya diam menunggu di luar kamar mandi, mama Agni akan ikut ke dalam dan bahkan mama Agni sendiri yang memegang benda panjang pipih itu untuk dicelupkan pada urine yang sudah tertampung dalam wadah. Hal itulah yang membuat Hi
Arfan kini sudah siap-siap untuk pulang. Ia menyimpan kembali berkas-berkas yang berserakan ke rak di belakang meja kerjanya. Niatnya Arfan akan langsung menuju rumah sakit untuk menjemput Hilmi sekalian menjenguk adik iparnya.Baru separuh perjalanan, Fika menelpon dan meminta Arfan untuk datang guna menemaninya ke acara pernikahan teman satu profesinya. Akhirnya Arfan memutar haluan menuju kediamannya bersama istri pertamanya."Mas, akhirnya kamu datang. Baru kemaren di tinggal rasanya aku sudah kangen banget," ujar Fika yang memang sudah menunggu Arfan di teras sambil memeluk Arfan dengan erat.Arfan mengecup pucuk kepala Fika dan merangkulnya membawa ke dalam rumah,"Mas juga kangen banget sama kamu. Kamu baik-baik saja 'kan? Kerjaan kamu lancar?""Aku baik, Mas. Pekerjaanku juga lancar. Bahkan tadi managerku bilang ada yang menawarkan kontrak kerja sama untuk peluncuran produk barunya, dan aku jadi modelnya, t
"Apa benar kamu menikah dengan seorang pria yang sudah beristri?""Benar kamu jadi orang ketiga demi uang?""Jadi kamu nggak pulang beberapa bulan ini karena kamu sudah hidup enak di atas penderitaan wanita lain?""Kamu membohongi kami dengan mengatakan kerja jadi pembantu, nyatanya kamu jadi duri dalam rumah tangga orang lain!""Ayo jawab! Benarkah kamu jadi pelakor, Mi?"Pertanyaan-pertanyaan itu menghentikan aktifitas Hilmi yang hendak membuka kunci pintu rumah peninggalan orang tuanya yang sudah beberapa bulan ini ia tinggalkan. Dadanya berdentam dengan keras, serta tubuhnya yang gemetar merasakan takut dan syok yang luar biasa. Kenapa mereka menanyakan itu? Dari mana mereka tahu kalau Hilmi jadi istri kedua?"Duh, ibu-ibu, masih tanya lagi soal kebenarannya yang nyatanya sudah terp
Hilmi terbangun dari tidurnya, ia ingin segera beranjak, tapi tubuhnya terasa begitu remuk redam. Wajahnya memerah ketika mengingat kejadian tadi malam, di saat baru pertama kalinya dirinya melakukan hubungan badan dengan Arfan. Sungguh Hilmi merasa sangat malu karena Arfan sudah melihat seluruh tubuhnya tanpa terlewat seinci pun."Sudah bangun?"Suara Arfan yang tiba-tiba membuat Hilmi terlonjak kaget, refleks tangannya menarik selimut menutupi tubuhnya yang polos hingga ke leher. Hilmi perlahan menoleh, dan mendapati Arfan yang masih menggunakan handuk sepinggul serta rambut yang masih meneteskan air menatap kearahnya."Ma-mas,""Kenapa merah gitu mukanya?" tanya Arfan menarik turunkan alisnya."Ng-nggak papa,""Apa kamu kepanasan? Kalau kepanasan buka selimutnya bukan malah makin mer
"Mas, jangan lupa kabari kalau sudah sampai di rumah mama," pinta Fika saat dirinya mengantarkan Arfan sampai depan pintu."Iya sayang, kamu hati-hati di rumah ya,"Fika melambaikan tangannya saat mobil Arfan perlahan meninggalkan halaman rumah mereka. Sungguh hatinya sakit di kala harus mengantarkan suami sampai depan pintu untuk pergi ke tempat madunya. Hatinya sungguh tak rela melepas kepergian Arfan untuk menemui Hilmi. Namun, apa boleh buat, ini adalah konsekuensi dari apa yang sudah ia lakukan.Ingin rasanya Fika menyalahkan takdir yang membuatnya menjadi wanita yang tak sempurna. Wanita yang tak bisa melahirkan keturunan untuk suaminya. Namun, apa boleh buat, takdir tetaplah takdir yang tak bisa di ubah maupun di negosiasikan. Dirinya memang seorang wanita karier, dirinya memang seorang model, tapi Fika bukanlah wanita yang gila karier, yang tidak mau di atur dan tidak mau punya anak karena takut tubuhnya rusak. F
"Jadi, gimana? Apakah kau sudah membuat keputusan?" tanya mama Agni menatap Fika yang sudah berhenti menangis.Arfan dan Hilmi sama-sama cemas menanti jawaban dari Fika. Namun, pikiran mereka berbeda. Arfan cemas akan nasib Hilmi selanjutnya jika Fika memintanya menceraikan Hilmi. Arfan pun memikirkan tentang perasaan Hilmi yang seperti di permainkan oleh mereka. Sedangkan Hilmi cemas memikirkan biaya pengobatan adiknya selanjutnya jika Fika memutuskan untuk menceraikan Hilmi dan Arfan. Sekalipun tadi ada rasa putus asa yang begitu dalam di hatinya, dan memilih untuk mengakhiri hidup, tapi Hilmi masih memiliki harapan yang begitu besar akan kesembuhan adiknya. Ia sangat ingin melihat adiknya sembuh dan kembali berjuang mengarungi kehidupan berdua sampai keduanya menemukan kebahagiaan mereka masing-masing."Aku, aku ingin punya anak, tapi bukan anak angkat." jawab Fika lirih."Maksud kamu?" tanya Arfan"Hilmi tetap akan hamil anakmu, Mas, tapi, tunggu aku siap. Aku belum siap lihat kal
"Aku bukan takut untuk marah, Mas. Aku bukan takut untuk melawan kalian. Aku bukan wanita yang akan begitu bersabar ketika tersakiti. Aku bukan wanita yang akan pasrah begitu saja saat di buat terluka. Aku nggak sekuat itu, Mas, tapi, jika aku melawan, jika aku komplain, apakah adikku akan tetap baik-baik saja? Apakah adikku akan tetap dibiayai setelah aku melawan kalian? Apakah adikku akan tetap menjalani pengobatan jika aku membuat kalian marah? Itu yang aku takutkan, Mas. Aku diam saja demi adikku. Hanya dia satu-satunya yang aku punya, Mas. Aku akan lakukan apa saja demi adikku.""Aku tak peduli rasa sakit yang ku dapat dari kalian, asalkan adikku tetap terjamin pengobatannya. Aku nggak apa-apa, Mas. Tak usah merasa bersalah kepada wanita hina ini, wanita yang rela menjual dirinya demi uang, sungguh, aku tak apa. Adikku mendapatkan perawatan yang layak saja aku sudah bersyukur, Mas. Aku tak berharap lebih dari sekedar kesemb