Seluruh gajiku untuk mamakuPerkataan Bara beberapa hari lalu masih terngiang, aku masih bingung dan serba salah. Untung saja kebutuhan untuk beberapa hari ke depan masih ada, cukup sampai aku gajian nanti. Hubunganku dengan Rania juga sedikit merenggang.Pokoknya semenjak dia mengatakan sudah mengundurkan diri, aku menjadi enggan untuk bercakap-cakap sebelum tidur ataupun melihat senyumannya.Semua itu terasa hampa."Kamu kenapa lagi?" Bara menatapku tajam membuat nyaliku sedikit ciut.Bara adalah orang yang menguasai bela diri, larinya pun sangat cepat. Bahkan ada teman istrinya yang dia bawa lari seperti angin, sampai orang itu tidak sadar kalau dirinya sudah dipindahkan Bara."Sudah baikan belum sama Rania?" tanyanya. Kali ini dia tidak duduk, tapi membungkukkan badann
"Baiklah, kalau begitu ceraikan aku sekarang!" ucapnya penuh penekanan. "Jadi kau bisa hidup dengan mamamu."Plakkk....Refleks, aku menampar wajah cantiknya di sebelah kiri."Maafkan Mas, Rania," lirihku menyesal."Aku tidak butuh maafmu, Mas. Aku hanya butuh kata talak!" Rania menatapku tajam, rasa hormat yang selalu dia tunjukan seketika hilang."Kau sendiri yang buat aku begini, Rania! Jadi, jangan salahkan aku," tanpa bisa menguasai emosi, aku malah membuat suasana Rania semakin jelek."Terserah!"Hanya sepatah kata yang keluar dari mulutnya, lalu melenggang pergi. Mau kemana dia?Malam sudah semakin larut, tapi masih belum ada tanda-tanda kalau Rania akan pulang. Ya sud
Jangan lupa subscribe, ya agar selalu mendapatkan notifikasi update jika ada part baru🤗#Saat istriku tak lagi kerjaSetelah perkataan Rania yang mengejekku agar mencari istri yang baru dengan sifat sabar dalam mengurus Mama dan Ica, aku mulai mendekati beberapa wanita. Baik di sosial media, ataupun teman-teman kerja."Kamu ngapain tadi pake gombalin Nita?" dengan tubuhnya yang kurus dengan sorot mata tajamnya, Bara menghampiriku."Aku enggak gombal.""Kau!" Bara semakin melebarkan matanya ketika mendengar perbuatanku."Kenapa kaget gitu? Bukankah lebih banyak lebih baik?" Daripada melihatnya emosi seperti ini, aku memilih mencari aman dengan memintanya duduk dan membuatkan segelas kopi kesukaannya."Sekeras apapun usahamu untuk meredakan amarahku,
”Sepertinya di sini ada hantu, Ma," rengek Ica, wajahnya tampak ketakutan."Ngaco, kamu!" Mama menepis tangan Ica yang akan memegang tangannya."Kalau bu-bukan, mana mungkin Mbak Rania gak ada di sini?" ucapnya sambil melihat seisi kamar dengan tatapan takut."Dia pasti ada di sini, mana ada suara tanpa ada wujudnya," suara Mama juga terdengar gemetaran.Aku hanya diam. Ada rasa aneh, antara percaya dan tidak."Nah, itu maksudku," jawab Ica membenarkan.Mama dan Ica mulai gemetar, berbeda dengan aku yang justru semakin curiga kalau Raya sedang menyembunyikan sesuatu yang tidak aku ketahui."Ayo kita keluar, Ma?" Ica terus menempel pada Mama."Bentar dulu, kita harus mencari perhiasan Rania dulu."Mendenga
tika kepercayaan sudah hancur, maka sudah tidak ada lagi yang perlu dipertahankan." Rania***"Seluruh gajiku bukan untukmu, tapi mama dan adikku!" ucapnya kala itu. Aku yang baru pertama kali dibentak olehnya yang berstatus suami, membuatku kalut dan tidak bisa berbuat apapun.Bagaimana bisa seorang suami mengatakan itu."Puas kamu, Rani. Akhirnya kamu menuai apa yang ditanam," cibir Ibu mertua, mamanya suamiku.Kenapa aku bilang mencibir, karena aku tahu kalau wanita itu bermuka dua."Ma, kurang apa aku selama ini? Katakan!" teriakku kehilangan kendali. Tepat pada saat itu, Mas Riko pulang. Dia mendengar dan melihatku membentak."Rania, hentikan perkataanmu!" wajahnya merah padam dan teriakannya membuatku takut. Bisa-bisanya aku m
“Aku sendiri juga masih bingung, tidak bisa membedakan yang tulus dan modus. Apalagi apa itu air mata buaya." Riko.***"Kenapa matamu tadi? Kelilipan?" tanyaku pada Rania, ada rasa gengsi jika aku harus mengatakan 'nangis,' jadi aku memilih jalur aman."Enggak, aku hanya sedikit keberatan dengan cara Mama melarangku untuk tidak memasang pintu," ucapnya lemah.Memang aku tidak terbiasa melihatnya seperti ini. Biasanya juga berani dan tidak jarang dia berbicara dengan cara membentak. Baik itu sama Mama, apalagi Ica. Jadi aku malah heran kalau Rania banyak diam atau mengalah."Ya, sudah, Mas mohon kamu bisa ngalah sama Mama. Walau bagaimanapun umurnya sudah tua, dan ibu dari suamimu. Jadi kamu harus bisa menghargainya," jelasku
"Setia, ya?" Pak Dirga menatapku lekat, seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang menyenangkan. "Tentu saja, Pak. Dia adalah wanita yang langka,” jawabku bangga. Tentu saja kebenarannya memang seperti itu, buktinya dia tetap mau menempel padaku. Padahal kan dia juga sudah tahu kalau mamaku dan Ica hanya sering merajuk padaku. "Oh, ya sudah, kalau seperti itu. Aku juga berharap kau juga bisa setia dan menjadi orang yang langka," ucapnya berpesan. ”Tentu saja", jawabku dalam hati. "Karena kalau tidak, mungkin saja akan ada laki-laki yang datang dan membuat istrimu berpaling darimu," lanjutnya membuatku bingung. "Kau ini!" Bara menginjak kakiku, untunglah aku sudah menjauhkan kaki indahku ini sebelum dia menginjaknya. "Kenapa? Kalau mau tanya, tanya
"Preman? Aku tidak yakin kalau ibu itu jujur?" ucapku pada Rania yang sedang menatapku dengan tatapan mengejek."Apa kau masih tidak percaya, Mas?" tanya Rania dengan tatapan semakin mengejekku."Apa kau juga masih belum puas mengejekku seperti itu?" gerutuku kesal.Kini, Rania malah tertawa terbahak-bahak. Apa ini sikap istri shalihah? Perasaan dalam film-film, istri shalihah tidak akan tertawa di atas penderitaan suaminya.Rania kini sudah berhenti tertawa, matanya menatapku lekat, "Mas, jika kamu meragukan ibu itu, sama seperti kamu meragukan ibumu sendiri.""Cukup! Jangan samakan Mamaku dengan ibu-ibu yang tidak jelas itu," bentakku keras."Kau boleh melarangku untuk menyamakan, tapi di sini, aku hanya menilai mereka sama-sama seorang
PoV Riko"Meskipun dia Surya, perkataannya pasti tidak serius. Aku berani bertaruh kalau dia hanya becanda." Bara menepuk pundakku dengan sangat keras. Padahal jelas-jelas barusan suaranya Mas Surya terdengar sangat mengerikan."Perkataannya sangat menakutkan, mana mungkin hanya becanda." tegasku menepuk pundak Bara dengan keras. "Lagipula selama ini aku tidak pernah mendengarnya berbicara menakutkan begini." lanjutku yakin.Bara menatapku sekilas, lalu matanya terlihat mencari di mana keberadaan laki-laki yang mirip dengan Mas Surya itu. Suaranya pun kini sudah tidak terdengar. Aku akui penciumannya memang tajam, tapi bukankah anjing pengendus saja seringkali salah? Apalagi dengan Bara.Dia tiba-tiba menatapku dengan tajam. "Jangan samakan aku dengan hewan, sebelum menyamakan, sepertinya anda lebih cocok dibandingkan dengan hewan daripada aku," ucapnya sambil menyeringai."Maaf, aku hanya menyamankan penciumanmu. Bukan orangnya." Aku menjawab jujur. Bagaimana mungkin berani memprovo
"Hai, Ran!" sapaku pada Rania sambil melambaikan tangan. Ia pun demikian, bahkan bibirnya dihiasi senyuman yang manis."Mau ke ruangan Pak Dirga?" tanyaku lirih sambil menyeimbangi langkahnya."Tentu saja, memangnya mau ketemu siapa lagi. Masa sih man-tan suami?" ucap Rania terkekeh, entah kenapa hatiku merasa tersentil ketika mendengarnya, seolah perkataan itu memang ditujukan untukku."Hehehe, mungkin aja, Ran. Kupikir juga begitu." Aku sengaja bersikap percaya diri, jangan sampai dia tahu kalau aku masih memendam perasaan yang teramat dalam padanya.Untung saja Mas Surya membawaku ke rumahnya, jadi tidak melihat bidadari ini setiap waktu."Hah? Gak mungkinlah aku begitu, Dik Riko!" jawabnya malah meledekku.Tanpa bisa dipungkiri dia benar, statusku sekarang hanyalah adik iparnya. Rasanya hatiku semakin sakit, begitu juga ada ini. Sangat sesak."Hai, Sayang!" sama Mas Dirga dari dalam, tepat di depan pintu ruangannya.Ruanganku dengannya memang berdampingan, sudah pasti hati ini aka
Dengan langkah yang terburu-buru, kami langsung masuk ke dalam rumah Rania yang ternyata beberapa orang sudah berkumpul di ruang keluarga."Apa benar Tante Nesya ada sangkut pautnya dengan semua kasus ini?" tanya Mas Surya serius. Pasalnya kita semua memang tidak ingin lagi terjadi hal-hal yang sangat merugikan kita.Semua orang terdiam. Mereka hanya meminta kita duduk dengan pelan dan kembali menatap Tante Nesya dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu.Aku merasa tidak mungkin, bahkan mustahil kalau semua yang telah terjadi adalah perbuatannya. Apalagi jika mengingat kalau dia adalah bibi dari Mas Dirga."Jelaskan semuanya, Tan!" suara Mas Dirga terdengar dingin dan pelan. Tapi membuat kita semua bergetar.Selama ini dia memang tegas, tapi masih ada humornya. Namun, jika dilihat sekarang sepertinya tidak.Tante Nesya menatap kami satu persatu dengan tatapan kejam. Seolah kita yang sudah melakukan tindakan kekerasan, sepertinya orang ini memang tidak sesederhana yang terlihat."Apa
Kami kembali terdiam ketika Zein tiba-tiba datang dan memberikan informasi yang membuat kita terkejut.Bagaimana tidak, Ica, gadis yang selama ini aku sayangi, dan selalu menjadi prioritas utama wanita yang selama ini menjadi ibu angkatku ternyata hanya seorang anak angkat.Sama seperti aku dan juga Mas Surya."Apa jangan-jangan dia adik kandungmu?" tanya Rania kepada laki-laki yang dulu adalah Bosku, ternyata kakak sepupu itu dengan nada yang terdengar seperti tuduhan.Ternyata dunia itu sempit, ya."Enggak lah. Enak aja. Mana ada aku punya adek begitu." Mas Dirga menolak dengan tegas.Tapi jawabannya malah membuat Mas Surya semakin penasaran tentang hubungan Mas Dirga dengan Ica. Semua itu terlihat dari bagaimana caranya dia menatap."Bisa aja kan ya?" Rania tetap kekeh dengan apa yang disampaikannya tadi.Aku sendiri tidak tahu mana yang sebenarnya. Sekarang sebelum ada bukti, aku belum bisa percaya. Banyak yang terjadi begitu saja."Jangan tuduh aku seperti itu!" Mas Dirga tetap b
PoV Rania "Om Rio!" seruku ketika melihat pelaku yang mencoba untuk membakar kantor pusat Papa. Benar-benar Om Rio sungguhan. Semua orang terperanjat ketika mendengarnya. Mana mungkin penjahat ini adalah adik papaku yang baik hati? "Aku sangat tidak menyangka kalau kamu bisa melakukan hal keji seperti ini, Rio!" suara Papa terdengar menggelegar. Mas Dirga, aku, dan yang lainnya langsung berjalan mundur, agar kakak-beradik ini lebih leluasa untuk bicara. "Keji? Kau yang keji. Dasar manusia hina!" laki-laki yang aku kenal baik itu pun bersuara. Padahal dari tadi dia hanya diam dan menunduk. Papa terlihat semakin geram, "Hukum saja orang ini selama-lamanya, Pak," ucap Papa pada petugas kepolisian. "Baik, Pak. Kami hanya menunggu kedatangan Bapak selaku anggota keluarga pelaku," jawab Pak polisi dengan tegas. "Kami akan menahan Pak Rio sesuai dengan hukum yang berlaku!" lanjutnya yang membuat kami semua tersenyum sekaligus bingung. Terutama aku. Apa masalah sebenarnya yang ada
PoV Rania"Kenapa, Mas?" tanyaku tanpa rasa bersalah. Memang laki-laki itu begini, ya. Ketika dikejar, malah menjauh. Eh, pas ditinggalkan malah mendekat.Ribet, deh.Kucoba untuk mengatur napas yang naik turun. Jangan sampai Mas Dirga tahu kalau aku hanya sekadar melakukan tes. Bisa bahaya."Aku tak suka kamu mendekati istri kakak sepupumu, Riko," ucapnya dengan nada tetap tenang.Masa iya dia masih terlihat adem ayem melihat istri dan anaknya dekat sama mantan suami. Bukankah harusnya kepanasan, ya? Gak tahu lah.Tapi kuyakin di dalam lubuk hatinya yang dalam pasti cemburu."Aku belum mengakui kalau kau adalah kakak sepupuku!" Mas Riko menatap suamiku sengit.Tapi aku tidak keberatan, Mas Dirga memang berhak mendapatkannya. Tadi dia sudah sok manis di depan Anggi."Bodo amat!""Kamu kok gak tanya kenapa Mas gak kerja?" tanya Mas Riko yang bersemangat untuk mendekat."Cukup! Aku suaminya, dia juga gak tanya kenapa aku gak kerja. Ngapain harus tanya anak tengil kayak kamu!" geram Mas
Aku terus saja menatap Zein dengan tatapan membunuh. Memang sudah lama aku kesal padanya, apalagi ketika dengan beraninya dia memintaku untuk menjadi seorang istri.Dasar.Padahal jelas-jelas mamanya tidak akan setuju jika aku jadi menantunya. Karena keluarga besar Zein selalu menganggapku sebagai putri kesayangan mereka.Tatapanku semakin tajam ketika Mama dan Papa semakin antusias mendengarkan perkataannya yang sama sekali tidak masuk diakal. Nyesel dulu aku selalu menceritakan tentang diriku yang konyol hanya untuk mendapatkan perhatian Mas Dirga.Dulu aku memang sekonyol itu, sih. Tapi kan sekarang intinya sudah enggak dan Mas Dirga sudah menjadi milikku."Bahkan Rania itu berkali-kali mengancam perempuan yang pernah dekat dengan Mas Dirga," ucapnya dengan dibarengi gelak tawa.Ingin rasanya aku mencabik bibirnya itu sekarang juga.Siapa suruh punya mulut itu pandai berbicara keburukan orang. Ih, bikin kesal saja.Aku tiba-tiba berdiri dari duduk dan menghampirinya. "Cukup! Aku
PoV Rania"Rizky mana, Ma?" tanyaku pada Mama yang sedang membaca sebuah majalah populer."Oh, tadi dibawa Bibi Nesya. Katanya kangen. Padahal baru beberapa hari ya, Ran," ucapnya hanya menoleh sekilas padaku.Deg ... kenapa Bibi Nesya ingin membawa Rizky?Pikiranku mendadak kacau, perasan ini sangat menyakitkan. Bukan aku berpikiran yang negatif terhadap keluarga suami.Bukan.Tapi ini menyangkut keselamatan.Entah kenapa aku selalu ragu kalau Bibi Nesya meminta Rizky. Bahkan dikali pertama saja dia sudah mengecewakan kita.Sekarang apa lagi."Tenanglah, katanya tidak akan lama," ucap Mama lagi tanpa rasa khawatir sedikit pun.Naluri seorang ibu mengatakan kalau ini bukan pertanda hal yang baik-baik saja. Apalagi dia tahu kalau Rizky adalah anak Mas Riko. Bahkan masih menjalin hubungan baik dengan Bu Retno.Sungguh tidak habis pikir dengan pikirannya. Jelas-jelas Bu Retno-lah penyebab di balik kematian beberapa anggota keluarganya."Assalamu'alaikum."Suara salam Mas Durga dan Papa m
Aku terkejut setengah mati dengan tindakan yang Bu Retno lakukan ini. Embel-embel 'Mama' pun juga hilang. Rasanya hati nurani ini menolak untuk berkata yang baik-baik padanya.Tapi berbeda dengan Mas Surya, dia sangat terlihat tenang. "Kembalikan anakku!" teriak Rania dengan mata yang sembab. Entah dari kapan dia menangis, karena penampilannya saja sudah terlihat berantakan."Aku tunggu keputusannya, terserah Tante pilih yang mana. Tapi seharusnya tahu kan jalan terbaik mana yang harus ditempuh?" tanya Dirga dengan dengan tatapan yang sama tenang dari Mas Surya.Sungguh di luar dugaan, kalau ternyata Pak Dirga adalah kakak sepupu kita."Tidak! Aku tidak akan membiarkan kalian mendapatkan kebahagiaan di atas lukaku!" teriak Bu Retno yang menatap kami satu persatu dengan tatapan tajamnya."Atas dasar apa orang lain mempunyai anak laki-laki, sementara aku hanya punya perempuan?" lanjutnya yang terdengar sangat kecewa."Itu semua adalah takdir, aku pun hanya punya Rania. Bukankah dia wan