Lia sedang sibuk menata barang-barang di toko ketika telepon genggamnya berdering. Lia melirik layar ponsel. Wajah si ibu mertua terpampang di sana. "Ibu? Untuk apa lagi dia menghubungiku?" Lia merasa heran. Namun mengingat setiap menelepon, Bu Lasmi tidak pernah mengatakan hal-hal penting kecuali umpatan dan celaan, akhirnya Lia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Lia berfikir jika mengangkat telepon dari wanita paruh baya itu, maka pasti hanya akan mengundang perselisihan belaka. Seperti tak bosan-bosannya menghubungi, panggilan dari Bu Lasmi selalu saja berulang-ulang. Namun berulang-ulang pula Lia mengabaikannya. "Terserah dia mau apa. Aku sudah malas meladeni beliau bicara, tidak lain dan tidak bukan hanya akan bikin sakit hati aja." batin Lia. Lia sibuk kembali dengan packing-an packing-an pelanggannya. Menata barang dan mengecek mana barang stoknya mulai menipis. Di beberapa platfor
"Mbak Lia! Hati-hati kalo ngomong!" Melisa berujar kasar. "Sebaiknya peringatan itu berbalik sama kamu, Mel. Kamu yang seharusnya tahu cara berbicara yang baik kepada sama ipar." "Enak ajah! Nggak! Aku gak akan bisa menghormati kakak ipar seperti kamu!" Melisa menolak mentah-mentah ucapan Lia. "Kalau begitu, sama halnya sama aku. Aku juga gak akan bisa menghormati adik ipar kayak kamu." Melisa mengepalkan tangan. Tingkah Lia benar-benar menguji adrenalin. Selama ini jarang-jarang ada yang mau meladeninya. Tapi sekarang Melisa merasa mendapatkan perlawanan. Sepertinya ia sedang diuji oleh ipar sendiri. "Keluar kamu dari rumah ini, Mbak! Sudah cukup aku sabar telah membiarkan kakakku memelihara wanita sialan kayak Mbak. Mbak di sini cuma numpang di rumah kakakku saja! Jadi kami pengen Mbak segera tinggalin nih rumah! Kalau tidak, maka telapak tangan ini akan melayang ke wajah kamu! Dan aku sendiri yang akan men
(Maaf pembacaku, koinnya agak mahal, hehe.. Tapi ini karena babnya panjang, ya. 2000kwords lebih )"Lia! Katakan sama aku apa yang udah kamu lakuin sama Melisa kemarin?" Yoga membanting pintu. Padahal laki-laki tersebut baru saja datang. "Tanya aja sama adik kamu apa yang udah aku lakuin sama dia. Jadi kamu gak perlu emosi tanya-tanya kemari." Lia menjawab ketus. Yoga nampak menggeram kesal dengan sikap istrinya yang menurutnya semakin menjadi-jadi. "Kamu nggak usah keterlaluan selalu nyakitin keluarga aku, Lia. Sudah cukup selama ini aku, Ibu dan Melisa bersabar sama tingkah kamu. Kamu bisa mikir enggak sih? Mereka itu ibu dan adik aku sekaligus mertua dan adik ipar kamu juga yang harus kamu sayangi." Yoga mengambil posisi tempat duduk di hadapan Lia. Mendengar penuturan sang suami, Lia hanya nyengir kuda. "Yang seharusnya berpikir itu kalian, Mas. Selama ini yang terlalu bersabar dan terlalu mengalah menghadapi
Yoga kembali menelan ludah. Baru saja ia merasa lega, namun tanggapan Lia kembali membuatnya lemas. "Bener-bener nggak ada gunanya aku ngomong sama kamu." Yoga merasa kesal. "Dilembut-lembutin kamu kagak ngerti juga, dikerasin malah tambah menjadi-jadi. Rupa-rupanya emang gak ada niat baik lagi kamu sama aku. Semua percuma! Ya, percuma pengorbanan yang aku lakukan selama ini." Yoga berkata lemas. "Pengorbanan? Emangnya pengorbanan apa sih yang udah kamu lakuin sama aku?" Lia menanggapi santai. "Sudahlah, Lia! Kagak usah ngejawab terus! Kamu gak usah terus-terusan deh menguras kesabaran aku. Barusan aku udah berusaha untuk bicara baik-baik. Tapi ya emang dasar kamunya ajah yang kagak bisa diajak buat kerjasama." Yoga menatap langit-langit. "Kapan kamu mau ajak aku kerja sama? Setahuku, kerjasama itu harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak, Mas. Masing-masing harus mendengarkan pendapat satu sama lain.
Menjelang malam, Lia dikejutkan oleh kedatangan Yoga. Kontan saja yang Lia merasa heran. Sebab, tidak biasanya laki-laki itu datang pada saat menjelang magrib seperti ini. Namun Lia acuh saja dengan kemunculan suaminya kala itu. Tetapi sedikit banyak kedatangan Yoga kali ini mampu membuat Lia tersenyum. Ada sesuatu yang ingin ia lakukan terhadap kedatangan pria tersebut. Lia mencari kesempatan yang tepat. Matanya tak lepas mengawasi apa yang dilakukan oleh Yoga. Ketika lelaki tersebut memasuki ruang kamar, Lia mengembangkan senyum. "Kita tunggu saja!" Lia tertawa tipis. Cukup lama lelaki itu di dalam sana. . Setelah sekian puluh menit, belum terlihat pria itu keluar. Lia memasuki kamar Chika, mengunci pintu, dan meraih sebuah laptop yang telah terhubung dengan cctv di kamar mereka. Ya, itu adalah sebuah laptop yang di hadiahi oleh orangtua Lia ketika ulang tahunnya beberapa hari
Menjelang siang, Lia dikejutkan oleh kedatangan Bu Lasmi sekeluarga. Sontak membuat Lia terkejut. "Ada apa mereka rame-rame datang kemari?" batin Lia bertanya. Terlihat Yoga menurunkan dua buah koper besar dari dalam mobil. "Pake bawain koper lagi, kayak mau ngungsi ajah." pikir Lia kembali. Bu Lasmi melangkah paling depan. Seperti biasa, langkah kaki itu terlihat angkuh dan sombong. "Ayo silakan masuk, Nak Riana! Anggap saja rumah sendiri." Bu Lasmi menarik tangan Riana agar lekas ikut masuk. Tanpa ba bi bu, Bu Lasmi membawa dua koper tersebut ke kamar depan. Tidak berapa lama, Bu Lasmi kembali muncul. Di sofa ruang keluarga, wanita paruh baya tersebut menghempaskan tubuh. "Lia! Tolong ambilkan minum! Ibu haus nih." Bu Lasmi memerintah seraya mengelap keringat di dahinya. Sepertinya wanita itu kelelahan. "Aku juga, Mbak. Aku pengen jus jeruk." ti
Lia terdiam beberapa saat lamanya. Dalam pikirannya, "enteng sekali mereka bilang ingin pindah ke rumah ini." "Emangnya Ibu pengen pindah kemari?" "Ya, bener." "Bawa pasukan gitu?" sindir Lia. "Pasukan apa maksud kamu?" Bu Lasmi mendelikkan mata. "Ya gitu, pasukan keluarga ibu. Mau pindah ke rumah orang kok rame-rame." celetuk Lia. "Jangan terlalu pinter ngomong kamu! Ini bukan rumah kamu! Ini rumah anakku sendiri. Suka-suka aku mau tinggal di rumah ini seberapa lama. Masih mending aku mau pamit terlebih dahulu sama kamu. Padahal sebenarnya aku nggak perlu tuh minta diizinin sama kamu." sungut Bu Lasmi. "Kalo pemikiran orang yang nggak punya etika emang kayak gitu, Bu. Ngerasa berhak atas sesuatu yang bukan miliknya." "Pokoknya aku nggak tahu kamu mau ngomong apa. Yang pasti aku tetap akan ajak Riana sama Melisa untuk tinggal di sini. Ngerti kamu! Jangan banyak prote
"Ini Lia gimana sih? Masa ia nggak ngelakuin apa-apa? Udah tahu Ada mertua di rumah. Kok dia teledor sekali nggak nyiapin spa-apa. Astaga! Istri macam apa Lia ini?" "Setiap hari kerjaannnya cuma keluar rumah! Pura-pura cari duit, padahal semuanya masih bergantung sana suami. Ya ampuuun! Di rumah pun kerjaannnya cuma main ponsel mulu!" "Yogaaa!" Omelan beruntun itu berakhir dengan suara teriakan nyaring Bu Lasmi. Yoga yang tengah duduk santai bersama Riana kaget dengan suara teriakan sang ibu. "Bentar ya, Sayang." Yoga meminta izin sembari mengecup kening Riana. Riana menganggukkan kepala.Buru-buru Yoga melangkah ke belakang. Dilihatnya Bu Lasmi tengah panik memeriksa dan mengecek segala sesuatu yang ada di dapur. Bolak balik membuka lemari, dan memeriksa isi toples-toples yang berjejer di tempat penyimpanan. "Ada apa, Bu?" tanya Yoga cepat.Bu Lasmi segera menoleh.
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter