Hari ini hari libur, Lia berniat untuk sejenak mengajak Chika mencari angin segar dengan mengunjungi tempat wisata terdekat. Bandung, tempat tinggalnya ini memang mempunyai banyak destinasi wisata. Jadi tak perlu jauh-jauh keluar kota. Tapi Lia merasa tak perlu untuk pergi terlalu jauh. Pilihannya jatuh ke Trans Studio Bandung. "Kita berdua aja, Mah? Papa nggak ikut?" Chika bertanya. Sebenarnya dalam hati, Lia amat iba dengan pertanyaan sang anak. Akan tetapi apa daya, Yoga tak lagi seperti dulu. Laki-laki itu lebih sibuk dengan dunianya sendiri dan seakan tak ingin lagi di usik dengan celoteh-celoteh anaknya, Chika. "Enggak, Sayang. Papa masih sibuk kerja. Jadi enggak ada waktu buat nemenin Chika jalan-jalan. Chika biar sama mama aja ya, Nak." Lia mencoba memberi pengertian positif. "Oh, kenapa ya sekarang papa nggak pernah lagi deket-deket sama Chika? Apa karena Chika nakal ya, Ma? Kalau gitu Chika enggak
"Lala! Mampir, Yuk!" Dengan ramah Riana mengajak Lala, teman sekampusnya untuk mampir. Lala memperhatikan rumah yang berdiri yang lumayan mewah di hadapannya. Rumah tersebut bernuansa biru muda berpadu dengan putih. Warna yang cukup serasi. "Ini rumah siapa?" Lala bertanya. Sebab sebelumnya ia tidak pernah diajak ke sana oleh Riana. Yang dia tahu, selama ini Riana menghuni "Ini rumah calon suamiku. Kamu nggak usah sungkan!" jawab Riana bangga dan tanpa ragu. "Oooh..." "Dia tinggal sendiri di rumah ini. Makanya aku sering kemari. Hehe...! Nggak apa-apa, dong! Yang pasti apapun yang aku inginkan pasti diturutin. Kurang enak apalagi coba?" Riana mengembangkan senyum. "Iya, iya, kamu benar. Lagian kan dia pejabat besar. Nggak rugi." sambung Lala. Riana segera mendorong pintu pagar. Ia bersikap santai, tanpa sungkan sedikitpun, bak tengah berada di rumah sendiri. "Ayo m
"Iya ini rumah Riana yang di hadiahkan calon suaminya. Kenapa kok kamu yang repot amat? Terus sebenarnya kamu siapa sih?" Lala menjawab lugas pertanyaan Lia. Lala masih belum mengetahui masalah yang sebenarnya. Yang ia percayai saat ini hanyalah ucapan Riana. "Rumah Riana? Aku ingin tahu, siapa yang bilang ini rumah Riana?" tegas Lia mendekat. Lala heran dengan sikap wanita yang sekarang berada di hadapannya. "Tentu saja Riana yang bilang begitu." Lala menjawab dengan tanpa ragu. "Eh tidak! Aku tidak mengatakan demikian." Kali ini Riana menyambar cepat lengan Lala dan menariknya menjauh dari Lia. Lala semakin kebingungan. "Apa-apaan kamu? Kenapa kamu jawabnya begitu sama dia? Emangnya wanita itu siapa, Riana?" Lala tidak dapat menyembunyikan rasa penasaran. "Diam dulu! Nanti aku akan jelasin semuanya. Untuk sementara ini kamu nggak usah banyak bicara. Please" Riana berkata dengan gu
"Lia, Sudah kubilang Ini hanya salah paham. Tidak seharusnya kamu mengusir dengan cara seperti ini. Riana masuk ke rumah ini karena ibu menyuruhnya untuk mengambil sesuatu." Yoga perlahan berbicara walaupun terlihat ada setitik rona keraguan pada wajahnya. Riana sedikit merasa lega dengan ucapan Yoga. Meski pembelaan itu tidak terlalu serius, tetapi Riana masih bisa merasakan jikalau Yoga telah berusaha untuk tidak menyalahkan Riana seutuhnya. "Iya, Lia. Aku kemari karena Bu Lasmi sendiri yang menyuruhku untuk mengambil pakaiannya yang katanya masih tertinggal di kamar depan." sahut Riana menimpali. "Lho, lho Riana, kok kamu bilang gitu? Bukannya tadi kamu bilang...," Lala terpaksa menghentikan ucapannya ketika Riana menutup mulutnya. "Iya Lala, Kamu benar. Kita berdua tadi memang berniat mengambil pakaian yang dimaksud oleh Bu Lasmi." todong Riana menyela cepat. "Yang aku maksud bukan itu, Riana. Kok, kok...,
Pagi-pagi terlihat kita sudah rapi dengan pakaiannya. Dengan muka amat subrina gadis kecil itu menghampiri sang papa yang duduk di ruang tamu."Papa! Yuk anterin Chika ke sekolah! Seperti yang Chikat bilang kemarin. Chika pengen nunjukin sama teman-teman kalau Papa Chika udah punya mobil baru. Okey, Pa?" Chika mendekat. "Sana! Sana! sama Mama kamu aja! Ini Papa lagi repot. Banyak urusan yang harus Papa selesaikan. Untuk pagi ini papa nggak bisa nganterin kamu ya. Kamu sekolah pakai sepeda motor mamamu ajah!" Yoga menggeser tubuh Chika yang berusaha mendekat padanya. Sedangkan pandangan mata Yoga tetap terpaku pada benda pipih yang berada di tangan kanannya. Ponsel. Mendengar jawaban sang papa, semburat bahagia yang sejak tadi terlihat pada wajah Chkka, sekarang berubah menjadi kecut dan tak bersemangat. "Pa, jadi kapan Papa bisa anter Chika ke sekolah? Sekaliii ajah, Pa!" Chika tampak amat berharap. "Kamu denger
Mobil Yoga menderu memasuki pekarangan rumah ibunya. Mendengar suara mobil Yoga, seorang ibu paruh baya keluar dari dalam rumah lalu menyambut sang anak dengan senyum manis. "Wah anak Ibu sudah pulang rupanya. Gimana reaksi Lia ketika tadi kamu bawain itu mobil ke sana? Dia kaget nggak?" Bu Lasmi nampak penasaran. Yoga tersenyum sinis mendengar pertanyaan ibunya. "Tentu saja wanita kampungan itu kaget, Bu." jawab Yoga sumringah. "Bahkan dia seperti gak percaya kalo kita habis beli mobil baru. Bahkan tadi udah pengen nyoba-nyoba naik ke mobilku." Yoga nyengir. "Terus kamu izinin, nggak?" "Ya nggaklah. Kukunciin ajah itu pintu mobilnya." sahut Yoga.Nu Lasmi terkekeh mendengarnya. "Baguslah kalo gitu. Biar tahu rasa dia. Biarin dia tahu kalo kamu jauh bisa sukses tanpa andil dari istri kayak dia. Ya udah, sekarang kamu sarapan sana! Ibu udah nyiapin saraoan lezat nuat kamu."
Lia sibuk menata barang di toko. Sedangkan Chika sibuk dengan ponsel ibunya. Sesekali, Lia memang mengizinkan anak itu untuk memainkan benda pipih tersebut, asalkan dengan waktu yang tak terlalu lama. Yoga tidak pernah tahu jikalau Lia sudah berhasil membeli sebuah toko baru. Yang Yoga ketahui, Lia hanyalah seorang penjual online yang hilir mudik mengatur pesanan yang menurut Yoga tidak seberapa besar nilai penghasilannya. Pendek kata, Yoga tidak pernah mengetahui sejauh mana sepak terjang sang istri. "Maaa! Coba Mama lihat ini!" tiba-tiba Chika berteriak. "Ya, ada apa, Nak?" Lia mendekati Chika. Cepat-cepat Chika menunjukkan beberapa foto dan siaran langsung dari akun media sosial yang amat Lia kenal. Sedikit jantung Lia berdetak kencang melihat postingan dan siaran langsung di skun Melisa tersebut. Dengan jelas terlihat Melisa sedang memposting kebersamaan antara dia, Bu Lasmi, Yoga, dan ju
Lia sedang sibuk menata barang-barang di toko ketika telepon genggamnya berdering. Lia melirik layar ponsel. Wajah si ibu mertua terpampang di sana. "Ibu? Untuk apa lagi dia menghubungiku?" Lia merasa heran. Namun mengingat setiap menelepon, Bu Lasmi tidak pernah mengatakan hal-hal penting kecuali umpatan dan celaan, akhirnya Lia memutuskan untuk mengabaikan panggilan tersebut. Lia berfikir jika mengangkat telepon dari wanita paruh baya itu, maka pasti hanya akan mengundang perselisihan belaka. Seperti tak bosan-bosannya menghubungi, panggilan dari Bu Lasmi selalu saja berulang-ulang. Namun berulang-ulang pula Lia mengabaikannya. "Terserah dia mau apa. Aku sudah malas meladeni beliau bicara, tidak lain dan tidak bukan hanya akan bikin sakit hati aja." batin Lia. Lia sibuk kembali dengan packing-an packing-an pelanggannya. Menata barang dan mengecek mana barang stoknya mulai menipis. Di beberapa platfor
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter