Bu Lasmi dan Yoga sama sekali tidak bisa mencegah kepergian Riana hari itu. Kedua orang tersebut sangat tidak pernah menyangka jika Riana mampu berlaku senekat itu. Padahal selama ini mereka mengenal Riana sebagai seorang wanita yang menawan, sopan dan senantiasa berlembut hati.Terlebih lagi bagi Yoga, lelaki tersebut masih ingat betul bagaimana perkataan sang Ibu ketika hubungannya dan Riana masih baik-baik saja. Yoga masih bisa mengingat bagaimana Bu Lasmi mengatakan bahwa Riana adalah wanita yang pantas untuk dijadikan istri, wanita yang baik dan wanita yang bisa dibanggakan kepada setiap orang. Tentu saja yoga yang begitu percaya dengan ucapan sang ibunda, merasa itu adalah sebuah dukungan dan awal yang baik untuk kehidupan mereka. Meskipun sebelumnya Riana hanyalah seorang selingkuhan saja.Karena bagi Yoga, restu dan dukungan dari seorang ibu adalah hal utama.Tapi tiba-tiba sekarang Yoga mulai merasakan jika ucapan ibunya tak benar. Padahal sebelumnya Yoga selalu beranggapan
"Bu, kalo Lia mah wajar ajah dia bisa cepet dapet duit! Toh dia kerjanya cuma menyodorkan diri sama para laki-laki hidung belang di luaran sana! Pasti beda lah Bu, sama aku yang pengen cari kerja yang bener dan halal." Yoga tak rela Jika dibanding-bandingkan dengan sosok Lia."Halah, pokoknya Ibu nggak peduli mau kerja bener atau nggak bener. Zaman sekarang nih ya, yang penting dalam hidupadalah uang, Yoga! Uang! Kalo nggak ada uang, kita nggak bisa hidup." Bu Lasmi menyambar cepat.Yoga menelan saliva mendengar ucapan ibunya."Ibu yang sabar dulu, Bu. Nggak boleh bilang begitu. Karena kalo bisa, kita lebih mencari kepada rezeki yang halal daripada yang haram. Mudah-mudahan ajah dalam waktu dekat aku bisa kembali mendapatkan uang buat kalian." sahut Yoga perlahan."Jangan cuma ngomong doang lah, Yoga! Harusnya kamu buktiin dong kalo ucapan kamu benar-benar bisa diandalkan. Tunjukan sama ibu kalo kamu benar-benar laki-laki yang berbakti pada orang tua dan keluarga. Masih untung Ibu mas
"Tidak! Tidak mungkin, Lia! Kamu cuma mengada-ada aja, kan?" sungguh Bu Lasmi tidak percaya sedikitpun."Udah! Kamu nggak usah berpura-pura. Aku datang kemari bukan buat nemuin kamu!" lanjut Bu Lasmi."Lalu siapa yang pengen ditemuin sama ibu?" tanya Lia."Seperti apa udah aku bilang tadi, aku kemari karena pengen nemuin bos kamu si pemilik toko gede di mana kamu kerja dulu." jawab Bu Lasmi."Kami udah janjian di sini. Jadi kamu jangan ganggu pertemuan kami!" ketus Bu Lasmi."Ibu tahu nggak, sebenarnya yang pengen ibu temui itu adalah aku.""Apaa? Nggak! Aku tetep nggak akan percaya!""Kenapa anda tidak percaya? Kalau begitu Ibu bisa telepon balik deh nomor yang tadi anda hubungi. Yang Ibu hubungi tadi adalah nomorku. Dan yang bicara sama ibu tadi juga adalah aku." ucap Lia sambil tersenyum sinis.Bu Lasmi termangu."Ti... Tidak! Kamu pasti bohong. Aku nggak bisa di bodohi sama kamu." kukuh Bu Lasmi."Bohong bagaimana?""Yang aku telepon tadi adalah orang yang punya toko tempat kamu b
Bu Lasmi terdiam seribu bahasa. Ia tak menyangka sama sekali jika Lia yang selama ini mereka rendahkan secara habis-habisan, ternyata menyimpan begitu banyak misteri."Sedangkan kalian tahu aku kerja serabutan gitu aja kalian tega banget morot dan ngerampok. Salah satu contohnya ya kalian minta duit mulu, terus pinjem duit aku tapi nggak pake dibalikin. Apalagi kalau seandainya kalian tahu aku punya usaha sendiri. Haduuuh!" ucap Lia kembali.Jika menyinggung hutang, Bu Lasmi tak bisa berkutik. Tapi, yang namanya Bu Lasmi, ia tak akan mudah mengalah dan tak akan pernah mengakui kesalahan."Oh jadi sekarang kamu mau ngungkit-ngungkit, ya? Atau jangan-jangan kalau kamu beneran punya tuh toko, kamu buka toko itu pake uangnya Yoga? Iya?" Bu Lasmi menebak dengan seringai tajam."Haaa? buja toko pake fuit Yoga? Bu Lasmi, gaji anakmu itu cuma buat makan kalian bertiga aja kagak cukup! Mana mungkin aku bisa pakai uang Yoga buat ngebangun toko. Setengah tahun seukuran gaji anakmu, buat modal b
"Bu, kenapa hari ini Ibu nampak lesu sekali? Ada apa, Bu?" Yoga menghampiri ibunya yang tengah terduduk di kursi sembari menatap ke arah luar jendela. Di mata Yoga, tatapan ibunya terlihat kosong.Terlihat sekali Jika Bu lasmi tak nampak seperti biasanya. Hari beranjak malam, namun Bu Lasmi masih membuka lebar kaca jendela.Yoga kembali merasa getir, sebab di hadapan sang Ibu tidak ada lagi cemilan yang menemani duduk ibunya. Padahal biasanya cemilan pasti selalu siap sedia di atas meja dan siap untuk dinikmati kapan saja.Tapi sekarang yang ada di hadapan Bu Lasmi hanyalah sebuah toples kosong. Kemerosotan ekonomi benar-benar membuat kehidupan mereka berubah.Sedangkan Melisa terlihat semakin cuek. Menjelang malam anak itu selalu saja keluar rumah dan akan kembali keesokan harinya itu pun terkadang menjelang tengah atau sore hari.Soal kemana tujuan Melisa pergi, Yoga tidak pernah tahu. Dan Melisa pun tak pernah ingin memberitahu. Anak itu memang benar-benar berubah keras kepala
Pikiran Yoga mulai menebak yang tidak tidak. Firasatnya tak enak. Terasa akan terjadi sesuatu yang kurang menguntungkan akan terjadi setelah ini."Yang bener aja kalian! Kalau bicara tuh jangan ngawur. Sebenarnya Pak Hamid Siapa yang kalian bicarakan ini? Kurasa sasti kalian salah alamat. Ini bukan alamat tujuan kalian. Karena ini adalah rumah saya, Bukan rumah pak Hamid!" Yoga berkata berusaha sabar meskipun hatinya berkata lain."Kami benar-benar tidak salah alamat, Pak. Kami sudah diberi alamat yang demikian detail lengkap dengan nomor rumahnya sekalian." sopir tersebut berbicara dengan serius."Pak aku butuh penjelasan yang detail." Yoga kembali menekankan"Kan tadi udah dijelasin. Bapak ini bagaimana sih? Udah dijelasin sedemikian rupa tapi mengapa kok masih aja nuntut dijelasin. Emangnya kejelasan yang seperti apa lagi yang pengen bapak dengerin?" ujar sang sopir sembari mulai menurunkan barang-barang dari mobil pick up tersebut."Tolong jangan turunkan barang-barang itu dulu, P
Dengan gontai Yoga dan ibunya menurunkan barang-barang di depan rumah ibunya.Tidak banyak terjadi obrolan di antara mereka. Mereka kebanyakan diam.Bu Lasmi terduduk lesu. Tak nampak adanya semangat padanya."Yoga, sudah seharusnya kamu berterima kasih pada Melisa! Seandainya saja tadi Melisa nggak kirimin kita uang, mana bisa kita membawa barang-barang kita kemari." ujar Bu Lasmi.Yoga diam membisu. Cukup mengerti apa yang dimaksudkan sang ibu."Iya Bu, aku cukup merasa berterima kasih sama Melisa." tanggap Yoga dengan pandangan mata menatap kosong ke arah langit yang membiru."Ibu mau kamu bukan hanya bisa berterima kasih sama adik kamu. Tapi tolong berusahalah Yoga, Ibu gak ingin dan nggak sanggup lagi untuk hidup kayak gini. Terlalu menderita rasanya. Kamu yang sebagai anak laki-laki, masa menghidupi seorang ibu dan seorang adik aja kagak mampu. Kami hanya berdua Yoga. Tanggung jawabmu cuma kami. Kenapa kamu jadi sesulit ini untuk membahagiakan kami?" Bu Lasmi kembali berkata den
"Jangan pernah ya kamu ngebanding-bandingin ibu sama Lia. Mantan istri kamu tuh pasti punya simpanan lain biar bisa cukup. Hasil dia jual diri kali. Secara ya nggak mungkin dia bisa mengatur uang tujuh ratus ribu selama sebulan. Kamu mikir nggak Yoga, buat listrik sama air aja uang lima ratus ribu sebulan itu kurang. Nah dua ratusnya emang cukup buat makan? Dengkulmu!" Bu Lasmi benar-benar tak terima jika dirinya dibanding-bandingkan dengan Lia.Jika mengingat Lia, maka ada rasa cemburu terbersit di hati wanita paruh baya tersebut. Dari dulu ia selalu menganggap Lia adalah sebagai saingan. Sehingga ia tak pernah membiarkan Yoga memberikan perhatian lebih pada Lia melebihi perhatian pada Bu Lasmi sendiri."Ingat Yoga, kamu tuh ya hidup sama Lia baru beangsung selama lima tahun. Sedangkan ibu sudah membesarkan kamu dari kecil hingga besar selama berpuluh-puluh tahun. Kok tega kamu bandingin ibumu yang udah melahirkan dan membesarkan kamu dari kecil, sama wanita yang baru aja nemenin hi
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter