Pikiran Yoga mulai menebak yang tidak tidak. Firasatnya tak enak. Terasa akan terjadi sesuatu yang kurang menguntungkan akan terjadi setelah ini."Yang bener aja kalian! Kalau bicara tuh jangan ngawur. Sebenarnya Pak Hamid Siapa yang kalian bicarakan ini? Kurasa sasti kalian salah alamat. Ini bukan alamat tujuan kalian. Karena ini adalah rumah saya, Bukan rumah pak Hamid!" Yoga berkata berusaha sabar meskipun hatinya berkata lain."Kami benar-benar tidak salah alamat, Pak. Kami sudah diberi alamat yang demikian detail lengkap dengan nomor rumahnya sekalian." sopir tersebut berbicara dengan serius."Pak aku butuh penjelasan yang detail." Yoga kembali menekankan"Kan tadi udah dijelasin. Bapak ini bagaimana sih? Udah dijelasin sedemikian rupa tapi mengapa kok masih aja nuntut dijelasin. Emangnya kejelasan yang seperti apa lagi yang pengen bapak dengerin?" ujar sang sopir sembari mulai menurunkan barang-barang dari mobil pick up tersebut."Tolong jangan turunkan barang-barang itu dulu, P
Dengan gontai Yoga dan ibunya menurunkan barang-barang di depan rumah ibunya.Tidak banyak terjadi obrolan di antara mereka. Mereka kebanyakan diam.Bu Lasmi terduduk lesu. Tak nampak adanya semangat padanya."Yoga, sudah seharusnya kamu berterima kasih pada Melisa! Seandainya saja tadi Melisa nggak kirimin kita uang, mana bisa kita membawa barang-barang kita kemari." ujar Bu Lasmi.Yoga diam membisu. Cukup mengerti apa yang dimaksudkan sang ibu."Iya Bu, aku cukup merasa berterima kasih sama Melisa." tanggap Yoga dengan pandangan mata menatap kosong ke arah langit yang membiru."Ibu mau kamu bukan hanya bisa berterima kasih sama adik kamu. Tapi tolong berusahalah Yoga, Ibu gak ingin dan nggak sanggup lagi untuk hidup kayak gini. Terlalu menderita rasanya. Kamu yang sebagai anak laki-laki, masa menghidupi seorang ibu dan seorang adik aja kagak mampu. Kami hanya berdua Yoga. Tanggung jawabmu cuma kami. Kenapa kamu jadi sesulit ini untuk membahagiakan kami?" Bu Lasmi kembali berkata den
"Jangan pernah ya kamu ngebanding-bandingin ibu sama Lia. Mantan istri kamu tuh pasti punya simpanan lain biar bisa cukup. Hasil dia jual diri kali. Secara ya nggak mungkin dia bisa mengatur uang tujuh ratus ribu selama sebulan. Kamu mikir nggak Yoga, buat listrik sama air aja uang lima ratus ribu sebulan itu kurang. Nah dua ratusnya emang cukup buat makan? Dengkulmu!" Bu Lasmi benar-benar tak terima jika dirinya dibanding-bandingkan dengan Lia.Jika mengingat Lia, maka ada rasa cemburu terbersit di hati wanita paruh baya tersebut. Dari dulu ia selalu menganggap Lia adalah sebagai saingan. Sehingga ia tak pernah membiarkan Yoga memberikan perhatian lebih pada Lia melebihi perhatian pada Bu Lasmi sendiri."Ingat Yoga, kamu tuh ya hidup sama Lia baru beangsung selama lima tahun. Sedangkan ibu sudah membesarkan kamu dari kecil hingga besar selama berpuluh-puluh tahun. Kok tega kamu bandingin ibumu yang udah melahirkan dan membesarkan kamu dari kecil, sama wanita yang baru aja nemenin hi
"Mel, Kakak bisa pinjem duit kamu sebentar nggak?" ujar Yoga.Melisa uang saat itu tengah menghadap ke cermin besar, menoleh ke arah kakaknya."Pinjem duit buat apa emangnya, Kak?"Gadis itu bertanya."Melisa, kasih aja kakakmu. Dia lagi butuh uang sekarang." Bu Lasmi ikut menimpali."Iya, tapi buat apa, Bu?Kok pinjemnya sama aku?" Melusa cemberut."Buat perjuangin aset." Bu Lasmi menjawab sedikit keras. "Aset? Aset apaan sih yang dibicarain sama kalian?""Haduh...! Nggak usah rewel gitu, Mel. Pokoknya kamu kasih pinjam aja deh tuh duit sama kakak kamu! Ntar kalo kakakmu berhasil, kita-kita semua akan menikmati hasilnya." imbuh Bu Lasmi."Iya, tapi pertanyaannya aset apa yang kalian bicarain? Kok aku jadi bingung gini. Main rahasia-rahasiaan segala." celetuk Melisa."Sini kamu! biar Ibu jelasin." Bu Lasmi mengisyaratkan pada Melisa untuk mendekat. Melisa menurut.Mulailah Bu Lasmi menjelaskan maksud dan rencananya bersama Yoga. Melisa mendengar rencana keduanya dengan mengangguk-
"Pak, Bapak beneran nggak bohong kan kalau mantan mertuaku punya rumah di Banjarmasin?" Yoga bertanya."Iya bener lah. Masa aku bohong.""Lalu, kalau begitu ini rumahnya siapa? Bukannya orang tuanya Lia hanya punya rumah ini? Setahuku mah begitu." Yoga berkata dengan serius.Entah mengapa,hari ini Yoga merasa mendapatkan banyak informasi-informasi yang tidak terduga sama sekali sebelumnya.Yoga serasa tak percaya, bagai mimpi di siang bolong mendengar berita besar seperti ini."Ini kan rumah yang dulu dikhususkan oleh Pak Edwin Hernando dan Bu Aleena khusus buat Mbak Lia kuliah. Karena Mbak Lia kuliahnya di Jakarta. Sedangkan kediaman asli mereka yang di Banjarmasin. Aku aja kemarin ikut mereka ke Banjarmasin dan ikut bekerja di perkebunan mereka. Tapi sekarang aku dipindahin kemari. Tapi saya nggak masalah kok. Mereka semua orang-orang baik." dengan jujur Pak satpam bercerita."Pak, jujur saja! Bapak Nggak bohong kan?" Yoga kembali mengulang bertanya seserius mungkin."Astaga! Mana
"Aku kadang nyesel, Pak," setitik air mata juga terjatuh. Membuat yang mendengarnya semakin iba."Nyesel kenapa, Nak?" simpati dari satpam semakin bisa Yoga rasakan."Aku nyesel banget sebab dulu nggak bisa ngebahagiain Lia. Mungkin ... mungkin itu sebabnya Lia pergi ninggalin aku, dia yang menggugat cerai aku, karena aku orang gak punya. Padahal Pak, aku udah berusaha sekuat tenaga buat ngebahagiain dia. Buat ngecukupin kebutuhan dia, dan juga anakku." tatapan Yoga menerawang jauh.Ucapan tersebut terdengar lirih dan patut untuk di kasihani. Satpam itu menepuk pundak Yoga, dengan niat untuk menenangkan hati Yoga."Kamu yang sabar, Nak. Kehidupan ini pasti punya ujian tersendiri. Saga yakin kamu pasti bisa menghadapinya, kok. Saya yakin jika memang kalian udah ditakdirkan untuk berpisah, itu udah jalan takdir yang terbaik. Sebaiknya kita harus Sabar menghadapinya, Nak. Saya juga yakin Lia mengambil keputusan itu pasti ada pertimbangan tersendiri." "Pasti pertimbangannya karena aku o
Yoga melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah menjelang sore."Pak, kenapa jam segini Lia belum juga pulang, ya? Apa harus aku jemput ajah dia ke toko?" ujar Yoga yang gelisah. Sebab sudah terlalu lama ia menunggu. Namun Lia tak kunjung pulang."Hmm... sebentar, biar aku tanya dulu sama Mbak Lia. Emang sih biasanya dia pulangnya lama. Tunggu sebentar ya!"Pak satpam mengotak-atik ponsel.Beberapa saat terlihat satpam berbincang-bincang dengan seseorang di telepon genggam.Tidak berapa lama mereka menghentikan obrolan."Maaf, Nak Yoga. Sepertinya Lia akan pulang malam hari. Sebaiknya besok aja kamu datang lagi kemari. Kalo kamu nunggu juga percuma. Seperti biasa, Mbak Lia nggak akan mau menerima tamu pada waktu malam. Aalagi tamu laki-laki."Yoga menghela nafas kecewa. Terpaksa pertemuan yang ia impi-impikan bersama Lia hari ini tertunda.Ada rasa kesal dan marah.Namun Yoga tak punya pilihan lain. Ia sadar betul bagaimana posisinya saat ini. Ingin rasanya Yoga mengubungi Lia
"Hm... Memangnya laki-laki itu datang ke sini dia bilang apa aja Pak?" Lia bertanya memancing."Bapak emang nggak bisa meniru apapun yang dia katakan tadi. Nah tapi bapak bisa jelasin sama kamu kalau dari tampang wajahnya, kayaknya dia memang sangat merindukan Chika, putri kalian. Bahkan di hadapan Bapak sendiri Yoga menangis. Jujur saja, Bapak yang juga sebagai seorang ayah merasa tersentuh dan iba melihat keadaan dia. Dia bilang udah lama ia merindukan Chika. Dan ia bilang nyesel udah cerai sama kamu."Lia diam menyimak cerita dari Pak Suryo. Dalam diamnya Lia menyimpulkan, Yoga tidak mungkin bersungguh-sungguh dalam ucapannya."Terus dia bilang apa lagi, Pak?""Dia bilang kalo dia nggak rela melihat Chika hidup menderita atau jadi korban broken home karena perceraian kalian. Tadi juga dia udah mengakui kalau mungkin aja kamu ngegugat cerai dia karena kesalahannya sendiri. Terus dia bicara merendahkan diri sama Bapak. Dia bilang emang dia orang gak punya dan enggak pantas buat hidu
Beberapa tahun kemudian, setelah sekian lama hidup dalam jeruji besi, Bu Lasmi dan Yoga keluar dalam keadaan menanggung kemiskinan.keadaan jauh lebih sulit. Tak ada rumah untuk Bernaung dan tak ada tempat untuk pekerjaan.Sedangkan Melissa, sekarang anak itu harus meringkuk di sudut ruangan sempit di pojok ruang kontrakan. Tak ada lagi yang bisa di harapkan dari gadis itu. Penyakit HIV yang menyerangnya membuatnya tak bisa melakukan apa-apa. Penyakit yang menggerogoti Melissa juga membuat orang-orang menjauh dari mereka. Mereka di kucilkan.Sementara Bu Lasmi yang juga sudah menua dan tulang punggung yang membungkuk juga tak bisa melakukan apa-apa. Keadaan yang benar-benar menyedihkan. Seiring usia tua yang menyongsong hidupnya, telinga Bu Lasmi tak bisa lagi berfungsi dengan baik, begitupun dengan indera penglihatan yang ia miliki. Wanita yang dulu selalu mau menang sendiri tersebut harus menerima takdirnya sebagai wanita tua yang tuli dan hampir buta.Akhirnya dengan segala perti
Sementara itu, di sebuah gedung yang cukup mewah, sebuah pesta pernikahan di adakan. Dengan dekorasi yang menawan dan elegan, pesta perayaan itu terlihat begitu megah.Di deretan parkir, deretan mobil mewah berjejer, menunjukkan bahwa sebagian besar tamu yang hadir di sana bukanlah orang biasa.Benar-benar luar biasa.Yoga yang kebetulan baru saja datang ke kota Jakarta dengan harapan akan mendapatkan pekerjaan lebih baik, untuk pertama kalinya harus puas dengan menyandang tugas sebagai satpam di acara pernikahan tersebut."Mewah banget acara pernikahannya ya." celetuk teman Yoga."Iya bener, baru sekali ini sih aku melihat pesta pernikahan semewah ini. Wajar kalau bayaran kita gede. Ternyata sesuai sih sama kemewahan pestanya." Yoga menimpali."Ya iyalah, mereka bayarin kita gede. Toh kedua mempelainya memang berasal dari keluarga kaya semua, kok. Masa keluarga konglomerat bayarin kita kecil. Tuh liat tamu-tamu mereka! Rata-rata pakai mobil bagus kan. Tamu-tamu Mereka emang orang pen
Lia memegang kepalanya. Lia merasakan kepalanya sedikit pusing. Terasa kurang nyaman. Akhirnya, dengan menggunakan sepeda motornya, Lia memutuskan untuk pulang. Di tengah perjalanan, Lia merasakan pusing di kepalanya semakin menjadi-jadi. “Aduuh! sepertinya aku harus berhenti dulu.” Lia meminggirkan sepeda motornya.Lia memegang kepalanya. Lia bisa merasakan keningnya panas.“Ada apa denganku? Mengapa tubuhku seperti ini?”“Seharusnya aku harus sampai di rumah lebih cepat.” batin Lia.Lia mencoba menstarter kembali sepeda motornya. Namun kepalanya terasa tak bisa diajakdi ajak bekerja sama. Pusingnya malah bertambah-tambah.Dengan kepala yang terasa berputar-putar, Lia meraih ponsel, dan mencoba menghubungi seseorang yang bisa ia hubungi.Dengan pemandangan kabur, Lia menghubungi seseorang di ponselnya.“Halo, Ma. Tolong jemput aku sekarang didepan Keiza Butik, Ma. kepalaku pusing. Aku … aku…” suara Lia terputus. “Bruukh!Wanita itu ambruk.***Samar-samar Lia membuka matanya. ha
Riana tak tahu lagi apa yang telah terjadi. Tubuhnya lemas, batinnya menangis. Semua terasa bagaikan mimpi."Kamu menipuku, Doni!" hardik Riana tiba-tiba merasa jijik dengan pria paruh baya berkepala botak di hadapannya."Maafkan aku Riana. Tapi aku sudah berusaha benar untuk bikin kamu bahagia.""Kalau kamu memang berniat untuk membuat aku bahagia, masalah kayak gini nggak akan pernah terjadi, Doni!" hardik Riana kembali."Kamu benar-benar udah bikin aku kecewa, Doni! Kurang ajar banget!" sembari terisak, Riana melangkah pergi tanpa bisa Doni mencegahnya."Setelah anak ini lahir, kamu harus bertanggung jawab dengan anak dalam perutku Ini Doni!" ucap Riana sebelum benar-benar pergi."Iya Riana. Aku janji aku akan bertanggung jawab! Tapi please tetaplah bersamaku!" "Tidak! Aku akan datang padamu ketika anak ini nanti sudah lahir dan menyerahkannya sama mu!"***Beberapa bulan berlalu, Riana membawa bayinya menuju ke sebuah rumah di mana Doni tinggal. Riana mengetahuinya setelah diberi
"Apa ini Nayla? Apa maksudmu?" Doni bangkit dari duduknya."Kurasa aku tak perlu menjelaskan untuk kedua kalinya sama kamu, Doni! Aku yakin barusan kamu sudah mendengar apa yang aku katakan Doni!" Nayla menyeringai."Tidak! Tidak, Nayla! Kau tidak sungguh-sungguh memecatku sekarang, kan? Kamu tidak bisa melakukan ini Nayla?""Kenapa tidak bisa?" Nayla bertanya balik.Terlihat muka Doni merah padam, tangannya mengepal dan giginya gemerutuk.Sedangkan Riana, masih kebingungan dan tidak mengerti apa maksud Nayla. Ia tidak percaya."Nayla, kau tidak berhak untuk memecat suamiku dari pekerjaannya! Jelas-jelas suamiku adalah seorang manajer disini. Dia punya kekuasaan yang tinggi. Dan dia punya kekuatan yang besar di sini. Lalu apa hakmu melemparkan surat pemecatan begitu saja? Siapa yang menyuruhmu? Sedangkan kamu hanya seorang ibu rumah tangga! Tahu apa kamu soal perusahaan? Ha ... haa..! Kau pikir kau akan mudah untuk memecat suamiku dari sini? Hanya karena kau mendendam sebab suamimu te
Dengan nafas ngos-ngosan, Riana melempar tasnya ke atas ranjang. Pertemuannya dengan Nayla sama sekali tak memuaskan hati."Wanita aneh, didatangi sama selingkuhan suaminya malah anteng aja! Lihat aja kamu Nayla, beneran akan ku bujuk Mas Doni untuk cepat-cepat cerein kamu! Biar tahu rasa kamu nggak bisa apa-apa setelah kehilangan Mas Doni yang selama ini memanjakan ekonomi kamu!" janji Riana dalam hati.***"Mas, mapan Mas akan menceraikan Nayla? Aku udah nggak betah lagi sama dia Mas!" Riana berbicara dengan nada.Mendengar pertanyaan itu, tidak seperti biasa, Doni yang biasanya selalu murung jika ditanya soal perceraiannya dengan Nayla, tapi kali ini Doni terlihat sumringah seperti ada kabar baik yang ia bawa. "Kenapa Mas justru terlihat senang? Nggak kayak biasanya?" Riana heran."Sini dulu, Sayang! kebetulan banget Mas pengen bicara soal ini sama kamu."Keduanya berjalan menuju balkon."Mas bawa kabar apa? Kayaknya beneran emang ada yang istimewa nih." "Sangat istimewa, Sayang
"Kamu bilang gitu karena kamu sedang berusaha kuat di hadapanku, kan?" Riana mencibir."Apakah jika kamu berada di losisiku kamu akan melakukan hal seperti itu, Riana? Kalau begitu, mentalmu tidak cukup kuat. Sudahlah, sekarang tidak ada lagi yang perlu kita bahas, ada baiknya kamu pulang!"Riana merasa terusir."Aku nggak nyangka ya, ternyata kamu ini orangnya cukup sombong, Nayla. Wajar kalau suamimu nggak betah hidup sama kamu dan memutuskan buat mencari istri yang kedua." sinis Riana."Riana, kamu boleh aja membuat berkesimpulan apapun yang kamu suka terhadapku sekarang. Taoi, yang pasti Doni bukannya nggak betah sama aku. Tapi memang kalian berdua yang mempunyai sifat yang sama. Oleh karena itu, emang kulihat kalian berdua cocok untuk menyatu. Dan nanti sekalian akan kubantu untuk menyatukan kalian sepenuhnya. Bagaimana? apa kau puas sekarang?" Nayla menyeringai tajam."Nayla, kalau cuma sekedar untuk menyatu dengan Mas Doni, kurasa aku nggak perlu bantuan dari kamu! Aku bisa saj
"Kulihat kamu agak kaget dengan ucapanku, ada apa?" Nayla bertanya.Riana mendekat dan duduk di kursi tepat di hadapan Nayla."Apa kamu udah kenal sama aku sebelumnya?" tanya Riana."Bagaimana menurut kamu? Apakah aku nampak kenal sama kamu atau enggak?""Kudengar tadi kamu menyebut namaku? Tahu namaku dari mana?" Riana melanjutkan pertanyaannya.Terlihat Nayla tersenyum."Kalau aku tahu sama nama kamu lalu apa salahnya?""Hmm..." Riana mulai berfirasat tak baik."Lalu tadi kudengar juga Kamu nyebut aku sebagai Nyonya Doni. Apa maksudmu?""Ohoo, kamu bertanya soal itu rupanya. Apa kamu nggak ngerasa sebagai Nyonya Doni?"Riana kesal. Bukannya menjawab, malah Nayla selalu saja melontarkan pertanyaan balik.Riana mulai serba salah untuk menjawab pertanyaan tersebut."Sudahlah Riana! kamu nggak usah pusing memikirkan pertanyaanku. Kamu tenang saja, tak perlu takut, setelah ini kau akan bergelar Nyonya Doni secara seutuhnya! Bukankah itu yang kamu mau?"Huuufth!Terasa badan Riana panas d
Dengan langkah percaya diri, Riana berjalan ke sebuah rumah yang cukup megah dan mewah.Perutnya yang membesar tidak menyusutkan rasa percaya diri yang ia miliki. Justru ia merasa patut merasa bangga dengan janin yang ada di rahimnya saat ini.Sejenak Riana mematung, mengagumi rumah di hadapannnya, namun keberadaan seorang satpam yang berjaga bergerak membukakan pintu, membuat Riana tersadar ia harus menjaga sikap untuk tidak boleh terlihat senorak itu."Maaf, Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mbak ingin bertemu dengan siapa?""Pak Satpam, Saya ingin bertemu dengan mbak Nayla." jawab Riana."Oh, rupanya Mbak adalah tamunya nyonya besar di rumah ini, ya?"Riana menyeringai sinis mendengar satpam tersebut menyebut Nayla sebagai nyonya besar."Iya, Pak. Saya tamu spesialnya Nayla, istrinya Mas Doni. Benar, kan?"Satpam mengangguk."Baiklah Mbak, kebetulan Nyonya Nayla baru saja pulang dari perusahaan. Biar kuberitahu beliau terlebih dahulu!" jawab sang satpam berlalu setelah sebelumnya ter