Bab 39. Senyuman Misterius Office Girlku
*****
“Bapak-bapak semua, ada yang merasa keberatan?” tanyaku megedarkan pandangan, dan berhenti di wajah Pak Robin. Kucoba membaca isi pikiran pria paruh baya itu. Kutangkap gelisah di sorot matanya.
“Se setuju, Bu, kami semua setuju,” ucapnya cepat, meski terlihat makin gugup.
“Baik, terma kasih, atau ada yang mau mengundurkan diri?” kejarku kemudian.
“Kalau Ibu masih percaya, kami berjanji akan bekerja dengan sebaik baiknya!” ucap mereka hampir bersamaan. Hanya Pak Robin yang diam.
“Baik, saya memberi kepercayaan penuh kepada Bapak-bapak dan Ibu Dian, untuk memajukan perusahaan ini. Silahkan kembali ke ruangan masing-masing! Dan Om Ramlan, silahkan masuk ke ruangan barunya, ya! Enggak usah saya antar, kan?” tanyaku mengulas senyum.
&ldquo
Bab 40. Pernikahanku Dulu Tidak Sah, Om*****“Lalu, apakah Om tidak kasihan pada mendiang Mama, yang tertekan batin akibat perselingkuhannya dengan Mama Siska?” tandasku dengan air mata mulai melelah.Om Robert terdiam.“Mereka menikah siri di belakang Mama, belum kering makam Mama, perempuan itu sudah tidur di bekas ranjang Mama! Kalau pun, si Siska itu tak punya otak, tidakkah seharusnya Papa yang masih waras menghargai arwah Mama, sedikit saja?”“Embun ….”“Bagaimana perasaan mereka, Mamaku baru saja di makamkan, mereka sudah tidur berdua dibekas ranjang Mama! Bahkan kain seprenya pun, mereka tak sempat ganti, Om! Papa kejam! Papa jahat! Dia bahkan pura-pura pingsan saat Mama dimakamkan, supaya bisa cepat pulang dan berduaan dengan perempuan itu! Mereka tak sabar, menjadi raja dan ratu di rumah
Bab 41. Ada Pengkhianat di kantor EmbunPOV Darry“Hallo Dea! Bapak mau ngobrol sebentar, boleh?” tanyaku menghubungi Dea, mahasiswaku, teman kuliah Embun.“Oh, iya, Pak. Boleh. Maaf, saya ada salah kah, Pak. Saya minta maaf, ya! Aduh, deg-deg an saya, Ada apa, ya, Pak?” Terdengar jelas gadis itu gemetaran dari suaranya yang menjawab teleponku.“Em, mengenai Embun, boleh?” tanyaku, mengatur nada dan tekanan suara, agar dia tak curiga.“Oh, iya, Pak. Maaf, pasti Bapak marah sama saya, kan? Bapak pasti curiga, tugas Mbak Embun itu, memang betul saya yang mengerjakan, maaf, ya, Pak. Ya, Allah, kok bisa ketahuan, ya. Aduh! Gimana ini. Ampun, Pak. Saya janji enggak lagi, deh. Kemarin itu saya nolongin Mbak Embun karena kasihan, Pak. Secara ya, dia itu punya balita dua. Yang kecil masih Asi juga. Dia lagi sters mik
Bab 42. Ancaman Tante Siska*****“Tante memang jahat!” makiku geram.“Oh, iya. Tante sekedar mengingatkanmu, ganteng! Jangan pernah dekati lagi anak tiri saya itu, karena bila sekali lagi saja kau dekatai dia, Ray akan menuntutmu! Paham!”“Menuntutku? Gila! Tante mengancamku dengan Om Rahmad sebagai senjata. Ray menuntutku dengan dalih apa pula! Kalian memang sakit jiwa!” teriakku putus asa.“Kau akan dituntut Ray, selingkuh dengan istrinya, foto kebersamaan kalian tadi pagi, sudah ada di tangannya. Untung kalian bertiga, dia akan menunggu, saat kau berduaan saja dengan Embun. Kau paham, Tampan? Jangan pernah dekati Embun, ya! Tante cemburu, dan Ray sedang menunggu itu. Tante enggak mau kamu kenapa-napa, Darry. Makanya Tante menghubungimu. Bisa aja, kan, Tante diam-diam. Tapi, karena Tante sayang padam
Bab 43. Embun Yang Sekarang Bukan Lagi Embun Yang DuluPOV Siska“Embun sekarang bukan Embun yang kemarin lalu, Tante! Dia udah berubah menjadi wonder woman. Aku gak sanggup, Tan. Tante aja, deh yang ngelawan dia, Tante kan, singa betina!”“Apa kau bilang?”“Iya, iya, Tan. Tante perempuan hebat, eh, tunggu, Tan, itu, kok ada Darry, Tan. Dia masuk ke dalam, mau ngapaian dia?”“Darry? Darry mantan pacar Embun?”“Iya, awas aja kalau dia berduaan sama Embun! Ku tuntut dia dengan pasal perselingkuhan!”“Iya, coba kamu ikuti sana! Nanti Tante telpon lagi. Foto kebersamaan mereka biar jadi bukti!”“Tapi, aku gak bisa masuk, Tante. Ini aja keluarnya tadi diseret paksa sama security sialan itu! Pecat mereka, dong, Tan!&n
Bab 44. Kenapa Dadaku Kembali BerdebarPOV EmbunAku mengembalikan ponsel ke dalam tas kerja, lalu mengedarkan pandangan ke areal parkir. Mencari Surti yang sesaat tadi masih menatapku dari sudut sana. Tetapi, netra ini tak lagi menemukan. Mungkin kebetulan saja dia hendak membuang sampah, karena tadi aku sempat menegurnya, dia masih merasa tak enak. Makanya sering-sering manetapku, begitu kesimpulanku.Masuk ke dalam mobil, lalu melaju pulang ke rumah. Jalan raya mulai macet, aktivitas masyarakat yang baru kelar tugas, memadati sarana publik ini. Seperti halnya aku, yang tak sabar ingin bertemu dengan anak-anak.Sedikit kesal, lelah dan jenuh mulai mendera. Di persimpangan ini macet paling parah. Sialnya, aku tak sempat melewati lampu lalu lintas saat masih berwarna hijau. Padahal beberapa detik saja aku lebih cepat, tak akan terjebak di sini.Suara
Bab 45. Mas Ray Pulang Bawa Perempuan****“Enggak, Sayang! Papa enggak jahat, kok. Dia Cuma sedang banyak pikiran, jadi jangan ganggu, ya! Dan jangan pernah mau kalau diajak pergi! Paham!”“Paham, Ma. Laya bocan di taman, boyeh, keyuan, ya, Ma?”“Boleh, Sayang. Ayo, main di luar!”Bik Las langsung mengandeng tangan putriku, aku percaya, dia akan menemani dan mengawasinya dengan patuh.Radit terlihat gelisah dan mulai merengek. Mulutnya menempel liar di wilayah dadaku. Segera kupenuhi keinginannya. Mulut kecilnya langsung lahap menghisap Asiku.“Terima kasih, Rika. Kamu memang hebat!” pujiku menatap gadis itu lembut, begitu Radit mulai tenang.“Iya, Buk. Sudah tugas saya, menjaga keselamatan anak-anak,” jawabnya mengulas senyum.
Bab 46. Tiga Malaikat penolong di rumahku*****“Pak Ray! Bapak bilang aman di rumah! Bapak bilang mau ngasih pelajaran sama Ibuk! Tapi, kenapa Bapak gak berkutik! Dia menamparku, Pak! Balas! Tampar dia sekarang! Atau aku yang akan membalasnya!” ancam Sandra masih memegangi pipinya.“Oh, ya? Kau mau membalasku? Bangun! Turun dari ranjangku! Cepat! Balas aku kalau berani!” perintahku menatapnya tajam.“Kau keluar! Jangan ganggu kesenanganku!” Kali ini Mas Ray serius. Dengan mata memerah karena amarah, dia mencengkram tanganku, lalu sekali hentak, aku terjerembab di lantai, tercampak di luar kamar.“Pengecut! Beraninya sama perempuan! Sini hadapin aku!” Entah kapan mereka datang. Bik Las mendorong tubuh Mas Ray, terjerembab juga, persis di sampingku.“Bangun, Buk! Ayo!&rdq
Bab 47. Para pezina Pun terusir****“Stop! Jangan paksa majikan kami! Anda diminta keluar dari rumah ini, cepat keluar! Sebelum kami seret!” Rika melompat ke depanku. Bik Las langsung memasang kuda-kuda.Jujur, aku mau tersenyum, tapi cukup dalam hati tentu saja.“Embuuun! Aku tidak mau berakhir dengan cara seperti ini!” teriak Mas Ray mencoba menerobos perlindungan Rika.“Maaf, sudah kubilang jangan ganggu majikanku!” sebuah tendangan mendarat di pinggangnya. Rika melakukannnya.“Pergilah, Mas! Jangan sampai kau dan perempuan sundal mu itu, berubah jadi pergedel! Oh, iya, mobil ini aku ambil. Ini milik perusahaan, kau membelinya dengan uang perusahaan, kan? Pak Robin sudah mengakuinya kepada Manager keuangan, ok?” ucapku mengayun-ayunkan kunci mobil yang sempat dihadiahkannya pada orang tuanya.&nbs
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili