Bab 45. Mas Ray Pulang Bawa Perempuan
****
“Enggak, Sayang! Papa enggak jahat, kok. Dia Cuma sedang banyak pikiran, jadi jangan ganggu, ya! Dan jangan pernah mau kalau diajak pergi! Paham!”
“Paham, Ma. Laya bocan di taman, boyeh, keyuan, ya, Ma?”
“Boleh, Sayang. Ayo, main di luar!”
Bik Las langsung mengandeng tangan putriku, aku percaya, dia akan menemani dan mengawasinya dengan patuh.
Radit terlihat gelisah dan mulai merengek. Mulutnya menempel liar di wilayah dadaku. Segera kupenuhi keinginannya. Mulut kecilnya langsung lahap menghisap Asiku.
“Terima kasih, Rika. Kamu memang hebat!” pujiku menatap gadis itu lembut, begitu Radit mulai tenang.
“Iya, Buk. Sudah tugas saya, menjaga keselamatan anak-anak,” jawabnya mengulas senyum.
Bab 46. Tiga Malaikat penolong di rumahku*****“Pak Ray! Bapak bilang aman di rumah! Bapak bilang mau ngasih pelajaran sama Ibuk! Tapi, kenapa Bapak gak berkutik! Dia menamparku, Pak! Balas! Tampar dia sekarang! Atau aku yang akan membalasnya!” ancam Sandra masih memegangi pipinya.“Oh, ya? Kau mau membalasku? Bangun! Turun dari ranjangku! Cepat! Balas aku kalau berani!” perintahku menatapnya tajam.“Kau keluar! Jangan ganggu kesenanganku!” Kali ini Mas Ray serius. Dengan mata memerah karena amarah, dia mencengkram tanganku, lalu sekali hentak, aku terjerembab di lantai, tercampak di luar kamar.“Pengecut! Beraninya sama perempuan! Sini hadapin aku!” Entah kapan mereka datang. Bik Las mendorong tubuh Mas Ray, terjerembab juga, persis di sampingku.“Bangun, Buk! Ayo!&rdq
Bab 47. Para pezina Pun terusir****“Stop! Jangan paksa majikan kami! Anda diminta keluar dari rumah ini, cepat keluar! Sebelum kami seret!” Rika melompat ke depanku. Bik Las langsung memasang kuda-kuda.Jujur, aku mau tersenyum, tapi cukup dalam hati tentu saja.“Embuuun! Aku tidak mau berakhir dengan cara seperti ini!” teriak Mas Ray mencoba menerobos perlindungan Rika.“Maaf, sudah kubilang jangan ganggu majikanku!” sebuah tendangan mendarat di pinggangnya. Rika melakukannnya.“Pergilah, Mas! Jangan sampai kau dan perempuan sundal mu itu, berubah jadi pergedel! Oh, iya, mobil ini aku ambil. Ini milik perusahaan, kau membelinya dengan uang perusahaan, kan? Pak Robin sudah mengakuinya kepada Manager keuangan, ok?” ucapku mengayun-ayunkan kunci mobil yang sempat dihadiahkannya pada orang tuanya.&nbs
Bab 48. Rahasia Besar Kematian Mama****Astaga! Mama Siska berani datang menemui Mamaku, untuk apa? Sengaja untuk menyakiti hati Mama? Bisa kubayangkan, bagaimana sakitnya hati Mamaku saat itu. Ya, Allah, kasihan Mama.[Yang lebih mengejutkan aku, perempuan itu berkata, kalau mereka sudah lama menikah, Mas. Menikah di bawah tangan. Bayangkan, Mas! Adik sepupumu itu telah berkhianat. Kukira mereka hanya pacaran saja, ternyata malah membentuk keluarga baru di luar sana, tanpa sepengetahuanku. Apa yang harus kulakukan, Mas? Haruskah aku minta pisah dengan Mas Rahmad? Jika itu kulakukan, bagaimana dengan putri kita, Mas? Dia tengah kusiapkan menjadi penggantiku untuk mengurus perusahan milikmu ini kelak. Embun sedang kuliah semester ke tiga, Mas. Aku tak mau dia frustasi, lalu berhenti kuliah. Siapa yang akan menjaga perusahaan kamu ini, kalau bukan dia, Mas? Biarlah, kutahan derita batin ini, demi Embun putri kita. Demi amanat
Bab 49. Office Girl Diperintahkan Untuk Membunuh Embun****“Tunggu!”Aku tersentak. Aku kenal suara itu. Mas Darry. Gawat! Kenapa mesti dia, sih, yang aku tabrak? Cari masalah aja! Ok, aku harus pura-pura berani. Gak boleh takut.“Bukankah saya sudah minta maaf,” ucapku seraya membalikkan badan.Lelaki itu tak menyahut, matanya fokus ke sebuah buku tulis di tangannya. Hey, bukankah itu buku catatan Mama? Ya, Tuhan, bagaimana bisa ada di tangannya? Apakah terjatuh saat bertabrakan tadi?“Kembalikan!” sergahku mencoba merebut buku itu.Lelaki jangkung itu, meninggikan tangan, jelas aku tak dapat menjangkaunya. Tinggi tubuhku hanya sebahunya. Tangan ini menggapai-gapai, namun gagal. Tak sadar tangan kiriku menyentuh bahunya, menekan agar dia menunduk, sementara tangan kanan menggapai lagi.Terlalu
Bab 50. Anak-anak Diculik*****“Embun, Boleh aku masuk? Ada Mas Darry juga ini, katanya penting banget mau ketemu kamu?”Itu suara Dian. Mas Darry ada di luar? Bagaimana bisa dia menyusul ke sini? Oh, Dea. Pasti gadis itu yang melapor padanya. Bukankah Mas Ray telah mengancamnya agar jangan mendekatiku? Ah, persetan semua ancamannya.“Masuk!” perintahku tanpa berpikir panjang.Mas Darry masuk diiringi Dian dan Om Ramlan.“Oh, jadi ini yang namanya Surty, OG kesayangan Mendiang Tante Ridha? Orang terakhir yang berinteraksi dengan Mendiang. Dengan memberikan segelas air teh manis hangat? ”Mas Darry langsung memberondong.Surty mendongah. Menatap Mas Darry dengan wajah pucat.“Telpon polisi dan pengacara Embun, sekarang juga!” perintah laki-laki itu&nbs
Bab 51. Siapa Yang Menculik Anak-anakku?****Rasa takut mencekik, aku tak bisa bernapas lagi. Tak sanggup menahan bobot tubuh, jatuh luruh badan ini ke lantai. Namun segera ditangkap oleh Mas Darry, memeluk, untuk menahan tubuhku.“Tenang! Tenang, Embun! Kalau kau panik, tidak akan bisa menyelesaikan masalah! Tennag, ya! Mereka pasti baik-baik saja! Anak-anakmu pasti selamat. Kamu tenang! Agar kita bisa berpikir dengan jernih! Yang kuat, ya!” Mas Darry mendudukkanku di bibir ranjang.“Ini pasti perbuatan Mas Ray. Atau Mama Siska! Mereka jahat! Anak-anakku tak tahu apa-apa ….” Sesegukanku masih berlanjut.“Kalau memang pelakunya suamimu atau mamamu, berarti keselamatan anak-anak malah terjamin, kan? Karena tak mungkin mereka menyakiti darah dagingnnya sendiri, kamu tenang aja, ya!”“Bagaimana kalau me
Bab 52. Janji Bertemu Tante Girang******“Baik, kamu jagain Bik Las dan Bik Anik sekalian, ya!” titahku melepas genggaman.“Baik, Buk.”Melangkah ke luar ruangan, kudapati Mas Darry tengah menerima telepon. Dia tak menyadari kehadiranku, pelan kudekati, tak sengaja menguping pembicaraannya.“Maksud Tante, apa?” tanyanya pada seseorang, temannya berbincang di telepon pintar miliknya.“Apa? Aku harus menemui Tante? Di hotel itu?”Aku terkjut, sama seperti terkejutnya dia. Bertemu tante-tante di sebuah hotel, apa maksudnya? Siapa Tante-tante yang ngajak Mas Darry ketemuan?“Jangan gitu, dong, Tante! Masak sekejam itu, sih?” ucap Mas Darry lagi. Aku tak ingin berprasangka buruk. Mungkin saja ada sesuatu yang tengah mereka perbincangkn. Aku tak bo
Bab 53. Telepon Dari Mantan Baby Sitter******“Embun, aku tak punya hubungan dengan Mamamu, ok! Aku tak pernah berzina dengannya. Kau tentu tahu aku siapa? Apakah kira-kira aku type lelaki seperti itu? Tapi, jika kau tak percaya, terserahlah! Saat ini, aku sedang tak ingin membahas hal itu. Rasa cemburumu, simpan saja dulu.”Gila! Dia malah menuduh aku cemburu. Apakah memang aku cemburu? Tidak! Tidak mungkin aku sempat merasakan perasaan seperti itu, di tengah suasana genting seperti ini.“Aku justruu bingung sekarang, langkah apa yang seharusnya kita tempuh. Tante Siska mengancamku, jika aku lapor polisi, maka dia tidak akan segan-segan menyakit anak-anakmu. Dia memintaku menemuinya di hotel itu, sebagai syarat utama, dia tidak akan menyakiti anak-anakmu. Selanjutnya dia akan bernegosiasi denganmu, melaui perantara aku begitu katanya, Embun. Tapi, jika
Bab 206. Tamat Mas Ray berjalan dengan hati-hati. Kubawa memutar dari halaman samping, agar tak usah masuk ke dalam rumah. Waspada harus tetap kujaga. Meski dia bilang sudah bertobat, namun rasa khawatir belum juga bisa sirna sepenuhnya. “Itu suara celoteh mereka?” lirihnya menghentikan langkah, seolah-olah menajamkan pendengaran. “Ya, Raya sudah enam tahun, Radit empat tahun. Mereka sehat dan cerdas. Ayo, kita lihat!” Kulanjutkan langkah. Mas Ray mengikutiku. “Di sini saja!” perintahku menghentikan langkah. “Itu mereka?” gumamnya menatap ke arah kolam renang. Matanya meredup, tetiba mengembun. Beberapa butir air bening luruh di kedua sudut cekungnya. “Ya, itu Raya dan Radit.” “Raya sudah tidak celat lagi sepertinya kalau berbicara?” “Ya, dia sudah bisa berbicara dengan la
Bab 205. Kunjungan Suami PertamakuTiga tahun kemudian“Ada Pak Ray, Buk!” Bik Anik berjalan tergopoh-gopoh mendatangi aku dan anak-anak di halaman samping.Rika sedang sibuk menyuapi Dava, anak bungsuku dengan bubur bayi. Raya dan Radit tengah berenang. Aku harus membantu Rika mengawasi mereka.Aku dan Rika saling tatap, demi mendengar laporan Bik Anik. ‘Pak Ray’. Nama itu sudah sangat asing terdengar di rumah ini. Anak-anak bahkan tak mengenalnya. Tiga tahun sudah sejak kami sah bercerai, selama tiga tahun itu pula dia tak lagi pernah hadir di dalam perbincangan kami. Raya dan Radit sama sekali tak mengenalnya. Meski dia adalah ayah biologis mereka. Bagi anak-anak, Mas Darry adalah satu-satunya sosok ‘Papa’.“Ibuk, gimana?”Aku tersentak. Bik Anik masih terlihat panik.&nbs
Bab 204. Sambutan Calon Mertua LaylaPOV Embun=====“Kakak yakin mau usaha di kampung aja?” tanyaku sekali lagi meyakinkan Kak Layla.“Yakin, Dek. Kakak gak bisa di kota besar ini. Mau kerja apa Kakak di sini, coba? Di kantor, kakak gak punya ilmu apa-apa, gak ada bakat juga. Bekal pendidikan Kakak juga gak memadai. Suntuk Kakak tinggal di kota besar ini.”“Serius Kakak mau buka ternak di bekas rumah kakak itu? Gak kasihan sama ipar kakak?”“Mantan, dia bukan iparku lagi.”“Trus Kakak mau tinggal di mana, dong? Di bekas rumah juragan Sanusi?”“Tidak, rumah itu terlalu menyakitkan bagi Kakak untuk ditinggali. Banyak kesakitan yang akan selalu melintas di benak. Seperti mengenang luka saja.”“Trus?”“Kala
Bab 203. Akhir Cinta Liza Bermuara BahagiaLelaki itu meraih kunci mobilnya dari saku sambil berjalan. Tanpa menoleh lagi, kakinya melangkah menuju teras, langsung ke halaman, di mana mobilnya terparkir. Kaki ini serasa tertancap, begitu berat untuk digerakkan. Mulut ini terasa kaku, lidah pun kelu, tuk mengucap sekedar sepatah kata, untuk mencegahnya pergi.Benak dipenuhi bimbang. Bagaimana sebenarnya perasanku pada dokter itu. Benarkah rasa pada Mas Ray mengalahkan rasaku untuknya? Hey, berfikirlah Liza! Berfikirlah cepat?Bagaimana bisa seorang durjana, seorang narapidana, bahkan kini mengalami gangguan jiwa, bisa menjadi rival bagi seorang pria seperti Dokter Indra? Di mana logikanya? Dokter Indra yang begitu baik, sopan, serius, tak pernah menyakiti hati meski tak sengaja. Tak pernah, sama sekali tidak pernah.Mungkin sikapku te
Bab 202. Ektrapart Liza (Dillema Berakhir Juga)====Aku tersentak kaget, saat Deo memberitahu tentang kondisi terakhir Mas Ray. Jujur, hati teramat sakit mendengar berita ini. Bagaimana bisa aku sanggup mendengar kabar tentang deritanya? Tidak, aku tidak sanggup sebenarnya. Pria itu kini dirawat di rumah sakit jiwa.Aku memang perempuan bodoh. Berkali disakiti, dikhianati, bahkan di injak-injak harga diri ini. Namun, rasa di hati tak pernah sungguh-sungguh mati. Rasa itu tetap ada, meski tak bersemi lagi. Rasa itu telah memilih tempat yang dia ingini. Di sini, di relung hati ini.Mas Ray adalah cinta pertama bagiku. Untuk pertama kali aku mengenal yang namanya laki-laki, itu adalah Mas Ray. Awalnya terasa begitu indah, cinta tumbuh subur di hati, berurat dan berakar tanpa penghalang, bahkan kami telah merencanakan pernikahan. Hari lamaran pun ditentuka
Bab 201. Mas Ray Terpaksa Di Bawa Ke Rumah Sakit Jiwa“Maaf, Raya dan Radit masih sangat kecil, tak bagus bagi mereka berada di lokasi tahanan itu, saya juga gak mau psikologis Raya terganggu, saat melihat papanya di dalalm kurungan. Maaf sekali, saya tidak bisa mengizinkan.” Itu jawaban Kak Embun. Papa dan Mama hanya bisa pasrah.Mas Ray menemui kami dengan dengan diantar oleh seorang petugas lapas. Sama sekali dia tidak mau menatap wajah kami. Berjalan menunduk, lalu duduk di depan kami, masih dalam keadaan menunduk. Tubuh kurusnya membuat hati miris, begitu besar perubahan penampilan abangku ini.“Ray, kamu sehat, Nak?” Mama memulai pembicaraan.Diam membisu. Tak ada jawaban dari mulutnya. Wajah dengan tulang pipi menonjol itu masih menunduk menekuri lantai.“Kamu mikiri apa, Ray. Masa tahananmu hanya beberapa t
Bab 200. Rencana Lamaran Papa “Saya disuruh nanya Bapak dan Emak, kata Bapak, mau datang.” “Papa mau datang ke rumah Bik Las?” Wanita itu mengangguk. Menunduk malu-malu. “Papa mau ngelamar Bik Las?” cecarku lagi. “Maaf, Buk.” “Kok minta maaf? Saya malah bangga. Saya lega benar, akhirnya kalian sepakat juga.” “Makasih, Buk. Jadi, Buk Embun setuju?” “Sangat setuju.” “ Makasih, kalian memang anak-anak yang baik.” “Kalian? Maksudnya?” tanyaku terperangah. “Anu, Buk Embun dan Buk Layla. Kalian anak-anak yang sangat baik,” jawabnya tersipu. “Kak Layla juga setuju?” “Ho-oh, kemarin ditelpon Bapak.” “Apa kata Kak Layla?” “Kata Buk Layla, di
Bab 199. Embun Hamil?“Raya, Sayang! Om Dokter mau ngobrol sebentar ya! Raya main sana sama Kak Diyah!” bujukku kemudian.“Ya, Mammma. Oom danan puyang duyu, ya! Nanti tita main tuda-tudaan!” pintanya memohon pada Dokter Danu.“Iya, Sayang. Nanti kita main.” Dokter Danu mengelus kepalanya.“Dadah Om Dokten!”Raya beringsut turun dari pangkuan Dokter Danu, lalu berlari kecil menuju ruang tengah, di mana Diyah dan yang lain sedang berkumpul.“Ada apa ini, tumben datang berdua ke sini, ini udah hampir malam, lho?” tanyaku berbasa basi.“Anu, aku … mau minta maaf, kejadian tadi pagi,” jawab Dian terbata-bata.“Oh, gak perlu minta maaf, apalagi pakai acara datang ke sini segala! Tadi aku memang a
Bab 198. Asmara Di Dalam MobilWajah Mas Danu semringah, senyumnya terlihat samar di bawah penerangan lampu mobil yang temaram. Aku bahagia melihat senyum kebahagiannya. Inilah cinta sejati. Kita akan sangat bahagia, saat melihat pasangan kita bahagia.“Kenapa menatapku begitu?”“Oh,” gumamku menunduk. Pasti wajah ini merona, kurasakan ada getaran hangat yang menjalar di kedua pipi.“Sekarang kamu jawab permintaanku tadi! Diva menunggu jawabanmu!” Mas Danu bertanya lagi. Dan aku berdebar lagi. Bahkan kian hebat kini.Momen ini terasa sangat istimewa. Kini aku memahami, mengapa banyak perempuan bilang bahwa saat yang paling mendebarkan itu adalah saat sang kekasih meminta kita menjadi pendampingnya. Bukan hanya sebagai pacar semata. Artinya dia telah benar-benar mantap dengan pili