Reza bangkit berdiri lalu menjabat tangan Raka. "Saya Reza, teman Maya sekaligus atasannya di kantor,” Tatapannya lurus, sama sekali tidak goyah.
Raka tampak canggung, tetapi akhirnya ikut menjabat tangan Reza. "Saya Raka, adik iparnya,"
Maya segera menyela. "Mantan ipar, Raka," ralatnya.
“Oh ya?” Raka menautkan alis. “Aku tidak ingat kamu sudah bercerai dari Mas Bima, Kak,”
"Selamat menikmati makan malammu, Raka,” Maya buru-buru mengubah topik.
Raka tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirnya hanya mengangguk kecil dan kembali ke meja rekan-rekannya.
Setelah memastikan Raka benar-benar pergi, Reza menoleh ke arah Maya. Tampak wa
Maya berdiri di antara mereka, wajahnya pucat. “Jangan buat keributan di sini, Bim! Sebaiknya kamu pergi,”Bima menunjuk Maya dengan jarinya, ekspresinya penuh amarah. “Kamu pikir, kamu bisa sembunyi dariku? Aku akan mencarimu kemanapun, bahkan ke sudut paling ujung bumi ini!” bentaknya. “Kamu tetap istriku yang sah!”“Istri?” Hati Maya terasa amat sakit. Dia teringat akan kemesraan Bima dan Nina tempo hari di rumahnya. “Kamu asyik bersama wanita lain dan kamu menyebutku istri?”Reza melangkah maju, melindungi Maya dari Bima. "Cukup! Kalau kamu terus ganggu Maya, aku tidak akan tinggal diam!”“Apa yang akan kau lakukan, hah!” tantang Bima. Dia tersenyum sinis. “Aku tahu, kau punya maksud
Maya berdiri di depan pintu tokonya yang baru saja selesai dihias dengan cantik. Spanduk bertuliskan nama tokonya melambai lembut terkena angin. Akhirnya setelah hampir seminggu berkutat dengan pembukaan toko, hari ini semua terealisasi."Akhirnya," Maya berbisik sambil menatap papan nama toko dengan mata yang berkaca-kaca.Reza dan Hana datang beberapa menit kemudian. Membawa kotak-kotak kecil yang ternyata berisi peralatan tambahan untuk toko."Selamat, Maya,” kata Reza sambil menyerahkan kotak pada salah satu pegawai.“Kamu benar-benar luar biasa, May," Hana menimpali, memeluk Maya erat. "Ada yang perlu kita bantu?""Terima kasih sudah datang,” balas Maya. “Aku cuma butuh bantuan untuk menata beberapa barang dan menyiapkan area kasir," jawab Maya, tersenyum.Ketiganya langsung sibuk membantu mengatur interior toko. Hana dengan cekatan menata barang-barang di rak, sementara Reza membantu menyusun meja kasir dan memastikan semua peralatan elektronik bekerja dengan baik.Beberapa pela
Maya tiba di rumah Bima. Tangannya menggenggam map berisi surat gugatan cerai yang sudah dia siapkan matang bersama pengacaranya. Setelah kabar pernikahan Bima dan Nina beredar, Maya memutuskan untuk mengambil keputusan ini. Saat pintu rumah terbuka, Bima muncul di ambang pintu dengan ekspresi kaget. “M-Maya?” Namun dia langsung berusaha menguasai diri. “Ada apa datang kemari?”Maya mengeluarkan map dari tasnya dan menyerahkan map itu pada Bima. "Ini surat gugatan cerai. Aku sudah menandatanganinya. Aku hanya perlu tanda tanganmu,"Mata Bima membulat. "Cerai? Kamu bercanda, kan?”Maya mengangkat dagunya. “Apa pernikahanmu juga hanya bercanda? Pernikahanmu dengan Nina,”Bima terkesiap. “Darimana kamu tahu soal itu?”“Jangan konyol, Bim!” seru Maya. “Pernikahan itu bukan aib, dan sudah sepantasnya semua orang tahu!”Bima tertawa sinis. "Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa aku?”Maya balas tertawa. Bahkan sedikit lebih keras. "Kamu lupa, Bima. Semua ini, termasuk rumah yang kamu tinggali s
Maya menatap tokonya dengan penuh kebanggaan. Sejak dibuka beberapa minggu lalu, bisnis Maya terus menarik perhatian masyarakat sekitar. Kualitas produk yang ditawarkan serta konsep unik yang Maya usung menjadikan tokonya cepat dikenal.Setiap pagi, toko itu sudah ramai dengan pelanggan. Maya sendiri terjun langsung ke lapangan, melayani pembeli, mengatur stok, dan memastikan setiap detail berjalan dengan sempurna.“May, kamu harus pesan bahan lagi sebelum stok habis,” ucap Hana.“Oh ya? Cepat sekali!” Mata Maya berbinar bahagia mendengar laporan Hana.Reza baru tiba dengan membawa makan siang. Hana berseru senang, karena pria itu selalu datang berkunjung setiap akhir pekan. Dan selalu membawa banyak makanan.“Za, kamu memang temanku yang paling perhatian!” Hana mengacungkan jempol.“Tapi perhatianku bukan untuk kamu,” seloroh Reza asal.Hana merengut. “Tapi apa yang dimakan Maya, juga aku makan,”Mereka bertiga lantas tertawa. Hana memang sering membantu Maya mengurus toko, jadi suda
Nina duduk di sebuah meja bersama dua temannya. Gelas minuman di tangannya hampir kosong. Senyum Nina merekah saat mereka bercanda dan tertawa. Namun, saat dia melirik jam di pergelangan tangan, hatinya mulai gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jika dia pulang terlambat, Bima mungkin akan curiga."Aku harus pulang sekarang," katanya sambil meletakkan gelasnya di meja."Oh, ayolah. Kamu baru saja mulai menikmati malam ini, Nin," Salah satu dari mereka protes. "Kenapa buru-buru pulang? Kamu kan butuh melepas penat,”Nina menghela napas sambil memaksakan senyum. "Aku tahu,” sahutnya. “Tapi aku juga tidak bisa terlalu lama di sini. Kalau tidak, suamiku akan mencium bau alkohol di tubuhku. Aku tidak mau ribut," Nina angkat tangan. Membayangkan wajah murka Bima.Nina berdiri dari kursi, mengambil tas tangan yang tergeletak di meja. Sebelum pergi, dia sempat meraih satu permen mint dari wadah di bar. Dia mengunyahnya dengan cepat, berharap bisa menghilangkan aroma alkohol y
Bima mengetuk pintu kamar dengan pelan. “Boleh aku masuk?”Tidak ada jawaban dari dalam. Tetapi Bima memberanikan diri untuk membuka pintu sedikit. Dia melihat Nina duduk di tepi ranjang dengan punggung menghadap ke pintu. Bahunya sedikit berguncang, menandakan bahwa dia sedang menangis.Bima masuk perlahan, menutup pintu di belakangnya. Dia berjalan mendekati Nina dan berlutut di depannya. Mencoba menatap wajah wanita itu.“Ada apa?” tanya Nina, di sela tangisnya. Dia menghapus air mata dengan kasar.Bima menghela napas, mencoba meredam emosinya. Dia meraih tangan Nina, tetapi Nina menariknya kembali. “Aku tahu, aku banyak salah, Nin. Tapi aku ada di sini sekarang, bersamamu,”Nina memalingkan wajahnya, menolak untuk menatap Bima. “Aku lelah harus bersaing dengan bayangan Maya. Bahkan dia sudah tidak sudi melihatmu,”“Maafkan aku,” Bima meraih kedua tangan Nina, memegangnya erat. “Aku janji, aku akan melupakan Maya. Mungkin aku tidak bisa membuktikannya sekarang, tapi aku akan terus
Reza salah tingkah. Dia menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. “Ehm … bukankah kita pernah pacaran dulu? Kamu lupa, kamu pernah mengenalkan ayahmu?” Maya mengerjapkan mata. “Ah, iya benar!” Dia tertawa keras sekali. Merasa sangat konyol pada dirinya sendiri.Setelah kematian sang ayah, Maya merasa harus menyembunyikan identitas dari semua orang. Jadi ketika ada yang menyebut nama ayahnya lagi, tentu saja dia merasa terkejut.“May, kamu sudah makan siang belum?” tanyanya santai sambil melirik jam di tangan.Maya yang sibuk menyusun barang, berhenti sejenak dan mengerutkan kening. “Belum. Tapi sepertinya makan nanti saja saat toko agak sepi,”“Jangan begitu. Kamu harus tetap makan,” ujar Reza. “Aku tahu tempat makan enak di sekitar sini,”Maya tersenyum, tapi tampak ragu. “Tapi toko lagi ramai. Bagaimana kalau ada banyak pengunjung?”“Kan ada stafmu, May. Mereka bisa handle pekerjaan dengan baik,” sahut Reza. “Kamu juga perlu istirahat,”Maya akhirnya mengangguk. Meski
Hari itu, Maya sedang sibuk di tokonya. Seperti biasa melayani pelanggan dengan senyum ramah. Namun, ada sesuatu yang berbeda. Jumlah pelanggan yang datang jauh lebih sedikit dari biasanya. Suasana toko terasa sepi dan beberapa karyawan mulai saling berbisik. Maya mencoba mengabaikan hal itu, tetapi rasa cemas mulai menguasainya.Ketika dia masuk ke ruang belakang untuk memeriksa laporan penjualan, matanya melebar melihat angka yang jauh di bawah rata-rata.“Kenapa bisa begini?” gumamnya, mencoba memahami apa yang salah.“May, ada apa?” Hana yang baru saja datang langsung menyadari raut wajah Maya yang tegang.Maya menunjuk laporan di tangannya. “Penjualan kita anjlok, Han. Tadi pagi bahkan ada pelanggan yang datang hanya untuk mengeluh. Mereka bilang barang kita katanya palsu,”Hana terkejut. “Palsu? Siapa yang bilang? Semua barang di sini selalu kamu pastikan asli, kan?”Maya mengangguk. “Tapi ini bukan cuma soal penjualan. Aku juga dengar dari karyawan tadi, beberapa pemasok tiba-t
Raka tampak semakin gelisah. Sejenak dia mengelus tengkuk, seakan mencoba untuk menata hati sebelum bicara."Maya, aku butuh perlindunganmu," ujar Raka.Maya mengernyit. "Perlindungan?"Raka mengangguk, ekspresinya tegang. "Aku akan mengungkap sebuah rahasia. Rahasia yang bisa membuatku dalam bahaya,"Jantung Maya berdegup lebih cepat. "Apa maksudmu? Rahasia apa?"Raka menatapnya dalam-dalam. Lalu menunduk sesaat seolah sedang mempertimbangkan kata-katanya. "Ini soal Nina… dan sesuatu yang lebih besar dari itu,"Maya bisa merasakan ketakutan dalam suara Raka. Dia bukan pria yang mudah takut. Tetapi kali ini, wajahnya menunjukkan kecemasan."Aku akan memberitahumu semuanya sekarang. Aku tahu sesuatu yang akan mengubah segalanya," lanjut Raka. "Dan aku butuh tempat yang aman. Aku tidak bisa pulang ke rumah. Femil sudah mengancam akan membunuh istri dan anakku jika aku buka mulut,"Maya mengepalkan tangannya di atas meja. “Apa yang kamu tahu?”Raka menarik napas dalam-dalam sebelum menja
Femil berdiri dengan santai. Senyum tipis penuh kemenangan terukir di wajahnya. Sementara Nina menyilangkan tangan di dada, memandang Maya dengan tatapan penuh kebencian.“Pergilah. Jika kau masih sayang nyawamu,” ancam Femil sekali lagi.Maya menatap keduanya dengan tajam sebelum menghembuskan napas panjang. Dia melangkah mundur, lalu berbalik menuju pintu keluar.Saat tangan Maya menyentuh kenop pintu, dia berhenti sejenak dan berkata tanpa menoleh. “Aku akan mendapatkan rumahku kembali, entah bagaimana caranya. Nikmati kemenangan sementara kalian,”Setelah itu, Maya membuka pintu dan melangkah keluar tanpa menoleh lagi.Begitu Maya benar-benar pergi, Nina berbalik dan langsung meraih tubuh Femil. Melingkarkan lengannya di leher pria itu. Senyum kemenangan terukir di wajahnya.“Kita berhasil menyingkirkannya,” pekik Nina, tubuhnya menempel erat pada Femil.Femil terkekeh, tangannya otomatis melingkari pinggang Nina. Menariknya lebih dekat. “Tentu saja. Aku akan melakukan apapun untu
Maya menekan bel. Butuh beberapa saat sebelum pintu terbuka, dan sosok yang muncul di hadapannya adalah seseorang yang sudah tidak asing lagi—Nina.“Maya?” Nina terdengar terkejut, alisnya berkerut. Jelas, dia tidak menyangka Maya akan datang.Maya menatap Nina tanpa gentar. “Aku datang untuk mengambil kembali rumahku,”Nina tertawa sinis, menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan tangan terlipat di dada. “Rumahmu? Rumah ini milik Bima sekarang. Kau tidak punya hak lagi di sini,”Maya menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan amarahnya. “Rumah ini masih atas orang tuaku. Aku tidak pernah menyerahkannya secara legal pada siapa pun. Jadi, aku akan mengambilnya kembali,”Mata Nina membulat. “Kau pikir semudah itu? Bima yang tinggal di sini, aku istrinya, jadi—”“Tidak ada hubungannya,” potong Maya tajam. Nina terdiam, rahangnya menegang. Sejenak ekspresi panik terlihat di wajahnya. Sebelum dia kembali memasang senyum liciknya.“Dengar, Maya. Aku tidak peduli. Yang jelas, rumah ini s
“Saya ingin bertemu dengan Ibu Maya Anindita. Tolong sampaikan bahwa ini terkait dengan Pak Bima,” Arman menyebutkan nama dan tujuannya.Resepsionis itu mengangguk, lalu menghubungi seseorang melalui telepon internal. Tak lama, seorang asisten menghampiri Arman. Dan mempersilakannya masuk ke ruangan Maya.Ketika pintu terbuka, Arman melihat Maya yang sedang duduk di balik meja. Mengenakan blus putih dan blazer krem, tampak anggun seperti biasa.Maya mendongak, sedikit terkejut melihat kedatangan Arman. “Arman? Ada apa?”Arman melangkah masuk dan menutup pintu sebelum duduk di kursi di hadapan Maya. Dia menatap wanita itu dengan serius, lalu meletakkan map di atas meja.“Aku datang atas permintaan Bima,” kata Arman tanpa basa-basi.Maya menghela napas, menyandarkan punggungnya ke kursi. “Bima… bagaimana keadaannya?”“Dia sudah lebih baik. Tapi dia masih dalam pemulihan,” jawab Arman. “Dan salah satu hal pertama yang dia ingin selesaikan adalah soal rumah ini,”Maya mengerutkan kening.
Siang itu, ketika Bima sedang beristirahat di ruang keluarga, bel rumah berbunyi. Nina yang kebetulan sedang di ruang tamu segera bangkit dan membuka pintu. "Arman!" seru Nina, matanya melebar. “Bima pasti senang melihatmu datang. Ayo masuk!”Arman mengangguk. "Aku dengar dia sudah pulang,"Nina mempersilakan Arman masuk. Dan pria itu segera melangkah ke dalam ruang keluarga. Begitu melihat Bima yang duduk bersandar di sofa dengan wajah masih pucat, sorot matanya langsung berubah serius.“Akhirnya kau pulang juga,” tukas Arman, tersenyum lega.Bima tersenyum tipis, mencoba duduk lebih tegak. "Aku belum sepenuhnya pulih, tapi setidaknya aku sudah di rumah,"Arman mendekat dan duduk di kursi di dekat Bima. “Jangan khawatir, semuanya masih aman," ucapnya. “Kau tidak perlu mencemaskan kantor,”Bima mengangguk, tetapi ada kegelisahan di matanya. "Aku perlu bicara denganmu nanti, soal keuangan dan … hal lainnya," ucapnya, lebih pelan dari sebelumnya.Arman menangkap nada serius dalam suara
“Sayang … !” Nina berseru dengan suara gemetar yang dibuat-buat. “Akhirnya kamu sadar! Aku begitu khawatir … ”Tanpa memberi kesempatan bagi Bima untuk bereaksi, Nina langsung duduk di tepi ranjang dan menggenggam tangannya erat. Mata wanita itu berkaca-kaca, menatap suaminya.“Aku setiap hari berdoa untuk kesembuhanmu,” lanjutnya. “Aku tidak tahu harus bagaimana kalau sesuatu terjadi padamu … ”Bima menatap Nina dengan tatapan kosong. Wajahnya masih pucat, tapi sorot matanya jelas-jelas penuh dengan kelelahan. Dia tidak langsung membalas genggaman Nina, membiarkan begitu saja tanpa benar-benar merespons.Nina mengusap lengan Bima lembut. “Aku rindu sekali … ” bisiknya. “Kamu tidak tahu betapa aku tersiksa selama ini. Aku selalu ada di rumah sakit untukmu … ”Bima masih diam. Ada sesuatu di dalam hatinya yang menolak kata-kata Nina. Ingatan samar saat dia koma perlahan kembali. Tentang suara Maya yang selalu ada di sampingnya, bukan Nina.“Mana Abi?” tanya Bima tiba-tiba.Nina terkesi
Bima duduk bersandar di tempat tidur, tubuhnya masih lemah setelah sekian lama koma. Sudah beberapa hari sejak dia siuman, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Maya tidak datang lagi.Awalnya dia berharap Maya hanya terlambat atau sedang sibuk dengan sesuatu. Namun, Maya tetap tidak muncul. Tidak ada sosok lembut yang duduk di samping ranjangnya, tidak ada senyuman hangat yang menyambut saat dia membuka mata."Maya tidak akan datang lagi, Bima," ucap Sulastri lembut. Seakan tahu kegelisahan Bima.Bima menegang. Hatinya seakan ditikam sesuatu yang tajam dan menyakitkan. “Oh iya?” sahut Bima dengan suara parau.Sulastri menarik napas panjang. “Dia sudah memilih jalan hidupnya. Dia akan menikah dengan Reza,"Bima terdiam. Matanya menatap lurus ke arah ibunya. Tetapi pikiran Bima melayang jauh. Ada sesuatu yang mencengkeram dadanya begitu erat, membuatnya sulit bernapas."Aku tidak percaya," Bima menggeleng pelan, suaranya bergetar. "Maya tidak akan meninggalkanku begitu saja … Tidak setelah
Nina membuka pintu rumah dengan kasar. Dia masih dipenuhi amarah setelah apa yang terjadi di rumah sakit. Dadanya naik turun, emosinya masih menggelegak. Maya mengambil tempatnya. Bahkan Bima yang baru sadar pun menyebut nama Maya lebih dulu.Saat Nina melangkah masuk, suasana rumah tampak sunyi. Lampu-lampu temaram, menyorot ruangan dengan cahaya lembut. Namun begitu dia masuk lebih dalam, Nina langsung mendapati seseorang sudah menunggunya di sofa.Femil duduk dengan santai, salah satu kakinya bertumpu di atas meja. Sebatang rokok terselip di jari, asapnya melayang tipis di udara. Matanya menatap Nina dengan senyum licik."Akhirnya pulang juga," tukas Femil.Nina menggeram, melempar tasnya ke atas meja. Dia berjalan mendekat dengan wajah yang masih penuh kemarahan."Aku muak dengan semuanya!" pekik Nina. "Bima sadar, tapi yang pertama dia panggil adalah Maya! Dan semua orang berpihak padanya!"Femil menyeringai, lalu berdiri perlahan. Menghampiri Nina dengan langkah santai. "Bukanka
Maya berdiri di sudut ruangan, meremas kedua tangan. Seolah ingin menenangkan gejolak perasaannya sendiri. Sejak beberapa hari terakhir, dia nyaris tidak pernah meninggalkan rumah sakit. Hatinya terus dipenuhi kekhawatiran akan kondisi Bima. Namun kini, melihat perubahan yang terjadi, dadanya terasa sedikit lebih ringan.Matanya menatap sosok Bima yang masih terbaring di tempat tidur. Wajah Bima memang masih pucat, tapi napasnya jauh lebih stabil. Dan elektrokardiograf menunjukkan tanda-tanda yang lebih baik. Itu sudah cukup bagi Maya. Itu lebih dari cukup.Maya melangkah lebih dekat, berdiri di sisi ranjang Bima. Dia menatap wajah pria itu, mengingat bagaimana kondisinya saat pertama kali masuk rumah sakit. Saat itu, dia tidak tahu apakah Bima akan bertahan.Reza yang berdiri tak jauh darinya, memperhatikan ekspresi Maya. “Syukurlah, dia sudah membaik,” kata Reza lembut, tanpa nada cemburu.Maya menoleh. Dia mengangguk pelan. "Dia menyelamatkanku. Aku tidak mungkin bisa tenang kalau