Pagi itu, Nina bangun lebih awal dari biasanya. Waktu masih menunjukkan pukul empat subuh, dan rumah keluarga Harjono masih terlelap dalam keheningan. Nina melangkah pelan keluar dari kamar tamu, memastikan tidak ada yang mendengar derap langkahnya. Dia menatap sejenak ke arah pintu kamar-kamar lain, lalu tersenyum puas sebelum mengambil ponsel. Dengan hati-hati, dia membuka aplikasi pemesanan makanan online.Nina memesan berbagai hidangan mewah untuk sarapan pagi itu—nasi uduk lengkap, bubur ayam, serta aneka kue basah seperti pastel dan risoles. Tak lupa dia menambahkan jus buah segar dan kopi untuk melengkapi hidangan. Setelah memastikan pesanan selesai, Nina kembali ke kamar tamu dan menunggu dengan sabar hingga kurir tiba.***"Ada apa ini?" tanya Harjono dengan alis terangkat ketika dia tiba di ruang makan.Dia dan keluarganya tertegun. Meja makan sudah tertata rapi dengan berbagai hidangan. Di tengah semua itu, Nina berdiri sambil sibuk menuangkan jus ke gelas-gelas kaca. Rambu
“Aku sudah memikirkan ini sejak lama, Han,” ujar Maya, mengaduk teh hijau di depannya perlahan. “Aku ingin memulai bisnis kecil-kecilan. Sesuatu yang bisa aku jalankan sendiri, tanpa campur tangan siapa pun,”Hana mengangkat alis, lalu tersenyum tipis. “Kamu serius? Pasti butuh banyak waktu dan tenaga,”Maya mengangguk mantap. “Aku serius. Setelah apa yang terjadi, aku sadar aku harus lebih mandiri,” jawabnya. “Kalau aku bisa sukses dengan caraku sendiri, itu akan jadi pembalasan terbaik,”Hana menghela napas pendek, lalu tersenyum lebar. “Jadi, apa rencananya? Bisnis seperti apa yang kamu pikirkan?”Maya mengambil napas dalam, mencoba menyusun kata-katanya. “Aku ingin mulai dari yang sederhana. Mungkin toko online dulu. Fokus ke produk seperti kerajinan tangan lokal atau produk ramah lingkungan. Aku mau sesuatu yang tidak hanya menghasilkan uang, tapi juga memberi dampak positif,”“Itu ide bagus, May,” timpal Hana dengan mata berbinar. “Aku tahu beberapa pengrajin lokal yang mungkin
Reza bangkit berdiri lalu menjabat tangan Raka. "Saya Reza, teman Maya sekaligus atasannya di kantor,” Tatapannya lurus, sama sekali tidak goyah.Raka tampak canggung, tetapi akhirnya ikut menjabat tangan Reza. "Saya Raka, adik iparnya,"Maya segera menyela. "Mantan ipar, Raka," ralatnya.“Oh ya?” Raka menautkan alis. “Aku tidak ingat kamu sudah bercerai dari Mas Bima, Kak,”"Selamat menikmati makan malammu, Raka,” Maya buru-buru mengubah topik.Raka tampak ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirnya hanya mengangguk kecil dan kembali ke meja rekan-rekannya.Setelah memastikan Raka benar-benar pergi, Reza menoleh ke arah Maya. Tampak wa
Maya berdiri di antara mereka, wajahnya pucat. “Jangan buat keributan di sini, Bim! Sebaiknya kamu pergi,”Bima menunjuk Maya dengan jarinya, ekspresinya penuh amarah. “Kamu pikir, kamu bisa sembunyi dariku? Aku akan mencarimu kemanapun, bahkan ke sudut paling ujung bumi ini!” bentaknya. “Kamu tetap istriku yang sah!”“Istri?” Hati Maya terasa amat sakit. Dia teringat akan kemesraan Bima dan Nina tempo hari di rumahnya. “Kamu asyik bersama wanita lain dan kamu menyebutku istri?”Reza melangkah maju, melindungi Maya dari Bima. "Cukup! Kalau kamu terus ganggu Maya, aku tidak akan tinggal diam!”“Apa yang akan kau lakukan, hah!” tantang Bima. Dia tersenyum sinis. “Aku tahu, kau punya maksud
Maya berdiri di depan pintu tokonya yang baru saja selesai dihias dengan cantik. Spanduk bertuliskan nama tokonya melambai lembut terkena angin. Akhirnya setelah hampir seminggu berkutat dengan pembukaan toko, hari ini semua terealisasi."Akhirnya," Maya berbisik sambil menatap papan nama toko dengan mata yang berkaca-kaca.Reza dan Hana datang beberapa menit kemudian. Membawa kotak-kotak kecil yang ternyata berisi peralatan tambahan untuk toko."Selamat, Maya,” kata Reza sambil menyerahkan kotak pada salah satu pegawai.“Kamu benar-benar luar biasa, May," Hana menimpali, memeluk Maya erat. "Ada yang perlu kita bantu?""Terima kasih sudah datang,” balas Maya. “Aku cuma butuh bantuan untuk menata beberapa barang dan menyiapkan area kasir," jawab Maya, tersenyum.Ketiganya langsung sibuk membantu mengatur interior toko. Hana dengan cekatan menata barang-barang di rak, sementara Reza membantu menyusun meja kasir dan memastikan semua peralatan elektronik bekerja dengan baik.Beberapa pela
Maya tiba di rumah Bima. Tangannya menggenggam map berisi surat gugatan cerai yang sudah dia siapkan matang bersama pengacaranya. Setelah kabar pernikahan Bima dan Nina beredar, Maya memutuskan untuk mengambil keputusan ini. Saat pintu rumah terbuka, Bima muncul di ambang pintu dengan ekspresi kaget. “M-Maya?” Namun dia langsung berusaha menguasai diri. “Ada apa datang kemari?”Maya mengeluarkan map dari tasnya dan menyerahkan map itu pada Bima. "Ini surat gugatan cerai. Aku sudah menandatanganinya. Aku hanya perlu tanda tanganmu,"Mata Bima membulat. "Cerai? Kamu bercanda, kan?”Maya mengangkat dagunya. “Apa pernikahanmu juga hanya bercanda? Pernikahanmu dengan Nina,”Bima terkesiap. “Darimana kamu tahu soal itu?”“Jangan konyol, Bim!” seru Maya. “Pernikahan itu bukan aib, dan sudah sepantasnya semua orang tahu!”Bima tertawa sinis. "Kamu pikir kamu bisa hidup tanpa aku?”Maya balas tertawa. Bahkan sedikit lebih keras. "Kamu lupa, Bima. Semua ini, termasuk rumah yang kamu tinggali s
Maya menatap tokonya dengan penuh kebanggaan. Sejak dibuka beberapa minggu lalu, bisnis Maya terus menarik perhatian masyarakat sekitar. Kualitas produk yang ditawarkan serta konsep unik yang Maya usung menjadikan tokonya cepat dikenal.Setiap pagi, toko itu sudah ramai dengan pelanggan. Maya sendiri terjun langsung ke lapangan, melayani pembeli, mengatur stok, dan memastikan setiap detail berjalan dengan sempurna.“May, kamu harus pesan bahan lagi sebelum stok habis,” ucap Hana.“Oh ya? Cepat sekali!” Mata Maya berbinar bahagia mendengar laporan Hana.Reza baru tiba dengan membawa makan siang. Hana berseru senang, karena pria itu selalu datang berkunjung setiap akhir pekan. Dan selalu membawa banyak makanan.“Za, kamu memang temanku yang paling perhatian!” Hana mengacungkan jempol.“Tapi perhatianku bukan untuk kamu,” seloroh Reza asal.Hana merengut. “Tapi apa yang dimakan Maya, juga aku makan,”Mereka bertiga lantas tertawa. Hana memang sering membantu Maya mengurus toko, jadi suda
Nina duduk di sebuah meja bersama dua temannya. Gelas minuman di tangannya hampir kosong. Senyum Nina merekah saat mereka bercanda dan tertawa. Namun, saat dia melirik jam di pergelangan tangan, hatinya mulai gelisah. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Jika dia pulang terlambat, Bima mungkin akan curiga."Aku harus pulang sekarang," katanya sambil meletakkan gelasnya di meja."Oh, ayolah. Kamu baru saja mulai menikmati malam ini, Nin," Salah satu dari mereka protes. "Kenapa buru-buru pulang? Kamu kan butuh melepas penat,”Nina menghela napas sambil memaksakan senyum. "Aku tahu,” sahutnya. “Tapi aku juga tidak bisa terlalu lama di sini. Kalau tidak, suamiku akan mencium bau alkohol di tubuhku. Aku tidak mau ribut," Nina angkat tangan. Membayangkan wajah murka Bima.Nina berdiri dari kursi, mengambil tas tangan yang tergeletak di meja. Sebelum pergi, dia sempat meraih satu permen mint dari wadah di bar. Dia mengunyahnya dengan cepat, berharap bisa menghilangkan aroma alkohol y
Raka menelan ludah. Berusaha tetap tenang meski kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia melirik sekilas ke luar ruangan. Femil masih berdiri di sana, seolah menunggu dan mengawasinya.Bima menatapnya tajam. “Aku tunggu sampai kamu mau bicara,”Raka menghela napas panjang, mencoba menyusun jawaban yang masuk akal. Tidak mungkin dia mengatakan yang sebenarnya. Tidak dengan Femil yang berdiri di sana, dengan belati tersembunyi di balik jaketnya.“Nina memberiku uang untuk usaha,” jawab Raka.Alis Bima terangkat. “Usaha?”Raka mengangguk. “Aku dan Vina berencana membuka usaha. Kami sudah lama membicarakannya. Tadinya aku mau cari modal sendiri, tapi Nina tahu rencana ini dan menawarkan bantuan. Itu saja,”Bima menatapnya lama, seolah menimbang kebenaran dari kata-kata Raka.“Usaha apa?” tanya Bima akhirnya.Raka menghela napas. “Kami ingin membuka butik kecil. Vina sudah lama ingin punya bisnis sendiri,”Ekspresi Bima tetap tajam. “Kenapa Nina tidak bilang apa-apa padaku soal ini?”Raka ber
Raka menghela napas panjang. Lalu bersandar ke kursi, mencoba menunjukkan ekspresi tenang meskipun hatinya berdebar. “Aku sudah bilang, kan? Itu bukan urusanmu, Kak. Uang itu adalah urusan pribadiku dengan Nina,”Bima mendekat lagi, tangannya bertumpu di meja kerja Raka. Sorot matanya semakin tajam, penuh kecurigaan. "Uang ratusan juta itu berasal dari kartuku. Jadi, tentu menjadi urusanku sekarang,"Raka terdiam. Dia tahu Bima tidak akan menyerah sampai mendapatkan jawaban yang dia inginkan.“Atau aku harus bicara langsung dengan Nina?” tanya Bima, karena Raka tidak lagi bicara.Raka menatap Bima dengan rahang mengeras. Dia bisa merasakan detak jantungnya semakin cepat."Aku sedang butuh uang dan Nina menawarkan bantuan," jawab Raka. Hanya itu yang terlintas di otaknya sekarang.Bima menyipitkan mata, tidak puas dengan jawaban itu. "Butuh uang? Untuk apa?"Raka menggeram pelan. "Kamu tidak perlu tahu," katanya keras.Ruangan itu terasa semakin sempit karena tatapan tajam Bima yang ti
Bima duduk di ruang kerjanya, menatap layar laptop dengan dahi berkerut. Matanya terpaku pada laporan transaksi kartu kredit yang baru saja dia terima melalui email dari bank. Sebuah transaksi besar—ratusan juta rupiah—keluar dari salah satu kartunya.Dia menggeser kursi sedikit mendekat. Matanya menyusuri setiap detail laporan itu. Waktu transaksi, tempat, dan jumlah yang tertera membuat hatinya mulai dipenuhi tanda tanya. Dia tidak ingat pernah mengeluarkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat.Dengan rahang mengeras, Bima menghela napas dalam. Dia berusaha mengingat, tapi tidak ada satu pun pengeluaran yang sesuai dengan nominal tersebut.Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dan menekan nomor layanan bank. Setelah beberapa nada sambung, suara operator wanita menjawab.“Selamat siang, Pak Bima. Ada yang bisa kami bantu?”“Saya ingin konfirmasi transaksi di kartu kredit saya. Ada jumlah yang tidak saya kenali,” Bima langsung ke intinya.Operator itu meminta beberapa detail untuk
Maya masih berdiri di tempat, hatinya diliputi kebingungan. Kenapa Bima ada di sini?Bima yang masih berdiri di depan nisan orang tua Maya, menundukkan kepalanya sejenak. Seolah sedang menimbang kata-kata yang tepat. Udara di pemakaman terasa hening, hanya suara dedaunan yang berguguran terbawa angin yang terdengar di antara mereka."Aku datang ke sini bukan untuk mengganggumu, May," kata Bima akhirnya. Suaranya terdengar berat. "Aku hanya ingin melayat. Aku merasa bersalah pada ayah dan ibumu … ""Merasa bersalah?" ulang Maya, dingin.Bima menarik napas panjang, lalu berjongkok di depan nisan. Tangannya menyentuh batu dingin itu dengan penuh hati-hati, seolah sedang berbicara langsung kepada orang yang telah tiada. "Mereka menerimaku dengan baik saat aku menikah denganmu. Mereka mempercayaiku, menganggapku bagian dari keluarga. Aku berjanji di hadapan mereka untuk menjaga dan membahagiakanmu … tapi aku gagal," jelas Bima.Maya mengerutkan kening. “Semua sudah berlalu … “"Aku mengkh
Maya menutup mulut dengan tangan, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Dia menatap Reza, kemudian orang tua pria itu. Yang tampak begitu bahagia dan penuh harap.Segalanya terasa seperti mimpi. Tak pernah terpikir oleh Maya bahwa malam ini akan menjadi momen di mana hidupnya akan berubah selamanya.“Maya?” panggil Reza. Kali ini sedikit lebih khawatir karena wanita di hadapannya masih belum merespons.Maya menelan ludah, matanya mulai berkaca-kaca. Dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi suaranya seolah tertahan di tenggorokan.Hingga akhirnya, dia mengangguk. “Ya … Aku mau,”Seolah dunia berhenti berputar sejenak.Seketika suara tepuk tangan terdengar dari orang tua Reza. Bahkan beberapa tamu di restoran yang menyaksikan momen tersebut ikut bersorak.Reza tersenyum lega, lalu dengan hati-hati menyematkan cincin itu ke jari manis Maya. Setelahnya dia bangkit dan langsung menarik Maya ke dalam pelukannya.“Terima kasih. Aku sangat bahagia sekarang,” bisik Reza sambil memeluk M
Maya melangkah keluar dengan gaun sederhana berwarna biru tua. Rambutnya yang tergerai lembut berayun setiap kali dia melangkah. Maya sudah bersiap sejak setengah jam yang lalu, tapi tetap merasa sedikit gugup.Begitu dia sampai di lobi, Reza turun dari mobil dan berjalan menghampirinya. Pria itu mengenakan kemeja hitam dengan lengan yang digulung hingga siku. Begitu menawan. Senyum khasnya langsung menghangatkan hati Maya.“Kamu cantik,” puji Reza. Matanya menelusuri wajah Maya dengan penuh kekaguman.Maya tersipu. “Terima kasih. Kamu juga terlihat … luar biasa,” balasnya.Reza terkekeh pelan. “Jadi, siap untuk makan malam?”Maya mengangguk. “Tapi … kita mau makan di mana?”Reza membuka pintu mobil untuk Maya. “Itu kejutan,” katanya sambil tersenyum misterius.Maya menaiki mobil dan duduk, sementara Reza menutup pintu dan segera mengambil tempat di belakang kemudi. Mobil melaju perlahan meninggalkan apartemen. Lampu kota mulai menyala satu per satu, tampak begitu indah.“Setidaknya b
Siang itu, suasana rumah keluarga Harjono terasa lebih ramai dari biasanya. Meja panjang di tengah ruangan dihiasi dengan piring-piring berisi berbagai masakan mulai dari ayam panggang, sup hangat, hingga aneka lauk yang menggugah selera.Harjono sebagai kepala keluarga, duduk di kursi utama. Di sampingnya Sulastri tampak sibuk menuangkan sup ke dalam mangkuk. Wajahnya berseri-seri, terutama saat melihat Abi yang digendong oleh seorang pengasuh di dekat meja makan.“Lihat bayi kecil ini,” kata Sulastri. “Abi makin besar dan tampan saja. Dia benar-benar cucu kebanggaan keluarga Harjono,”Nina yang duduk di sebelah Bima hanya tersenyum tipis sambil melirik ke arah Sulastri.“Tentu saja,” sahut Harjono sambil menyantap makanan. “Abi adalah penerus keluarga ini,”“Ibu, bagaimana kabar toko?” Vina berusaha mengalihkan pembicaraan.Sulastri tersenyum dan mulai berbicara panjang lebar tentang tokonya. Dia memutuskan untuk membuka toko sembako beberapa bulan lalu, untuk mengisi waktu luang.D
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam ketika Nina mendengar suara mobil Bima memasuki garasi. Dia segera berdiri dan berjalan ke arah pintu, menyambut suaminya dengan senyum manis yang sudah dia latih sepanjang hari.“Sayang, kamu sudah pulang,” sapa Nina lembut saat Bima melangkah masuk ke dalam rumah.Bima tampak lelah. Dasi di lehernya sudah sedikit longgar dan kemejanya kusut setelah seharian bekerja.“Iya. Hari ini benar-benar melelahkan.” Bima menghela napas panjang sambil melepas sepatu.Nina dengan sigap menerima tas kerja Bima dan meletakkannya di meja. “Kamu mau makan dulu atau langsung mandi?” tanyanya dengan suara lembut.Bima mengusap wajahnya. “Mungkin mandi dulu biar segar,”Nina mengangguk mengerti. “Aku sudah siapkan air hangat di kamar mandi,”“Terima kasih,” jawab Bima singkat sebelum berjalan ke kamar mereka.***Setelah beberapa saat, Bima keluar dari kamar mandi dengan piyama. Dia duduk di tepi ranjang sambil mengecek ponsel, sesekali membalas pesan yang m
Suasana bengkel yang tadinya bising dengan suara mesin kini terasa sunyi di antara mereka. Seolah waktu melambat.“Aku tidak butuh tes DNA itu,” kata Nina keras. “Aku yakin, Abi itu anak Bima,”Femil menyipitkan mata, ekspresinya berubah dingin. “Kamu datang padaku, meminta bantuanku. Tapi kamu masih yakin Abi adalah anak Bima?”Nina menghela napas dengan frustrasi. “Ini bukan soal siapa ayah Abi!” teriak Nina. Aku butuh uang, dan kamu satu-satunya orang yang bisa membantuku sekarang,"Femil terkekeh sinis, menyilangkan tangannya di dada. “Kamu pikir aku akan membuang uang lima puluh juta begitu saja untukmu tanpa alasan yang jelas? Aku hanya butuh kepastian,"Nina mendengus. "Femil, tolonglah. Kamu tahu aku tidak punya siapa-siapa lagi yang bisa kumintai tolong," mohon Nina. Dari ekspresinya, tampak jelas kalau dia sangat putus asa.Femil menatapnya tajam. “Jika kamu yakin Abi itu anak Bima, kenapa tidak langsung meminta bantuannya? Kenapa malah datang kepadaku?"Nina terdiam. Dia t