Lalu obrolan mereka lanjutkan ke hal-hal yang lain. Terutama tentang bisnis dan pekerjaan. Aku yang tak mengerti apa pun hanya menoleh ke sana ke mari saat mendengar mereka bicara. Dan kuperhatikan, tampang Mbak Silvi dan Mas Raka sama kusutnya saat ini.Padahal hari ini hari yang begitu gembira menurutku. Sudah lama aku tak tertawa lepas seperti ini. Mas Deni ternyata sangat lucu orangnya. Padahal baru beberapa kali aku bertemu dengannya. Namun dia tampak akrab dan terkesan tidak menjaga jarak terhadapku.Tadinya kupikir setelah pertanyaannya waktu itu, dia akan menjauh dan tidak suka melihatku. Karena statusku sebagai istri kedua sangat buruk di mata siapa pun. Tapi, Mas Deni tidak begitu. Dia menganggapnya biasa saja. Malah sepertinya, dia terkesan segan, dan lebih menjaga jarak dengan Mbak Silvi. Padahal Mbak Silvi sudah sepuluh tahun menjadi bagian dari keluarga mereka.Untuk hari ini, Mama dan Mas Deni ikut makan malam bersama kami. Setelah itu baru pamit pulang. Rumah Mama dan
Mataku membelalak. Memberanikan diri menatap sesosok tubuh tegap yang kini telah berdiri tanpa jarak dariku. Memikirkan ulang ucapannya. Apa mungkin aku salah dengar.Malam pengantin katanya? Sesuatu yang tiba-tiba saja membuatku merinding. Apa itu artinya dia ingin mengambil haknya sebagai suami?Aku masih diam saja. Lututku gemetaran hingga tak dapat bergerak. Lalu kurasakan wajahnya kini berpindah tepat di hadapanku. Ada yang terasa hangat di kening ini, hingga aku tersadar dan sontak mendorong tubuhnya dengan begitu keras."Kenapa, Dek?" Dia begitu terkejut dengan sikapku."Mas mau apa?" tanyaku sembari mengusap kening bekas kecupannya."Mas mau melaksanakan kewajiban kita, Dek. Kamu lupa, kalau Mas ini suami kamu?" "Enggak! Delima nggak mau.""Apa maksud kamu? Kamu marah, karena selama ini Mas nyuekin kamu?""Bukan. Bukan hal ini yang seharusnya Mas lakukan. Sebaiknya Mas lanjutkan aja niat Mas dari awal." Aku mulai menangis. "Mas nggak ngerti kamu ngomong apa, Dek. Niat apa?"
Berdosakah aku, memikirkan laki-laki lain di saat aku masih sah menjadi istri seseorang? Sungguh aku pun benar-benar tak tahu diri, begitu berani menyukai laki-laki seperti dia. Laki-laki yang lebih pantas mendapatkan wanita yang jauh lebih baik dari pada aku."Ngaku kamu, Dek. Kamu suka sama Deni, kan? Untuk itu kamu meminta cerai dari Mas. Apa selama ini kalian berhubungan? Atau dia meminta kamu untuk segera bercerai?" Sikapnya mulai emosi."Tega Mas nuduh Delima seperti itu. Padahal semua ini sudah Mas rencanakan jauh-jauh hari!" sahutku tak mau kalah."Apa maksud kamu?" Matanya menyipit, memikirkan sesuatu."Delima sudah mendengar apa yang Mas dan Mbak Silvi rencanakan untuk membuang Delima dari kehidupan kalian. Delima tau semuanya!" ucapku tegas.Matanya membelalak kaget. Seketika tangan yang tadi mencengkeramku kini terlepas sudah. Wajah pucatnya memaksa kakinya untuk mundur menjauh dariku."Da_dari mana kamu mendengar hal itu?" Dia tergagap. Dia terlihat begitu syok. "Sejak ka
"Atau jangan-jangan, kamu mandinya pagi-pagi banget, ya?" Ledeknya lagi. "Kamu malu sama Mbak?" Belum lagi terjawab pertanyaanku tentang Mas Raka tadi, Mbak Silvi kembali bertanya."Eh, enggak, kok. Delima bahkan belum mandi sama sekali. Nanti aja sekalian, kalau sudah selesai beres-beres rumah." Aku menahan diri untuk tak mengatakan apa yang terjadi."Tapi kan...."Belum selesai Mbak Silvi meneruskan kata-katanya Mas Raka muncul. Sempat kulirik wajahnya yang terlihat lelah. Mungkin kurang tidur. Tak ada senyuman seperti pagi-pagi sebelumnya.Dia sudah berpakaian rapi hendak pergi ke kantor. Pasti saat Mbak Silvi turun, dia langsung naik ke kamar untuk mandi dan berpakaian."Sarapan dulu, Mas. Delima udah buatin coklat panas, sama roti bakar selai kacang." Mbak Silvi merapikan dasi suaminya."Nggak usah. Mas sarapan di kantor aja."Aku kembali melirik ke arahnya. Sepertinya dia sedang merasa tak enak karena ada aku. Tak disangka, ternyata dia juga melirikku, hingga pandangan kami seki
"Delima." Mbak Silvi memanggil saat aku sedang mengelap debu di ruang tamu. Hari sudah sore, namun karena tak ada kegiatan lain, aku bersih-bersih saja."Ada apa, Mbak?" sahutku."Jujur sama, Mbak. Ada apa di antara kamu sama Mas Raka.""Maksud Mbak apa? Delima sama Mas Raka nggak ngapa-ngapain.""Maksud, Mbak. Apa ada yang kalian sembunyikan dari Mbak?""Kenapa Mbak nggak tanya sama Mas Raka aja?" Aku mulai enggan tuk mencari-cari alasan, atau menutup-nutupinya lagi. Mulai bosan dengan sandiwara yang selama ini masing-masing kami jalani.Apa bisa seorang lelaki mencintai dua orang wanita sekaligus? Sedangkan aku sendiri yang waktu itu hampir jatuh cinta padanya saja, seketika bisa pupus karena kehadiran Mas Deni. Walaupun perasaan itu harus kupendam dalam-dalam."Jadi benar, terjadi sesuatu pada kalian?""Maaf, Mbak. Delima jadi ingat. Waktu itu Mbak pernah nanyak, apa Delima rindu kampung atau enggak. Kalau sekiranya Delima pulang, Mbak nggak kenapa-napa, kan?" Aku mulai membahas ni
Aku terkejut melihat siapa yang datang. Mbak Silvi pasti lupa menutup pintu saat Mas Raka pulang tadi. Memang biasanya hanya saat kami tinggal berdua saja aku baru telaten untuk mengunci pintu. Karena merasa takut hanya tinggal berdua saja di rumah besar seperti ini.Takut kalau-kalau ada yang masuk secara diam-diam, lalu bersembunyi. Ada banyak ruangan di rumah ini. Tak seperti di rumahku. Suara orang berbisik pun masih bisa terdengar. Aku takut orang itu akan beraksi saat malam hari, disaat semua orang sudah tidur. Seperti paranoid sendiri aku tinggal di rumah orang kaya seperti ini. Tapi lihatlah sekarang. Hanya karena aku tak ikut andil mengunci pintu depan, seseorang yang harusnya tak perlu mendengar, jadi tahu. Dan pasti akan berpikiran yang tidak-tidak. Padahal, semua ini sudah menjadi keinginanku sendiri. Tanpa paksaan, dan juga intimidasi dari siapapun."Keterlaluan kamu, Raka. Seenaknya saja memperlakukan istri kamu seperti itu. Dasar anak kurang ajar. Apa kamu nggak mikir
Mbak Silvi semakin ketakutan. Dia mencoba untuk bangkit dengan kepayahan. Refleks aku yang tadi duduk berlutut di bawah sofa, memeganginya."Jangan banyak gerak, Mbak." Aku memberanikan diri bersuara. Mbak Silvi tak menyahut. Lalu dengan pelan, menurunkan tanganku agar membiarkannya sendiri."Silvi lah yang meminta Mas Raka untuk menceraikan Delima, Ma. Silvi yang terus-terusan mendesaknya. Silvi yang egois dan ingin menguasai Mas Raka seorang diri." Dengan berlinang air mata ia menceritakan semuanya.Jujur, tak ada lagi yang ia tutup-tutupi. Demi rasa cintanya pada Mas Raka dia mengakui semua kesalahannya. Tak ingin laki-laki yang begitu ia cintai mendapat sumpah serapah dari wanita tegas yang ada di hadapan kami ini.Aku yang sudah tahu semuanya tak lagi merasa terkejut. Hanya menyayangkan, kenapa dia membeberkan semuanya sendiri. Padahal aku dan Mas Raka sudah sama-sama sepakat untuk meyimpan rahasia ini.Mencoba mencari alasan lain yang lebih tepat agar aku bisa meninggalkan rumah
Untuk ke dua kalinya aku menginjakkan kaki di rumah Mama. Sepanjang perjalanan kami hanya diam. Wajah Mama begitu tegang dan terlihat masih sangat marah. Oleh sebab itu, aku tak berani berkata apa pun. Bahkan untuk meminta pulang ke kampung.Mas Deni membantu membawakan tas pakaianku ke dalam. Rumah Mama besar. Namun dia hanya tinggal berdua saja dengan Bik Inah, asisten rumah tangga yang membantu pekerjaan di sini.Sebenarnya untuk urusan membereskan rumah, Mama masih sanggup seorang diri. Meski usianya hampir menginjak usia enam puluh tahun, tapi tubuhnya masih fit. Dia hanya merasa kesepian sendirian di rumah.Kedua anak perempuannya ikut suami masing-masing. Hanya saja beliau mewajibkan anak-anaknya untuk saling berkumpul, dan datang ke rumah minimal satu minggu sekali.Kalau tidak, dialah yang akan datang mengunjungi anak-anaknya. Seperti ketika Mbak Silvi sedang hamil saat ini. Dialah yang sering datang menjenguk, karena kondisi Mbak Silvi yang belum bisa bepergian. Makanya aku