Rasa suka dan takut bercampur menjadi satu. Aku suka Luna melakukan hal yang sangat tiba-tiba seperti itu. Tapi, kalau ada yang tega memisahkan kami, bagaimana?Aku tidak mau kehilangan. Ya, aku tidak mau dan tidak mampu. Ah, apaan sih? Pikiran macam apa ini? Luna istriku, siapa yang lebih berhak dariku, kecuali Tuhan."Kita akan tetap sama-sama 'kan, Sayang?" Pertanyaan bodoh terlontar secara tersengaja dari bibir ini. Terkesan lemah sekali. Ya, Luna memang kelemahanku. "Tentu saja, Mas! I'm yours and you are mine. Ayo!" Huh.Setelah turun dan membuka pintu untuk Luna, kami berdua berjalan bersisian bergandengan tangan.Jangan tanya rasanya seperti apa? Entahlah, apa mungkin wajahku akan boyok karena kakak-kakak Luna. Beberapa kali menekan bel, pintu mulai terbuka dan papa muncul di baliknya. Syukurlah, bukan yang lainnya."Eh, kalian sudah tiba rupanya. Ayo, masuk!" "Pa." Aku dan Luna bergantian mencium takzim tangan laki-laki paruh baya yang penuh wibawa itu. Lalu, kami men
"Ngapain?" tanyaku senyum-senyum."Udah yok! Cepetan!" Luna menarik tanganku dengan cepat. Seketika ingatanku mengenai masalah di resto jadi lenyap. Aku hanya mengikuti Luna dengan pasrah. Kok deg-degan ya?Setelah kami berada di kamar, Luna menutup pintu dan menyuruhku untuk duduk di ranjang. Waw, apa istriku akan mengambil kendali kali ini. Luna tampak berjalan ke arah nakas, seperti mengambil sesuatu dalam laci yang tidak bisa kulihat dengan jelas, karena posisinya yang berdiri membelakangi.Kini Luna berjalan menghampiri dan duduk si sampingku. Ada sesuatu dalam genggamannya. Menanggapi raut wajah penasaranku, Luna malah tersenyum dan meraih tanganku dan meletakkan sesuatu."ATM?" Aku menatap benda di tanganku dengan seksama. Ini ATM yang sudah kuberikan pada Luna waktu itu."Saldonya masih utuh. Semoga ini cukup.""Tapi, Sayang. Ini 'kan milik kamu.""Kan punya aku juga punya kamu, Mas. Apa salahnya bantu suami ketika sedang kesulitan. Lagian itu 'kan hasil kerja keras Mas s
Namun,pagi ini ... orang yang berhasil membuat hatiku hangat telah berhasil mengubahnya dalam semalam. Cukup singkat waktunya. Suasana hatiku berubah saat ini. Panas. Sampai ingin menghancurkan ponsel yang berada di tanganku."Mas, ayo sarapan dulu." Aku menoleh ke arah Luna yang kini berdiri di depan pintu. Senyumnya cukup sumringah seperti tidak sedang menyembunyikan apapun dariku. "Luna ...." aku menatapnya entah, tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang tengah kurasakan melihat raut wajah yang dia tunjukkan."Iya, Mas. Kenapa?"Aku menghampirinya dengan nafas berat. "Laki-laki yang memeluk istriku dalam foto ini ... siapa, Luna?" Aku menyodorkan ponsel padanya, menunjukkan foto yang kuterima beberapa menit yang lalu lewat aplikasi WA. Dari nomor tak di kenal. "Mas, i—ini ....""Jawab, Luna! Ini laki-laki yang waktu itu pernah datang ke rumah kita, kan? Dia juga yang pernah joging sama kamu waktu itu kan?" Luna tampak meremas jemarinya, sesekali menatapku ke arahku sebelum
Keyakinan merupakan suatu pengetahuan di dalam hati, jauh tak terjangkau oleh bukti—Kahlil Gibran.Suara hati Dipta:Kenapa aku harus kecolongan lagi? Sehancur apa lagi hatinya karena ulahku kini? Maaf, aku yang terlalu bodoh untuk memahami kamu..Tiba di area yang sepi, aku menepikan mobil dan duduk di bahu jalan. Dadaku mulai penuh bertambah dengan pikiran yang semakin kacau. Riuh sekali. Oh, kini aku paham. Betapa sakitnya dikhianati. "Tega sekali kamu, Luna!" Aku meremas rambut kuat-kuat. Sakitnya masih belum sebanding dengan perih yang mulai menyelimuti dadaku. Tahukan, betapa pentingnya harga diri bagi seorang laki-laki. Dan seseorang baru saja menghancurkannya. Andai aku masih di sana, mungkin sudah kuhabisi laki-laki itu."Bajingan!""Dasar pengkhianat!" Huft!Berteriak membuatku sedikit lega, meski nafasku mulai terengah-engah. Setelah puas menangis dan meraung seperti orang gila, aku memutuskan untuk pulang. Pulang dengan sepotong hati yang tak lagi utuh, seperti mat
Tindakan adalah cinta yang ditunjukkan—Kahlil Gibran. .Tempat pertama yang menjadi tujuanku adalah kafe, di mana aku meninggalkan Luna tadi sore. Bersama ... laki-laki yang sangat ingin kuhabisi itu. Emir. Laki-laki itu ingin menghancurkan rumah tanggaku dan merebut Luna dariku. Dan bodohnya, aku baru sadar setelah tertampar dengan perkataan Riko. "Argh ...!"Tiba di kafe, aku langsung memarkirkan mobil, dan segera turun berjalan ke titik di mana kami sempat beradu mulut beberapa jam yang lalu. Sebelum hari segelap ini. Tapi, nihil. Istriku tidak ada di sana. Bayangnya pun tidak tertinggal sama sekali. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku berinisiatif masuk ke dalam kafe, langkahku terhenti di depan pintu kaca itu, sementara mataku menelusuri setiap sudut ruangan yang lumayan luas itu untuk mencari keberadaan Luna. Tapi, tidak kutemukan tanda-tanda istriku berada di salah satu meja pun. Aku juga sempat bertanya pada beberapa laki-laki muda berseragam tertentu, dengan menceritaka
Aku mencintaimu lebih dari kata-kata yang dapat menguasai masalah, lebih mahal dari penglihatan, ruang dan kebebasan—William Shakespeare.."Sayang, bangunlah! Jangan buat aku takut!" jeritku dengan suara tertahan. Namun, air mata sudah mengalir deras di kedua pipi. Mungkin jika dideskripsikan, aku seperti anak kecil yang sedang menangis ketakukan karena sesuatu yang berbahaya baru saja terjadi dengan ibunya.Sebagaimana besarnya ketakukan anak kecil itu. Seperti itulah rasa takut yang kini menghampiriku. Hatiku menjerit keras, memaksa benda-benda langit yang sedang melihat ku dalam keadaan menyedihkan dari atas sana agar ikut membantuku membangunkan Luna. "Mbaknya kenapa, Mas?" Aku menoleh ke arah seorang wanita yang melintas dan berdiri di dekat kursi yang kududuki, kutaksir usianya sebaya dengan istriku."Enggak tau, Mbak. Tiba-tiba istri saya tidak sadarkan diri," ujarku tanpa bisa menyembunyikan isak tangis. Masa bodoh wanita ini akan mengira aku laki-laki cengeng. "Coba ini
Jika Anda menemukan seseorang yang Anda cintai dalam hidup Anda, maka pertahankan cinta itu—Lady Diana_Princess of Wales. .Gerakan tanganku yang memainkan rambutnya membuat Luna terusik hingga tubuhnya menggeliat. Memaksaku untuk menahan gerakan tangan sebentar sampai wanita yang memiliki tempat spesial di hatiku itu tampak kembali nyaman dalam tidurnya. Menit kemudian, aktivitasku yang semula kembali berlanjut. Memainkan rambut hitam legam sepinggang milik Luna. Yang tidak lama ini sudah dia tutupi dengan hijab di depan orang-orang selain aku. Semuanya milikku, kan, Lun?Tentu saja, makanya aku tidak rela kalau sampai orang lain melihatnya. Aku meilirik jam yang menggantung di dinding kamar kami. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga lebih. Mata mulai terasa berat ditambah efek lelah setelah kegiatan kami yang baru saja selesai beberapa menit yang lalu. Tapi, aku tidak ingin tidur. Lebih tepatnya tidak boleh tertidur. Aku tidak ingin melewatkan kesempatan melihat wajah—yang ke dep
Tapi, tangannya tidak terus bergerak mengisi makanan ke piringku. Lucu, kan? Wanita memang seperti itu. Lain di mulut lain di hati. "Ya, enggaklah. Iya, kan, Mbok?" Aku menatap ke arah Mbok Asih mencari pembelaan."Hehe. Bapak, Ibu, kalau gitu saya permisi ke belakang dulu, ya." "Mbok Asih enggak ikut sarapan sama kita?" tanya Luna sembari menarik kursi di sebelahku."Enggak usah, Bu. Saya sarapan di belakang saja. Lagian Bapak dan Ibu pasti perlu waktu berdua sebelum Bapak pergi," jelas Mbok Asih kemudian berlalu.Meninggalkan kami yang saling menatap satu sama lain. "Sayang, kenapa kata-kata Mbok Asih mengandung unsur melankolis, ya? Apa Mbok sengaja?" tanyaku pada Luna."Iya, Mas. Tiba-tiba aku jadi sedih." "Apa sebaiknya Mas tidak jadi pergi saja?" Aku mencoba memberi saran. Seketika raut wajah istriku yang tadinya sendu tampak seperti singa yang siap menerkam mangsa."Hehe. Mas cuma bercanda kok, Sayang. Ayo, kita sarapan.""Eh, tapi ingat ya, Sayang. Hukumannya jangan sampa
Tidak sesuai ekspektasi, Mimi—sang manager kepercayaan Denaya kembali ke rumah sakit dengan tangan kosong. Bahkan saat di jalan tadi, Mimi sempat khawatir membayangkan bagaimana bosnya akan mengamuk. Mengingat watak Denaya yang emosian dan tidak sabaran, Mimi sudah bisa membayangkan bagaimana hasilnya nanti.Watak yang kurang menyenangkan itu selama ini ditutupi oleh kecantikan, ketenaran dan kehormatan sebagai istri seorang Abinawa selama ini. Dan tentu saja mata Abinawa juga tertutup oleh cinta—sehingga buta dengan akhlak istrinya yang kurang terpuji. Namun, itu sebelum tabir terkuak. Sebelum Baby Shanum datang ke dunia ini dan segala misteri di balik kehadirannya. Sekarang mata Abinawa sudah terbuka lebar, pun hatinya yang tak lagi tersisa rasa cinta, melainkan kebencian yang tidak dapat dijelaskan dengan kata. Buktinya hampir saja Baby Shanum melayang ke sungai di malam yang lalu, andai saja gadis yang dianggapnya malaikat tidak datang menghampiri. Ruhi Ghumaisya. Menurut Ab
"Bibi sedang apa?" tanya Ruhi pada Bi Yuyu—asisten rumah tangga di rumah Abinawa. "Eh, Non Ruhi, ini Bibi ingin memasak untuk makan siang," jawab wanita paruh baya itu yang tampak cekatan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang hendak diolah dari kulkas. Ruhi yang melihat Bi Yuyu tampak sibuk perlahan mendekat untuk membantu. Perkenalan mereka sudah dimulai beberapa saat yang lalu, saat Ruhi beranjak ke dapur untuk membuat susu Baby Shanum. Yang Bi Yuyu ketahui, Ruhi adalah pengasuh Baby Shanum seperti yang dijelaskan gadis itu. Meski Bi Yuyu sempat heran dan berpikir keras, bagaimana majikannya bisa menemukan seorang pengasuh secantik Ruhi.Karena memang tampak dari wajah dan penampilannya kalau Ruhi bukanlah orang susah yang perlu berkerja sebagai pengasuh bayi untuk bertahan hidup. Namun begitu, alasan sesungguhnya hanya Abinawa dan Ruhi yang tahu. Tidak. Abinawalah yang paling tahu penyebab gadis bernama lengkap Ruhi Ghumaisya berada di rumahnya saat ini. "Bibi mau masak apa
Tangan Ruhi mulai bergerak perlahan mengusap punggung laki-laki yang sedang menangis dalam dekapannya. Abinawa, ya. Laki-laki asing yang ditemuinya semalam dan sekarang akan berada di bawah atap yang sama dengannya. Pertemuan mereka bahkan belum sampai 24 jam. Namun, entah magnet apa yang menarik kedua untuk menjadi selengket itu."Dia pengkhianat. Kenapa setiap wanita yang kutemui semuanya jahat?" "Siapa bilang? Mamaku sangat setia dengan Papa. Percayalah, Pak, tidak semua wanita itu sama. Mungkin saja, mereka yang kemarin hadir dalam hidup Pak Abi hanya untuk jadi pembelajaran, atau bentuk teguran dari Tuhan atas kesalahan yang Bapak perbuat di masa lalu yang mungkin tidak Bapak sadari," jelas Ruhi dengan pelan. Berharap apa yang disampaikannya sampai ke otak laki-laki itu. Laki-laki yang sedang hancur itu. Entahlah, semalam bertemu dengan Abinawa sudah membuat Ruhi merasa sedikit lebih dewasa dari usianya. Menghadapi orang yang sedang tidak bisa berpikir jernih memang butuh ke
Degub jantung Ruhi semakin cepat saat jaraknya dengan Abinawa tinggal beberapa senti saja.Takut? Tentu saja. Namun, melihat raut wajah menyedihkan dan tatapan putus asa dari laki-laki berusia 30 tahun itu mendorong Ruhi untuk berbuat nekat.Ya. Nekat melakukan hal seperti yang biasa dilakukan pada Dipta, papanya. Deg. Seketika Abinawa menegang, saat Ruhi mulai memeluknya. Jarum jam seperti berhenti berdenting. Seolah dunia Abinawa terhenti beberapa saat. Itu gila. Tapi, seperti itulah pemandangannya. Akal sehat Abinawa tidak bisa berfungsi beberapa saat, pun degub jantungnya yang mulai mengencang.Seperti yang terjadi pada Ruhi, namun, gadis itu memilih bersikap tenang. Seiring dengan tangan mungilnya yang mulai bergerak menepuk-nepuk punggung tegap dalam balutan kemeja mahal itu. "Maaf." Gadis itu berucap lirih. Saat itulah kesadaran Abinawa mulai kembali sepenuhnya. Laki-laki itu sampai beberapa kali mengerjapkan matanya. "Maaf, sudah membuat Pak Abi sedih. Aku ... menyesal
"Maaf," cicit Ruhi dengan tatapan penuh rasa bersalah pada laki-laki yang masih berdiri di hadapannya. "Tidak masalah untuk kali ini. Tapi, lain kali jangan berniat meminta hal-hal di luar kemampuanku." Abinawa kini sudah duduk di samping Ruhi yang sedang menyusui Baby Shanum. Bayi itu tampak anteng dalam dekapan gadis berusia 21 tahun itu, bahkan mulai tertidur lagi. "Pak, dia mulai tertelap lagi," ujar Ruhi menoleh ke arah Abinawa."Bayi dengan usia segitu memang wajar jika terus tertidur. Selama dia masih tidur dalam keadaan normal dan tidak ada gangguan medis apapun kamu tidak perlu khawatir.""Gangguan seperti apa, Pak, misalnya?""Gangguan kesehatan, seperti penyakit kuning atau infeksi lainnya yang membuat bayi tertidur lebih lama," jelas Abinawa membuat Ruhi diam-diam mengaguminya. Jarang-jarang ada laki-laki yang tahu banyak hal tentang bayi.'Sepertinya Pak Abi memang sudah mempersiapkan dirinya sebaik mungkin untuk menjadi seorang ayah. Kasihan dia. Kenapa istrinya tega
Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi
Kini keduanya tiba di apartemen milik Ruhi, yang jaraknya tidak seberapa jauh dari jembatan tadi yang hampir saja menjadi tempat pembunuhan berencana ... untuk seorang bayi. Bayi cantik lagi menggemaskan. Sayangnya, dia hadir dengan cara yang membuat seseorang hancur dan terluka.Abinawa Aslan Aydin. Laki-laki berusia 30 tahun yang merupakan seorang pemilik bisnis real estate sekaligus seorang investor. Dia telah dikhianati oleh sang istri dan juga abang kandungnya sendiri. Denaya dan Alister. Profesi keduanya yang merupakan seorang model dan photografer membuat Denaya dan Alister sering bertemu karena hubungan pekerjaan. Hanya hubungan pekerjaan, awalnya. Siapa sangka, kenyamanan yang tercipta karena pertemuan intens, membuat Denaya dan Alister melupakan status mereka yang merupakan seorang adik dan abang ipar.Serta melupakan seorang laki-laki yang kini mereka hancurkan dengan tega. Berselingkuh dengan ipar sendiri hingga memiliki seorang bayi, bisa bayangkan serusak apa moral du
Laki-laki asing itu menatap Ruhi penuh telisik. Lama dan dalam. 'Jelas tidak sama. Dia hanya gadis polos yang mencoba mencegahku menjadi seorang pembunuh.'Laki-laki berpenampilan perlente itu menilai Ruhi dalam keterdiaman. Lapisan paling dasar dalam hatinya menyadari satu hal. Ruhi bukanlah wanita seperti yang dia tuduhkan. Ada sinar ketulusan yang tiba-tiba laki-laki temukan di sana. Tanpa Ruhi sadari, kegelapan yang semula menghiasi ruang perasaan seseorang, telah perlahan menerang akibat sihir ketulusan yang terpancar dari sepasang bola matanya. Mata hazel yang gadis itu peroleh dari garis keturunan ibunya. "Apakah aku sama seperti mereka, Pak?" tanya Ruhi sekali lagi, setelah melihat sosok di hadapannya hanya berdiri mematung. "Tentu saja tidak. Kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu apapun." Ucapan laki-laki itu jelas membuat Ruhi emosi. "Hei, Pak. Usia saya sudah menginjak 21 tahun sekarang! Bagaimana bisa Bapak bilang saya gadis kecil," protesnya terdengar beran
Gadis berusia 21 tahun itu tampak sedang berjalan kaki untuk kembali ke apartemennya. Tangannya menjinjing sebuah kantong kresek berisi nasi goreng, yang baru saja dibeli di jalan ujung taman sana. Tubuh yang dibalut dress merah muda dengan panjang selutut itu, tidak begitu tinggi. Hanya sekitar 158 cm saja. Kulitnya putih gading, dengan rambut lurus sedada lengkap dengan poni di bagian depan. Wajah ovalnya terkadang berwarna serupa biji saga jika sedang kepanasan atau sedang salah tingkah. Wajahnya juga dihiasi sepasang lesung pipi. Yang membuat kecantikannya semakin sempurna saja. Kebiasaannya setiap habis magrib adalah, membeli nasi goreng oppa-oppa di jalan ujung taman yang tidak seberapa jauh dari apartemennya. Dia menyebutnya nasi goreng oppa-oppa karena penjualnya seorang laki-laki muda yang wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Padahal, di gerobak nasi goreng sendiri tertulis dengan jelas, 'Nasi Goreng Spesial Bang Firdaus.'Kebiasaan lain gadis itu, tiap kali pulang dari memb