Hal terbaik untuk dipegang dalam hidup adalah satu sama lain—Audrey Hepburn..Pagi ini kuawali dengan kesepian. Sangat berbeda. Jika biasanya akan ada yang membangunkanku dengan kecupan-kecupan hangat di pipi di waktu subuh. Lalu, ada yang mengisi piring dengan menu kesukaan, dan berlanjut sarapan ditemani obrolan sangat kadang juga sedikit mesra di meja makan. Hari ini tidak begitu. Subuhku mungkin terlewat jika saja alarm tidak kuatur semalam. Sarapan pagi ini, hanya dengan secangkir teh dan sepotong roti. Tidak ada baju yang akan kugunakan untuk hari ini di atas ranjang. Tidak ada morning kiss. Tidak ada nasi goreng spesial buatan Luna. Tidak ada yang bisa kugoda dengan pertanyaan-pertanyaan vulgar mengenai kegiatan kami di malam hari."Hufft! Begini amat jadi suami rasa duda." Jika begini tidak perlu menunggu hingga beberapa Minggu ke depan. Sekarang saja aku sudah kelimpungan. Ah, Luna. Apa dia juga merasakan seperti yang aku rasakan. Apa dia juga merindukanku. Maksudku, apa
"Auwh! Sakit, Yang."Aku meringis. Sedikit perih saat ujung kapas di tangan Luna mengenai sudut bibirku. Ya. Perihnya hanya sedikit. Tapi, aku sengaja berlagak seperti orang yang tengah sekarat demi sebuah rencana. Dan berharap wanita yang selalu memenuhi kepalaku ini tidak menyadarinya. 'Kalau tahu bakal begini endingnya, harusnya aku membiarkan Emir memukulku di beberapa bagian lainnya.'"A—auwh!"Kali ini aku merasakan sakit beneran, sepertinya istriku sengaja ingin menyiksaku. Kapas ditangannya terasa ditekan ke bekas luka tadi."Saat berkelahi tadi apa Mas ingat dengan sakit?" ucapan Luna terdengar tajam, setajam tatapan matanya. Tidak. Itu sorot kekhawatiran. "Maaf." Alih-alih beralibi, hanya itu sepatah kata itu yang keluar.Apakah kata 'maaf' itu untuk sebuah rasa bersalah yang harus kubayarkan. Ya. Aku merasa bersalah sudah membuatnya susah menyusulku hingga matanya menjadi sembab karena menangis. Dan apakah aku menyesal. Tidak sama sekali. Hati kecilku menghangat dikhawa
Sejauh ini, semuanya tampak berjalan lancar. Meski hatiku belum bisa tenang sebelum acara grand opening ini selesai. Begitu juga dengan Riko, dia sempat memberitahuku kalau perasaannya tidak bisa tenang. Mungkin wajar, karena ini pengalaman pertama kami. Setelah mengalami beberapa kendala, akhirnya kami sampai di titik ini. Beruntung, kami punya wanita-wanita hebat yang selalu menguatkan. "Sayang, itu papa sama mama udah datang. Kita samperin, yuk," bisikku pada Luna yang sedang mengobrol dengan beberapa temannya. "Aku ke sana dulu, ya. Kalian silahkan nikmati hidangannya." Setelah Luna berpamitan pada teman-temannya. Aku segera menuntunnya menghampiri papa dan mama mertuaku. "Assalamualaikum, Papa, Mama." "Waalaikumsalam."Aku dan Luna bergantian mencium tangan keduanya. "Maa, kangen!" Istriku langsung menghambur ke pelukan mamanya."Mama juga kangen banget sama kamu. Uhhh, sombong banget kalian ya, enggak pernah jenguk Mamah lagi." "Hehe. Bukan gitu, Ma. Akhir-akhir ini Mas
Terima kasih untuk segala hal yang tidak sesuai harapan yang pernah datang menghampiri, kini perlahan beranjak pergi. Dari sana kuambil sebuah pembelajaran kehidupan yang begitu bermakna. Kini, semestaku mulai terang, seperti jutaan bintang serta teman-temannya yang lain di atas langit malam ini. Dari benda-benda di atas langit itu, dan seisi bumi di bawah sini, aku sedang belajar bersyukur dengan benar. Seiring penantian seorang malaikat kecil ke dunia..Setelah melepaskan peralatan dokternya, Heny menyuruhku untuk duduk di samping Luna. Wajahnya tampak tenang, tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Padahal, jelas-jelas istriku tampak lemah sekali. Apa semua dokter seperti itu? "Selamat ya, Dipt, sebentar lagi kamu akan menjadi Papa." "Maksud kamu apa, Hen?""Luna menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Untuk lebih jelasnya kamu harus memeriksanya ke dokter kandungan."Aku mematung selama beberapa detik. Bibirku seperti kelu untuk bersuara. Kabar bahagia yang tertangkap telingak
Gadis berusia 21 tahun itu tampak sedang berjalan kaki untuk kembali ke apartemennya. Tangannya menjinjing sebuah kantong kresek berisi nasi goreng, yang baru saja dibeli di jalan ujung taman sana. Tubuh yang dibalut dress merah muda dengan panjang selutut itu, tidak begitu tinggi. Hanya sekitar 158 cm saja. Kulitnya putih gading, dengan rambut lurus sedada lengkap dengan poni di bagian depan. Wajah ovalnya terkadang berwarna serupa biji saga jika sedang kepanasan atau sedang salah tingkah. Wajahnya juga dihiasi sepasang lesung pipi. Yang membuat kecantikannya semakin sempurna saja. Kebiasaannya setiap habis magrib adalah, membeli nasi goreng oppa-oppa di jalan ujung taman yang tidak seberapa jauh dari apartemennya. Dia menyebutnya nasi goreng oppa-oppa karena penjualnya seorang laki-laki muda yang wajahnya seperti oppa-oppa Korea. Padahal, di gerobak nasi goreng sendiri tertulis dengan jelas, 'Nasi Goreng Spesial Bang Firdaus.'Kebiasaan lain gadis itu, tiap kali pulang dari memb
Laki-laki asing itu menatap Ruhi penuh telisik. Lama dan dalam. 'Jelas tidak sama. Dia hanya gadis polos yang mencoba mencegahku menjadi seorang pembunuh.'Laki-laki berpenampilan perlente itu menilai Ruhi dalam keterdiaman. Lapisan paling dasar dalam hatinya menyadari satu hal. Ruhi bukanlah wanita seperti yang dia tuduhkan. Ada sinar ketulusan yang tiba-tiba laki-laki temukan di sana. Tanpa Ruhi sadari, kegelapan yang semula menghiasi ruang perasaan seseorang, telah perlahan menerang akibat sihir ketulusan yang terpancar dari sepasang bola matanya. Mata hazel yang gadis itu peroleh dari garis keturunan ibunya. "Apakah aku sama seperti mereka, Pak?" tanya Ruhi sekali lagi, setelah melihat sosok di hadapannya hanya berdiri mematung. "Tentu saja tidak. Kamu hanya seorang gadis kecil yang tidak tahu apapun." Ucapan laki-laki itu jelas membuat Ruhi emosi. "Hei, Pak. Usia saya sudah menginjak 21 tahun sekarang! Bagaimana bisa Bapak bilang saya gadis kecil," protesnya terdengar beran
Kini keduanya tiba di apartemen milik Ruhi, yang jaraknya tidak seberapa jauh dari jembatan tadi yang hampir saja menjadi tempat pembunuhan berencana ... untuk seorang bayi. Bayi cantik lagi menggemaskan. Sayangnya, dia hadir dengan cara yang membuat seseorang hancur dan terluka.Abinawa Aslan Aydin. Laki-laki berusia 30 tahun yang merupakan seorang pemilik bisnis real estate sekaligus seorang investor. Dia telah dikhianati oleh sang istri dan juga abang kandungnya sendiri. Denaya dan Alister. Profesi keduanya yang merupakan seorang model dan photografer membuat Denaya dan Alister sering bertemu karena hubungan pekerjaan. Hanya hubungan pekerjaan, awalnya. Siapa sangka, kenyamanan yang tercipta karena pertemuan intens, membuat Denaya dan Alister melupakan status mereka yang merupakan seorang adik dan abang ipar.Serta melupakan seorang laki-laki yang kini mereka hancurkan dengan tega. Berselingkuh dengan ipar sendiri hingga memiliki seorang bayi, bisa bayangkan serusak apa moral du
Pagi hari.Setelah pamit pada Ruhi, Abinawa segera keluar dari apartemen untuk membeli beberapa keperluan Baby Shanum, seperti diaper, susu, baju ganti serta tissue basah. Karena tidak membawanya dari rumah saat pergi semalam.Tentu saja tidak membawanya, karena kepergian Abinawa semalam dengan membawa Baby Shanum dalam keranjang bayi adalah untuk membunuhnya. Siapa sangka jalan ceritanya telah berubah karena bertemu dengan Ruhi yang baru pulang dari membeli nasi goreng. Berniat membunuh bayi, Abinawa malah berakhir di apartemen seorang gadis. "Sepertinya sudah semua." Abinawa memeriksa isi dari beberapa kresek di tangannya. Setelah mendapatkan semua keperluan Baby Shanum, laki-laki itu segera melajukan mobilnya untuk kembali ke apartemen. Dia melajukan mobilnya sampai mengebut, karena mengetahui di sana Ruhi sudah menunggu kedatangannya sejak tadi. .Setelah menekan bel, dan pintu terbuka dari dalam. Abinawa terkejut melihat Baby Shanum yang menangis kencang dalam gendongan Ruhi