"Paan sih, Mas? Nyebelin banget.""Tapi, ngangenin 'kan?""Nggak?""Masak? Gengsi ya ada Mbok Asih? Biasanya juga kamu yang nyosor dulu ....""Mas!" pekik Luna sembari menoleh ke arah Mbok Asih yang sedang menahan tawa. "Mbok jangan percaya sama Mas Dipta, ya?""Hehe, iya Buk.""Mbok percaya 'kan sama aku?" "Eum, i–ya, Pak." Jawaban Mbok Asih membuat Luna kembali melotot ke arahku."Mbok Asih percaya sama Mas karena terpaksa. Mas 'kan jahat, suka ngancam diam-diam."Saat mobil telah berhenti di tempat tujuan, aku mendekatkan wajah ke arah Luna. "Gimana sih ngancam diam-diam. Apa kek aku ancam kamu semalam?" bisikku sebelum kabur. "Mas!" Dari luar aku masih bisa mendengar Luna berteriak kesal di dalam mobil. Haha. "Silahkan turun Tuan Putri."Aku membuka pintu untuk istriku dengan memperlihatkan tampang paling manis tanpa dosa. "Mas nyebelin.""Ngangenin.""Ayo, Sayang, Mbok, kita masuk!" Luna dan Mbok Asih berjalan duluan, sedangkan aku memilh mengekor di belakang mereka sem
"Awas kamu Dipta, aku ingin membunuh perempuan itu." Tiara terus memberontak agar tangannya terlepas dari cengkramanku."Bu Tiara."Kami semua menoleh ke arah sumber suara. Dua orang laki-laki berseragam kepolisian berjalan ke arah kami. "Le–pas, Dipt! Ce–pat lepasin aku, sebelum mereka di sini!" Tiara memohon dengan wajah sendunya."Ck, tidak akan. Penjara adalah tempat yang paling pantas untuk penjahat sepertimu." Cengkramanku semakin erat, hingga akhirnya dua polisi itu sudah berdiri tepat di depan kami dan mengambil alih semuanya.Tangan Tiara langsung diborgol, meski wanita itu terus memberontak."Lepasin saya, Pak! Saya tidak bersalah. Apa bapak tidak lihat barusan, dia yang mencoba menyakiti saya!" kilahnya.Ternyata mulut berbisanya masih berfungsi dengan baik dalam memutarbalikkan fakta. "Lepasin saya! Heuh!""Diam! Atau kami akan bertindak kasar sama anda!" gertak salah satu polisi itu.Muka Tiara tampak memerah menahan amarah, tapi untuk melawan walau hanya dengan suara
Ini bukan mimpi 'kan? Akhirnya, asiikkk!"Pak Dipta kenapa?" Suara Mbok Asih mengagetkanku yang sedang senyum-senyum sendiri. "Oh, nggak papa, Mbok." Gegas aku meninggalkannya sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.Tidak, Mbok Asih tidak akan pernah mengerti perasaanku. Aku hanya ingin cepat-cepat malam, Mbok. Ngerti nggak sih. Hufft.Mas, nyebelin deh. Kalau kata Luna. Eh, Mbok, nyebelin deh, maksudku. .Pagi ini, tak sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Di meja makan, sepotong roti dan susu, sangat tak masuk akal menjadi alasanku tersipu-sipu, bukan.Lalu, apa yang membuatku terlihat gila. Di mana senyum tak mampu kuhentikan hanya karena memandang roti dengan selai kacang ini?Ah, ini karena wanita yang juga tengah menunduk malu-malu di sampingku. Ia seperti diorama yang membuatku kembali melihat pemandangan serta adegan indah dan hangat itu. Semalam, kami seperti terjebak dalam hangatnya malam pertama. Saling tak mampu melepas dekap, menarik rasa hangat, serta tak ku
Rasa suka dan takut bercampur menjadi satu. Aku suka Luna melakukan hal yang sangat tiba-tiba seperti itu. Tapi, kalau ada yang tega memisahkan kami, bagaimana?Aku tidak mau kehilangan. Ya, aku tidak mau dan tidak mampu. Ah, apaan sih? Pikiran macam apa ini? Luna istriku, siapa yang lebih berhak dariku, kecuali Tuhan."Kita akan tetap sama-sama 'kan, Sayang?" Pertanyaan bodoh terlontar secara tersengaja dari bibir ini. Terkesan lemah sekali. Ya, Luna memang kelemahanku. "Tentu saja, Mas! I'm yours and you are mine. Ayo!" Huh.Setelah turun dan membuka pintu untuk Luna, kami berdua berjalan bersisian bergandengan tangan.Jangan tanya rasanya seperti apa? Entahlah, apa mungkin wajahku akan boyok karena kakak-kakak Luna. Beberapa kali menekan bel, pintu mulai terbuka dan papa muncul di baliknya. Syukurlah, bukan yang lainnya."Eh, kalian sudah tiba rupanya. Ayo, masuk!" "Pa." Aku dan Luna bergantian mencium takzim tangan laki-laki paruh baya yang penuh wibawa itu. Lalu, kami men
"Ngapain?" tanyaku senyum-senyum."Udah yok! Cepetan!" Luna menarik tanganku dengan cepat. Seketika ingatanku mengenai masalah di resto jadi lenyap. Aku hanya mengikuti Luna dengan pasrah. Kok deg-degan ya?Setelah kami berada di kamar, Luna menutup pintu dan menyuruhku untuk duduk di ranjang. Waw, apa istriku akan mengambil kendali kali ini. Luna tampak berjalan ke arah nakas, seperti mengambil sesuatu dalam laci yang tidak bisa kulihat dengan jelas, karena posisinya yang berdiri membelakangi.Kini Luna berjalan menghampiri dan duduk si sampingku. Ada sesuatu dalam genggamannya. Menanggapi raut wajah penasaranku, Luna malah tersenyum dan meraih tanganku dan meletakkan sesuatu."ATM?" Aku menatap benda di tanganku dengan seksama. Ini ATM yang sudah kuberikan pada Luna waktu itu."Saldonya masih utuh. Semoga ini cukup.""Tapi, Sayang. Ini 'kan milik kamu.""Kan punya aku juga punya kamu, Mas. Apa salahnya bantu suami ketika sedang kesulitan. Lagian itu 'kan hasil kerja keras Mas s
Namun,pagi ini ... orang yang berhasil membuat hatiku hangat telah berhasil mengubahnya dalam semalam. Cukup singkat waktunya. Suasana hatiku berubah saat ini. Panas. Sampai ingin menghancurkan ponsel yang berada di tanganku."Mas, ayo sarapan dulu." Aku menoleh ke arah Luna yang kini berdiri di depan pintu. Senyumnya cukup sumringah seperti tidak sedang menyembunyikan apapun dariku. "Luna ...." aku menatapnya entah, tidak tahu bagaimana menjelaskan apa yang tengah kurasakan melihat raut wajah yang dia tunjukkan."Iya, Mas. Kenapa?"Aku menghampirinya dengan nafas berat. "Laki-laki yang memeluk istriku dalam foto ini ... siapa, Luna?" Aku menyodorkan ponsel padanya, menunjukkan foto yang kuterima beberapa menit yang lalu lewat aplikasi WA. Dari nomor tak di kenal. "Mas, i—ini ....""Jawab, Luna! Ini laki-laki yang waktu itu pernah datang ke rumah kita, kan? Dia juga yang pernah joging sama kamu waktu itu kan?" Luna tampak meremas jemarinya, sesekali menatapku ke arahku sebelum
Keyakinan merupakan suatu pengetahuan di dalam hati, jauh tak terjangkau oleh bukti—Kahlil Gibran.Suara hati Dipta:Kenapa aku harus kecolongan lagi? Sehancur apa lagi hatinya karena ulahku kini? Maaf, aku yang terlalu bodoh untuk memahami kamu..Tiba di area yang sepi, aku menepikan mobil dan duduk di bahu jalan. Dadaku mulai penuh bertambah dengan pikiran yang semakin kacau. Riuh sekali. Oh, kini aku paham. Betapa sakitnya dikhianati. "Tega sekali kamu, Luna!" Aku meremas rambut kuat-kuat. Sakitnya masih belum sebanding dengan perih yang mulai menyelimuti dadaku. Tahukan, betapa pentingnya harga diri bagi seorang laki-laki. Dan seseorang baru saja menghancurkannya. Andai aku masih di sana, mungkin sudah kuhabisi laki-laki itu."Bajingan!""Dasar pengkhianat!" Huft!Berteriak membuatku sedikit lega, meski nafasku mulai terengah-engah. Setelah puas menangis dan meraung seperti orang gila, aku memutuskan untuk pulang. Pulang dengan sepotong hati yang tak lagi utuh, seperti mat
Tindakan adalah cinta yang ditunjukkan—Kahlil Gibran. .Tempat pertama yang menjadi tujuanku adalah kafe, di mana aku meninggalkan Luna tadi sore. Bersama ... laki-laki yang sangat ingin kuhabisi itu. Emir. Laki-laki itu ingin menghancurkan rumah tanggaku dan merebut Luna dariku. Dan bodohnya, aku baru sadar setelah tertampar dengan perkataan Riko. "Argh ...!"Tiba di kafe, aku langsung memarkirkan mobil, dan segera turun berjalan ke titik di mana kami sempat beradu mulut beberapa jam yang lalu. Sebelum hari segelap ini. Tapi, nihil. Istriku tidak ada di sana. Bayangnya pun tidak tertinggal sama sekali. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku berinisiatif masuk ke dalam kafe, langkahku terhenti di depan pintu kaca itu, sementara mataku menelusuri setiap sudut ruangan yang lumayan luas itu untuk mencari keberadaan Luna. Tapi, tidak kutemukan tanda-tanda istriku berada di salah satu meja pun. Aku juga sempat bertanya pada beberapa laki-laki muda berseragam tertentu, dengan menceritaka