Setelah melihat ke dalam memastikan Luna tidak melihat kami, aku menarik pintu dari luar. " Pa, sebenarnya Dipta mau ngomong sesuatu sama papa. Tentang keguguran Luna.""Kenapa dengan itu? Bukannya kalian sudah mengikhlaskan?" tanya papa dengan nada bingung."Pa, yang menyebabkan Luna keguguran itu Tiara. Wanita itu yang sengaja mengirim pesan menyuruh Luna naik ke lantai dua untuk mengambil berkas penting ke kamarnya. Dan ternyata di tangga terdapat cairan minyak yang menyebabkan istri aku terjatuh," ujarku menahan sesak.Bagaimanapun rasa bersalahku masih begitu besar pada Luna. "Apa?" geram papa sambil mengepal tangannya. Kilatan amarah begitu kentara dari kedua maniknya. "Dipta ingin membawa kasus itu ke jalur hukum. Tapi, Luna belum mau membuka suara, Pa. Mungkin dia tidak ingin mengingat kejadian itu yang membuatnya begitu sakit. Maafin Dipta, Pa!" Papa tampak membuang nafas kasar. "Buat Luna untuk bercerita pelan-pelan. Handoko dan anaknya sudah sangat keterlaluan. Papa tid
HAPPY READING ❤️💖. "Mas." Aku menoleh ragu-ragu. Ada apa dengan mata menyipit dan senyum tersungging menyeramkan itu? Ah, sebenarnya aku hanya berlagak tidak tahu. Lebih tepatnya pura-pura tidak tahu. Setidaknya sedikit lebih aman, bukan. Entahlah."Sa–yang." Hanya senyum hambar yang kupamerkan untuk menemani kata Sayang yang baru saja terucap. Untuk menghampirinya? Sungguh, aku tak berniat sama sekali, saat ini. Istriku sedang mengaktifkan mode emak-emak lagi marah. Tahu 'kan seperti apa? Ya seperti itu. Seperti wanita yang tengah berdiri di depan pintu rumahku dengan mata merah menyala. "Sayang, Sayang. Apa malam ini Mas berniat ...." Gegas aku bangkit dari kursi menghampiri Luna."Nggak. Mas nggak ada niat buat tidur di luar. Oke, Mas ngaku salah udah bohong soal Mbok Asih yang pura-pura sakit. Mas minta maaf ya. Tapi ...." "Akhirnya Mas ngaku juga ya. Padahal, ini terlalu cepat loh. Bagus deh." Luna menampilkan senyum devil. Manis."Apa? Tapi, tadi 'kan kamu yang nganc
"Hah?" wanita ini melongo."Tuh, liat!" Luna melihat ke arah tanganku yang menunjuk Pak Karni yang sedang duduk di bangku taman sambil merokok. Dan ... melihat ke arah kami. "Mas ishh." Luna memukul lenganku kesal dan langsung berlari ke dalam. Haha. *****Setelah makan malam, aku langsung ke kamar untuk solat insya. Sementara Luna sedang di dapur membantu Mbok Asih.Istriku masih belum bersih setelah keguguran. Padahal, aku sudah kangen untuk solat berjamaah bersama. Apalagi untuk menunaikan ibadah paling nikmat setelah menikah. Awalnya aku sempat khawatir dan mengajaknya check up ke dokter kandungan. Karena itu terhitung sudah hampir seminggu semenjak Luna keguguran tapi istriku masih pendarahan. Tapi, kata Luna itu wajar, kecuali jika sudah lebih dari 3-4 minggu.Membayangkan peristiwa itu, aku masih suka menahan sesak diam-diam, sendirian. Suami macam apa aku ini?Maaf Tuhan! Hamba telah lalai menjaga titipan–Mu. Untuk anakku, yang kini tak lagi berada dalam nyamannya rahim
Aku langsung membawa tubuh Luna yang tiba-tiba menegang ke dalam pelukan. ."Mas, aku ... aku." "Kuat Sayang! Kamu pasti bisa, oke! Semua akan baik-baik aja, Mas ada di sini. Nggak akan ada lagi yang berani nyakitin kamu. Mau ya cerita?""Kenapa tiba-tiba Mas nanya tentang itu?""Mas mau bawa kasus ini ke jalur hukum, Sayang.""Hah, jalur hukum?" "Eum, please yah bantu Mas!""Tapi 'kan ....""Kamu itu istri aku. Apapun yang terjadi sama kamu itu tanggungjawab aku. Tolong jangan halangi aku untuk melaksanakan tanggungjawabku sebagai suami, Luna."Kali ini aku mencoba tegas. Bukan ingin membuatnya tertekan tapi untuk membuat Luna sadar bahwa dia tidak sendirian, melainkan punya seorang suami. Agar dia tahu, bahwa aku benar-benar sudah berubah. Dia punya tahta yang tinggi di dalam sini. Dalam hatiku.Masalahnya adalah masalahku, sakitnya adalah sakitku. Meski sempat salah jalan, cintaku bukan main-main. Luna telah menyita semuanya, terlebih sebuah rasa dan waktu. Aku miliknya dan ada
Gegas aku screenshot pesan itu dan kukirim ke ponselku. Awas kau Tiara. Tunggu saja pembalasanku, seorang ayah yang anakknya kau bunuh. Seorang suami yang istrinya kau sakiti. Aku telah berubah Tiara, dan kupastikan kau akan terkejut untuk itu. Untuk Luna, jadi monster pun aku sanggup. Ini tentang cinta Tiara, dan orang-orang sepertinya tidak akan mengerti akan hal itu. Tega sekali kau manfaatkan aku dan rumah tanggaku demi harga yang harus kubayar atas kebaikanmu. Baiklah, mulai hari itu kuanggap hutangku lunas. Kebaikanmu telah kau ambil bayarannya dengan nyawa anakku dan rasa sakit istriku. Dan kurasa itu malah sangat berlebihan, kau pantas mendapat rasa terimakasih dariku. Aku bergegas keluar untuk sarapan. Tiba di meja makan, pemandangan manis kembali terpampang di depan mata. Istriku yang sedang menata sarapan tampak begitu seksi dalam balutan apron. Seperti seorang chef wanita yang dijuluki harta, tahta dan dia oleh para kaum adam di negeri ini. "Pagi, Sayang. Masak apa s
Mau tidak mau aku menutup kembali pintu mobil dan memilih meladeninya. Tak lupa kubuka ponsel sebentar lalu kembali keselipkan dalam saku celana. "Ada apa?" ujarku menahan emosi. "Dipt, kok kamu cuek banget sama aku sekarang. Pake blockir nomor aku segala, lagi. Kenapa sih kamu berubah, sekarang. Kamu nggak anggap aku lagi?" Ck, lama-lama berhadapan dengan wanita ini yang ada aku semakin gila. Nggak tahu malu. "Emang aku harus anggap kamu apa?" "Ya ... ya teman seperti dulu. Walau aku pengen lebih dari itu," ujarnya semakin pelan di opsi terakhir, tapi tertangkap dengan jelas di telingaku. "Maksud kamu gimana?"Aku mencoba selembut mungkin kali ini. Padahal, jijik banget, sumpah. "Ya, lebih dari sekedar ... teman." Tiara semakin mendekat, dan aku harus menahan diri untuk tidak menjauh. Dia harus masuk dalam perangkapku kali ini. Salah siapa, muncul tiba-tiba seperti jelangkung. Semoga saja Tiara bisa bekerja sama mempercepat waktu. "Jangan bertele-tele. Aku bukan cenayang. Ma
Saat mobil memasuki halaman rumah, aku gegas masuk ke dalam dengan empat kotak nasi padang di tangan, tujuan utama ya untuk mencari Luna.Dan ternyata, wanita kesayangan sedang duduk di sofa ruang tamu dalam posisi membelakangi. "Sayang! Nih, nasi padangnya" sapaku.Mendengar suaraku, Luna langsung menoleh dengan wajah yang sulit diartikan. Marahkah seban aku terlambat? Tapi, itu bukan raut wajah sedang marah melainkan takut.Ya, Luna seperti tengah ketakukan. Membuatku untuk berjalan tergesa menghampirinya. "Sayang, why?" "Mas, tolong jangan tuntut Tiara!" ujarnya panik saatku sudah duduk di sampingnya. "Apa? Jangan menuntut Tiara? Mas susah payah mencari cara untuk menjebloskannya dalam penjara. Dan kamu bilang untuk jangan menuntutnya?""Please, Mas!" Istriku memohon dengan mata berkaca-kaca.Kenapa? Sepertinya ada yang tidak beres.Seketika mataku beralih pada ponsel yang digenggamnya dengan erat."Siniin ponselnya!" "Un–tuk apa?" Aku menarik ponsel dari genggaman Luna denga
"Paan sih, Mas? Nyebelin banget.""Tapi, ngangenin 'kan?""Nggak?""Masak? Gengsi ya ada Mbok Asih? Biasanya juga kamu yang nyosor dulu ....""Mas!" pekik Luna sembari menoleh ke arah Mbok Asih yang sedang menahan tawa. "Mbok jangan percaya sama Mas Dipta, ya?""Hehe, iya Buk.""Mbok percaya 'kan sama aku?" "Eum, i–ya, Pak." Jawaban Mbok Asih membuat Luna kembali melotot ke arahku."Mbok Asih percaya sama Mas karena terpaksa. Mas 'kan jahat, suka ngancam diam-diam."Saat mobil telah berhenti di tempat tujuan, aku mendekatkan wajah ke arah Luna. "Gimana sih ngancam diam-diam. Apa kek aku ancam kamu semalam?" bisikku sebelum kabur. "Mas!" Dari luar aku masih bisa mendengar Luna berteriak kesal di dalam mobil. Haha. "Silahkan turun Tuan Putri."Aku membuka pintu untuk istriku dengan memperlihatkan tampang paling manis tanpa dosa. "Mas nyebelin.""Ngangenin.""Ayo, Sayang, Mbok, kita masuk!" Luna dan Mbok Asih berjalan duluan, sedangkan aku memilh mengekor di belakang mereka sem