"Bun, Pak, gimana kabarnya? Kapan datangnya?" Pertanyaan yang dilontarkan Mas Radit ketika bertemu dengan kedua orang tuaku di lobi rumah sakit. Lelaki itu sengaja menemui kami di sini. Jam besuk masih beberapa menit lagi."Alhamdulillah kami baik, Dit." Punggung tangan Bapak dicium Mas Radit, tadzim. Sopan terlihatnya."Gimana kabar ibumu, Dit?" Kini Bunda yang bertanya sembari membiarkan punggung tangannya dicium mas Radit. "Sudah membaik, Bun. Maaf kalau kami tidak bisa menyambut kedatangan Bapak dan Bunda di rumah." Mas Radit sedikit membungkuk di depan kedua orang tuaku. "Tak apa. Kami memang sengaja untuk menjenguk besan. Tapi, maafkan kami baru sempat kemari. Kemarin capek. Maklum habis perjalanan jauh. Sudah gitu Alina juga terlihat sangat lelah." Mas Radit manggut-manggut mendengar uraian panjang Bunda. Aku menahan senyum saat mendengar penjelasan Bunda. Aku baru tahu kalau Perempuan itu juga sangat pandai bermain kata. Dan ini sama sekali tidak kami rencanakan terlebih da
"Lin, please. Akan aku lakukan apa pun agar kamu tidak menjual mobil itu." Lelaki itu berjongkok di depanku. Celingak-celinguk aku menatap sekitar. Ada beberapa pasang mata memperhatikan kami. Aku harus bagaimana ini? Ah, bodo amat!" Ya Allah … Mas, segitunya kamu mencintai mobil itu. Kamu takut banget aku mau menjual mobil. Padahal, itu tadi hanya misalnya, Mas. Nggak usahlah tegang gitu. Ada lagi yang mau dibahas? Kalau tidak aku akan menyusul kedua orang tuaku." Aku melangkah meninggalkannya. Tapi, aku kembali memutar badan. "Pantes kamu bilang aku ada maksud mengundang orang tuaku. Ternyata kamu takut sesuatu. Eh, Mas biasanya orang yang suka menuduh tanpa bukti serta marah-marah tidak jelas pada orang lain, itu sebenarnya ia sedang menutupi kesalahannya sendiri. Dia pikir dengan marah ke orang lain, maka kesalahannya akan terselamatkan dan tidak akan ada yang mengungkit, gitu, Mas? Kamu sedang menyembunyikan sesuatu kan?" Lelaki itu mematung di tempatnya. Wajahnya memucat seket
Di saat seperti ini aku kangen Desti. Biasanya perempuan itu akan berusaha menenangkan hatiku yang sedang gundah dengan caranya sendiri. Dia wanita yang sangat pandai mengembalikan moodku.Sayang, aku tidak bisa segera pulang ke sana karena Ibu sedang sakit seperti ini. Ah, sebaiknya aku telepon saja sekarang. [Assalamu'alaikum, De. Lagi apa, Sayang?] Aku tersenyum saat mendengar suaranya[Waalaikummussallam, Bang. Alhamdulillah Adek di sini sehat. Gimana kabarnya Ibu, Sayang?] Suaranya yang mendayu membuatku rindu.[Ibu, Mungkin besok sudah bisa dibawa pulang. De, nggak papa Abang di sini agak lama sedikit?] Aku takut perempuan itu marah kalau diri ini kelamaan di sini.[Ya nggak papalah, Bang. Kan di situ ada Ibu yang sedang membutuhkan. Sebagai anak lelaki satu-satunya Abang bertanggung jawab terhadap Ibu.] Inilah yang selalu aku suka dari Desti. Selalu menyenangkan dan menenangkan. [Bang, kok pesan WhatsAppku tidak dibalas?] Aku tepuk jidat seketika.[Maaf, Sayang. Handphone A
"Toko Ralia grosir lumayan ramai, ya?" ucapnya di dekat telingaku. Suaranya pelan tapi cukup membuatku tersentak. Aku membeku seketika. Kata-kata Bowo bagai air es yang mengguyur seluruh tubuh ini. Dari nama dia tahu masalah itu? "Saya pernah mampir ke sana dan melihat mobil Pak Radit parkir di samping toko. Saya hapal betul itu mobil Anda. Seketika saya bertanya dengan pemilik toko, siapa pemilik mobil plat BE tersebut? Perempuan berwajah manis itu menjawab milik suami saya. Dari situ saya tahu," ungkapnya di samping telinga ini dengan suara yang sangat pelan. Nyaris tak terdengar malah.Gleg!Susah payah aku menelan ludah. Keringat dingin mengucur di kening. Aku tak bisa membantahnya.Degup jantung bekerja lebih cepat dari biasanya. Ada rasa tak nyaman yang menyelimutiku. Baru kali ini ada lelaki yang suka ikut campur urusan rumah tangga orang.Jangan-jangan dia yang telah membongkar semua ini pada Alina. Ya, aku yakin sekali dia yang membuat istriku berubah. "Kalau sudah tak menc
Kubawa kaki melangkah meninggalkan taman, meninggalkan manusia picik nan li cik itu. Mas Radit adalah definisi manusia tak tahu diri. Tak sadar diri. Peng khi anat berteriak kh ian at. Satu telunjuk mengarah padaku tapi tidak sadar empat jari yang lain mengarah pada dirinya sendiri. Dadaku kembali bergemuruh saat mengingat ucapan lelaki itu. Tuduhan tanpa dasar itu menunjukkan kualitas dirinya yang pi cik. Menambah alasan mati rasanya hati ini.Di dalam sini magma emosi sudah meletup-letup. Namun, aku sudah tidak ingin lagi berdebat dengan manusia tak tahu diri itu. Aku sudah tidak ingin lagi berurusan dengannya. Biarlah akan segera kuurus hartaku dari jarak jauh. Mungkin aku harus merubah rencana. Akan aku jalan rencana yang lain, tidak sesuai dengan rancangan yang pertama.Rasa sakit di hati ini membuatku enggan bermalam di rumah sakit. Terserah mau dianggap apa. Radit yang telah membuatku hilang rasa. Aku harus segera menghubungi bapak meminta dijemput. Aku tidak ingin lagi meliha
Ketika Istri Mati Rasa Bab 15Tiba-tiba aku terbangun karena isi kantong kemih sudah penuh dan meminta haknya untuk dikeluarkan.Mataku mengerjap, kuedarkan pandangan ke seluruh isi ruangan. Sepi, Ibu terlelap dalam tidurnya.Tak ada Mas Radit di ruangan ini. Kemana perginya lelaki itu? Atau memang dari taman dia tak kembali ke sini? Entahlah.Selepas ngobrol dengan Bapak, aku segera pergi tidur. Tidak tahu lagi apa yang terjadi?Lega rasanya setelah mengeluarkan isi kantong kemih. Kuambil handphone dari dalam tas. Tujuanku untuk melihat waktu. Sudah menunjuk jam setengah tiga. Banyak waktu untuk salat malam.Kok jadinya pengen minum, ya. Kucari botol minum air mineral. Yah, kosong. Padahal, seingatku semalam masih separuh sewaktu aku mau tidur. Bukti bahwa sebenarnya Mas Radit datang kemari setelah aku tidur. Lantas sekarang ke mana? Ah, ngurusin amat ke mana perginya manusia itu.Kumasukkan handphone dan dompet ke dalam saku baju. Inilah alasan aku sangat suka memakai gamis berkanto
Hari ini ibu sudah dinyatakan boleh pulang setelah adanya visit dokter. Mas Radit sedang membereskan administrasi Ibu. Sesekali aku mengalihkan fokus mata ini, dari layar handphone ke arah ibu yang sedang duduk di kursi roda. Tatapannya mengawang. Entah apa yang beliau pikirkan. Sepertinya beliau perlu dihibur atau dikuatkan. Sayangnya, aku tidak ingin melakukan itu seperti biasanya. Dulu, aku tak pernah membiarkan ibu larut dalam lamunannya. Aku akan buru-buru datang padanya saat mengetahui ibu melamun. Aku akan segera menggenggam tangannya. Menyakinkan, menguatkan dan bahkan menghiburnya setelah beliau menceritakan beban pikirannya. Saat ini biarlah beliau larut dalam pikirannya. Alih-alih menghibur atau menguatkan ibu mertua. Saat ini aku tidak ingin pura-pura kuat di depannya. Mungkin sedikit demi sedikit aku akan mengurangi kebiasaanku. Atau bahkan mungkin suatu saat aku benar-benar tidak akan peduli lagi dengan beliau.[Nduk, apa sebaiknya kami ke rumah mertuamu sekarang?] ta
[Bu, besok kita tidak bisa belanja. Gimana ini?] Aku mengernyitkan dahi usai membaca pesan dari Wulan, salah seorang karyawan di rumah makanku. Apa memang rumah makan sesepi itu akhir-akhir ini? Memang, usaha kalau dilepas begitu saja, ya, hasilnya seperti ini. Tidak maksimal sama sekali. Aku hanya datang ke sana sesempatnya. Terlebih sudah beberapa hari aku tak mendatangi rumah makan itu. Memang, Wulan selalu memberikan rincian pengeluaran dan pemasukan. [Apa memang hari ini sangat sepi, Lan?] Kukirimkan pesan balasan.[Seperti biasa, Bu. Tapi, kan uangnya sudah diminta sama Ibu tadi siang. Sore ini sedikit yang beli. Uangnya tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah makan, Bu.] Aku terperangah membaca jawaban Wulan. Mata yang sudah redup karena kantuk kini membulat sempurna.Otakku berpikir keras, tapi tak dapat menemukan jawabannya. Kapan aku meminta uang ke rumah makan? Pertanyaan bergulung-gulung di kepala ini yang menuntut untuk segera menemukan jawabannya. Segera aku t
"Mak … apa ini anak pertamamu, Mak?" Pak Sardi mengelus-elus punggung ibunya.Desti terkejut mendengar dirinya dianggap anak pertama Mak Teti."Apa maksudnya?" Desti berusaha melepaskan pelukannya wanita asing itu."Nduk, akulah ibumu kandungmu," jelas Mak Surti di sela isak tangisnya. Desti mematung mendengar penjelasan orang tua asing itu. Hati yang semula penuh sukacita karena ketemu Ralia, kini perasaan itu tidak lagi bisa dinarasikan."Ka — kamu perempuan perebut bapakku?" Ratmi yang sedari tadi dalam mode kalem kali ini meninggikan suaranya.Mak Teti menangis meraung di hadapan Ratmi. " Kamu anaknya Dalilah? Maafkan semua kesalahan ku di masa lalu, Nduk." Drama pertemuan ibu dan anak itu cukup lama berlangsung. Desti tidak bisa menerima begitu saja pengakuan wanita tua itu. Memang, Desti pernah mempertanyakan keberadaannya. Tapi, mantan istri Radit itu masih butuh waktu untuk bisa menerima kenyataan ini. "Kenapa, Mak tega meninggalkan aku demi laki-laki lain? Kenapa?" cecar D
POV Author"Namamu siapa, Cah ayu?" tanya perempuan bernama Bu Timah — yang telah membantu memandikan dan meminjami baju ganti Ralia. Di sampingnya duduk seorang nenek."Ralia, Bude," jawab Ralia setelah meneguk segelas air putih pemberian tuan rumah."Kamu ingat di mana rumahmu, Nduk?" tanya Pak Sardi— suami dari Bu Timah.Ralia pun menyebutkan nama desa tempat tinggal ibunya selama ini. "Waduh … itu jauh sekali, Bu. Apa bisa kita ke sana?" Pak Sardi menatap istrinya.Sepasang suami istri yang tidak memiliki anak itu saling bersitatap. "Pak, sebaiknya orang tuanya saja yang suruh datang ke sini." Usulan Bu Timah diterima oleh suami dan ibu mertuanya."Ingat nggak nomor telepon ibumu, Nduk?" Pak Sardi menatap wajah bocah perempuan tersebut."Hanya ingat nomor Ayah." Ya, Ralia hanya mengingat nomor bapaknya. Karena memang sering menelpon bapaknya.Dengan segera Pak Sardi menghubungi nomor Radit. Bapaknya Ralia itu kaget mendengar kabar tentang Ralia. Setelah mengucapkan banyak terima
Ralia membekap mulutnya sendiri saat ada belatung yang loncat ke arah pipinya. Rasa jijik dan geli membelenggunya saat ini. Bergerak dan menimbulkan suara sedikit saja, membuat nasibnya terancam. Dia tahu di luar drum ada seseorang yang sedang berjalan mendekatinya.Mata Ralia membeliak sempurna saat tutup drum dibuka dari luar. Degup jantungnya bertalu lebih keras dari biasanya. Ralia menggigit bibir bawahnya kuat-kuat. Di dalam hati, Ralia merapalkan doa pada Allah. Gadis cilik itu memohon perlindungan. Anak itu menahan rindu pada ibunya."Ya Allah … kalau Ralia ketangkap tolong pertemuan dengan Ibu terlebih dahulu. Ralia mau bilang, kalau Ralia sayang Ibu banyak-banyak. Ralia kangen Ibu Ya Allah …." Salah satu doa yang dipanjatkan Ralia di dalam hati saat melihat tangan laki-laki yang membuka drum tersebut. Ralia sudah pasrah bila pada akhirnya tertangkap. Tangan laki-laki yang penuh tato itu membuka tutup drum. Bau busuk yang menguar dari dalam drum menyelamatkan Ralia. Sebab akh
POV AuthorSuara kursi jatuh membuat nyali Ralia menciut seketika. Takut ditangkap mendominasi pikiran gadis kecil itu. Ralia merutuki kecerobohannya sendiri sebab secara tak sengaja kaki jenjangnya telah menyenggol kursi itu hingga membuat benda mati itu terjatuh. Walaupun, bocah perempuan yang memiliki badan lebih tinggi dari anak seusianya, itu sudah ada di atas jendela. Sesekali ia menoleh ke arah perempuan yang sedang tertidur itu. Untungnya, wanita yang bertugas menjaganya, tertidur seperti kerbau. Sehingga membuat gadis kecil itu sedikit bisa bergerak bebas.Ralia yang sudah terbiasa memanjat pohon tidak merasa takut saat menatap ke arah bawah jendela. Dengan sekali lompatan anak kecil itu sudah berhasil ke luar dari ruangan pengap tersebut. Ralia tersenyum sembari menepuk-nepuk tangannya yang terkena tanah. Anak Perempuan Radit itu merasa sedikit lega telah berhasil meloloskan diri. Namun, rasa bangga itu tidak begitu lama ia rasakan, sebab detik berikutnya terdengar suara te
POV Author"Maka apa?" Tidak sabar Desti menanti ucapan orang di seberang sana yang sengaja digantung. "Maka serahkan uang seratus juta. Atau kamu anakmu mati secara perlahan? Semua keputusan ada di tanganmu, Sayang." Perempuan yang memakai masker itu mendekati Ralia yang sedang duduk di kursi. "Ha ha ha. Seratus juta? Kamu pikir gampang cari uang sebanyak itu? Kalau mau uang itu kerja jangan malakin orang bisanya! Kamu pikir aku bodoh yang bisa dimanfaatkan manusia macam kalian! Ha ha ha." Tawa Desti meremehkan lawan bicaranya. Perempuan itu tidak yakin Ralia diculik orang tersebut. Desti pikir ini hanyalah akal-akalannya orang yang sedang mencari kesempatan dalam kesempitan. Sebab, beberapa jam lalu saka mengumumkan berita kehilangan Ralia di media sosial miliknya."Kamu pikir kami bercanda? Salah besar! Anakmu benar-benar dalam genggaman kami. Dengar suara anakmu kalau tidak percaya! Bocah cilik, kamu mau ngomong sama ibumu, kan? Nih ngomong! Cepetan!" Perempuan yang rambutnya d
Ketika Istri Mati RasaTubuhku membeku di tempat berdiri. Rasanya, aku tidak sanggup lagi melangkahkan kaki setelah mendengar obrolan orang yang tidak aku kenal itu. Bagaimana kalau perkiraan ku tidak meleset? Bagaimana kalau yang mereka bicarakan adalah Ralia? Apa aku masih sanggup untuk hidup di dunia ini? Dalam diam air mataku terus membanjiri pipi. Deras dan menganak sungai. Ketakutanku terlalu besar terhadap kondisi Ralia. Bayangan buruk tentang anakku sudah membayang dalam benak ini."Tan, ada apa? Kenapa menangis?" Saka bingung melihat air mataku yang terus berderai. Dia pun ikut mematung di belakangku. Aku tidak sanggup untuk menjawab pertanyaan anaknya Mbak Ratmi. Otakku memerintahkan untuk berbicara, tapi lidahku kelu untuk berucap. Kata-kataku tercekat di tenggorokan."Yuk, kita ke sana." Saka menuntunku ke arah rumah seseorang yang ada di pojokan rumah lelaki yang menelpon tadi. Tepatnya Saka membawaku ke warung yang sedang ditutup. Di depannya ada kursi panjang. Kujatu
Otakku benar-benar membeku setelah mendengar berita ini. Tubuhku yang sedang berdiri luruh ke lantai seiring dengan pipiku yang mulai basah.Rasa takut tiba-tiba menyeruak memenuhi seluruh pikiranku. Aku meraung, menangisi Ralia. Imajinasi ku sudah tidak tentu arah. Bagaimana kalau anakku diculik lalu dijual? Bagaimana kalau Ralia dibunuh lalu, diambil organ dalamnya? Seperti desas-desus yang sering aku dengar. Ah, tidak. Tidak mungkin Ralia diculik oleh orang lain. Di sini tidak ada kasus penculikan anak. Aku segera menepis semua prasangka yang tadi sempat bersarang di kepala. Dengan segera, Ralia Hilang pasti diculik oleh Irwan. Aku yakin ini pasti ulah Irwan. Iya, pasti pria itu yang sengaja menculik Ralia. Hanya saja aku belum tahu apa motifnya. Apakah untuk dijadikan sandera atau mau …? Bagaimana kalau itu terjadi? Lalu, Bang Radit mendengarnya? Bisa-bisa Ralia akan diambil oleh Bang Radit. Ini bisa bahaya. Bisa jadi aku tidak punya kesempatan untuk mengasuh Ralia. Rasa takut
Ketika Istri Mati Rasa"Irwan!" pekikku dengan suara lantang. Ingin rasanya aku menghajar lelaki tak tahu diri itu. Bisa-bisanya ia bertukar liur di kamarku dengan perempuan lain. Membuat darahku menggelegak seketika.Mereka sepertinya sedang melakukan pemanasan sebelum memulai aktivitas suami istri. Dua orang yang berbeda kelamin itu terjingkat kaget mendengar suaraku yang lantang. Spontan mereka menghentikan kegiatan memagut. Lalu, keduanya duduk dengan wajah yang serba salah. Namun, itu hanya sekejap. Detik berikutnya dua manusia brengsek itu sudah bisa menguasai situasi.Pemandangan di depan mata sungguh membuatku jijik dan mual. Tega Irwan membawa gundiknya ke kamarku di saat tidak ada empunya. Di mana otak dan hati nuraninya?"Pergi dari rumah ini, bajingan! Kalau mau kumpul kebo silakan ke hotel!" Kutatap tajam perempuan yang tidak aku ketahui namanya itu. Lalu, berganti ke arah Irwan yang berdecak kesal sebab kegiatannya terganggu.Sakit sekali hati ini melihat pemandangan me
Ketika Istri Mati RasaAku membuka mata bersamaan dengan bunyi 'tok-tok' dari depan rumah yang terdengar nyaring. Suara bambu yang dipukul berulang-ulang oleh pedagang bakso. Penanda penjaja makanan berbentuk bulat itu sedang berkeliling."Des, udah bangun? Makan siang, gih!" Nyawa yang belum sepenuhnya kumpul membuatku hanya mengangguk di posisi semula. Bola mata ini bergerak ke sana ke mari mengamati sekeliling.Suara tadi milik Mbak Ratmi yang datang dari arah depan dengan membawa se-kresek buah mangga. Plastik berwarna putih itu menjelaskan dengan gamblang apa isi yang ada di dalamnya. Lima buah mangga yang masih hijau ada di dalamnya.Diletakkan buah tersebut di atas meja kaca oleh Mbak Ratmi. Setelahnya, kakak perempuanku itu membawa tubuh berisinya masuk ke dalam. Tak lama kemudian Mbak Ratmi kembali dengan membawa nampan serta pisau."Ini dapat buah dari rumah depan. Seger buat dirujak." Mbak Ratmi menjelaskan tanpa kutanya terlebih dahulu. Sepertinya sorot mataku yang ter