“Anda dan Bu Kalila diisukan akan berpisah tidak lama lagi,” pungkas Haris. “Apa?” Haris beringsut mundur ketika Gio menatapnya tajam. “Siapa yang menyebarkan berita sampah itu?” “Bu—bukan sekadar berita sampah, Pak!” geleng Haris. “Ucapan Bu Lila di acara itu sudah di-hilight dan mendapatkan ulasan di mana-mana, bahkan tidak sedikit yang membagikannya di media sosial mereka ....” “Ucapan yang mana?” Haris mengerutkan keningnya, berusaha mengingat-ingat. “Hanya tinggal menunggu waktu, itu! Bu Lila mengatakannya dengan sangat jelas di depan wartawan media online, seharusnya kakek dan nenek Anda juga sudah tahu.” Bolpoin yang ada di genggaman tangan Gio serasa ingin dia patahkan jadi dua. “Faktanya baik kakek atau nenekku tidak ada yang menghubungi aku untuk minta penjelasan apa pun,” komentar Gio. “Aku yakin berita itu akan padam dengan sendirinya.” “Tapi ucapan Bu Lila seolah menyiratkan perceraian ....” “Lila tidak akan punya nyali untuk bercerai dariku,” tegas
Ini tidak bisa dibiarkan, batin Gio seraya menghubungi Haris dan menyuruhnya untuk mencari keberadaan Kalila. “Mas, kamu ini kenapa sih? Biarkan saja Lila pergi, ngapain dicari-cari?” Nia tidak tahan untuk tidak melayangkan protes karena Gio terus uring-uringan semenjak Kalila pergi dari rumah. “Aku harus tetap mencarinya ....” “Buat apa?” “Lila masih istriku, Nia.” “Aku tidak percaya ini, Mas!” Gio duduk bersandar di sofa sambil memejamkan mata. Niat hati ingin menentramkan hati di rumah istri pertama, tapi justru dia dihadapkan dengan rengekan si istri itu sendiri. “Kamu bilang kalau kamu tidak pernah menganggap Lila sebagai istri, terus kenapa kamu malah sibuk cari-cari dia?” “Itu karena Lila pergi meninggalkan masalah untuk aku, kamu pikir karena apa?” Nia memajukan bibirnya, tangannya sibuk mengusap-usap perutnya yang semakin membuncit. “Aku tidak mau tahu ya, Mas. Pokoknya aku tidak rela kalau kamu jatuh cinta sama Lila, itu artinya kamu sudah ber
“Ikut aku pulang!” perintah Gio seraya menarik paksa tangan Kalila untuk pergi.“Aku tidak mau, sebentar lagi kita akan bercerai!”“Cerai? Jangan mimpi!”Kalila balas menarik tangannya. “Apa maksudmu?”“Kita memang harus bercerai, tapi tidak sekarang!”“Kalau begitu lebih baik kita tinggal terpisah saja mulai sekarang ....”“Tidak bisa, kamu harus ikut aku pulang ke rumah!”Terjadi tarik menarik yang cukup alot di antara keduanya. Tentu saja tenaga Kalila tidak sebanding dengan tenaga Gio yang jauh lebih kuat, dengan mudah dia berhasil mendorong paksa istrinya itu ke dalam mobil.“Mau ke mana kamu?” Gio menarik tangan Kalila saat dia duduk di kursi kemudi dan di saat yang bersamaan Kalila membuka pintu mobil di sampingnya.“Aku sudah ada rumah sendiri, Mas! Sebaiknya kita tinggal terpisah saja mulai sekarang ....”“Kamu tidak tahu aturannya? Aku tidak pernah menjatuhkan talak sama kamu, itu artinya kita masih sah suami istri.”“Tapi kita sedang dalam proses cerai!”“Tetap
Kalila merasakan tulangnya hampir terlepas dari tubuh di saat Nia menyeretnya turun dari dari tempat tidur Gio. “Perempuan murahan! Mas, kenapa kamu sama dia bisa ... kalian berdua tidur bersama?” Kalila merosot di lantai dengan selimut yang menutupi tubuhnya, sementara Gio masih enggan menjawab. “Aku tidak menyangka, kalian berani main api di belakangku! Kalian tidak punya perasaan ya, aku ini sedang hamil!” Nia terus saja menjerit-jerit histeris. Sementara itu di luar, Bik Jani dan Bik Nuri saling pandang dengan cemas. Mereka takut jika Nia mengamuk dan akan menyakiti Kalila. “Bagaimana ini, Bik?” “Bukankah ada Tuan Gio di dalam?” “Memangnya apa yang bisa kita harapkan dari Tuan yang tidak pernah membela Nyonya?” Bik Jani menghela napas panjang menanggapi pertanyaan Bik Nuri. “Sudah cukup, Nia!” Gio akhirnya bersuara. “Tidak seharusnya kamu nyelonong masuk ke kamar ini ....” “Memang kenapa? Supaya tidak ada seorang pun yang tahu kelakuan kamu sama dia?”
“Lila, aku diam-diam mengambilnya saat dia sedang mandi. Aku harus tahu obat apa yang dia konsumsi,” pungkas Gio. Haris mengangguk saja dan segera pergi untuk melaksanakan tugas khusus dari Gio. “Zi, aku izin dulu ya?” Sementara itu di rumah, Kalila menelepon salah seorang temannya dan memberi tahu jika kondisi tubuhnya sedang sangat kelelahan. “Apa aku bilang, Lil! Harusnya kamu rutin minum suplemen untuk menjaga daya tahan tubuh kamu, paham?” “Iya, Zi ... Kapan-kapan aku akan beli.” “Jangan nunggu kapan-kapan, hari ini juga aku kirim paketnya ke rumah kamu ....” “Jangan, Zi! Aku sedang tidak di rumah itu,” ujar Kalila, dia memang belum memberi tahu siapa pun jika dirinya kembali ke rumah Gio. “Kamu tidak usah repot-repot, aku pasti akan beli suplemen itu kalau kondisiku sudah lebih baik.” Zia terdengar menghela napas panjang. “Ya sudah, kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi aku.” “Oke.” Kalila lantas menurunkan tangannya, dia sedang beristirahat di kamar
Cepat-cepat Kalila mandi, lalu berpakaian dan meraih obat yang dia simpan di laci meja riasnya. Baru saja dia akan menelan obat itu, tiba-tiba saja .... “Obat apa ini?” Jemari kokoh Gio memegang erat pergelangan tangan Kalila dan menariknya. “Kamu sakit?” Kalila sempat terkejut, tapi kemudian buru-buru menguasai diri. “Kamu belum berangkat kerja?” “Memangnya kenapa, ada masalah?” Kalila menatap Gio, begitu juga sebaliknya. “Apa yang kamu lakukan semalam?” “Sesuatu yang wajar dilakukan, kenapa? Aku malas ribut, dan kamu juga sangat nyenyak tidurnya. Jadi tidak ada yang dirugikan di dalam hal ini ....” “Tetap saja lain kali jangan lancang menyentuhku tanpa izin,” tukas Kalila sambil menarik lepas tangannya dari genggaman Gio, selanjutnya dia memilih pergi meninggalkan kamar dan turun ke dapur untuk sarapan. Gio tidak sempat mengejar Kalila karena ponselnya sudah lebih dulu berdering meminta perhatian. “Halo?” “Pak, maaf. Apa Anda sudah menemui Nia?” “Memangnya ad
“Ternyata kamu takut mengandung darah dagingku, ya?” Tiba-tiba ada tangan yang mematikan shower dari belakang, Kalila berbalik dan terperanjat kaget saat melihat kedatangan Gio. “Apa-apaan kamu, aku ini sedang mandi!” jerit Kalila sambil berusaha menutupi bagian depan tubuhnya. “Keluar!” “Lucu, kamu menyuruhku keluar dari kamar mandiku?” “Baik, aku yang keluar!” Kalila tidak punya pilihan lain sekalipun ritual mandinya belum selesai. Gio menarik tangan Kalila, tapi istrinya langsung mengibaskan tangan itu. Kemudian dia memaksa kakinya untuk berlari, hingga lantai kamar mandi yang licin terkena air membuatnya jatuh terpeleset dengan keras. “Aduh!” Senyum miring terbit di wajah Gio. “Bukankah mandinya belum selesai? Atau aku saja yang memandikanmu?” “Jangan mendekat!” Kalila menoleh ke belakang saat Gio melangkah ke arahnya, dia meringis karena kakinya terasa berdenyut-denyut. “Kita kan belum bercerai, setidaknya beri aku kenangan indah yang tidak akan terlupakan seumu
"Tidak perlu khawatir, Pak. Bagaimana kelanjutan gugatan cerai saya?" "Bisa saja urus, saya akan kabari melalui nomor cadangan yang sudah Anda berikan." Kalila mengangguk. "Saya mohon dengan sangat, untuk kali ini jangan lagi percaya jika saya meminta Anda untuk menunda perceraian dalam bentuk apa pun." "Saya mengerti, Bu. Saya minta maaf atas kejadian kemarin karena ... beberapa kasus yang pernah masuk ke tim kami, ada pasangan yang bahkan membatalkan gugatan cerai dan tidak jadi meneruskannya ke pengadilan." "Tidak apa-apa, Pak. Tapi untuk saya, apa pun yang terjadi saya ingin tetap meneruskan gugatan cerai untuk suami." Tian mengangguk, berusaha menepis perasaan tidak enak karena pernah membuat Kalila kecewa. "Halo, Arka?" "Halo, Lil? Ada kabar apa?" Kalila menatap ke kaca taksi yang dia tumpangi. "Rumah yang aku sewa itu, penghuninya amanah kan?" "Amanah kok, kamu tenang saja. Aku kenakan sewa per bulan supaya kalau kamu kembali sewaktu-waktu lebih mudah." "Iya,
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?