“Mas, bagaimana rencana kita ...?”“Kita kurung dia,” tegas Gio sambil mengempas tangan Kalila. “Kita bilang saja kalau dia harus bedrest, kunci kamar biar kamu yang pegang.”Kalila terbelalak. “Mas, tunggu!”“Tidak ada penawaran apa pun untuk kamu, Lila. Ikuti rencanaku sampai akhir,” tegas Gio dingin.“Tapi ....”“Apa kamu tuli? Mas Gio tidak menerima penolakan!” sergah Nia sambil meraih lengan suami mereka. “Ayo Mas, kita tinggalkan saja dia biar bisa merenungi kesalahannya.”Gio mengangguk dan mengikuti langkah Nia di sampingnya.Brak!Kalila memejamkan mata ketika Gio menutup pintu kamar utama dengan keras, diikuti suara kunci yang diputar untuk mengurungnya.Saat ini dia benci dengan beberapa hal: benci pada pernikahan, sandiwara untuk berpura-pura hamil, juga benci kepada dirinya sendiri yang tidak memiliki kekuatan untuk melawan arogansi Gio.Kalila benci semua itu!“Kenapa kamu gelisah begitu?” Di kediaman megah berlantai dua itu, Herdi bertanya heran kepada Muti
“Kenapa tidak sekarang saja? Minta Mas Gio untuk memperkenalkan kamu kepada keluarga besar, apa kamu tidak ingin mendapatkan pengakuan dari mereka?”Nia langsung terdiam.“Nenek Mutia itu sangat penyayang terhadap istri dari cucunya, apa kamu tidak ingin di posisi itu?” tanya Kalila lagi.“Aku ... tentu saja aku pasti akan ada di posisi itu suatu saat nanti.”“Kalau begitu, bujuk Mas Gio untuk segera menceraikan aku ... Kamu istri pertama, kamulah yang lebih berhak untuk mendapatkan segala hal yang dimiliki Mas Gio ....”“Tidak usah kamu mengajariku!” bentak Nia, wajahnya terlihat resah bercampur gusar.Kalila yakin jika ucapannya sedikit banyak berpengaruh terhadap mental Nia sebagai istri pertama yang disembunyikan.“Miris ya, saat istri kedua justru lebih diakui?”“Diam kamu, diam!” Nia tidak tahan lagi, dia mengentakkan kaki kemudian pergi meninggalkan kamar Kalila dan menguncinya kembali.“Ya ampun ... seperti aku yang salah di sini,” ratap Kalila menahan kepedihan hati.
“Satu langkah saja kamu berani meninggalkan rumah ini, aku akan hancurkan orang tua kamu.” Gio mengancam. “Kalau begitu biar aku hancur bersama orang tuaku,” sahut Kalila sembari memasukkan pakaiannya dengan serampangan. “Kamu! Sudah berani melawanku, rupanya!” “Terserah apa katamu, Mas.” “Tetap di tempatmu, Lila!” Namun, Kalila tidak peduli. Dia harus melawan sekarang, atau tidak sama sekali .... “Aku bilang tetap di tempatmu!” Gio mengangkat tangannya dengan penuh amarah, tapi yang terjadi selanjutnya .... “Gio, Lila! Apa yang terjadi?” Gerakan tangan Gio langsung terhenti di tengah jalan, dia menoleh dan terkesiap melihat keberadaan Arkana alias Arkan atau Arka. “Tidak apa-apa, kamu ... kenapa mendadak masuk tanpa izin? Sori Ka, tapi ini adalah ruangan yang sangat privasi.” Gio berusaha menguasai diri. Namun, Kalila tentu saja tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Setibanya di kediaman Mutia, kedatangan Kalila dan Arka tentu saja disambut dengan tatapan heran dari sang tuan rumah.“Bagaimana bisa kalian ...? Mana Gio?” tanya Mutia sembari menatap lurus ke arah pintu, kalau-kalau Gio mendadak muncul dari sana.“Maaf karena kedatanganku yang mendadak ini, Nek. Tanpa Mas Gio ....”“Kok bisa kamu sama Arka? Mana Gio?” tanya Mutia kebingungan.Kalila diam, tidak tahu harus memulai dari mana.“Nenek tenang dulu, tunggu sampai Lila siap untuk menceritakan semuanya.” Arka menengahi.“Baiklah, duduk dulu kalian berdua.” Mutia lantas meminta pelayan rumah untuk membuatkan tiga cangkir teh hangat.Arka menoleh kepada Kalila, mengisyaratkannya untuk segera memulai pembicaraan.“Nek, aku ... aku ingin berpisah dari Mas Gio.” Kalila akhirnya memberanikan diri untuk berterus terang.“Pisah? Jangan main-main, Lila. Itu keputusan besar, bukankah baru kapan hari itu kamu dan Gio datang berkunjung? Kamu sendiri sendiri sedang hamil kan?”Untuk pertanyaa
Gio mengemudi sembari memukul setirnya berkali-kali, sudah tidak terhitung jumlah panggilan tak terjawab dari Mutia sebanyak apa ....Pria arogan itu tidak terlalu memiliki nyali untuk menjawab panggilan telepon dari neneknya.“Mas, kamu kenapa sih datang marah-marah begini?” Nia menatap heran ke arah Gio yang sedari tadi mengumpat sambil memijat pelipisnya.“Diam dulu, Nia. Aku sedang berpikir!”Nia melengos, lalu memilih pergi ke kamar untuk melanjutkan nonton film drama di televisi.“Aku harus bicara apa sama nenek? Lila pasti sudah menceritakan segalanya ... Dasar tidak tahu diri sekali perempuan itu, bukankah untung kalau dia tetap menjalankan rencana ini sampai akhir?” Gio berdiri lalu berjalan mondar-mandir sambil mengacak-acak rambutnya. Dia sengaja tidak membuka aplikasi pesan instan miliknya untuk menunjukkan kesan bahwa dirinya sedang tidak online.Saat pikiran sedang kalut, Gio mendengar suara mesin mobil berhenti di depan rumah Nia. Sesaat berikutnya, gedoran pint
“Tapi, Bu ... aku mantap untuk berpisah. Mas Gio tidak menginginkan pernikahan ini, jadi biarkan kami menjalani kehidupan masing-masing.”Soraya dan ibu Kalila saling pandang.“Maaf ya, Besan? Mungkin Lila butuh waktu untuk berpikir.”“Tapi tidak dengan cara seperti ini, bukankah seorang istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suaminya? Sekalipun itu untuk bercerai,” tukas Soraya sambil melipat kedua tangannya di dada. “Anda pasti paham kan, Besan?”“Paham, tentu saja ....”“Bahkan jika Gio sampai mengucap talak pun, Lila harus tetap menghabiskan masa iddah di rumah anak saya.” Soraya menyambung lagi. “Jadi sekarang bagaimana, apakah ada niat baik untuk melakukan segalanya sesuai aturan?”Kalila dan ibunya saling lirik, aura kuat dalam diri Soraya ternyata sanggup membuat mereka merasa tersudut“Ta—tapi ... aku tidak mau dikurung lagi, Bu!” Kalila menatap Soraya. “Mas Gio sudah berlebihan ....”“Apa? Dikurung? Kamu kok tidak cerita dari ke
“Nek, lihat siapa yang datang!”Mutia menoleh saat Gio muncul di dapur diikuti Kalila yang berdiri di belakangnya.“Lila! Kamu tidak jadi berpisah dengan Gio?”Kalila mengerjabkan matanya sebelum menjawab.“Maaf, Nek ... aku terpaksa kembali ... ayahku kena musibah dan hanya Mas Gio yang bisa menolongnya ....”Gio menepuk keningnya sendiri, diliriknya Kalila dengan sedikit jengkel karena malah berterus terang kepada sang nenek.“Terus sekarang bagaimana? Keadaan ayah kamu ....”“Sudah ditangani dengan sangat baik, Nek.” Gio segera menengahi. “Karena itu aku membujuk Lila untuk memperbaiki pernikahan kami, supaya ayah mertua tidak terguncang kondisinya.”Mutia menatap Gio dengan tajam.“Lalu bagaimana dengan istri siri kamu itu?” Gio terenyak, sementara Kalila memilih untuk diam saja.“Aku ... Nenek kan tahu kalau dari dulu aku sangat mencintai Nia ....”“Tapi dia bukan perempuan yang tepat untuk kamu, Gio.”
“Jangan biarkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi!” seru Bik Jani tertahan. “Betul, Nyonya! Bagaimana kalau Bu Nia menggoda Tuan Gio?” Melihat kedua asisten rumah tangganya yang terlihat lebih panik, Kalila memutuskan untuk mendatangi kamar utama selayaknya apa yang harus diperbuat oleh istri sah ketika ada seorang wanita hendak mengganggu suaminya. “Jadi apa keputusan kamu tentang rumah tangga kita, Mas?” Suara Nia terdengar jelas dari luar ketika Kalila tiba. “Kamu tahu sendirilah kalau posisi kita sudah sangat terjepit ....” “Tapi kamu laki-laki, Mas! Kamu punya hak untuk beristri lebih dari satu, biarpun rasanya aku tidak rela!” “Nenekku yang tidak mau, dia tetap memilih Lila sebagai istriku.” “Apa nenek kamu tidak lihat aku sedang mengandung anak kamu?” “Soal anak kita, aku akan tetap bertanggung jawab kepadanya. Kamu tidak perlu khawatir, Nia.” Terdengar isak tangis pelan, di
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?