“Nek, lihat siapa yang datang!”
Mutia menoleh saat Gio muncul di dapur diikuti Kalila yang berdiri di belakangnya.“Lila! Kamu tidak jadi berpisah dengan Gio?”Kalila mengerjabkan matanya sebelum menjawab.“Maaf, Nek ... aku terpaksa kembali ... ayahku kena musibah dan hanya Mas Gio yang bisa menolongnya ....”Gio menepuk keningnya sendiri, diliriknya Kalila dengan sedikit jengkel karena malah berterus terang kepada sang nenek.“Terus sekarang bagaimana? Keadaan ayah kamu ....”“Sudah ditangani dengan sangat baik, Nek.” Gio segera menengahi. “Karena itu aku membujuk Lila untuk memperbaiki pernikahan kami, supaya ayah mertua tidak terguncang kondisinya.”Mutia menatap Gio dengan tajam.“Lalu bagaimana dengan istri siri kamu itu?”Gio terenyak, sementara Kalila memilih untuk diam saja.“Aku ... Nenek kan tahu kalau dari dulu aku sangat mencintai Nia ....”“Tapi dia bukan perempuan yang tepat untuk kamu, Gio.”“Jangan biarkan sesuatu yang tidak diinginkan terjadi!” seru Bik Jani tertahan. “Betul, Nyonya! Bagaimana kalau Bu Nia menggoda Tuan Gio?” Melihat kedua asisten rumah tangganya yang terlihat lebih panik, Kalila memutuskan untuk mendatangi kamar utama selayaknya apa yang harus diperbuat oleh istri sah ketika ada seorang wanita hendak mengganggu suaminya. “Jadi apa keputusan kamu tentang rumah tangga kita, Mas?” Suara Nia terdengar jelas dari luar ketika Kalila tiba. “Kamu tahu sendirilah kalau posisi kita sudah sangat terjepit ....” “Tapi kamu laki-laki, Mas! Kamu punya hak untuk beristri lebih dari satu, biarpun rasanya aku tidak rela!” “Nenekku yang tidak mau, dia tetap memilih Lila sebagai istriku.” “Apa nenek kamu tidak lihat aku sedang mengandung anak kamu?” “Soal anak kita, aku akan tetap bertanggung jawab kepadanya. Kamu tidak perlu khawatir, Nia.” Terdengar isak tangis pelan, di
“Kok pulang terlambat, Mas? Ada rapat di kantor?” sambut Kalila saat Gio turun dari mobil petang itu. “Sini tasnya, biar aku bawakan ....”“Hentikan usahamu menarik perhatianku, percuma!” desis Gio sembari berjalan melewati Kalila yang berdiri membeku.Tin! Tin!Suara klakson mobil menyadarkan Kalila dan membuatnya urung beranjak dari pintu depan. Dilihatnya penjaga rumah mempersilakan masuk seseorang yang familiar ....“Arka,” gumam Kalila lirih.“Maaf Lil, aku mampir mendadak!” “Tidak apa-apa, masuk dulu ....”“Gio sudah pulang kantor kan?”“Sudah, nanti aku panggilkan.”Kalila mempersilakan Arka untuk duduk menunggu di dapur, setelah itu dia mencari keberadaan Gio di kamar utama.“Pak Arkana, lama tidak mampir!” Bik Nuri menjadi yang paling kegirangan saat mengetahui kedatangan sepupu Gio.“Nuri, tidak sopan kamu!” tegur Bik Jani yang merasa malu. “Tidak apa-apa, Bik ....”“Saya buatkan teh ya, Pak!” Bik Nuri langsung mengambil cangkir sementara Bik Jani geleng-gelen
“Kamu pikir kamu sudah menang, hah?!”Kalila terperanjat ketika mendengar suara Nia menghardiknya. Dia yang sedang duduk-duduk di taman seketika berdiri dan melihat wanita itu menatapnya garang dari balik gerbang rumah.“Menang ...? Memangnya kita sedang berlomba?” tanya Kalila tidak mengerti.“Berlomba mendapatkan hati Mas Gio, jangan pura-pura tidak tahu kamu!”Karena Nia terus berteriak-teriak, penjaga rumah sampai harus menegurnya. Nia semakin murka dibuatnya.“Heh, kamu tidak tahu aku siapa? Aku ini istrinya Tuan Gio juga!”“Maaf Bu, jangan bikin ribut di sini!”Nia melotot ke arah penjaga rumah itu dan melontarkan kata-kata tidak sopan, hingga membuat telinga Kalila panas setengah mati.“Biar saya uang urus, Bapak minum kopi saja.”“Tapi, Nyonya ....”“Tidak apa-apa, pastikan pintu gerbang tetap terkunci biar dia tidak bisa masuk.”Penjaga rumah yang dipekerjakan Gio tidak memiliki pilihan lain, dia berbalik pergi setelah
Mendengar ucapan itu, Kalila tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Sesungguhnya dia tidak yakin jika Gio sedang berbicara kepadanya.“Tadi kamu ngobrol apa saja sama kakek?” tanya Kalila begitu mereka tiba di rumah.“Bukan urusan kamu.”Lagi dan lagi, sikap Gio tidak sedikit pun berubah kepadanya. Namun, Kalila tidak ingin mencari tahu lebih jauh lagi.Ada hal lain yang jauh lebih penting untuk dia pikirkan.“Bik, saya mau minta tolong ....”“Minta tolong apa, Nyonya?”Kalila mendatangi Bik Nuri yang sedang menyapu halaman.“Kapan pun Pak Arkana datang, apa Bibik bisa minta nomor teleponnya?”“Nomor telepon Pak Arkana?” “Betul Bik, saya tidak enak sama Tuan kalau minta langsung.” Kalila beralasan. “Tapi Bibik jangan bilang siapa-siapa ya, takutnya ada fitnah yang tidak jelas nanti.”“Siap, Nyonya! Saya akan bantu, kebetulan saya akrab sama Pak Arka yang ramah dan tidak sombong itu!”Kalila tersenyum melihat Bik Nuri yang
“Kalau begitu aku akan minta izin Mas Gio dulu.”“Tidak usah! Kalau kamu minta izin, namanya bukan kejutan lagi.”Kalila terdiam, antara ragu dan ingin mencoba.Hingga akhirnya, dia memberanikan diri untuk mengantar bekal makan siang ke kantor Gio sebagai kejutan.Namun, suaminya itu justru menampakkan wajah tidak senang ketika Kalila muncul di hadapannya.“Aku bawakan makan siang buat kamu, Mas ....”“Aku tidak bisa makan sembarangan.”Gio menatap galak pada Kalila supaya istrinya itu mengerti.“Bawa pulang lagi makanan itu, aku sibuk.”“Tapi kamu harus tetap makan siang, sesibuk apa pun kamu.” Kalila masih berjuang, dia membuka kotak bekal itu dan menunjukkan nasi goreng ayam suwir yang dibuatnya tadi di rumah. “Ini masih hangat, kamu coba dulu.”“Sudah aku bilang aku sibuk!” tukas Gio. “Tapi kamu harus tetap makan, Mas. “Tanpa kamu datang bawa bekal pun, aku tidak akan mungkin kelaparan.”Kalila masih memegang kotak bekal yang telah dia buka, sampai kemudian Haris mu
“Aku juga belum tahu, pengalamanku belum banyak. Kamu mungkin pernah dengar kalau aku sempat jadi relawan di panti jompo, dan bertemu Nenek Mutia.”Arka menatap Kalila dengan lebih intens.“Kok bisa Nenek Mutia bisa di panti jompo?”“Aku juga tidak begitu mengerti, panjang ceritanya.”Arka tidak bertanya apa-apa lagi, tapi dia berjanji akan mengupayakan agar Kalila bisa mendapatkan pekerjaan.Sore harinya, Gio tiba dengan hidung memerah.“Kamu flu?” tanya Kalila khawatir.“Mungkin,” sahut Gio tanpa menghentikan langkahnya.Meski Gio lebih sering menolak untuk diperhatikan, Kalila tidak bisa begitu saja mengabaikan kondisi kesehatan suaminya.“Kamu sudah makan belum?”“Sudah.”“Minum obat?”“Tidak.”Seumur-umur menikah dengannya, baru sekali inilah Kalila mendapati Gio meringkuk di balik selimut yang menutupi tubuhnya.Ingin sekali Kalila memeluk dan membelai Gio sekadar ingin meredakan rasa sakit itu, tapi dia tahu bahwa suaminya tidak akan sudi jika mereka sampai bersen
Bik Jani dan Bik Nuri merasa seperti berganti majikan hari itu karena Soraya mendadak menguasai seisi rumah. Kalila tidak ingin ambil pusing, dia sengaja memanfaatkan kedatangan ibu mertua untuk mendesak Arka supaya segera mencarikannya pekerjaan.Kalila tidak tahu sampai kapan dia bisa bertahan dalam pernikahan yang hampa ini.Soraya benar-benar mengurus Gio seharian penuh, hingga membuat Kalila merasa menjadi istri yang tidak berguna.“Saya pulang dulu, Lila. Tolong sekali kamu perhatian sama Dano, dia itu anak saya satu-satunya ... Kalau ada apa-apa sama dia, saya dan ayahnya tidak punya siapa-siapa lagi.” Soraya berpamitan dengan kata-kata yang dibuat sedramatis mungkin, dan itu sengaja dia katakan di depan asisten rumah tangga Gio.Bik Nuri mengusap-usap lengan Kalila sebagai bentuk dukungan karena dia tahu betul bagaimana majikannya itu berusaha memperlakukan sang suami dengan sangat baik.“Nyonya yang sabar,” bisik Bik Nuri ketika Soraya sudah berlalu.“Tidak apa-apa Bik,
Selain itu, Kalila juga menggunakan waktunya untuk mempelajari cara membuat tulisan dengan baik. Dia tidak terlalu menaruh minat pada bidang kepenulisan, tapi kegigihannya belajar cukup membuahkan hasil meski tidak langsung mendapatkan job.Satu bulan berlalu, Kalila mendapatkan gaji pertamanya dan itu sangat membuatnya merasa memiliki nilai lebih.Selain itu, sudah ada beberapa calon klien yang menghubunginya dan meminta sampel tulisan.“Bahagia sekali kamu, gaji sudah diterima?” komentar Arka yang sore itu mampir ke cabang minimarket tempat Kalila bekerja.“Sudah, ternyata menyenangkan sekali bekerja itu.”Arka tertawa kecil. “Kamu belum merasakan tekanan dari pihak atasan, sih.”“Aku minim pengalaman, dan lagi aku lebih sering terjun di kegiatan sosial.”“Makanya kamu lebih memilih jadi relawan panti jompo?” tebak Arka sambil mempersilakan Kalila untuk masuk ke mobilnya.“Aku naik taksi saja, Ka.”“Sekalian mampir ini.”Selagi tidak ada pegawai yang melihat, Kalila buru-b
“Gio pasti mencariku!” Kalila agak kesulitan turun karena sudah mengenakan kebaya warna maron. “Kamu akan tetap di sini,” tegas Arka, mencekal pergelangan tangan Kalila. “Aku tidak bisa, mana ponselku? Aku harus pesan taksi!” “Aku bawa mobil, tidak usah pesan taksi.” Karena tidak ada pilihan lain, terlebih karena ponsel juga tidak dalam jangkauannya, Kalila terpaksa mengikuti saran Arka. Sebenarnya apa yang terjadi, batin Kalila saat mobil Arka mulai melaju. Dia ingat betul bahwa terakhir kalinya ada di gedung dan bersiap melangsungkan akad nikah dengan Gio, lalu saat berganti pakaian .... Sepertinya ada yang membekapku, sambung Kalila dalam hati. “Kenapa wajahmu tegang begitu?” tanya Arka memecah keheningan. “Tidak apa-apa!” Kalila buru-buru menggeleng. “Kamu ... hadir di acara Gio?” “Aku datang mewakili ayahku, tidak enak juga kalau tidak datang.” Kalila diam, ada setitik rasa curiga terhadap Arka. Namun, dia tidak ingin menampakkan rasa curiganya itu secara teran
“Sudah terlambat, percuma saja.” “Kenapa percuma, Mas? Aku akan bujuk Lila kalau itu yang kamu inginkan!” Arka menoleh dan menatap Sofi dengan penuh benci. “Sudah ada laki-laki lain yang akan merujuk Lila, sepupuku sendiri!” Sofi tercenung. “Jadi ... kita sudah terlambat?” Arka mendengus, merasa muak dengan sikap Sofi yang terkesan lemah. “Tapi ... apakah Lila benar-benar tidak bisa dibujuk lagi?” “Bujuk saja kalau kamu bisa,” pungkas Arka datar. Sofi masih berdiri membeku dengan pakaian dinas yang melekat di tubuhnya. Sepertinya ini bukan saat yang tepat, pikir Sofi muram. Suasana hati Arka jelas sedang buruk, sehingga akan sangat egois jika dia tetap meminta keinginannya. “Arka, akhir-akhir ini ayah perhatikan kamu semakin parah saja.” Sandy berkomentar di hadapan Sania dan Sofi saat sarapan pagi. “Pergilah berlibur kalau memang kamu membutuhkannya.” Arka menatap Sandy dengan sorot mata redup. “Ayah tahu apa yang aku inginkan.” “Arka, kamu bukan anak kecil lag
Ayah dan ibu Kalila saling pandang. “Kamu serius?” “Pernikahan ini tidak untuk main-main, kamu sadar?” “Aku sangat serius, dan aku sadar itu.” Gio menatap kedua orang tua Kalila bergantian. “Kamu pernah menduakan putri kami,” ungkit ayah Kalila, seolah hal itu belum lama terjadi. “Sekali lagi aku minta maaf, Yah. Tapi kali ini aku jamin, aku tidak akan mengecewakan Lila. Dia hanya jadi satu-satunya istri jika kami rujuk nanti.” Ayah Kalila menarik napas panjang dan tidak menjawab. “Lila sendiri bagaimana?” tanya ibu ingin tahu. “Kami sudah bertemu dan Lila menyerahkan sepenuhnya kepada Ayah dan Ibu.” “Kalau begitu kami juga harus membicarakannya dengan Lila terlebih dahulu,” pungkas ayah. “Kamu tidak bisa mengambil keputusan sepihak, karena nantinya Lila yang akan menjalani ini semua.” Gio mengangguk, menurutnya pertemuan ini tidaklah terlalu buruk dari yang dia bayangkan. Kalila sedang ikut mengepak pesanan reseller ketika ponselnya berdering nyaring. “Izin seb
Sesaat setelah mobil Gio melaju pergi, mobil Arka justru baru saja menepi di depan outlet Zideka. “Sepertinya Lila serius mau rujuk sama Gio,” gumam Arka nyaris putus asa. “Ya ampun, aku harus bagaimana?” Ingin rasanya Arka membuntuti mereka, tapi dia tidak kuat menyaksikan kebersamaan mantan istrinya. “Sudah kamu pertimbangkan matang-matang?” tanya Gio begitu dia dan Kalila sudah berada di dalam kafe miliknya. “Pertimbangkan apa?” “Rujuk lah!” Kalila mengerutkan keningnya. “Itu serius? Tidak, kan? Aku tahu kamu mengatakannya spontan saja karena terbatasnya waktu untuk berpikir, sekarang jadi seperti ini kan ...” Giliran Gio yang mengerutkan keningnya, dia tidak mengira jika Kalila menganggap apa yang dia katakan di media tempo hari adalah sebuah ketidaksengajaan. “Kita bisa menjadikannya benar-benar serius,” cetus Gio, tapi malah mendapat tatapan tajam dari Kalila. “Demi Noah, tentu saja!” imbuh Gio buru-buru supaya Kalila tidak salah paham. “Anak keci
Kalila untuk sementara tidak mau pusing-pusing memikirkan berita yang beredar tentang dirinya dan Gio. Namun, tetap saja dia merasa kebingungan juga saat ibunya menelepon untuk mengonfirmasi kebenaran itu. “Kamu serius mau rujuk sama Gio?” Kalila menarik napas panjang, tidak tahu harus memulai dari mana untuk menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya. “Belum pasti kok, Bu ...” “Kok belum pasti, bagaimana sih? Jangan jadikan pernikahan sebagai permainan, Lil!” “Bukan maksudku begitu, tapi memang semua ini serba mendadak dan belum pasti. Aku tidak menganggap serius ucapan Gio di depan media, mungkin biar meredam kesalahpahaman saja.” “Salah paham seperti apa sampai kalian harus bicara dusta di depan orang-orang?” Kalila lagi-lagi bingung jika harus menjelaskan kejadian yang bermula di rumah kontrakannya. “Ceritanya panjang, Bu. Mungkin Ibu bisa hubungi Gio karena dia pertama kali punya ide bilang rujuk di depan orang-orang,” usul Kalila, mau tak mau harus menumbalkan Gio.
“Jelaskan ini, Dan! Apa maksudnya?” Dengan suara melengking miliknya, Soraya mengintrogasi sang putra begitu mereka bertemu. “Jelaskan soal apa, Bu?” “Itu, berita yang sedang beredar! Kamu bilang kalau kamu akan rujuk dengan mantan istri kedua kamu kan?” Gio menatap Soraya sekilas. “Doakan saja, Bu.” “Maksud kamu apa? Kalian betulan mau rujuk?” “Kalau memang itu takdirku, mau bagaimana lagi?” “Kamu jangan bercanda, Dan! Kalau kamu sudah ada keinginan untuk menikah lagi, kenapa tidak cari orang lain saja?” “Memangnya kenapa, Bu? Lila kan ibu dari anakku juga ...” “Tapi ibu tidak setuju! Apa kamu tidak ingat bagaimana dia berkeras untuk cerai dari kamu, jadi buat apa sekarang kamu rujuk sama dia? Buang-buang waktu, tenaga, dan pastinya uang!” Gio menarik napas. “Entahlah, kita lihat saja nanti. Setidaknya Lila bukanlah orang lain dalam keluarga kita.” Tidak puas dengan jawaban Gio, Soraya mencebikkan bibirnya. Susah payah dia mencarikan calon yang sesuai untuk Gio
Kalila memijat-mijat kepalanya yang terasa pening, di sebelahnya ada Bik Nuri yang sedang menyeduh secangkir teh lemon untuknya. “Jangan terlalu dipikirkan, Nyonya. Saya saksinya kalau Nyonya dan Tuan tidak berbuat seperti apa yang mereka tuduhkan ...” hibur Bik Nuri seraya menghidangkan teh buatannya. “Tapi kan masalahnya mereka lihat sendiri bagaimana Tuan ada di rumah ini, kami tidur hanya dengan Noah sebagai pembatas ... Saya malu, Bik. Orang-orang di luar sana pasti berpikiran macam-macam tentang kami ...” Bik Nuri mengusap-usap bahu Kalila untuk meredakan kegelisahannya. “Kita memang tidak bisa memaksa orang untuk percaya dengan apa yang kita jelaskan, Nyonya. Mereka cenderung mempercayai apa yang mereka lihat saja,” ujar Bik Nuri. “Mungkin butuh beberapa waktu lagi sampai kejadian ini mereka lupakan ...” Kalila menatap tehnya. Apa mungkin mereka akan lupa kejadian tadi seiring berjalannya waktu? Dia tidak yakin karena beberapa orang dari mereka bahkan secara terang-ter
Noah terbangun dengan kaget dan kebingungan melihat keberadaan banyak orang di depannya. “Sebentar, sebentar ... ada apa ini?” Gio yang baru terbangun dari tidurnya, tampak bingung dengan situasi ruang tamu yang kini penuh orang. “Ada apa, ada apa, ada yang mesum di lingkungan ini!” “Mesum?” “Jangan pura-pura tidak tahu, kamu bukan warga sini kan?” Melihat Noah yang bingung sekaligus ketakutan, Kalila mengisyaratkan kepada Bik Nuri untuk memeluknya. “Saya cuci muka sebentar,” kata Kalila tegas. “Tidak bisa begitu, kamu pasti mau kabur ya?” “Kalian harus mempertanggungjawabkan perbuatan kalian!” Suara-suara ribut terus terdengar di seluruh ruangan. “Paling tidak jangan membuat anak ini takut!” seru Bik Nuri sambil mendekap Noah erat-erat. “Ini hanya salah paham, berikan kesempatan pada majikan saya untuk menjelaskan. Paling tidak biarkan nyonya saya cuci muka dulu!” “Nanti dia kabur ...” “Untuk apa saya kabur? Rugi, saya sudah membayar sewa rumah ini
Ketika hari mulai malam, demam di tubuh Noah semakin meninggi. “Minum obat dulu, ya?” bujuk Kalila. “Habis ini Noah tidur ...” “Ayah kapan datang, Bu?” Kalila tidak segera menjawab. “Telepon ayah ...” pinta Noah pelan, wajah yang biasanya ceria itu kini terlihat sayu. Sumpah demi apapun, Kalila tidak tega melihat Noah sakit seperti ini. Apa dia betul-betul harus menelepon Gio? Tapi ini kan sudah malam, batin Kalila tidak mengizinkan. “Noah tidur dulu ya, besok baru ibu telepon ayah.” “Gak mau, aku mau ayah sekarang ...” Kalila tidak mendengarkan dan malah berbaring di samping Noah, di dekatnya sang putra dengan erat dan berharap panas itu berpindah ke tubuhnya saja. “Sama ibu dulu, nama Harus istirahat biar cepat sembuh.” “Mau ayah sekarang ... Ayah ...” Kalila terlihat bimbang, dia tentu segan jika harus menghubungi Gio malam-malam begini. Namun, melihat keadaan Noah yang sedang terbaring demam, membuatnya tidak tega untuk tetap menolak keinginannya. “Halo?