Geram sekali, Evan yang tak bisa menahan diri akhirnya menendang pintu di hadapan. Pria itu berteriak memanggil nama perempuan di dalam ruangan.
"Aku mau tidur, Kia! Buka pintunya!"
Ini Minggu. Masih jatah Evan bersama Kia. Pun, Evan sebenarnya hanya ingin tidur. Besok Senin, banyak pekerjaan yang harus diurus, ia perlu menghemat tenaga. Namun, dasarnya Kiandra alergi membuat rumah ini tenang. Perempuan itu malah tak mengizinkan Evan masuk ke kamar itu.
"Tidur sama Lidia! Aku enggak mau kasih kamu masuk, sebelum kamu setujui aku kerja di rumah makan kamu!"
Teriakan dari dalam dibalas pukulan oleh Evan di pintu. Pria itu menarik napas. Merapikan helai rambut yang sudah beberapa kali diacak.
"Ini rumahku, Kia. Ini kamarku. Buka pintunya, atau kudobrak." Pelan, tetapi penuh ancaman. Evan mendoktrion diri untuk mewujudkan ucapan barusan, jika si istri tetap tak mengalah.
"Dobrak aja! Uangmu
"Di sini aja, mau?" Evan menunjuk sofa santai. Bibirnya menampilkan seringai sempurna."Orang gila!" Menghentak kaki, Kiandra memukul lengan Evan dengan tangan yang bebas.Evan tergelak saja. Pria itu berjalan, menuntun Kia menuju kamar perempuan itu. Ia bahkan sempat mengejek Kiandra karena terus memukuli punggung dan lengannya. "Katanya enggak mau, tapi dipegang-pegang juga."Kiandra meratapi nasib sembari mengekori langkah Evan menuju kamar. Ia tak tahu apa kesalahan fatal yang sudah diperbuat, hingga harus menanggung hukuman seberat ini, berada dalam jeratan pria seperti Evan.Niatnya ingin mendapatkan sesuatu, malah dipaksa kalah dan harus rela melakukan sesuatu yang tak diinginkan. Kiandra hampir menangis, saat Evan mengganjal pintu yang dirusak tadi dengan kursi, agar bisa tertutup rapat."Kamu itu laki-laki paling jahat di dunia, Evan! Cuma orang gila yang bisa tahan sama ka
Kiandra adalah orang yang pantang menyerah. Gadis itu keras kepala, jika menyangkut sesuatu yang memang sangat diinginkan.Salah satu bukti, sewaktu ia berusaha menolak dinikahkan dengan Evan. Selain kabur dari rumah, Kiandra juga pernah nekat akan lompat dari atap rumah. Nyaris akan benar-benar melompat, sebelum akhirnya sang ayah memohon sambil menangis.Saat itu, takut menjadi anak durhaka, Kiandra turun dari atap rumah. Namun, dengan beberapa syarat yang harus Evan penuhi agar mereka bisa menikah.Sekarang pun, Kiandra masih tak suka menyerah sebelum mengerahkan segala cara. Pada Evan, ia kembali membuka percakapan soal pekerjaan.Sengaja Kia mendatangi si suami yang sedang santai di ruang tengah sendirian. Meminta diberi satu posisi, berjanji akan membagi gajinya nanti sebesar 20 persen pada Evan."Aku yang gaji kamu, kamu pikir aku bakal senang dapat bagian 20 persen? Yang paling tep
Kiandra memekik, lalu meringis. Perempuan itu berpegangan pada besi tangga untuk bisa berdiri tegak, setelah tadi sempat terpeleset.Ia mengangkat kaki yang tadi salah menapak dan terpleset. Merah terlihat di dekat mata kaki. Sedikit lecet karena sempat bergesekkan dengan pinggiran anak tangga.Mengabaikan rasa sakit itu, Kiandra berjalan tertatih menuju ruang makan. Ia butuh sarapan, sebelum berangkat kerja. Sepatu yang tadi dibawa ditaruh di dekat kursi.Hore. Karena hari ini Kia resmi bekerja di salah satu toko roti milik teman Evan. Tidak serunya, ya, ini. Tidak ada yang membangunkan, Kiandra jadi terlambat bersiap-siap."Kamu kunci kamar, Ki. Jadi, aku enggak bisa masuk." Lidia membantu Kiandra, mengambilkan sarapan."Masih keburu, ya, 'kan? Aku masuk jam sembilan."Lidia melirik jam. Sekarang delapan lebih tiga puluh. "Kamu naik motor aja. Biar bisa cepat." Perempuan itu menaruh sepiring nasi goreng
Tahu jika Kiandra sudah sampai di rumah, Evan yang tadinya sudah berbaring di kamar, keluar dan menemui perempuan itu. Tentu setelah memberi jeda sekitar sepuluh menit.Kia ada di ruang makan. Tengah menikmati semangkuk mi instan. Tanpa diminta, Evan duduk di depan gadis itu."Salah bungkus pesanan pelanggan."Kia yang menyeruput kuah mi berhenti sejenak. Perempuan itu menengok pada orang di hadapan. Apa bosnya melapor langsung pada Evan? Kenapa pria itu bisa tahu jika Kia melakukan kesalahan tadi?"Kamu tahu seberapa penting kepuasan pelanggan di usaha kuliner begini, Ki?" Dagu Evan terangkat. Mata pria itu lurus pada Kia."Tadi lumayan ramai. Aku sempat bingung. Masih belum hapal nama kue dan roti di sana juga."Salah membungkus pesanan pelanggan, itu sepenuhnya bukan kekeliruan Kia. Harusnya bertugas di belakang mesin kasir, tadi itu toko lumayan ramai dan salah satu da
"Sarapan telur tiap hari, bisa bisulan aku."Kia berusaha tak membalas. Sesuap demi sesuap sarapan di hadapan ia lahap, walau tidak berselera.Evan terlihat mengeluarkan kunyahan nasi dan telur dari mulut. Pria itu taruh di pinggir piring. Wajahnya keruh, jecut dan kesal. "Kamu kalau enggak niat masak, jangan masak, Ki. Telur digoreng sama kulit-kulitnya juga?"Sendok di tangan Kia taruh kasar. Suara denting karena besi membentur piring keramik menghentikan acara sarapan pagi itu."Menurut kamu aku enggak boleh salah, gitu? Kamu sengaja mau ngajak ribut pagi, ini? Ayok, ribut sekalian, Van."Si lelaki ikut-ikutan melepas sendok dari tangan. "Kok jadi kamu yang marah? Yang salah kamu, Ki.""Apa? Apa salah aku?"Kia mengaben sendiri apa-apa saja yang menjadi kesalahannya pagi ini. Pertama, kembali menghidangkan telur dadar sebagai sarapan, setelah kemarin-kemarin juga menyajikan menu yang sama.
Kiandra pikir Damar hanya membual tadi pagi, saat berkata akan menjemput. Pria itu sudah dua kali membuat Kia salah menerka."Mau langsung pulang?" Damar menarik cepat sodoran helm ke arah Kia. Senyum pria itu mekar."Memang mau ke mana lagi?" Kiandra menarik gelang di tangan kanan. Menjadikan benda itu pengikat rambut, lalu ingat sesuatu. "Aku belum pulangkan gelang kamu."Damar memberitahu. Di rumah sedang tidak ada orang. Lidia dan Evan sedang pergi jalan-jalan. Jadi, tidak msalah seandainya mereka juga berkeliling sebentar."Ke mall aja, yuk? Sekalian cari ikat rambut."Pada ajakan itu, Damar mengangguk. Mereka berangkat.Kia memang sedikit tidak berselera pulang tadi. Masih kesal dengan Evan. Karena itu ide Damar disanggupi.Mereka sempat berkeliling mal sebentar. Melihat-lihat. Di toko pakaian, sepatu, kosmetik, lalu berhenti di salah satu stand aksesori.Toko itu lumayan be
"Ini istri Bapak, ya?"Kiandra menoleh sedikit. Dilihatnya Evan mengangguk, sembari membuat Lidia berdiri di sampingnya."Istri saya. Lidia."Entah apa yang Kiandra tunggu. Entah apa juga yang ia harapakan hingga terus-terusan menatapi Evan yang tengah berbasa-basi dengan perempuan asing tadi."Sampai ketemu lagi, ya, Pak. Semoga mesra terus sama istrinya."Kembali menghadap ke arah si penjaga toko, Kiandra tersenyum getir. Apa yang ia tunggu? Dikenalkan Evan sebagai istri kedua? Yang benar saja.Kenapa tidak? Banyak pria yang terang-terangan memiliki istri lebih dari satu sekarang ini. Selagi mereka bisa mencukupi nafkah lahir atau batin, tidak akan ada orang yang melarang. Harusnya, Evan tak perlu malu, 'kan?Namun, pria itu memilih hanya memperkenalkan Lidia. Menyembunyikan Kiandra, menganggapnya tak ada di sana.Masalahnya, mungkin, bagi Evan pernikahannya dengan Kiandra itu m
Rumah sepupunya Damar terasa sedikit lebih riuh hari ini, setelah dari pagi hingga sore tadi tentram damai. Penyebabnya adalah Kiandra yang sakit.Sejak pagi, Damar melihat bagaimana Lidia berusaha mengurusi Kiandra yang bersikeras tak ingin makan atau diajak ke dokter. Sepupunya itu baru pergi untuk melayat salah satu teman, setelah Evan pulang dari rumah makan.Kiandra mengaku sakit kepala tadi pagi. Namun, barusan, gadis itu terlihat menggigil. Damar sendiri sudah memberi saran untuk meminum obat demam saja. Namun, ditolak. Kiandra lebih memilih terus berbaring di sofa ruang tengah."Irna!"Damar menyipitkan mata saat mendengar Evan berteriak memanggil sang asisten rumah tangga."Panggilkan dokter."Pada titah sang bos, Irna mengangguk patuh.Dari tempatnya duduk--sofa single--Damar melihat Evan pergi ke lantai dua. Tak lama kemudian kembali, membawa sepasang kaus kaki."Kayak
Sudah akan pulang, sudah duduk di atas jok sepeda motornya, Kai menemukan Samara menghampiri. Lelaki ini yakin benar-benar didatangi, sebab setahunya, sepeda motor karwayan lepas ibunya itu ada di sebelah kanan. Sekarang pukul satu siang, Kai dan Samara baru saja pulang mengajar. Kebetulan aneh, Kai dan gadis yang bekerja sampingan sebagai pengantar nastar Kia itu diterima menjadi guru honor di SD yang sama. Bertemu di rumah, bertemu lagi di tempat kerja. Kai mulai terbiasa, tetapi tetap merasa risih saat gadis dengan iris mata sewarna madu itu mendatangi dan muncul di hadapan muka seperti sekarang. Menurut Kai, Samara itu tidak tegak akalnya. Agak miring. Bayangkan, di hari pertama masuk kerja dan mereka bertemu, si gadis dengan rambut hitam sepunggung itu mengaku menyukai Kai. Di depan Kiandra pula. "Apa?" tanya Kai ketus saat Samara hanya diam saja di samping sepeda motornya. Kai menjadi sedikit jengkel saat gadis yang ada di depannya memasang ekspresi wajah santai, menuju da
Hening. Sepi. Ketenangan yang ada di kediaman Evan terasa hampa kali ini. Rumah berlantai dua yang menjadi saksi lika-liku cinta Evan dan Kia itu tidaklah kosong. Bangunan itu berpenghuni, hanya saja masing-masing penghuninya tengah diselimuti kehampaan. Ada peristiwa jelek beberapa waktu lalu. Di kamar yang berada di lantai satu, yang beberapa tahun belakangan ditempati oleh sulung Wijaya. Di sana, Evan memergoki Vano hendak menyayat nadi. Kehebohan terjadi. Evan yang biasanya tenang menjerit histeris dan berusaha mencegah anaknya melanjutkan tindakan mengerikan itu. Dibantu istri dan putrinya, Evan akhirnya berhasil menjauhkan Vano dari pisau terkutuk tadi. Memang, Vano tak baik-baik saja setahun belakangan. Sejak kecelakaan tragis yang menyebabkan kaki kanannya pincang, Vano mengalami masa-masa sulit untuk beradaptasi dengan keadaan barunya. Mengasingkan diri, menarik diri, menjauhi semua orang, bahkan menunda pengerjaan tugas akhir kuliah. Evan tahu semua itu tidak mudah. Na
"Papa enggak sayang Vian!" Kalimat keramat, batin Evan. Di depan putrinya yang masih mengenakan seragam putih abu-abu, lelaki itu mengepalkan tangan. "Apa salahnya, Pa? Vian udah gede! Udah tujuh belas! Pacaran aja enggak boleh?" Pipi Vian merah. Ia mengingat bagaimana ayahnya memarahi Glen di muka umum tadi. Kekasihnya itu pasti malu. Tahu sendiri kalau ayahnya sudah murka, mulutnya lebih pedas dari sambal rawit buatan nenek. Mengusap wajah, Evan menarik napas. "Pacaran? Untuk apa? Dengan siapa? Kamu bahkan enggak mengenalkan dia ke Papa, Vian. Kamu sehat?" Rahangnya yang tirus mengetat, mata si gadis memerah. "Papa udah enggak sayang Vian!" tuduhnya dengan wajah terluka. Kemudian, remaja itu berbalik, menaiki tangga dengan tergesa. "Vian?" Evan memanggil. "Navian Kaiandra Wijaya!" Suaranya menggelegar ke seluruh penjuru rumah. Langkah Vian berhenti. Ia berbalik, menoleh dengan sorot marah pada ayahnya. "Papa udah enggak sayang Vian! Vian kesal! Vian enggak mau ngomong dulu sa
"Abang, kok, kita dilihatin mereka?" Gadis kecil dengan kaus kuning itu bergeser ke kanan agar semakin dekat dengan sang kakak. Kai melirik pada beberapa pegawai di rumah makan itu. Anak lelaki itu tahu apa yang adiknya maksud. Memang, mereka sedang jadi bahan tontonan sekarang. Bukan hanya pegawai bagian dapur yang ada di sini, pekerja yang biasanya siap siaga di depan pun sudah silih berganti muncul. Sekadar pura-pura lewat, demi bisa melihat mereka. "Abang?" Si gadis kecil menyenggol bahu kakaknya. Tangannya yang kecil itu terus berusaha mencuci kentang dalam ember yang penuh air. "Enggak apa, Vian. Mereka itu teman Papa. Vian takut?" Kai melempar senyum tulus pada sang adik. Gadis kecil berambut hitam sepundak itu mengangguk. Matanya yang sedikit bengkak mulai berkaca-kaca lagi. "Salah Vian. Maafin Vian, ya, Bang?" Ia membersit hidung. Kai mengangguk. Tangannya basah, anak itu menyentuh kepala sang adik dengan lengan. "Abang juga salah." Kai dan Vian sedang dihukum. Oleh ay
Menemukan Evan sedang duduk sendirian di ruang makan, Kiandra terkekeh pelan. Memasang raut datar setelahnya, perempuan itu duduk di pangkuan sang suami. "Nungguin siapa? Enggak dikasih jatah, kamu mau beneran selingkuh sama Nona Daster Putih?" Tidak dijawab, Kiandra mengalihkan tatap karena Evan malah memandangi. Dari jarak sedekat ini, dengan sorot mata dalam dan teduh pria itu, Kiandra sudah berdebar saja. "Lihat mataku," Evan meraih dagu Kia, membuat perempuan itu kembali menatapi. Evan suka saat melihat pantulan dirinya di beningnya netra coklat sang istri. Mengendalikan detak jantung, Kiandra tak bisa untuk tak memeluk lelakinya itu. "Kenapa duduk sendirian di sini?" "Pengin mi instan goreng. Buat, gih." Ah. Kia tak bisa tak tersenyum. Perempuan itu menjungkitkkan ujung bibir. Ia kecup pipi Evan lama. "Tumben," ejeknya sengaja. Evan menggeleng. Ia juga tak paham. Tadi itu sudah makan. Ikan goreng yang Kia siapkan, sungguh enak. Namun, entah k
Kiandra itu gila. Evan tidak akan meralat ucapan itu. Ia juga tak akan mau meminta maaf kalau pun istrinya itu mendengar apa yang barusan ia suarakan dalam hati."Kamu apa enggak bisa ambil libur satu hari aja?" Begitu rengek ibunya Kai di pagi saat Evan sudah akan berangkat bekerja. Tidak ada angin, hujan atau badai, Kiandra atau Vano juga tidak sakit. Evan menolak permintaan itu. Jelas. Untuk apa ia libur mendadak, sementara sudah ada jatah libur? Lagipula untuk apa? Kia mau apa? Tadi pagi itu, Evan sudah akan berangkat. Lalu apa? Kiandra yang berusia kepala tiga itu menangis dengan segelas air di tangan kanan dan kunci mobil Evan di tangan kiri. "Kalau kamu tetap berangkat, aku telan ini kunci mobilmu." Kia mengancam tepat di dekat tangga rumah, sedangkan suaminya di anak tangga. Reaksi Evan kala itu, hanya tertawa. "Telan, coba. Bisa memangnya?" Kia benar-benar menaruh ujung kunci mobil Evan di lidah
Menggandeng Kai dengan tangan kanan, Kiandra terlihat berjalan tergopoh memasuki rumah. Di balik helm yang masih terpasang, pipi wanita itu basah. "Evan!" panggilnya kencang. Sampai di ruang tamu, Kiandra langsung memeluk Evan yang terduduk di sofa. Tangisnya pecah. "Kenapa bisa? Mana yang sakit? Kamu geger otak?" Kiandra menyentuh perban kecil di dahi kiri Evan. Tadi, tepat setelah jam sekolah Kai usai, Kiandra dihubungi Evan. Lelaki itu mengabari jika dirinya ada di rumah, habis mengalami kecelakaan kecil. Sejak mendengar itu hingga di perjalanan menuju rumah, Kiandra tak berhenti menangis. Ia sungguh cemas dan sedih. Kenapa bisa Evan kecelakaan? Pria itu adalah orang yang selalu berhati-hati. Perasaannya makin tak tentu tadi, karena Evan menolak menjelaskan detail luka yang didapat. Saat melihat keadaan pria itu saat ini, Kiandra jadi makin ketakutan. Ada memar di pipi Evan. Atas pelipis kirinya ditempeli perba
"Jadi, kenapa waktu itu kamu cuma ngakuin Lidia?" Kiandra bertanya pada suaminya. Pukul satu dini hari. Kiandra tengah berbaring di pelukan Evan. Mereka berdua berbagi selimut. Evan menarik bibir Kia. "Hobi banget ngungkit masa lalu. Untuk apa?" "Jawab," desak Kia. Bibirnya yang barusan dicubit terasa sedikt sakit. "Ya biar enggak ribet. Kalau aku kasih tahu kamu juga istriku, kenalanku itu pasti banyak tanya. Atau, kalau dia enggak tanya langsung, dia pasti mikir aneh-aneh." Kiandra berbaring telungkup. Evan melirik sewot. Perempuan itu sepertinya sengaja pamer-pamer. Dari tempatnya, Evan bisa melihat dua benda cantik itu menggantung bebas. "Mikir aneh apa?" Kiandra bertanya seraya menarik Evan yang hendak tidur menyamping. "Pikir aja sendiri!" Evan menarik selimut, menyelimuti dirinya hingga ujung kepala. Pria itu mengulum senyum. "Evan! Jawab dulu! Mikir aneh apa?" Wah! Jebakan berhasil. Saat selimut di atas wajah Evan ditarik Kia
Membuka mata, bangun dari tidur, pagi ini Evan heran apa dirinya sedang ada di surga atau masih di Bumi. Sebab, pemandangan di depan pria itu sungguh bagus. Lebih indah dari apa pun. Ada Kia dan Vano. Mereka di dekat lemari pakaian, si istri sedang membantu anak mereka mengenakan seragam sekolah. Ditambah senyum indah yang di wajah dua orang itu, Evan sungguh merasa dirinya sudah di surga. "Papa! Papa udah bangun!" Vano berlari, menghampiri dan naik ke tempat tidur. Anak itu memeluk ayahnya yang baru saja duduk. "Ibuk ikut antar Kai ke sekolah hari ini." Anak itu kegirangan. "Beneran Ibuk tinggal di sini dan enggak pulang-pulang lagi?" Evan mengangguk. Mengecup pipi Vano. "Tadi pagi Vano lihat sendiri, 'kan? Ibuk boboknya sama kita." Kai mengangguk. Ia turun dari pangkuan Evan dan mendatangi Kia. Membiarkan ibunya itu mengancingkan kembali seragam sekolah. Senyumnya tak pudar dari wajah. "Oke. Seragam selesai. Turun, biar sarap