Pukul setengah lima pagi Eliana telah sibuk di dapur masak bareng Simbok. Dan menyiapkan pakaian Dafa juga memandikannya. Entah kenapa meskipun ada Simbok yang sudah mengurus rumah namun sepertinya Eliana masih harus mengurus suaminya dengan baik. Rasanya badan capek jika tak bekerja. "Non, gimana rasanya jadi, Nyonya Reindra?" Goda Simbok pada Eliana. Eliana tersenyum menatap wajah yang sedikit keriput itu. "Apanya yang gimana, Mbok Siti ada-ada saja deh.""Yah, Non El gak seru ah," bisiknya pelan. "Habisnya Simbok pertanyaannya aneh.""Kan penasaran, Non pengin tahu, Mbok!"Eliana tersenyum lebar. "Ya gitu dech.""Hmm."Sarapan sudah siap di atas meja, semua anggota keluarga menikmati sarapan bersama. Panas mentari mulai menerobos masuk melalui celah jendela. Di luar sana langit tampak cerah dihiasi gumpalan awan putih yang berarak pada hamparan langit biru. Usai membersihkan sisa sarapan, Eliana kembali melangkah menaiki tangga dan memasuki kamar yang pintunya sedikit terbuka.Di
"Sudah selesai, Mbak El." Sonya bertanya pada Eliana. "Sudah, Sonya alhamdulillah," jawab Eliana sembari membereskan nota untuk diantar ke pelanggan hari ini. Sonya berjalan mendekati Eliana dan duduk di depannya, sambil membantu mengecek satu persatu. "Sonya boleh minta tolong, Mbak El."Eliana melihat kearah wajah Sonya yang sedang cemas. "Iya kenapa Sonya, kamu sepertinya ada masalah.""Hhmm, benar, Mbak, hati Sonya yang lagi terluka," jawabnya malas.Eliana tersenyum dan menatap lekat wajah sahabatnya. "Astaga memang kenapa bisa begitu?"Sonya terdiam. "Apa katakan saja siapa tahu, Mbak bisa bantu?" tanya Eliana serius. "Janji ya, Mbak jangan sedih." Sonya menyerahkan foto usang miliknya ke arah Eliana. Pandangan Eliana berhenti pada foto anak perempuan memeluk boneka, foto yang dicetak dengan ukuran sedang. Foto yang berada di ponsel milik Sonya, ada Eliana, Reindra juga Safana. Lama sekali Eliana menatap foto usang di dalam sebuah ponsel, sesaat ia terpana tangannya gemetar
Panas matahari mulai menerobos masuk melalui celah kisi kisi jendela. Satria menatap jauh ke arah luar balkon kamarnya. Di luar sana langit tampak cerah dihiasi gumpalan awan putih pada hamparan langit biru. Usai membereskan laptopnya Satria masih berdiri tegap menatap jauh menerawang entah kemana tujuannya. Satria tengah memijit pelipisnya dengan mata terpejam. Bayangan mantan istrinya kini kembali hadir di dalam ingatannya. Padahal beberapa tahun ke depan, Satria sudah mencoba melupakannya dan tak memikirkannya. Namun saat membeli bunga itu wajahnya kembali lagi hadir dalam bayangan semu.Satria menghela napas pelan, ia kembali berjalan menuju kamar mandi. Lalu bersiap untuk ke kantor. "Satria, hari ini, Cika dioperasi…." Suara Yolanda terdengar memelas di pendengaran Satria. Satria terdiam, kembali sibuk memakai dasi. "Aku salah, oke aku tahu, Satria, tapi Cika itu darah dagingmu bukan?"Satria berjalan mendekat ke arah Yolanda.dan memberikan kartu ATM itu. "Apa kamu gak ngera
Waktu seolah lama sekali berputar, Satria menatap jauh di area persawahan. Satria hanya buang-buang waktu untuk meratapi kesedihannya. Dilema saat ini yang ia rasa bahkan disini di tempat ini pertama kali ia bertemu dengan gadis pujaan hatinya Eliana. Di sebuah desa yang begitu asri juga ramah lingkungan. Mereka berjalan beriringan melewati bentangan sawah penduduk suasana yang selalu ramai oleh para petani yang akan pergi ke sawah. Membuat Satria teringat akan kisah cintanya dengan Eliana saat itu. "Cantik kamu pagi ini." Ucapan itu membuat Eliana terkejut dan tentu menjadikan pipinya bersemu merah. Karena saat itu Satria merasakan hangatnya."Pagi-pagi sudah dapat rayuan gombal." Kala itu ia sedang menaiki sepeda mininya. "Kamu nanti bisa semangat untuk mengayuh sepedamu itu. Dan untuk melewati hari-hari selanjutnya bersamaku." Terlihat senyum terukir di bibir Elina."Alah merayu saja kau ini, awas aku mau lewat jangan dihalangi.""Tidak stop ....""Awas ich ... mau di tabrak?" An
Langit cerah mulai menampakkan sinarnya, menemani langkah Eliana menuju dapur, membantu Simbok memasak untuk sarapan pagi. Meskipun sudah sangat besar perut Eliana, namun ia tak ingin jika bermalas-malas. "Ma, dapat tugas tadi dari sekolah, Dafa lupa," wajah Dafa cemberut ke arah Eliana. Eliana tersenyun dan memegang kesua pundak anaknya. "Kenapa bisa begitu, kok tidak dikerjakan semalam.""Daffa lupa, Ma.""Baiklah sini, Mama bantuin kerjakan ya."Terlihat senyum mengembang dari wajah Dafa. "Iya, makasih, Mah."Eliana tersenyum ke arah Simbok. Sambil memotong sayuran, dan mencucinya ke wastafel sambil menyiapkan bumbu yang sudah di uleg. Mbok Siti tersenyum melihat Eliana meskipun hamil besar namun masih saja bantu-bantu si Mbok. Lalu berjalan mendekati Dafa dan membantunya Selesai membantu Dafa, Eliana bersiap ke toko bunga miliknya, Meski belum yakin akan mendapatkan izin dari suaminya. Karena akhir-akhir ini suaminya overprotective, tetapi Eliana pastikan semangatnya pasti sang
Welcome my baby"Maksudnya bagaimana, Zian...?" tanya Satria pada adiknya. "Ya, Mas Satria harus berani ngomong sama, Mbak Eliana, " jawab Zian sambil tersenyum, berharap kakanya bisa mengerti. Satria mengatur napasnya yang sedikit naik turun, dadanya seolah sulit untuk bernapas kini. "A---apa itu akan berhasil?" tanya Satria lagi tak percaya akan apa yang di ucapkan oleh adiknya. "Tidak ada yang salah, Mas, bahkan Ibu begitu merindukan Daffa."Satria menggangguk. "Entahlah apa aku berani melakukannya, Zian."Zian tersenyum. "Demi Ibu, Mas."Wajah Satria membulat menahan gejolak rindu yang lama ia abaikan. Seorang anak, bahkan apakah Daffa mengenalinya atau tidak. Rasanya Satria mengingat ke beberapa tahun yang lalu, saat ia memutuskan meninggalkan Eliana sendirian menanggung beban hingga ia mengusirnya tanpa rasa manusiawi. Dengan seluruh sesal menguasai relung jiwa Satria. Seketika, pandangannya buram tak bisa membayangkan jika Eliana begitu menderita selama ini. Satria menelan
"Dia, Ayah kamu, Daffa." Eliana berusaha setenang mungkin agar anaknya tidak syok. Daffa terlihat begitu bingung. "Maksudnya, Ayah. Ma?" tanya Daffa tak mengerti. Entah apa kesalahan Satria tidak termaafkan? Sehingga anak kandungnya tak mengenalinya seperti ini. "Iya sayang jadi ....""Jadi, aku adalah teman, Mama kamu saat kamu masih kecil kau sering memanggilku dengan sebutan, Ayah." Sahut Satria pada Eliana. "Benar begitu, Ma?" tanya Daffa pada Mamanya. Eliana menelan saliva yang terasa pahit. Ia tak ingin membuat anaknya terluka dan menjadi anak yang merasa terkucilkan. Air matanya jatuh membasahi pipi, entah ia tak bisa berpikir kali ini. "Sayang, Daffa, dia adalah Ayah kamu namanya Ayah Satria, beliau sama kayak Papa Rein. Jadi kalian ada ikatan darah mengerti sayang." Jelas Eliana pada Daffa. Daffa terdiam ... wajah yang ceria terlihat sangat murung, dan menatap ke arah Eliana. Sesaat hening tak ada satu kata suarapun yang keluar. "Ayah ... Ma? Tidak," tanya Daffa lagi.
Kehidupan seolah-olah tidak berpihak pada Satria. Hidupnya terasa membosankan saat Satria kehilangan arah tentang tujuan hidup. saat ini ia sudah tak memiliki suatu target, Satria merasa hidupnya begitu hampa. Satria merasa kehilangan arah, ia merasa terombang-ambing dan rasa bosanpun hadir menyelimutinya saat ini. Sinar mentari mulai masuk melalui celah jendela rumah sakit. Satria mengerjap beberapa kali sambil meraba sisi sebelum membuka mata dengan sempurna. Ternyata ia tertidur di sofa ruangan kamar Ibunya. Zian sudah bangun terlebih dahulu. Mengelap tubuh Ibunya dan menyuapinya. Selesai sarapan di kantin, bergegas Satria ke ruangan Ibunya dan kata Dokter sang Ibu diperbolehkan pulang. Entah... Saat ini rasa senang mendera dihati Satria. Mungkin keajaiban itu tiba sang Ibu pulih sesaat setelah bertemu dengan cucunya Daffa. "Satria, apa Ibu gak pulang kampung saja? Gak enak Ibu kalau harus di rumah kamu?" tanya Ibu pada putranya. "Tidak Bu, biarkan Ibu pulih dulu, baru kita pind
Pov ElianaYa Allah, di pagi yang syahdu ini semoga Engkau memberikan kesehatan untukku juga keluargaku. Seperti biasa hari ini aku dan Bibi masak sambal goreng kentang dan juga ayam semur, makanan sudah siap di atas meja makan. Aku memanggil semua untuk sarapan. Rutinitas pagi memang selalu begitu, berkumpul untuk sarapan pagi."Mas, jadi gimana rencana hari ini?" tanyaku pada suamiku sambil menyuapi Azka yang lagi manja padaku."Kita pergi sendiri sayang, karena Mang Usep izin dan meminjam mobil kita buat lamaran keponakannya, jadi kita pakai mobil satunya ya," ucap Mas Haris padaku."Oh gitu baiklah, Mas," jawabku padanya."Ayah, ga capek jadi supir jauh lo, Ayah?" tanya Dimas pada Ayahnya."Kan ada Dimas yang gantiin Ayah ... lagian sudah besar begitu harusnya kan.""Tuh dengerin dek apa kata, Ayah," ucap Jingga pada Dimas, dan Dimas hanya nyengir kuda.Aku begitu bahagia, melihat putra putriku tumbuh dewasa dan menjadi anak yang soleh juga soleha."Bagaimana setuju kan semua kalau
"Mas, perasaan, Lintang kok ga enak ya?" tanyaku pada suamiku sambil aku duduk bersender dibahunya."Sama sayang, Mas juga sangat cemas, dada Mas enggak tenang ada apa ini." Sesaat aku terdiam ucapan Mas Haris membuatku takut."Kita doakan saja semoga tidak terjadi apa apa pada keluarga kita, Mas.""Aamiin ... iya sayang."Rasa cemas itu kembali datang, aku berharap kami semua baik baik saja. Ya Allah berikanlah perlindunganmu untuk suami dan putra-putri kami dan hambaMu ini. Jauhkanlah orang orang yang berbuat jahat kepada keluarga hamba."Ma, Azka nagis jatuh dari sepeda." Nisa bicara membuat kami terkejut."Ya Allah, Azka kok bisa? Luka ga sayang adiknya?" tanyaku pada Nisa dan berlari turun tangga dan menghampiri Hilmy. "Mana yang sakit sayang, ga papa kan Azka?" tanyaku membuat aku kaget namun alhamdulillah hanya tergores sedikit. "Perih, Ma. sakit hik ... hik.""Sudah anak laki-laki harus jadi jagoan ga boleh cengeng sayang.""Bener sayang kata, Mama. Harus kuat lagian juga cu
Sayub-sayub terdengar suara adzan berkumandang menggema hingga ke rumah. Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil air wudhu, tanpa aku sadari suamiku itu sudah berada dalam musholla kecil keluarga kami. Terlihat punggungnya dengan cepat aku mengikuti dari belakang sebagai makmum, bersama putra putri kami, ini sudah menjadi rutinitas kami setiap hari.Memang aku akui, bahwa wajah suamiku makin hari semakin begitu tampan. Mas Haris lelaki dewasa yang begitu mempesona, aku mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah dibacanya dengan sangat fasih, itu hampir tiap hari, dan seketika itu pula jantungku berdetak tak karuan melihat suara indah Mas Haris menggema Musholla kecil kami. Asli aku jatuh cinta dengan suaranya saat melantunkan ayat-ayat Allah. Mereka bergantian mencium takzim punggung tangan Mas Haris dengan sangat sopan. Mas Haris menyuruh putra putrinya untuk membaca Al Quran kadang Mas Haris membenarkan jika ada tajwid yang masih salah, Mas Haris lalu mencontohkan bagaimana membaca yan
Beberapa puluh purnama berlalu, kami sudah menjadi keluarga yang sangat bahagia. Meski selalu mendapat ancaman dari Sekar namun, kami sangat ketat menjaga putra-putri kami sehingga Sekar tidak mendapatkan celah untuk menyerang kami. Papa dan Mama juga sehat sampai hari ini, mereka selalu menjagaku.Azka anak lelaki kami yang sekarang usianya sudah tujuh tahun, Jingga yang sudah menggantikanku di butik. Nisa yang sudah kuliah, dan sudah magang bersama Ayahnya di sekolah, dan Dimas yang sudah berada dibangku SMA serta Azka yang masih duduk kelas satu SD, hari-hari kami lalui dengan begitu bahagia, melihat putra putri kami yang tumbuh menjadi anak yang soleh juga sholeha.Mas Haris mendidik mereka, dibentengi agama yang kuat agar kelak mereka memaknai apa arti kehidupan dan rasa syukur kita terhadap Sang pencipta. Semakin hari rasa sayangku buat Mas Haris makin bertambah, bagaimana tidak ia selalu menjadikanku wanita yang sangat berharga."Mama, Mas Dimas mana?" "Mas Dimas, masih keluar
Aku merasa jika Mas Haris selalu menjagaku dan menjadikanku wanita yang begitu berharga. Sesaat bulir bening jatuh ke pipiku segera aku mengelapnya. Aku merasa di manja oleh seorang suami. Aku melihat sekilas wajah yang begitu bahagia dengan senyum mengembang di dalam wajah suamiku. Saat fotografer mengambil gambar kami. Mungkin aku sedang tersenyum ke arah Ma Haris. Asyik bukan. "Aku tinggal sebentar gapapa ya, sayang."Aku mengangguk. "Iya, Mas gapapa kok.""Lintang ...."Aku bergeming sesaat beku, astaga kenapa ada Sekar segala. Kekecewaan yang teramat dalam membuat bibirku seakan kelu. "Wah, hebat ya kau bisa disini, dikalangan orang berduit. Oh ini wanita lusuh yang bertansformasi menjadi wanita berkelas," ejeknya padaku. Aku terdiam, menatap Mas Haris yang sibuk bicara dengan Pak Kepsek. "Oh, sudah mulai sombong rupanya," ucap Sekar diriingi getaran pada suaranya. Aku menarik napas pelan, mengurai sakit yang membelit di dalam dadaku. Aku kembali memalingkan wajah, bersama
Sampai di rumah. Aku sedikit lelah dan berbaring di atas ranjang, mungkin Mas Haris cemas dengan kandunganku. Mas Haris izin untuk menjemput Jingga di butik. Jika Sekar terus saja menggangguku maka kehamilanku pun akan terganggu. "Ma, Mama sakit ya?" tanya Nisa kepadaku."Maaf sayang, Mama hanya sedikit capek, sudah pulang sekolah. Ayo Mama temani makan." "Dimas, juga ayo makan sayang?""Iya, Ma."Kegiatan di meja makan berlanjut tanpa banyak percakapan. Semua lebih banyak bungkam dan menikmati hidangan. Setelahnya terdengar suara mobil digarasi depan rumah. Mas Haris sudah pulang menjemput Jingga, mereka masuk dan kami berkumpul di ruangan santai dekat televisi, Mas Haris duduk di sampingku. "Sayang, dengarkan, Ayah. Mau bicara sebentar lagi kalian akan punya adik baru, dan saat ini, Mama kalian hamil." Jelas Mas Haris pada kami. "Alhamdulillah ... selamat ya, Mama." Mereka mendekatiku lalu mencium pipiku."Iya, sayang. Makasih sudah mendukung Mama."Aku bahagia sekali, punya ke
Aku menggeleng tak percaya. "Papa, astaga papa.""Kenapa, Papa keren, kan?"Aku terdiam menatap Papa merapikan kemejanya. "Papa hebat.""Dua kali lipat, Papa tak akan terima jika ada yang menyakitimu, Lintang."Aku terkejut. Bahkan mengembalikan posisi ekspresi wakahku yang begitu syok. Di butuhkan waktu untuk aku percaya baru saja yang aku lihat. Aku merekamnya dalam ingatanku. Sebagai seorang anak yang kagum akan penjagaan dari seorang Papa kepada anaknya. "Entah jika tak ada, Papa nasib, Lintang. Akan seperti apa? Padahal Papa Dosen lo ko bisa sih berkelahi.""Jangan salah, Lintang. Aku tak suka jika ada orang bermain-main dengan, Papa."Aku menghamburkan pelukan ke dada bidang, Papa. "Jadi. Kenapa, Sayang ketakutan?""Keluarga Lintang diteror, Pa.""Apa? Sama siapa? Kenapa baru bilang sayang.""Takut, Papa dan Mama cemas.""Lintang gak boleh begitu."Aku menceritakan semuanya. Papa lalu bergegas mengantarku dan menemui Mas Haris di sekolah. Aku minta sama Papa agar merahasiakan h
Kalau saja aku tak menyaksikan sendiri bagaimana lembutnya sikap Papa dan Mama, pasti aku tak percaya jika orang lain yang mengatakannya. Aku merasa Papa dan Mama memiliki kepribadian yang luar biasa. Bersikap lembut, segitunya Mama dan Papa perhatian denganku. Mana mungkin aku tega bercerita jika ada seseorang yang mengancam kami. Aku menyuapi dengan telaten Mama dengan rendang. Beliau tertawa lepas sekarang. Duduk dan berbicara kesana kemari. Papa duduk di bibir sofa tempatku bekerja di bawah kaki Mama. Memijatnya dengan lembut, sembari bercerita mengenai banyak hal. Tidak terkecuali menceritakan sikap Bian yang kadang membuat Mama tertawa lirih. Sedangkan aku dan Ayah hanya menjadi pendengar. Setelahnya mereka pamit pulang. -Matahari mulai tenggelam pertanda petang telah tiba, aku dan Mas Haris mampir ke mall untuk membeli sembako juga bahan masak lainnya, Mas Haris yang membawa troli dan membeli beberapa sayuran juga berbagai sembako. Tak lupa membeli peralatan sabun juga shamp
Aku menggunakan waktu untuk beristirahat. Sebuah mobil yang sangat aku kenal datang di depan butik, aku tersenyum meliahat Ayah dan Mama datang mengunjungiku, aku memeluk mereka lalu mencium punggung tangan Mama dan Ayah. "Lintang, Mama sampai ... rindu.""Padahal baru dua hari kan Lintang ke rumah, Mama?" "Entahlah, Mamamu itu dari pagi ngomel-ngomel minta kesini, Nak."Aku menghela napas dalam. Aku tahu Mama begitu cemas padaku. "Masih sibuk, sayang. Mama bawakan makanan kesukaan kamu lo.""Apa, Ma?""Mama masak rendang kesukaan kamu juga Nak Haris.""Mama, kenapa jadi repot begini, sih. Nanti Mama capek gimana?"Aku lagi-lagi tak percaya, Mama memperlakukan aku seprti anaknya yang masih kecil. Aku memeluknya lalu mencium pipinya.""Ayah ... jangan biarkan Mama kecapekan."Terdengar Ayah menghela napas berat. "Tadi malah, Ayah yang ikut masak.""Serius, Ayah?" tanyaku tak percaya. Ayah mengangguk pelan. "Ya itu. Karena Ayah tak mau, Mama kamu kecapean.""Ya ampun Ayah. Makasih y