"Siapa yang bilang mereka tidak berhak, Mbak? Mereka lebih berhak dari pada Mbak Risma dan Mas Reno karena rumah ini sudah disewa selama satu tahun kedepan.""Apa!""Gila kamu, Li! Aku ini Masmu lho. Tega-teganya kamu usir kami dari rumah ini!" pekik Mas Reno. "Maaf Mas, kalau mau gratis silakan tinggal di rumah ibu. Toh di sana ada dua kamar kosong. Karena Rara memilih tinggal bersama kami.""Aku gak mau ya, Mas! Aku gak mau!""Mbak Lili bagaimana ini? Kami sudah memberikan DP lho.""Tenang, Mbak. Besok rumah ini sudah dikosongkan." Aku merogoh kunci duplikat yang ada di dalam tas. "Ini Mbak, kunci rumah ini," ucapku seraya memberikan benda berwarna perak tersebut. "Lili, kurang ajar kamu, ya!""Li kita harus bicara," bisik Mas Reza. "Bentar ya, Mas."Aku menoleh ke arah penyewa rumah ini. "Mbak dan Mas mau lihat-lihat rumahnya?" Aku buka pintu utama agar hingga terbuka lebar. "Besok saja, Mbak. Tolong pastikan rumah ini benar-benar sudah bersih, ya!""Siap, Mbak, Mas."Lelaki da
"Ayo pulang, Mas!" Aku menarik tangan Mas Reza agar beranjak dari tempat duduk. "Kenapa, Li?""Rara ketakutan, Mas!""Ketakutan apa?""Pokoknya pulang sekarang!"Aku terus menarik tangan Mas Reza hingga ia berdiri dan mengikuti langkahku. Namun lelakiku berhenti sesaat. Dia menoleh ke belakang, menatap lekat netra Mas Reno. "Jangan coba-coba masuk ke rumah itu. Jika Mas Reno nekat, bersiaplah untuk berhadapan dengan pihak kepolisian!"Bibir ini melengkung ke atas. Akhirnya Mas Reza dapay bersikap tegas. Kenapa tidak dari dulu, Mas? Kami berjalan menuju kamar bapak dan ibu. Samar terdengar perdebatan di antara keduanya. Ibu berusaha meyakinkan bapak, tapi sayangnya bapak tak percaya lagi. Tok! Tok! Tok! Pintu aku ketuk tiga kali. Mas Reza memanggil ibu dan bapak. NoKami akan berpamitan sebelum pulang ke rumah. "Masuk, Za!" seru bapak. Sedikit ragu aku mengikuti langkah Mas Reza. Kami berdiri berhadapan dengan bapak dan ibu. "Mau apa kamu, Za? Tidak cukup kamu menjelek-jelekkan
"Siapa Mbak?" tanya Rara ketika aku berjalan melewatinya. Aku terdiam sesaat. Nama Guntur kembali terngiang di telinga. Apa dia lelaki yang Rara maksud atau hanya nama yang sama. Namun bukankah lelaki brengsek itu tinggal di Jakarta? Ah, mungkin hanya namanya yang sama. Ya, kurasa memang begitu. "Kok diam, Mbak? Nada yang di depan tadi, ya?""Bukan pasangan suami istri yang membeli rumah Haji Husein."Rara mengangguk, seolah mengerti ucapanku. Meski aku yakin dia tak mengenal Haji Husein. Karena Rara tak pernah keluar rumah selama di sini. "Besok periksa ya, Ra?""Mbak gak bosen nyuruh Rara periksa terus?" tanyanya sedikit kesal. "Mbak mikirin si utun, bukan kamu. Sekali-kali dengerin orang tua ngomong!"Rara menghela napas. Dengan terpaksa ia menganggukkan kepala. Dia pasti lelah mendengar omelanku yang tak pernah berkurang, apalagi berhenti. Sebagai seorang kakak aku bertanggung jawab penuh atas kesehatan Rara dan calon anaknya. Aku tak ingin mengecewakan bapak. Mengingat bapak
"Kamu kenal Guntur, Ra?"Rara membuang muka sambil mengatakan tidak. Adik kandung Mas Reza berlalu, dia masuk kamar dan menguncinya rapat. Fix, Guntur lelaki brengsek itu. "Kenapa Rara, Li?" tanya Mas Reza yang masih duduk di teras. Ternyata sejak tadi dia mengawasi gerak-gerik kami. "Rara marah, Li?" tanyanya untuk kedua kali. Terdiam, ada kebimbangan yang menyelimuti hatiku. Berkata jujur atau diam membiarkan Rara mengatakan kebenaran pada Mas Reza keluarganya. Ah, aku tidak bisa memutuskan, keduanya memiliki konsekuensi yang besar. Saat ini aku hanya bisa diam. "Kecapekan kayanya Mas. Namanya ibu hamil mudah capek dan mood-nya mudah berubah."Mas Reza menganggukkan kepala. Dia percaya atas kebohongan yang aku ucapkan. Maaf, Mas. Belum saatnya kamu mengetahui kenyataan pahit ini. Biar waktu yang menjawab semuanya. "Sudah makan, Li?" "Belum, Mas. Rara ingin cepat-cepat pulang katanya capek, Mas."Ah, lagi-lagi aku terpaksa berbohong demi menutupi kenyataan pahit. Sampai kapan
"Sudah selesai BAB-nya?"Aku hanya meringis mendengar pertanyaan bunda. Jangan tanyakan perasaanku saat ini. Kejadian beberapa menit yang lalu sangat memalukan. "Bunda jangan dibahas terus. Malu."Tawa menggema di ruang tamu, mereka kembali mengejek karena aku seperti anak bayi. Sungguh menyebalkan. "Kenapa motornya jadi begitu, Ra?" Pertanyaan ayah membungkam mulut kami. Tawa yang sedari tadi menggema menguap di udara. "Kok diam, Li? Motornya kenapa baret di mana-mana?"Aku dan Mas Reza saling senggol. Namun belum ada yang berani mengeluarkan kata-kata. Tatapan ayah mampu menciutkan nyali kami. "Kamu yang bilang, Mas! Ini gara-gara ibu, kan!"Mas Reza tak menjawab. Dia telan saliva dengan susah payah. Ada ketakutan dari sorot mata lelakiku. "Motor rusak saat dipakai ibu saya, Yah. Saya benar-benar minta maaf."Ayah dan bunda saling pandang. Helaan napas terdengar begitu jelas. Namun tak ada makian yang terlontar dari mulut keduanya. Kedua orang tuaku mampu bersikap bijak sekali
"Li, pinjam lagi rumahmu, ya. Mbak gak kuat tinggal satu atap bersama ibu."What? Pinjam rumah lagi ... apa aku tidak salah dengar? Bisa-bisanya Mbak Risma meminta itu. Dia benar-benar tak memiliki urat malu."Rumah sudah disewa, Mbak. Mana bisa main usir orang. Mbak sudah enak di rumah ibu tidak mengeluarkan uang untuk bayar kontrakan.""Mending bayar kontrakan, Li. Dari pada kena omel tiap hari."Aku tersenyum mendengar keluhan Mbak Risma. Bukan senang dengan penderitaan kakak iparku itu. Namun puas melihatnya tahu bagaimana watak ibu sebenarnya.Sejak menikah Mbak Risma tak pernah tinggal seatap dengan ibu. Dari dulu keluarga Mas Reno selalu diagungkan karena lebih unggul dari segi finansial. Sekarang semua telah berubah, roda kehidupan telah berputar, tak selamanya yang di atas selalu di atas."Boleh, ya, Li.""Maaf, Mbak. Saya tidak bisa."Sambungan telepon kumatikan seketika. Lelah berlama-lama meladeni mereka. Untuk apa bersusah payah menasihati dan memberi masukan, jika satu
"Ayo, Mas!""Ke mana?""Ke rumah Pak Guntur, pakai nanyak lagi!"Aku berjalan cepat menuju rumah Guntur dan Amira. Sepanjang jalan aku berpapasan dengan beberapa tetangga. Namun tak satu pun dari mereka yang aku sapa. Saat ini pikiranku hanya satu, Rara.Kediaman Guntur dipenuhi orang-orang, baik perempuan, laki-laki dan anak-anak. Mereka sudah memenuhi ruang tamu dan teras. Mataku menyapu setiap sudut ruangan, mencari seorang perempuan yang tengah hamil. Namun tak jua kutemukan keberadaannya. Kamu di mana, Ra?"Kenapa berdiri aja, Li? Masuk gih, dah dilihatin orang banyak ini," bisik Mas Reza tepat di telinga kiriku.Aku menoleh sekeliling, benar saja semua mata menatap ke arahku. Karena aku berdiri tepat di mulut pintu. Bukan hanya orang yang ada di ruang tamu, di teras pun semua mata tertuju pada kami.Dengan menahan malu aku duduk tak jauh dari pintu. Aku justru berhadapan langsung dengan pemilik rumah, Guntur dan Amira. Dua pasangan itu tampak begitu bahagia dan aku benci itu.Ak
Pintu terbuka setengah, kepalaku masuk untuk mengintip Rara. Namun mataku membola melihat darah yang menetes di lantai. "Rara!"Pintu yang belum terbuka lebar kudorong kencang. Bahkan terdengar benturan pintu dengan dinding bercat putih tersebut. "Mas Reza! Mas!"Aku menyambar syal yang tergeletak di atas ranjang. Dengan cepat kututup luka sayatan di tangan kiri itu. Aku tekan pergelangan tangan agar tak semakin banyak darah yang keluar. Cara ini mampu menghambat pendaran, itu yang aku tahu dari internet. "Ya Allah, Rara ... kamu kenapa nekat?""Mas Reza! Tolong!"Aku terus menjerit memanggil nama suamiku. Berulang kali aku menjerit meminta tolong hingga terdengar langkah kaki mendekat. "Ada apa sih, Li? Kenapa teriak-teriak sih? Mas masih ngantuk," jawab Mas Reza tapi belum nampak batang hidungnya. "Panggil ambulans, Mas!" teriakku. "Kenapa Rara, Li?" tanya Mas Reza yang sudah berdiri di belakangku. "Ya Allah, kenapa anak itu nekat?""Bukan saatnya mengira-ira, Mas. Cepat telep
20 tahun kemudian"Maaf, Papa tidak bisa menjadi wali nikahmu nanti."DEG! Jantungku seakan berhenti memacu oksigen. Hingga rasa sesak memenuhi rongga dada. Kenapa papa tak bisa menjadi wali nikahku? "Kenapa, Pa? Apa karena calon Asyifa bukan anak pengusaha seperti mama?"Entah sejak kapan butiran-butiran bening nan hangat jatuh membasahi pipi. Mereka seolah berlomba-lomba terjun ke bawah. Awalnya aku kira keinginan kami akan disambut bahagia oleh mama dan papa. Karena aku tahu, mereka tidak menyukai anak-anaknya pacaran terlalu lama. Namun ternyata salah, mereka justru tak menyetujui hubungan kami. "Bukan karena papa dan mama tidak menyetujui hubungan kalian, Nak tapi ...."Papa menjeda kalimatnya, seolah kata-kata yang hendak keluar begitu berat untuk di sampaikan? Tunggu ... apa jangan-jangan aku hanya anak angkat? Tidak, akta kelahiranku dan tanggal pernikahan mereka terpaut dua tahun lebih, itu tandanya mama tidak hamil di luar nikah. Kalau bukan anak haram, apa mungkin aku
5 Tahun Kemudian. "Papa!" teriakku lantang ketika melihat jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.00."Hem!" Mas Reza hanya bergumam tanpa bergerak sedikit pun, membuka mata saja tidak. Dia masih terbuai dalam mimpi, entah mimpi yang seperti apa. "Mas sudah jam enam!" teriakku. Seketika Mas Reza terperanjat, dia berlari tunggang langgang menuju kamar mandi. Tidak hanya Mas Reza, aku pun segera beranjak menuju kamar anak-anak. "Asyifa ... Alma, bangun!"Aku goncangkan tubuh kedua putriku. Mereka menggeliat tapi enggan membuka mata. Terlalu lama libur sekolah membuat Asyifa sulit bangun pagi ini. "Bangun, Kak.""Syifa masih ngantuk, Ma. Bentar lagi.""Mama siapkan air panas, ya. Nanti kamu terlambat."Tidak ada jawaban, baik Asyifa atau pun Alma masih terlelap di atas ranjang. Aku segera berjalan ke dapur untuk menyiapkan air panas. Sambil menunggu air mendidih, dengan cepat aku siapkan menu sarapan. Tidak ada nasi seperti biasanya, hanya ada roti dan segelas susu. Aku rasa itu cu
Mbak Risma menoleh ke arahku dan Mas Reza, dia menatap tajam pada kami. "Ini gara-gara kalian!"Allahu Akbar ... apa lagi ini? Mereka yang berbuat tapi justru aku dan Mas Reza yang kena dampaknya."Maksud Mbak Risma apa? Kenapa justru kami yang disalahkan? Kami saja gak tahu apa-apa," jawab Mas Reza kesal."Semua gara-gara kalian! Gara-gara kalian!" pekiknya dengan jari telunjuk mengarah ke arah kami."Maaf sebelumnya, bapak-bapak tolong pulang terlebih dahulu. Besok kami ganti uang yang dipinjam Reno."Empat orang itu mengangguk lalu melangkah pergi meninggalkan rumah ini. Tentu dengar perasaan kesal karena hak mereka belum diberikan."Diam kalian semua! Kamu juga Risma, duduk!"Seketika semua diam, tak ada yang berani bergerak. Semua tahu kemarahan Mas Raka tak pernah ada duanya. Diam adalah solusi terbaik dari pada terkena imbas kemarahannya."Mas mau bicara, kalian jawab yang jujur, terutama kamu Risma!"Spontan semua orang menatap Mbak Risma yang tengah duduk di dekat pintu yang
Sekian detik aku mematung. Aku abaikan suara dari seberang sana. Diri ini masih tak percaya dengan berita yang baru saja Mas Raka katakan. Mas Reno meninggal secepat ini."Li ... Lili! Kamu masih disitu, kan?"Aku tersentak, "i-iya, Mas.""Tolong beritahu Reza dengan hati-hati. Mas tidak sampai hati memberitahu kabar buruk ini."Aku mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata. Namun seketika tersadar jika Mas Raka tak mampu melihat anggukan kepala ini. Sayangnya sebelum kata iya terucap, sambungan telepon telah ia matikan.Aku atur napas seraya menghapus jejak air mata yang menempel di pipi. Aku dan Mas Reno memang tidak akur akhir-akhir ini, tapi bukan menjadi alasan aku bahagia atas kepergiannya. Aku justru sedih karena hingga ia pegi, kami belum berbaikan."Oweek ... Oweek ....""Ya Allah ... anaknya nangis itu, Li!"Aku terperanjat lalu berlari menuju kamar, tempat di mana Asyifa tadi tidur terlelap."Buatkan susu, Li!"Langkahku terhenti, lalu kembali putar arah. Masih dengan ke
"Saya hanya ingin adil. Wajar jika Reno mendapat bagian jauh lebih banyak. Dia yang merawat saya hingga tua nanti."Bunda meletakkan empat cangkir teh hangat di atas meja kemudian duduk di sampingku. Wajah bunda ditekuk dengan menatap tajam perempuan di hadapannya.Ruang tamu bunda tertata dengan rapi. Ada sebuah bunga cukup besar di sudut ruangan. Kursi kayu di tatap berhadapan dengan sebuah meja menjadi pembatasnya."Adil ibu bilang? Kalau memang tanah itu akan dijual, seharusnya ibu melarang Reza dan Lili untuk membangun rumah di sana. Ini malah tidak, eh ... giliran sudah jadi malah dijual.""Ibu kalau tidak tahu gak usah banyak ngomong."Seketika bunda diam, tangannya mengepal dengan mata melotot mau copot. Kalau didiamkan perang dunia an benar-benar terjadi."Sudah, Bun," ucapku seraya menggenggam tangan yang sempat mengepal di samping."Mertua kamu keterlaluan, Li," bisiknya tapi terdengar begitu jelas di telingaku."Sudah, Bun. Capek kalau adu mulut sama mereka, gak bisa mena
"Memang berapa hasil penjualan rumah dan tanah itu?" tanya Mas Reza pelan, tapi tersirat kemarahan yang berusaha ia tahan."Gak perlu tahu. Bagian kamu, hanya laku segitu.""Rumah yang aku bangun harganya bisa lebih dari itu, Mas.""Kalau mau ambil, kalau gak mau ya sudah. Mas gak akan maksa kamu. Tanpa kamu tanda tangan pun, Mas bisa jual tanah itu. Di dunia ini kalau ada uang semua bisa dilakukan."Seketika tangan Mas Reza mengepal, gigi gemeretak dengan sorot mata tajam. Suamiku benar-benar marah dengan ketidakadilan ini."Sudah, Mas. Kita terima saja dari pada tidak sama sekali.""Apa mau bicara sama ibu. Ini gak adil untukku."Dengan cepat Mas Reza mengambil smartphone miliknya. Tidak lama sambungan telepon diangkat oleh ibu."Apa benar warisan untukku hanya Rp. 170.000.000,- Bu?" tanya Mas Reza setelah mengucapkan salam."Ibu gak tahu, semua sudah diurus Masmu. Kamu tinggal terima. Masih untung kamu diberi segitu banyaknya, Za.""Ini gak adil, Bu.""Itu sudah adil. Salah sendiri
"Bapak sudah memberikan tanah itu pada Reza, Bu. Bukankah rumah dan kebun bisa dibagi dua untuk Mas Raka dan Mas Reno. Apa masih kurang juga?" "Maksud kamu ibu harus terlunta-lunta di jalan karena sudah tidak memiliki rumah. Begitu mau kamu?"Allahu Akbar ... Aku mengelus dada sambil terus beristighfar. Perkataan ibu tidak hanya melukai hatiku tapi menghancurkan hati Mas Reza. Apa setelah harta warisan dibagi ibu akan terlunta-lunta? Kami tidak sejahat itu. Kami masih memiliki hati meski kadang ibu melukai berulang kali. "Reza ingat perkataan bapak dulu. Bukankah ibu juga tahu?""Bapak sudah gak ada, jangan bawa-bawa bapak. Semua keputusan di tangan ibu, bukan bapak.""Terserah Ibu mau apakan tanah itu. Tapi aku mau uang 200 juta untuk membangun rumah harus kalian kembalikan padaku.""Gak bisa gitu dong, Za. Itu namanya gak adil. Siapa suruh buat rumah dengan sertifikat orang tua!"Entah ingin aku apakan lelaki di hadapanku itu. Andai dia berada di posisi kami, apa kalimat itu jug
"Boleh kan, Za?"Aku menggeleng pelan dengan tingkah kakak iparku. Ini mobil siapa ... tapi pinjamnya ke siapa? Mereka seolah tak menganggap keberadaanku. Padahal mobil itu milik Mas Cahyo, kakak kandungku."Maaf, Mas. Itu bukan mobil saya. Saya tidak berhak meminjamkan pada siapa pun, termasuk kepada Mas Reno dan Mbak Risma.""Itu mobil kamu yang bawa, kan?""Iya, tapi itu bukan milikku, Mas. Mobil itu milik kakak kandung Lili. Kalau pun pengen pinjam seharusnya kalian pinjam ke Lili. Bukan kepadaku.""Apa bedanya kamu dan Lili. Bukankah kalian suami istri, apa yang Lili punya berarti punya kamu juga, Za. Jadi aku pinjam ke kamu gak masalah, yang penting izin untuk pinjam, kan?"Aku mengelus dada, menahan sesuatu yang hendak meledak dari dalam sana. Aku benar-benar tidak mengerti dengan teori yang Mas Reno pelajari. Hal yang benar adalah harta milik suami ada hak istri di dalamnya. Namun jika harta atau penghasilan istri, itu murni milik istri."Gimana, Za boleh gak? Risma pengen jal
"Kamu gak ngelarang ibu pulang, Za?""Lha, katanya Ibu yang gak betah tinggal di sini? Kalau gak betah buat apa Reza larang, Bu. Reza pengen ibu nyaman saja."Aku lihat ibu menelan ludah, mendadak ia kebingungan. Namun malu untuk mengatakan tidak, apalagi membatalkan perkataan yang baru saja ia ucapkan. Mana mungkin ibu menjilat ludahnya sendiri."Sarapan dulu sebelum berangkat, Bu.""Ibu gak lapar. Pesankan taksi online sekarang, Za! Ibu gak mau naik bis," ucapnya kesal."Yakin pulang, Bu?" tanyaku memastikan."Kalau ibu bilang pulang ya puang! Ngerti gak to!"Aku memilih diam, lalu melanjutkan sarapan pagi. Mas Reza pun menyudahi sarapan, dia beranjak mengikuti ibu yang sudah berjalan menuju teras. Sementara aku masih terdiam di depan televisi. Ada rasa enggan mengantar ibu meskipun hanya sampai di teras.Fitnah yang ibu katakan pada Mas Reza membuat aku kehilangan respect padanya. Aku memang sudah memaafkan, tapi jujur saja aku tak mampu melupakan setiap luka yang ibu torehkan.