Suasana dapur yang remang-remang membuat bulu kudukku sedikit merinding. Tak ada suara apapun yang terdengar kecuali bunyi hewan malam khas pedesaan. Buru-buru aku berjalan meninggalkan dapur. Ketika melewati kamar nenek Tuan Raihan, samar aku mendengar suara tangisan. Pelan tapi begitu memilukan. Mungkinkan nenek yang sedang menangis?Aku mematung sejenak di hadapan pintu berbahan kayu jati itu. Bingung antara masuk atau membiarkannya saja. Namun, aku langsung teringat nenekku yang begitu terpukul waktu kehilangan kakekku belasan tahun silam.Perlahan aku mengetuk pintu itu pelan."Nek," panggilku lirih.Beberapa detik kemudian, pintu terbuka. Menampakkan wajah keriput nenek yang sembab bersimbah air mata. Rambut yang sudah memutih semuanya itu digelung, tak seperti biasanya yang selalu memakai ciput."Rindu," sapa nenek dengan suara bergetar."Boleh, Rindu temenin?" Aku menatap mata cekung nenek."Tentu saja, Nak. Ayo masuk." Nenek berbalik, kembali ke dalam kamar. Aku mengikutinya
Sepersekian detik, jantungku terasa berhenti berdetak. Denyutannya seolah hilang shock dengan apa yang aku dengar. Namun, sesaat kemudian justru berubah mengencang. Hingga debarannya terdengar sampai ke telinga."Ma-maksud, Tuan, apa?" tanyaku dengan wajah yang pasti sudah pucat pasi bak mayat."Astagfirullah. Saya kok, bingung, ya ngomongnya." Tuan Raihan meraup wajah kasar. Kemudian, helaan napas pelan keluar dari mulutnya.Aku masih mematung dengan jantung yang semakin melompat-lompat. Menunggu penjelasan lebih jauh dari lelaki yang berjarak usia belasan tahun denganku itu."Gini maksud saya. Kamu mau gak jadi bagian dari keluarga saya? Jangan pernah berpikir lagi kalau kamu hanya sebatas pegawai di rumah saya. Bagi Riana dan Raisa, kamu itu sudah lebih dari keluarga." Tuan Raihan menjelaskan. Namun, aku masih belum sepenuhnya mengerti tentang arah dan tujuannya."Anggap saja Riana itu saudara. Raisa sebagai ... keponakan misalnya. Dengan begitu kamu tidak akan pernah punya niat un
Tuan Raihan tersenyum, memperlihatkan deretan giginya yang rapi dan bersih. "Terima kasih. Tapi ... apa kamu tidak akan mengantarku ke depan?" tanya Tuan Raihan membuatku salah tingkah."Oh ... tentu saja, Tuan. Mari."Tuan Raihan meneruskan langkahnya. Aku mengekor di belakang dengan jantung berdegup kencang. Kugenggam erat-erat benda pipih pemberian darinya.Di depan ternyata sudah berkumpul Riana, nenek, dan Raisa. Sepertinya mereka sudah mengetahui tentang akan perginya Tuan Raihan."Icha ... Ayah pergi dulu sebentar, ya. Icha di sini sama nenek, Tante Riri sama Bibi Rindu. Icha jangan nakal. Makannya yang banyak." Tuan Raihan berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan Raisa."Ayah mau ke mana?" tanya anak perempuan berusia tiga tahun itu. Raisa memang sudah fasih berbicara."Ayah mau kerja, Sayang. Cari uang buat Icha." Tuan Raihan membelai pelan pucuk kepala sang putri."Icha mau ikut sama ayah. Icha mau ikut pulang," rengek Raisa manja sambil menghentakkan kaki mungilnya."Iya.
Mataku berbinar membaca nama akun tersebut. Aku beringsut. Mengubah posisi tubuhku yang tadinya berbaring menjadi duduk menyender di kepala ranjang.Aku terima pertemanan dari akun bernama Andika dengan foto profil gambar seorang laki-laki sedang berada di puncak gunung. Namun, hanya bagian belakangnya yang tampak. Wajahnya tak terlihat sama sekali.Entah kenapa jantungku tiba-tiba berdetak kencang tak karuan. Sangat berharap jika pemilik akun ini benar Andika, sahabatku.Aku mengklik akunnya. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dijadikan bukti, siapa sebenarnya yang ada di balik akun ini. Aku scroll dari atas sampai bawah. Nihil. Tak satu pun ada foto dirinya yang sedang menghadap kamera. Kebanyakan foto yang dia upload adalah pemandangan puncak gunung di beberapa tempat. Sepertinya dia anak pencinta alam. Bukan hobi Andika sama sekali.Aku menghela napas pelan. Rasa kecewa langsung menyergap hati. Harapan besar yang tadi kurasakan, sirna sudah. Namun, sebuah ide tiba-tiba melintas di
Aku berniat buru-buru masuk ke dalam rumah, menghindari pertanyaan konyol Riana pada kakaknya itu. Baru juga kaki ini mengayun, tangan Riana keburu mencekal pergelangan tanganku."Mau ke mana? Malah kabur," tanyanya."Aku mau ambil minum buat Tuan Raihan. Pasti haus setelah perjalanan jauh," elakku. Aku berusaha melepaskan cengkraman tangan Riana."Gak perlu. Gak apa-apa, kok. Saya kan bawa minum di mobil," cegah Tuan Raihan.Aku melirik Riana dengan ujung mata. Dia tersenyum menggoda. "Tuh, kan. Orangnya aja gak minta dibawain.""Siapa tau tadinya mau minum air dingin gituh. Secara kan hari ini panas banget." Aku masih mencoba mengelak agar bisa segera pergi dari sini."Sepanas hatimu, ya?" Riana tertawa lebar. Membuatku semakin kesal.Aku mendelik. Dia selalu saja menggodaku. Membuatku merasa salah tingkah dan kikuk di depan majikanku sendiri."Kakak bawain kalian oleh-oleh. Kakak ambil dulu di mobil, ya." Tuan Raihan hendak menyerahkan Raisa yang masih dipangkunya padaku."Biar say
Aku tertegun. Mencerna setiap tanya yang keluar dari mulut Tuan Raihan. Sepertinya lelaki di sebelahku ini begitu antusias ingin mengetahui hal ini. Namun, jangankan Tuan Raihan. Aku saja yang menjalaninya sulit untuk menjawab."Kok, diam?" Tuan Raihan protes melihatku hanya membisu."Saya bingung harus menjawab apa, Tuan. Sampai detik ini saja saya tidak tau bagaimana kabarnya dia. Apakah dia masih mengingat saya atau tidak? Atau mungkin, baginya, janji kami dulu hanya sebatas janji sepasang anak kecil yang belum mengerti apa-apa. Saya serahkan saja semuanya pada takdir. Bisa kembali dipertemukan lagi sangat bersyukur. Tidak pun tidak apa-apa. Yang pasti, saya akan selalu mengingat kebaikan-kebaikan yang dia lakukan untuk saya. Saya juga akan selalu mendoakan agar dia selalu sehat di manapun berada." Aku menjawab dengan panjang lebar."Apa ... kamu menyukainya?" Tuan Raihan bertanya dengan ragu. Aku langsung menoleh mendengar pertanyaannya."Apa maksud, Tuan? Dulu kami masih begitu p
"Assalamu'alaikum," ucap Erik tersenyum mengerling menatapku."Wa'alaikum salam," jawabku membuang muka. Kesal. Padahal aku pernah bilang jangan pernah datang ke rumah ini."Ada perlu apa, Ka?" Aku berusaha bertanya sesopan mungkin. "Mau main aja. Emangnya gak boleh? Mumpung masih liburan, kan?" jawabnya membuatku semakin kesal."Maaf ya, Kak. Aku kan sudah pernah bilang, tolong jangan datang ke rumah ini. Aku gak mau pemilik rumah ini salah paham." Aku mengingatkannya lagi. Siapa tau dia hilang ingatan."Loh loh. Siapa yang bilang aku ke rumah ini mau ketemu kamu. Aku mau ketemu Riana, kok. Orangnya ada kan?" Kepala Erik celingukan melihat ke arah dalam rumah.Aku menghela napas pelan. Entah harus lega atau bagaimana. "Ada. Silakan masuk." Aku menggeser tubuhku dari ambang pintu. Memberi jalan kepada Erik untuk masuk ke dalam rumah.Dia berjalan dengan santai. Seolah tak ada kecanggungan sedikit pun. "Silakan duduk. Aku panggilkan Riana dulu," tuturku sopan. "Oh, iya. Mau minum ap
Dengan susah payah aku menelan saliva mendengar perkataan Riana. Sementara Erik terlihat santai tak terganggu sama sekali."Perasaan kamu aja kali," jawabku sambil memalingkan wajah. Menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba melanda."Kali aja kalian kembar terpisah, kan," celetuk Riana sambil tertawa kecil. Sikapnya kini sudah mulai cair, tidak se-kaku tadi saat pertama kali Erik datang."Kembar beda emak sama bapak, ya," timpal Erik yang juga terkekeh pelan."Ho'oh," sahut Riana diiringi tawa yang semakin melebar.Mereka mungkin mengira ini hanya candaan. Tapi tidak bagiku yang memang sudah mengetahui apa yang sebenarnya."Aku pulang dulu ya. Sudah dhuhur kayaknya. Terima kasih banyak loh udah diizinkan main ke sini," tutur Erik sambil berdiri dari duduknya. "Buku ini aku pinjam ya?" Erik mengacungkan sebuah buku bersampul hitam ke arah Riana."Iya. Bawa aja," jawab Riana yang juga ikut berdiri dari duduknya. "Oleh-oleh yang tadi jangan lupa. Nanti ketinggalan," lanjutnya sambil mengi
Untuk sesaat, Andika sempat tertegun. Namun, sesaat kemudian, dia langsung berdiri dan menyambut uluran tangan Mas Raihan meskipun terlihat salah tingkah. Mereka berdua bersalaman sambil menyebutkan nama masing-masing."Yuk, kita pulang," ajak Mas Raihan sambil merangkul bahuku.Aku mengangguk."Dik, aku pulang dulu, ya," pamitku pada Andika yang berubah muram.Andika mengangguk lesu. Ada lengkungan senyum yang terlihat dipaksakan di sudut bibirnya.Aku berjalan bersisian dengan Mas Raihan. Tangannya merangkul bahuku mesra. Saat akan masuk ke dalam mobil, aku kembali menoleh ke arah Andika. Dia masih duduk termenung memandangiku sendu. Ada rasa bersalah yang menggelayut hebat di dada. Pertemuan pertama kami, dilandasi kecanggungan seperti ini."Apa dia Andika yang sama dengan sahabatmu dulu?" tanya Mas Raihan saat kami sudah di dalam mobil. Ada nada cemburu dalam suaranya."Iya. Kenapa?" Tanyaku pura-pura tak bisa membaca aura cemburu yang dipancarkannya."Oh, gak apa-apa. Mas seneng
KETIKA IBUKU MENIKAH LAGIBab 69Hamil? Rasanya gak mungkin. "Kamu ini ngomong apa sih, Ri? Lihat, kakak iparmu sampai kaget gitu!" tegur Mas Raihan sambil meraih tissue dan mengelap sisa teh yang tersisa di bibirku."Loh, apanya yang salah? Wajar kan kalau Rindu hamil? Dia kan sudah punya suami. Kalau masih gadis, baru panik," sahut Riana tak terima. "Kalian ini aneh," gerutunya sambil berlalu pergi.Aku dan Mas Raihan hanya saling pandang. Tentu saja kami sama-sama bungkam tentang rahasia ranjang kami. Tidak ada yang tau bahwa belum pernah terjadi pertempuran apapun di ranjang itu. Hingga bisa dipastikan aku masih tersegel sampai detik ini.Mas Raihan benar-benar menepati janjinya untuk tidak meminta haknya sampai aku benar-benar siap. Kami hanya menghabiskan malam bersama dengan mendekap tubuh satu sama lain. Setelah Riana pergi, kami sama-sama tertawa. Menyadari bahwa apa yang disangkakan Riana itu mustahil."Kamu gak apa-apa kan, Sayang?" Mas Raihan memindai wajahku.Aku mengge
Handel pintu mulai bergerak. Dan pintu pun terbuka."Wa'alaikum salam. Maaf cari --."Pertanyaan ibu terhenti saat memandangku. Matanya mulai berkaca-kaca. Kedua tangannya refleks menutup mulutnya yang terbuka.Aku tertegun. Terkesiap menatap wajah ibu yang sudah sekian lama kurindukan. Buliran bening pun mulai lolos satu persatu dari pelupuk. "Apa kamu Rindu anak ibu?" tanyanya dengan pipi tirus yang bersimbah air mata.Dalam hati aku terenyuh. Ibu masih mengenali putrinya ini meski jarak memisahkan kami tiga tahun lamanya. Mungkin karena memang tidak terlalu banyak yang berubah dariku.Aku mengangguk sambil bercucuran air mata. Sedetik kemudian aku menghambur memeluk tubuhnya. "Ibu ...." Aku menangis dalam dekapannya. Dekapan hangat yang selama ini aku rindukan bahkan sejak aku masih kecil.Isakan ibu makin lirih dengan bertambah eratnya pelukan kami. Tangan ibu mengusap-usap punggungku."Rindu anakku!" Ibu merintih menyebut namaku. Seakan selama ini ia begitu terluka saat jauh da
Kakiku rasanya berat untuk melangkah membuka pintu. Namun, suara ketukan lagi-lagi terdengar meskipun pelan. Setelah mengatur pernapasan setenang mungkin, akhirnya pintu itu kubuka. Aku sedikit bernapas lega saat melihat Riana yang berdiri, bukan Mas Raihan."Kenapa, Ri?" tanyaku setenang mungkin."Icha udah tidur?" Kepalanya mengintip ke dalam kamar."Udah.""Syukurlah. Biar aku yang tidur di sini. Kamu ke atas saja. Masa pengantin baru tidurnya terpisah gini?" tutur Riana sambil menerobos masuk ke dalam kamar."Tapi, Ri ...." "Udah. Gak usah pake tapi segala. Sana buruan!" Riana mendorong tubuhku untuk keluar dari kamar.Karena bingung sekaligus malu harus ke kamar atas, akhirnya aku memilih duduk di sofa ruang TV. Menikmati tayangan yang sama sekali tidak menarik untuk ditonton. "Hai, kenapa malah di sini?"Karena terlalu fokus pada lamunan, hingga aku tak sadar kalau Mas Raihan sudah ada di belakangku.Aku menoleh. Tersenyum kikuk."Iya, Mas. Icha baru saja tertidur."Ya, tadi R
Bapak langsung terkejut mendengar penuturan Tuan Raihan. Matanya menatapku dengan kening berkerut. Menyelidik memandangku dengan tatapan rasa tak percaya."Benarkah kamu Rindu, anak bapak?" tanya bapak dengan suara bergetar.Aku diam. Hanya air mata yang mengalir deras yang berbicara. Seolah berkata, benar. Ini aku putrimu. Putri yang kau terlantarkan lebih dari sepuluh tahun lamanya."Katakan, Nak! Benarkah kamu putriku?" Bapak sekali lagi bertanya. Matanya sudah nampak berkabut. Ah, bapak. Saking lamanya sampai tidak mengenali sedikit pun anakmu ini.Aku hanya mengangguk lemah. Buliran bening semakin deras membasahi pipi."Ya Alloh ... Nak. Kenapa kamu tidak bilang kalau kamu anak bapak?" Bapak mulai menangis. Lelaki yang menjadi cinta pertamaku itu berjalan mendekat ke arahku. Tiba-tiba tubuhnya ambruk dan berlutut di kakiku."Maafkan bapak, Nak. Maafkan bapak! Bapak Rindu sekali sama Rindu. Maafkan bapak. Bapak memang bukan ayah yang baik. Selama ini bapak tega mengabaikanmu sampa
POV RinduMendengar perkataan Tuan Raihan, jantungku serasa berhenti berdetak untuk sejenak. Namun, sesaat kemudian, kembali berdebar dengan begitu hebatnya. Apa aku tak salah dengar? Tuan Raihan melamarku? Memintaku menjadi istrinya? Aku mencubit lenganku dengan sedikit keras."Awww." Sakit. Ternyata ini nyata dan bukan mimpi. "Rindu. Maukah kamu menikah denganku?" Lagi Tuan Raihan bertanya. Membuatku kembali limbung dan seolah terperosok ke pusat bumi. Aku benar-benar bingung harus menjawab apa. Bibirku kelu. Ini terlalu mendadak. Aku bahkan tidak pernah terpikirkan hal ini sebelumnya.Menikah? Di usiaku yang baru saja menginjak remaja. Aku mematung. Otakku berputar berpikir keras untuk menentukan jawaban. Tuan Raihan berjalan menghampiri Raisa. Menuntun tangannya, kemudian berhenti tepat di hadapanku. Berjongkok."Sekali lagi aku bertanya. Maukah kamu menjadi istriku dan ibu dari anakku?" Tatapan Tuan Raihan begitu memohon. Pun si cantik Raisa. Ada harapan besar yang terlukis di
"Apa yang kamu katakan, Ri? Menikah?" Kak Raihan bangkit dari duduknya, lalu berjalan mondar-mandir dengan ekspresi bingung."He'em. Rindu udah lulus SMA. Dia bukan gadis dibawah umur lagi. Gak ada yang salah kan?" Aku ikut berdiri."Tapi, Ri. Yang kakak lihat, Rindu begitu semangat mengejar cita-citanya. Kakak gak mau jadi penghalang dia untuk mewujudkan cita-citanya itu." Aku berjalan beberapa langkah, berhenti tepat di depan Kak Raihan."Kak, memangnya kalau sudah menikah, Rindu gak bisa mengejar cita-citanya, ya? Dia kan masih bisa kuliah meskipun sudah menikah." Aku meyakinkan Kak Raihan."Coba kakak pikir. Di mana lagi kakak mau cari wanita seperti Rindu? Dia cantik, pintar, solehah, sudah diterima semua keluarga kakak terutama Icha. Apalagi yang kurang dari Rindu?" lanjutku menggebu-gebu.Kak Raihan nampak berpikir. "Beri kakak waktu untuk memikirkannya.""Kak! Waktu kita tuh gak banyak. Beberapa hari lagi Rindu udah mau pergi. Kopernya aja udah disiapin di sudut kamar. Kalau
Ditatap seperti itu oleh dua orang, nyaliku mendadak ciut. Keringat dingin mulai keluar dari sela-sela jilbab. Jantungku tak hentinya berlompatan serasa mau keluar dari tempatnya."Katakan saja, Rindu. Ada apa?" Tuan Raihan yang dari tadi diam akhirnya bersuara. Mungkin sudah jenuh menungguku yang tak kunjung berkata."Sebenarnya ... saya mau bilang, kalau saya keterima beasiswa di perguruan tinggi di Jogjakarta. Dan bulan depan, saya harus sudah di sana." Aku berkata dengan suara gemetar."Maksud kamu apa? Saya belum paham?" tanya Tuan Raihan."Maksud saya, saya mau mengundurkan diri sebagai pengasuh Raisa. Makanya saya bilang dari sekarang, agar Tuan punya waktu untuk mencari pengasuh baru," sahutku hati-hati."Loh. Kenapa mendadak seperti ini, Rindu? Saya pikir kamu mau melanjutkan kuliah di Jakarta saja bareng Riana. Kenapa kamu juga tidak pernah membicarakan ini sebelumnya?" tanya Tuan Raihan."Saya sudah pernah membicarakan ini dengan Riana, Tuan." Aku melirik Riana yang masih t
Aku sedikit tergagap mendapat banyak pertanyaan sekaligus dari Riana. Karena sebenarnya aku juga belum siap untuk menceritakannya. Toh masih ada waktu beberapa bulan ke depan."Rin, kok diam?" Riana mengguncang tubuhku pelan. Wajahnya nampak tegang menunggu jawaban dariku."Eh, itu Ri. Aku kan cuma tanya. Itu juga seandainya. Siapa tau nanti aku keterima kuliah di luar kota kan?" "Memangnya kamu berniat daftar kuliah di luar kota?""Ya ... namanya juga nyari beasiswa. Jadi harus dicoba di semua universitas negeri.""Tapi kamu kan bisa nyari beasiswa di Jakarta aja," protes Riana tampak tak terima."Kalau gak keterima gimana?""Kak Rai masih sanggup kok biayain kuliah kamu.""Ri ... aku tuh gak enak kalau harus terus-terusan merepotkan Tuan Raihan. Aku ini bukan siapa-siapa. Aku bukan tanggung jawabnya. Aku cuma seorang pengasuh anaknya. Jadi harus tau diri. Aku gak mau dianggap ngelunjak. Apalagi dianggap memanfaatkan keadaan untuk meraih cita-cita aku. Setelah lulus SMA nanti, setid