Menjelang subuh belum juga ada tanda-tanda bayi akan lahir. Terakhir diperiksa tadi, Indah sudah mengalami pembukaan lima. Indah masih gelisah, belum bisa memejamkan mata, sedangkan Ahmad terkantuk-kantuk sambil menunggunya. Karena sudah tidak tertahankan lagi, akhirnya Ahmad tertidur.Indah semakin kesal melihat suaminya tidur."Dasar suami nggak berguna, istrinya sedang seperti ini kok malah enak-enakan tidur." Indah mengomel sendiri sambil memandangi Ahmad."Sebenarnya kamu itu ganteng, hebat di ranjang, tapi nggak berguna sama sekali. Kalau kamu bukan anak orang kaya, aku nggak bakalan mau sama kamu." Indah masih saja mengomel. Sesekali ia mengernyitkan dahinya karena menahan rasa sakit. Akhirnya ia pun tertidur juga.Ahmad membuka mata melihat-lihat di sekelilingnya, akhirnya ia tersadar kalau sedang menunggu istrinya yang mau melahirkan. Seketika ia menoleh ke arah istrinya yang tampak tertidur lelap. Kemudian beralih ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perutnya
Indah hanya terdiam, sedangkan Ahmad memandang keluar melalui jendela. Tentu saja dengan nafas yang tersengal-sengal karena emosi. Terlihat jelas di wajah Ahmad kalau ia sangat marah. "Mas, perutku sakit," teriak Indah. Ahmad menoleh ke arah Indah, tampak Indah yang sudah meringis kesakitan. Ahmad berlari keluar untuk mencari perawat. Ahmad masuk lagi ke ruangan bersama dengan perawat dan bidan. Kemudian Bidan dan perawat yang ada segera membantu persalinan Indah."Ayo, Bu. Mengejan pelan-pelan ya?" kata Bidan memberi aba-aba.Indah pun mengejan, tapi masih belum keluar kepala bayinya."Ulangi lagi Bu. Perlahan-lahan ya? Siapkan tenaga."Indah mengejan lagi."Terus, Bu." Bidan memberi semangat pada Indah.Nafas Indah terasa sudah mau putus dan tidak bertenaga lagi."Siapkan tenaga lagi, ya Bu?" kata Bidan itu."Sakit Mas." Indah mengeluh dan merengek-rengek. Bidan dan perawat sudah mulai kesal dengan Indah yang dari tadi berteriak-teriak."Ayo Bu. Ulangi lagi, kepala bayi sudah keli
"Katanya Dek Novi kecelakaan, ya? Maaf, saya belum sempat menjenguk," kata Aisyah."Iya, Mbak. Nggak apa-apa kok Mbak, hanya luka ringan." Novi menjawab dengan pelan. "Sekarang bagaimana kondisinya?" tanya Aisyah dengan mata yang tampak menelisik seluruh bagian tubuh Novi."Alhamdulillah, sudah sehat kembali.""Syukurlah. Kesini sama siapa, Dek?" tanya Aisyah."Sama anak-anak, Mbak. Itu mereka sedang bermain," jawab Novi sambil menunjuk Dina dan Haikal yang asyik bermain.Aisyah dan Ustadz Yusuf spontan melihat ke arah yang ditunjuk Novi. Anak-anak memang sedang asyik bermain, jadi mereka tidak melihat ke arah Novi."Wah, sepertinya mereka bahagia sekali, ya?" kata Aisyah."Iya, Mbak. Dari tadi nggak mau berhenti.""Nggak apa-apa, turuti saja kemauan mereka. Toh nggak setiap hari kesini." Aisyah berkata memberi pengertian pada Novi."Mumpung mereka masih kecil, nanti kalau sudah besar nggak akan mengajak main seperti itu lagi," lanjut Aisyah. Ustadz Yusuf dari tadi hanya menjadi pend
Novi menoleh ke belakang, ternyata ada Farel dan seorang perempuan cantik. Terlihat sekali kalau perempuan itu sangat berkelas. Novi pun tersenyum."Halo Om," jawab Dina sambil melambaikan tangan."Siapa mereka?" tanya perempuan itu dengan ketus."Oh, mereka itu Mbak Novi dan anak-anaknya," jawab Farel."Iya, Mbak. Saya Novi, ini Dina dan Haikal." Novi berkata dengan sopan."Mbak? Memangnya aku kakakmu? Lagipula kamu itu lebih tua dariku." Perempuan itu berkata sambil menelisik Novi dari ujung rambut ke ujung kaki. Tampak sekali keangkuhan dari sikapnya.Novi tampak risih, ingin rasanya langsung pergi menghindari mereka berdua, tapi demi etika ia menahan diri."Nada, jangan ngomong seperti itu," kata Farel.Akhirnya Novi dan anak-anaknya beranjak dari duduk dan berpamitan pada Farel."Maaf, Mas. Kami duluan," pamit Novi."Oh iya, Mbak," jawab Farel dengan tersenyum, sedangkan Nada masih menunjukkan wajah yang cemberut."Siapa sih perempuan itu?" tanya Nada ketika Novi dan anak-anaknya
Farel tersadar dari lamunannya. Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Nada mencuri kesempatan untuk dapat mencium Farel. Akhirnya Farel melajukan kendaraannya untuk menjauhi rumah Nada.Sejujurnya kalau tadi Farel memang sengaja mengikuti Novi. Ia melihat interaksi antara Novi dengan Ustadz Yusuf dan istrinya. Ia memang sudah mendengar desas-desus tentang mereka. "Sepertinya Novi akrab dengan istrinya Ustadz itu. Apakah mereka sudah menikah ya? Tapi kayaknya nggak mungkin Novi mau menikah dengan Ustadz itu.""Tapi melihat gerak-gerik mereka tadi, sangat akrab.""Kenapa aku kok jadi kepo seperti ini?"Semua itu muncul dipikiran Farel, membuat Farel semakin penasaran. Tak terasa Farel sudah sampai di rumah, setelah memasukkan mobil ke garasi ia pun masuk ke dalam rumah. Bergegas ia menuju ke kamarnya."Farel!" panggil Irma."Pasti Nada mengadu," gumam Farel kemudian menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah sumber suara.Ternyata Papa dan mamanya sedang duduk santai di sofa.
"Makan, dulu. Kamu harus banyak makan sayuran, supaya ASI lancar." Bu Wulan berbicara pada Indah yang tampak kecewa."Aku nggak suka sayuran, Bu," kata Indah."Terus kamu mau makan apa?" tanya Bu Wulan lagi."Ayam atau daging." Indah menjawab dengan mantap."Itu kan ada ayamnya." Bu Wulan berkata sambil menunjuk makanan yang dimasak Tini."Tapi nggak ada sambalnya.""Memang sengaja ayamnya dimasak semur. Kalau kamu makan pedas-pedas, nanti anakmu bisa mencret," kata Bu Wulan memberi pengertian pada menantunya itu.Indah hanya terdiam. "Perempuan banyak gaya, memangnya selama ini kamu makan enak terus? Masih mending Ibu berbaik hati menyuruhku memasak. Kalau enggak, kamu yang masak sendiri," kata Tini dalam hati. Ia memang sinis Indah. Ternyata Indah juga sedang menatap Tini, ia menjadi semakin kesal."Jadi pembantu saja sok belagu," kata Indah dalam hati. Bu Wulan dan Tini keluar dari kamar Indah. Bu Wulan menemui suaminya, sedangkan Tini menuju ke dapur. Tampak Pak Harno sedang asy
"Anak sudah besar kok di gendong. Tuh anak sendiri tidak digendong," kata Indah dengan kesal."Aku kan jarang bertemu dengan Haikal. Lagipula anak kita itu masih tidur, kalau digendong nanti malah bangun," jawab Ahmad. Ia sudah tahu arah pembicaraan Indah."Haikal, kamu itu sudah besar. Nggak boleh minta gendong Ayah. Ayah harus menggendong adik bayi," kata Indah pada Haikal dengan kesal."Apaan sih kamu, Dek. Sama anak kecil kok ngomong kayak gitu." Ahmad menjadi kesal. Pak Harno yang akan ke kamar mandi, mendengar perbincangan Ahmad dan Indah. Ia pun melambatkan langkahnya untuk mendengarkan lagi. Kemudian pura-pura memainkan ponselnya sambil mondar-mandir."Tante marah ya? Kenapa Tante marah sama Ayah?" tanya Haikal dengan polosnya."Enggak, Tante nggak marah kok." Ahmad menjawab pertanyaan anaknya."Kok kayak marah-marah." Haikal masih penasaran dengan jawaban ayahnya."Haikal bobok disini ya? Menemani adik bayi," kata Ahmad mengalihkan pembicaraan."Mas kok malah aneh-aneh sih,"
"Apa maumu!" bentak Ahmad."Kamu itu maunya dimengerti tapi nggak mau mengerti. Oke Dek, besok aku antar kamu pulang ke rumah orang tuamu. Aku sudah tidak sanggup hidup bersama denganmu. Aku tidak akan memisahkanmu dengan anak kita. Bawalah anak kita, nanti aku akan rutin mengirim nafkah untukmu dan anak kita," lanjut Ahmad.Indah meneteskan air mata."Nggak usah menangis. Air mata buaya." Ahmad berteriak lagi.Ahmad pun keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang keluarga. Kemudian merebahkan diri di kasur yang ada di ruangan itu."Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah nggak sanggup lagi." “Dulu aku menyia-nyiakan Novi, mungkin seperti ini yang Novi rasakan saat itu. Mungkin ini karma atas apa yang aku lakukan terhadap Novi.”"Aku masih ingin melihat anak-anakku tumbuh dan berkembang. Tapi bukan dalam keadaan seperti ini.”"Ya Allah, ampuni aku. Selama ini aku selalu menjauh dariMu."Ahmad pun meneteskan air mata, mengingat jalan hidupnya yang penuh dengan ujian. Ia berusaha
Hari ini Novi dan Farel mencari perlengkapan untuk mengisi rumah baru mereka. Hanya yang penting-penting dulu. Mereka berangkat dari rumah sekitar jam sembilan. Kebetulan Haikal tidak ikut, hanya mereka berdua, jadi bisa leluasa memilih furniture tanpa harus mengkhawatirkan Haikal yang bakal kecapekan. Sampailah mereka di toko furniture. Novi melihat-lihat tempat tidur untuk kamar mereka."Kasur ini bagus nggak untuk kamar Dina?" tanya Farel."Bagus, Mas. Tapi kita cari yang lain dulu," kata Novi. Sebenarnya Novi tadi sangat senang melihat kasur ini, tapi begitu melihat harganya, membuat Novi terperanjat."Kenapa?""Kita cari yang sebelah situ dulu, cari yang agak murah," bisik Novi."Tapi ini bagus." Farel tetap mempertahankan ini."Mas, kalau beli yang itu, terlalu mahal. Cari yang sederhana saja." Novi tetap pada pendiriannya.Akhirnya Farel mengalah. Mereka pun melihat-lihat lagi, mencari yang sesuai dengan keinginan dan budget."Nah kalau untuk kamar kita, yang ini saja. Ini kua
"Mas, semua ini membuatku sangat terharu. Terlalu berlebihan," kata Novi."Enggak Sayang. Ini semampuku, hanya mampu membuatkan rumah yang kecil untuk keluarga kecil kita. Tapi insyaallah rumah yang kita bangun ini akan menjadi rumah yang penuh dengan kebahagiaan.""Amin.""Aku juga nggak mau kita jauh dari Bapak Ibu. Lagi pula usahamu kan disini, jadi tidak repot.""Apa Mas nggak malu punya istri penjual ayam geprek?""Nggak usah dibahas yang seperti itu. Pokoknya aku sudah siap dengan segala kelebihan dan kekuranganmu. Aku nggak mau membatasi kegiatanmu. Yang penting kamu senang, dan ingat prioritasmu adalah menjadi istri dan ibu. Bukan mencari nafkah. Mencari Nafkah itu tugasku.""Siap, Bos!" kata Novi sambil cengengesan."Alhamdulillah ya Mas, tadi malam Bu Irma ikut datang," lanjut Novi."Bukan Bu Irma, tapi Mama.""Iya, Mama.""Sebenarnya Mama itu baik. Kita harus pintar-pintar mengambil hatinya. Suatu saat nanti Mama pasti akan luluh," kata Farel dengan menatap Novi."Kamu tahu
"Apa kalian sudah benar-benar mantap? Nanti kalian mau tinggal dimana setelah menikah?" tanya Pak Dewa."Nanti kami akan tinggal di bedengnya Novi, memulai semuanya dari nol."Novi memang memiliki bedengan untuk disewakan, kebetulan ada yang baru saja pindah, jadi ada bedeng yang kosong.Irma mencibir mendengar ucapan anaknya."Memang kamu bisa tinggal ditempat seperti itu," cemooh Irma."Insyaallah bisa, Ma. Namanya juga baru menikah dan belajar untuk memulai hidup baru, harus serba prihatin."Pak Dewa tersenyum dan manggut-manggut."Bagus! Itu namanya laki-laki sejati. Papa bangga sama kamu. Apa yang kamu butuhkan untuk menikah nanti? Bilang saja sama Papa! Mau pesta di gedung apa, biar Papa yang mengurusnya," kata Pak Dewa dengan antusias."Huh! Banyak gaya, masa mau pesta di gedung. Padahal setelah pesta tinggal di bedeng!" Irma berkata dengan sinis.Farel tersenyum dan sangat maklum dengan watak mamanya itu."Enggak usah, Pa! Acaranya hanya akad nikah saja di rumah Pak Budi. Meng
"Mas, aku takut," kata Novi ketika berada di dalam mobil."Takut kenapa, aku kan nggak ngapa-ngapain kamu," goda Farel sambil tersenyum."Aku serius, Mas.""Aku juga serius," sahut Farel.Novi masih saja tampak gelisah, ia takut membayangkan hal-hal yang mungkin nanti terjadi.Hari ini Farel sengaja mengajak Novi untuk menemui kedua orang tua Farel. Awalnya Novi menolak, karena belum siap untuk diejek dan dihina mamanya Farel. Tapi Farel berhasil meyakinkan Novi kalua semua akan baik-baik saja. Farel sendiri sudah bertekad tetap akan menikah dengan Novi meskipun mamanya tidak setuju.Di sepanjang perjalanan, Novi hanya terdiam. Farel yang fokus menyetir melihat ke arah Novi yang sedang melamun."Nggak usah khawatir, ada aku di sampingmu," kata Farel. Tangan kiri Farel berusaha memegang tangan Novi. Farel tersenyum walaupun hatinya deg-degan, tangan Novi terasa sangat dingin."Dingin sekali tanganmu, grogi ya?" ledek Farel.Novi hanya tersenyum samar. Akhirnya sampai juga di rumah ora
"Jadi Novi akan menikah juga ya? Atau mereka sudah menikah? Syukurlah kalau begitu. Berarti Mas Ahmad tidak akan mengharapkan Novi lagi, karena Novi sudah bersuami. Dan hidupku akan damai," kata Indah dalam hati."Tapi aku heran, kenapa Novi begitu baik denganku, sampai ia rela menggendong Salsa? Apakah karena kebaikan Novi ini yang membuatnya begitu sering dipuji oleh seluruh keluarga Mas Ahmad. Sepertinya aku harus mencontoh Novi." Dari tadi Ahmad mengamati Novi, ada kerinduan di hatinya. Rindu akan omelan dan juga masakan Novi yang selalu cocok di lidahnya. "Andai waktu bisa terulang lagi, aku akan selalu menjadi suami yang baik untuk Novi. Tapi, ah sudahlah. Sekarang sepertinya Novi sedang bahagia bersama Farel," kata Ahmad dalam hati dengan pandangan mata masih menatap Novi dan Farel.Seketika Ahmad terkejut karena pandangan matanya bertatapan dengan Indah. Indah tampak tersenyum penuh kemenangan melihat Ahmad yang terlihat sendu menatap Novi. Ahmad segera mengalihkan pandangan
Pagi ini semua sudah bersiap-siap untuk datang ke acara akad nikah Alif. Novi pun sudah menyiapkan hati untuk bertemu dengan Ahmad dan Indah. Segala kemungkinan bisa saja terjadi disana. Keluar di kamar, semua sudah siap, termasuk Farel yang sudah datang dari tadi. Entah apa yang sedang dibicarakan Farel dengan Pak Budi, mereka tampak serius. Akhirnya Farel selesai juga berbicara dengan Pak Budi."Semua sudah siap kan? Ayo kita berangkat," ajak Farel."Iya, sudah siap kok. Tadi kelamaan nunggu Ibu dandan," celetuk Dina.Farel dan orang tua Novi tersenyum, sedangkan Novi salah tingkah. Akhirnya mereka berangkat menuju ke rumah Alif. Semua tampak ceria, terutama Farel dan Novi, yang sama-sama bahagia dan hatinya berbunga-bunga.Sampai di rumah Alif, acara belum dimulai. Karena penghulu juga baru saja datang. Ia masih meneliti berkas-berkas pernikahan. Acara akad nikah Alif digelar secara sederhana, tidak ada pesta. Hanya keluarga, tetangga dan teman dekat saja yang diundang. Pak Harn
"Mas, kita nggak mungkin bisa bersama. Perbedaan kita terlalu banyak. Aku takut nanti akan menjadi masalah besar. Aku…."Drtt…drtt…Belum selesai Novi berbicara, terdengar ponsel Farel berbunyi. Farel melihat sekilas ke arah ponselnya, tapi hanya mengacuhkan saja. Ia fokus lagi menatap Novi.Drtt…drttDrtt…drtt"Angkatlah panggilan itu, siapa tahu penting," kata Novi."Bukan hal penting kok."Drtt…drttAkhirnya Farel menonaktifkan nada deringnya."Kamu takut dengan Mama? Jangan khawatir, aku akan berusaha melunakkan hati Mama.""Kalau tidak berhasil?""Kita tetap menikah, toh aku juga sudah tidak tinggal di rumah Mama. Kita nanti akan memulai rumah tangga dari awal. Mengontrak rumah, menabung untuk membeli rumah.""Mudah sekali Mas bicara seperti itu. Begitu menjalaninya nanti banyak mengeluh.""Asalkan bersamamu, aku yakin mampu menjalani semuanya.""Gombal!""Aku bukan merayu, tapi memang aku sudah siap lahir batin hidup sederhana.""Mas, semua tak seindah dan semudah yang Mas bayan
Farel segera menggandeng tangan Novi dan mengajaknya mendekati anak-anak lagi. Dada Novi bergemuruh, hatinya berbunga-bunga. Tapi masih saja ada sedikit kekhawatiran."Nggak usah grogi kayak gitu, nanti kamu akan terbiasa dengan gandengan tanganku," ledek Farel, Novi hanya tersipu."Kok Ibu gandengan dengan Om, nggak boleh! Itu omnya adek, bukan omnya Ibu," kata Haikal mendekati Farel dan berusaha melepaskan gandengan tangan mereka.Farel semakin terkekeh melihat Haikal yang merasa cemburu dengan ibunya sendiri."Adek sayang sama Om ya?" tanya Farel."Iya! Om tidur di rumah adek ya, biar bisa ngelonin adek."Deg! Novi kaget mendengar jawaban Haikal."Om juga sayang sama adek, Ibu dan Mbak Dina." Farel menanggapi pertanyaan Haikal."Kalau sayang kok nggak mau tinggal di rumah adek?" Haikal masih penasaran dengan jawaban Farel."Nanti kalau Om sudah punya rumah sendiri, Om akan mengajak adek, Ibu dan Mbak Dina tinggal bersama.""Rumahnya bagus nggak Om?" tanya Haikal dengan antusias."
Novi hanya menatap mereka yang sibuk mencari permainan lain. Hatinya masih terasa sakit dengan sikap Irma. Novi memang sudah biasa dihina dan direndahkan orang, tapi yang dilakukan Irma tadi benar-benar menyakiti hatinya karena dilakukan di depan anak-anaknya. Walaupun sebenarnya Dina dan Haikal belum paham dengan apa yang terjadi, tetap saja Novi merasa dipermalukan.Novi menunduk sambil menghapus air mata yang mulai menetes. Kejadian ini tidak luput dari perhatian Farel. Walaupun ia sedang mendampingi Haikal dan Dina bermain, tapi pandangan matanya tidak lepas dari sosok yang dicintainya itu."Maafkan aku, Novi. Aku janji tidak akan membuatmu menangis lagi," kata Farel dalam hati.Sementara itu, di mobil Pak Dewa sedang terjadi perdebatan. Tentu saja perdebatan antara Pak Dewa dan Irma."Mama nggak boleh bersikap seperti itu? Kayak orang nggak berpendidikan." Pak Dewa mengomel."Enak saja Papa bilang seperti itu! Yang Mama lakukan tadi benar. Mama kecewa dengan Farel! Farel pasti di