Novi menoleh ke belakang, ternyata ada Farel dan seorang perempuan cantik. Terlihat sekali kalau perempuan itu sangat berkelas. Novi pun tersenyum."Halo Om," jawab Dina sambil melambaikan tangan."Siapa mereka?" tanya perempuan itu dengan ketus."Oh, mereka itu Mbak Novi dan anak-anaknya," jawab Farel."Iya, Mbak. Saya Novi, ini Dina dan Haikal." Novi berkata dengan sopan."Mbak? Memangnya aku kakakmu? Lagipula kamu itu lebih tua dariku." Perempuan itu berkata sambil menelisik Novi dari ujung rambut ke ujung kaki. Tampak sekali keangkuhan dari sikapnya.Novi tampak risih, ingin rasanya langsung pergi menghindari mereka berdua, tapi demi etika ia menahan diri."Nada, jangan ngomong seperti itu," kata Farel.Akhirnya Novi dan anak-anaknya beranjak dari duduk dan berpamitan pada Farel."Maaf, Mas. Kami duluan," pamit Novi."Oh iya, Mbak," jawab Farel dengan tersenyum, sedangkan Nada masih menunjukkan wajah yang cemberut."Siapa sih perempuan itu?" tanya Nada ketika Novi dan anak-anaknya
Farel tersadar dari lamunannya. Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Nada mencuri kesempatan untuk dapat mencium Farel. Akhirnya Farel melajukan kendaraannya untuk menjauhi rumah Nada.Sejujurnya kalau tadi Farel memang sengaja mengikuti Novi. Ia melihat interaksi antara Novi dengan Ustadz Yusuf dan istrinya. Ia memang sudah mendengar desas-desus tentang mereka. "Sepertinya Novi akrab dengan istrinya Ustadz itu. Apakah mereka sudah menikah ya? Tapi kayaknya nggak mungkin Novi mau menikah dengan Ustadz itu.""Tapi melihat gerak-gerik mereka tadi, sangat akrab.""Kenapa aku kok jadi kepo seperti ini?"Semua itu muncul dipikiran Farel, membuat Farel semakin penasaran. Tak terasa Farel sudah sampai di rumah, setelah memasukkan mobil ke garasi ia pun masuk ke dalam rumah. Bergegas ia menuju ke kamarnya."Farel!" panggil Irma."Pasti Nada mengadu," gumam Farel kemudian menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah sumber suara.Ternyata Papa dan mamanya sedang duduk santai di sofa.
"Makan, dulu. Kamu harus banyak makan sayuran, supaya ASI lancar." Bu Wulan berbicara pada Indah yang tampak kecewa."Aku nggak suka sayuran, Bu," kata Indah."Terus kamu mau makan apa?" tanya Bu Wulan lagi."Ayam atau daging." Indah menjawab dengan mantap."Itu kan ada ayamnya." Bu Wulan berkata sambil menunjuk makanan yang dimasak Tini."Tapi nggak ada sambalnya.""Memang sengaja ayamnya dimasak semur. Kalau kamu makan pedas-pedas, nanti anakmu bisa mencret," kata Bu Wulan memberi pengertian pada menantunya itu.Indah hanya terdiam. "Perempuan banyak gaya, memangnya selama ini kamu makan enak terus? Masih mending Ibu berbaik hati menyuruhku memasak. Kalau enggak, kamu yang masak sendiri," kata Tini dalam hati. Ia memang sinis Indah. Ternyata Indah juga sedang menatap Tini, ia menjadi semakin kesal."Jadi pembantu saja sok belagu," kata Indah dalam hati. Bu Wulan dan Tini keluar dari kamar Indah. Bu Wulan menemui suaminya, sedangkan Tini menuju ke dapur. Tampak Pak Harno sedang asy
"Anak sudah besar kok di gendong. Tuh anak sendiri tidak digendong," kata Indah dengan kesal."Aku kan jarang bertemu dengan Haikal. Lagipula anak kita itu masih tidur, kalau digendong nanti malah bangun," jawab Ahmad. Ia sudah tahu arah pembicaraan Indah."Haikal, kamu itu sudah besar. Nggak boleh minta gendong Ayah. Ayah harus menggendong adik bayi," kata Indah pada Haikal dengan kesal."Apaan sih kamu, Dek. Sama anak kecil kok ngomong kayak gitu." Ahmad menjadi kesal. Pak Harno yang akan ke kamar mandi, mendengar perbincangan Ahmad dan Indah. Ia pun melambatkan langkahnya untuk mendengarkan lagi. Kemudian pura-pura memainkan ponselnya sambil mondar-mandir."Tante marah ya? Kenapa Tante marah sama Ayah?" tanya Haikal dengan polosnya."Enggak, Tante nggak marah kok." Ahmad menjawab pertanyaan anaknya."Kok kayak marah-marah." Haikal masih penasaran dengan jawaban ayahnya."Haikal bobok disini ya? Menemani adik bayi," kata Ahmad mengalihkan pembicaraan."Mas kok malah aneh-aneh sih,"
"Apa maumu!" bentak Ahmad."Kamu itu maunya dimengerti tapi nggak mau mengerti. Oke Dek, besok aku antar kamu pulang ke rumah orang tuamu. Aku sudah tidak sanggup hidup bersama denganmu. Aku tidak akan memisahkanmu dengan anak kita. Bawalah anak kita, nanti aku akan rutin mengirim nafkah untukmu dan anak kita," lanjut Ahmad.Indah meneteskan air mata."Nggak usah menangis. Air mata buaya." Ahmad berteriak lagi.Ahmad pun keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang keluarga. Kemudian merebahkan diri di kasur yang ada di ruangan itu."Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah nggak sanggup lagi." “Dulu aku menyia-nyiakan Novi, mungkin seperti ini yang Novi rasakan saat itu. Mungkin ini karma atas apa yang aku lakukan terhadap Novi.”"Aku masih ingin melihat anak-anakku tumbuh dan berkembang. Tapi bukan dalam keadaan seperti ini.”"Ya Allah, ampuni aku. Selama ini aku selalu menjauh dariMu."Ahmad pun meneteskan air mata, mengingat jalan hidupnya yang penuh dengan ujian. Ia berusaha
Pagi ini Bu Wulan dan Pak Harno datang ke rumah Ahmad untuk melihat cucunya yang baru lahir. Walaupun mereka tidak menyukai menantunya, tapi bukan berarti tidak menyukai cucunya. Bu Wulan sudah membawakan makanan untuk Ahmad dan Indah. Ia tadi sudah menyuruh Tini untuk memasak makanan untuk anak dan menantunya.Sampai di rumah Ahmad, rumah tampak sepi. Bu Wulan membuka pintu depan yang tidak terkunci. Bu Wulan segera masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Pak Harno. Kemudian meletakkan makanan yang dibawanya ke meja makan. Di depan kamar mandi, tampak Ahmad sedang memandikan bayinya. Bu Wulan mengamati Ahmad yang sangat hati-hati memandikan buah hatinya itu, dan mendekatinya."Sayang, ada Nenek dan Kakek kesini, mau menggendong adik," kata Ahmad berbicara dengan bayinya. Bu Wulan tersenyum melihat cucunya itu. Kemudian terdengar langkah kaki yang mendekati mereka. Ternyata Indah yang tampak seperti baru bangun dari tidur, dan berjalan menuju ke kamar mandi. Bu Wulan hanya geleng-geleng
"Mas yang mengambil uang di laci ya?" tanya Novi dengan pelan. Novi mendekati Ahmad yang sudah selesai makan malam. Ia tampak asyik merokok sambil mata menatap di layar ponselnya."Iya, besok aku ganti," jawab Ahmad dengan ketus, tapi mata masih tetap fokus pada ponsel. "Besok kapan?" tanya Novi lagi."Kalau sudah dapat uang, pelit amat sih! Sama suami sendiri kok perhitungan sekali." Ahmad menjawab dengan kesal, kemudian menatap tajam pada Novi."Bukannya pelit, Mas? Uang itu mau dipakai untuk bayar sales rokok besok! Terus besok aku harus membayar pakai apa?" kata Novi dengan nada kesal juga."Kebiasaan sekali Mas Ahmad ini, mengambil uang hasil penjualan di warung untuk kepentingannya sendiri. Mending kalau mengambil uang terus ngomong. Ini, nggak pakai ngomong! Jadi kesannya seperti mencuri uang di warung." Tentu saja Novi hanya berani berkata dalam hati.Selesai salat dan makan malam tadi Novi masuk ke warung untuk mengecek uang yang ada di laci. Novi kaget, ternyata uangnya ti
Usia kandungan Novi sudah memasuki bulan kedelapan. Gerakan bayi pun sangat aktif. Novi sering sekali merasa cepat lelah. Novi juga selalu rajin kontrol ke bidan Wiwik yang dekat dengan rumah. Sore ini setelah pulang dari kontrol bersama Dina, ia pergi ke rumah orang tuanya. Hanya beda desa saja, kurang lebih lima belas menit naik motor.Sampai juga ia di rumah orang tuanya. Rumah yang masih tampak seperti dulu. Rumah sederhana tempat Ia dan Septi kakaknya, dibesarkan dengan penuh kasih sayang. Walaupun hidup dengan penuh kesederhanaan, tapi ia merasa sangat bersyukur. Setidaknya untuk makan sehari-hari tidak kesusahan.Rumah orang tua Novi tampak asri dan sejuk, karena banyak sekali tanaman sayuran dalam polybag yang ditanam ibunya. Jadi untuk makan sehari-hari tidak mengeluarkan biaya banyak. Apalagi ibunya Novi rajin ikut kelompok wanita tani (KWT), sering mendapatkan bantuan bibit sayuran dan polybag."Assalamu'alaikum." Novi mengucapkan salam. Tidak ada jawaban."Assalamu'alai
Pagi ini Bu Wulan dan Pak Harno datang ke rumah Ahmad untuk melihat cucunya yang baru lahir. Walaupun mereka tidak menyukai menantunya, tapi bukan berarti tidak menyukai cucunya. Bu Wulan sudah membawakan makanan untuk Ahmad dan Indah. Ia tadi sudah menyuruh Tini untuk memasak makanan untuk anak dan menantunya.Sampai di rumah Ahmad, rumah tampak sepi. Bu Wulan membuka pintu depan yang tidak terkunci. Bu Wulan segera masuk ke dalam rumah, diikuti oleh Pak Harno. Kemudian meletakkan makanan yang dibawanya ke meja makan. Di depan kamar mandi, tampak Ahmad sedang memandikan bayinya. Bu Wulan mengamati Ahmad yang sangat hati-hati memandikan buah hatinya itu, dan mendekatinya."Sayang, ada Nenek dan Kakek kesini, mau menggendong adik," kata Ahmad berbicara dengan bayinya. Bu Wulan tersenyum melihat cucunya itu. Kemudian terdengar langkah kaki yang mendekati mereka. Ternyata Indah yang tampak seperti baru bangun dari tidur, dan berjalan menuju ke kamar mandi. Bu Wulan hanya geleng-geleng
"Apa maumu!" bentak Ahmad."Kamu itu maunya dimengerti tapi nggak mau mengerti. Oke Dek, besok aku antar kamu pulang ke rumah orang tuamu. Aku sudah tidak sanggup hidup bersama denganmu. Aku tidak akan memisahkanmu dengan anak kita. Bawalah anak kita, nanti aku akan rutin mengirim nafkah untukmu dan anak kita," lanjut Ahmad.Indah meneteskan air mata."Nggak usah menangis. Air mata buaya." Ahmad berteriak lagi.Ahmad pun keluar dari kamarnya dan menuju ke ruang keluarga. Kemudian merebahkan diri di kasur yang ada di ruangan itu."Ya Allah, kenapa hidupku seperti ini? Aku sudah nggak sanggup lagi." “Dulu aku menyia-nyiakan Novi, mungkin seperti ini yang Novi rasakan saat itu. Mungkin ini karma atas apa yang aku lakukan terhadap Novi.”"Aku masih ingin melihat anak-anakku tumbuh dan berkembang. Tapi bukan dalam keadaan seperti ini.”"Ya Allah, ampuni aku. Selama ini aku selalu menjauh dariMu."Ahmad pun meneteskan air mata, mengingat jalan hidupnya yang penuh dengan ujian. Ia berusaha
"Anak sudah besar kok di gendong. Tuh anak sendiri tidak digendong," kata Indah dengan kesal."Aku kan jarang bertemu dengan Haikal. Lagipula anak kita itu masih tidur, kalau digendong nanti malah bangun," jawab Ahmad. Ia sudah tahu arah pembicaraan Indah."Haikal, kamu itu sudah besar. Nggak boleh minta gendong Ayah. Ayah harus menggendong adik bayi," kata Indah pada Haikal dengan kesal."Apaan sih kamu, Dek. Sama anak kecil kok ngomong kayak gitu." Ahmad menjadi kesal. Pak Harno yang akan ke kamar mandi, mendengar perbincangan Ahmad dan Indah. Ia pun melambatkan langkahnya untuk mendengarkan lagi. Kemudian pura-pura memainkan ponselnya sambil mondar-mandir."Tante marah ya? Kenapa Tante marah sama Ayah?" tanya Haikal dengan polosnya."Enggak, Tante nggak marah kok." Ahmad menjawab pertanyaan anaknya."Kok kayak marah-marah." Haikal masih penasaran dengan jawaban ayahnya."Haikal bobok disini ya? Menemani adik bayi," kata Ahmad mengalihkan pembicaraan."Mas kok malah aneh-aneh sih,"
"Makan, dulu. Kamu harus banyak makan sayuran, supaya ASI lancar." Bu Wulan berbicara pada Indah yang tampak kecewa."Aku nggak suka sayuran, Bu," kata Indah."Terus kamu mau makan apa?" tanya Bu Wulan lagi."Ayam atau daging." Indah menjawab dengan mantap."Itu kan ada ayamnya." Bu Wulan berkata sambil menunjuk makanan yang dimasak Tini."Tapi nggak ada sambalnya.""Memang sengaja ayamnya dimasak semur. Kalau kamu makan pedas-pedas, nanti anakmu bisa mencret," kata Bu Wulan memberi pengertian pada menantunya itu.Indah hanya terdiam. "Perempuan banyak gaya, memangnya selama ini kamu makan enak terus? Masih mending Ibu berbaik hati menyuruhku memasak. Kalau enggak, kamu yang masak sendiri," kata Tini dalam hati. Ia memang sinis Indah. Ternyata Indah juga sedang menatap Tini, ia menjadi semakin kesal."Jadi pembantu saja sok belagu," kata Indah dalam hati. Bu Wulan dan Tini keluar dari kamar Indah. Bu Wulan menemui suaminya, sedangkan Tini menuju ke dapur. Tampak Pak Harno sedang asy
Farel tersadar dari lamunannya. Kejadian ini sudah beberapa kali terjadi. Nada mencuri kesempatan untuk dapat mencium Farel. Akhirnya Farel melajukan kendaraannya untuk menjauhi rumah Nada.Sejujurnya kalau tadi Farel memang sengaja mengikuti Novi. Ia melihat interaksi antara Novi dengan Ustadz Yusuf dan istrinya. Ia memang sudah mendengar desas-desus tentang mereka. "Sepertinya Novi akrab dengan istrinya Ustadz itu. Apakah mereka sudah menikah ya? Tapi kayaknya nggak mungkin Novi mau menikah dengan Ustadz itu.""Tapi melihat gerak-gerik mereka tadi, sangat akrab.""Kenapa aku kok jadi kepo seperti ini?"Semua itu muncul dipikiran Farel, membuat Farel semakin penasaran. Tak terasa Farel sudah sampai di rumah, setelah memasukkan mobil ke garasi ia pun masuk ke dalam rumah. Bergegas ia menuju ke kamarnya."Farel!" panggil Irma."Pasti Nada mengadu," gumam Farel kemudian menghentikan langkah kakinya dan menoleh ke arah sumber suara.Ternyata Papa dan mamanya sedang duduk santai di sofa.
Novi menoleh ke belakang, ternyata ada Farel dan seorang perempuan cantik. Terlihat sekali kalau perempuan itu sangat berkelas. Novi pun tersenyum."Halo Om," jawab Dina sambil melambaikan tangan."Siapa mereka?" tanya perempuan itu dengan ketus."Oh, mereka itu Mbak Novi dan anak-anaknya," jawab Farel."Iya, Mbak. Saya Novi, ini Dina dan Haikal." Novi berkata dengan sopan."Mbak? Memangnya aku kakakmu? Lagipula kamu itu lebih tua dariku." Perempuan itu berkata sambil menelisik Novi dari ujung rambut ke ujung kaki. Tampak sekali keangkuhan dari sikapnya.Novi tampak risih, ingin rasanya langsung pergi menghindari mereka berdua, tapi demi etika ia menahan diri."Nada, jangan ngomong seperti itu," kata Farel.Akhirnya Novi dan anak-anaknya beranjak dari duduk dan berpamitan pada Farel."Maaf, Mas. Kami duluan," pamit Novi."Oh iya, Mbak," jawab Farel dengan tersenyum, sedangkan Nada masih menunjukkan wajah yang cemberut."Siapa sih perempuan itu?" tanya Nada ketika Novi dan anak-anaknya
"Katanya Dek Novi kecelakaan, ya? Maaf, saya belum sempat menjenguk," kata Aisyah."Iya, Mbak. Nggak apa-apa kok Mbak, hanya luka ringan." Novi menjawab dengan pelan. "Sekarang bagaimana kondisinya?" tanya Aisyah dengan mata yang tampak menelisik seluruh bagian tubuh Novi."Alhamdulillah, sudah sehat kembali.""Syukurlah. Kesini sama siapa, Dek?" tanya Aisyah."Sama anak-anak, Mbak. Itu mereka sedang bermain," jawab Novi sambil menunjuk Dina dan Haikal yang asyik bermain.Aisyah dan Ustadz Yusuf spontan melihat ke arah yang ditunjuk Novi. Anak-anak memang sedang asyik bermain, jadi mereka tidak melihat ke arah Novi."Wah, sepertinya mereka bahagia sekali, ya?" kata Aisyah."Iya, Mbak. Dari tadi nggak mau berhenti.""Nggak apa-apa, turuti saja kemauan mereka. Toh nggak setiap hari kesini." Aisyah berkata memberi pengertian pada Novi."Mumpung mereka masih kecil, nanti kalau sudah besar nggak akan mengajak main seperti itu lagi," lanjut Aisyah. Ustadz Yusuf dari tadi hanya menjadi pend
Indah hanya terdiam, sedangkan Ahmad memandang keluar melalui jendela. Tentu saja dengan nafas yang tersengal-sengal karena emosi. Terlihat jelas di wajah Ahmad kalau ia sangat marah. "Mas, perutku sakit," teriak Indah. Ahmad menoleh ke arah Indah, tampak Indah yang sudah meringis kesakitan. Ahmad berlari keluar untuk mencari perawat. Ahmad masuk lagi ke ruangan bersama dengan perawat dan bidan. Kemudian Bidan dan perawat yang ada segera membantu persalinan Indah."Ayo, Bu. Mengejan pelan-pelan ya?" kata Bidan memberi aba-aba.Indah pun mengejan, tapi masih belum keluar kepala bayinya."Ulangi lagi Bu. Perlahan-lahan ya? Siapkan tenaga."Indah mengejan lagi."Terus, Bu." Bidan memberi semangat pada Indah.Nafas Indah terasa sudah mau putus dan tidak bertenaga lagi."Siapkan tenaga lagi, ya Bu?" kata Bidan itu."Sakit Mas." Indah mengeluh dan merengek-rengek. Bidan dan perawat sudah mulai kesal dengan Indah yang dari tadi berteriak-teriak."Ayo Bu. Ulangi lagi, kepala bayi sudah keli
Menjelang subuh belum juga ada tanda-tanda bayi akan lahir. Terakhir diperiksa tadi, Indah sudah mengalami pembukaan lima. Indah masih gelisah, belum bisa memejamkan mata, sedangkan Ahmad terkantuk-kantuk sambil menunggunya. Karena sudah tidak tertahankan lagi, akhirnya Ahmad tertidur.Indah semakin kesal melihat suaminya tidur."Dasar suami nggak berguna, istrinya sedang seperti ini kok malah enak-enakan tidur." Indah mengomel sendiri sambil memandangi Ahmad."Sebenarnya kamu itu ganteng, hebat di ranjang, tapi nggak berguna sama sekali. Kalau kamu bukan anak orang kaya, aku nggak bakalan mau sama kamu." Indah masih saja mengomel. Sesekali ia mengernyitkan dahinya karena menahan rasa sakit. Akhirnya ia pun tertidur juga.Ahmad membuka mata melihat-lihat di sekelilingnya, akhirnya ia tersadar kalau sedang menunggu istrinya yang mau melahirkan. Seketika ia menoleh ke arah istrinya yang tampak tertidur lelap. Kemudian beralih ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Perutnya