Banyak berkas menumpuk di meja kerja yang harus di periksa. Namun Andra masih bertahan mendengarkan curhatan istrinya hingga selesai. Dirinya kalau sedang banyak masalah dipendam sendiri, tanpa Marina tahu. Sejak ditolak keluhannya, tak lagi Andra cerita mengenai pekerjaannya."Mas, kayaknya jatahku dari Papa nggak akan di kasih bulan ini. Mas Mario butuh uang banyak untuk mengurusi masalah dengan rekan bisnisnya.""Masih ada nafkah dari Mas, 'kan? Kenapa cemas? Untuk sementara stop dulu beli barang yang tidak perlu. Mas tahu kamu beli barang pakai uangmu sediri, tapi yang tak ada manfaatnya lebih baik tinggalkan dulu.""Hmm. Ya udah, aku nemui Mama dulu. Aku sudah pesan dodol garut kesukaanmu. Nanti kuambil kalau aku mau berangkat.""Oke, Terima kasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Andra menutup panggilan, kemudian mengirimkan pesan pada Inaya. Kalau siang ini akan ada gofood yang mengirim makan siang untuknya. Setelahnya ponsel di letakkan di meja. Dia mulai fokus dengan pek
"Kamu yakin, Naya?"Inaya mengangguk yakin, meski debar di dadanya berdentum-dentum hebat. Untuk apa di tunda, sekarang atau pun nanti mereka akan tetap bertemu juga. Jika ini kesempatan yang baik, kenapa harus di hindari."Kamu ingat nggak apa yang pernah kita impikan saat remaja dulu? Waktu kita masih SMA." Tati bertanya dengan tatapan menerawang."Ingat kan saat semua siswi mengidolakan guru Fisika yang keren itu?""Iya, aku ingat," jawab Inaya sambil memandang Tati. Ingatannya terbang jauh menembus waktu bertahun-tahun lalu. Ingat saat guru yang masih bujangan itu sering mencuri pandang padanya di sela jam mengajar."Pak Hisyam sering memandangimu diam-diam. Dia jatuh cinta padamu. Karena kamu pegang komitmen nggak ingin pacaran selagi masih belajar, akhirnya perhatian beliau bertepuk sebelah tangan."Inaya tersenyum lebar. "Tapi dulu kamu sempat bilang, pria seperti Pak Hisyam itu yang kamu impikan menjadi pendamping hidup. Kamu nyadar nggak, kalau sosok Pak Hisyam itu juga mele
Wanita berjilbab rapi itu menarik napas sejenak sebelum bicara. "Kedatangan saya juga karena ingin minta maaf pada Mbak Marina. Maafkan saya yang telah masuk kehidupan Mbak dan Mas Andra." Walaupun tangannya gemetar, tapi suara Inaya sangat jelas terdengar. Andra memandang istri keduanya, ingin dia menyela kalau itu bukan hanya salah Inaya. Kesalahan terbesar ada pada dirinya, bagaimana dia dulu yang sangat gencar menginginkan wanita berpostur mungil itu menikah dengannya.Marina tersenyum sinis. Meski tanpa memandang, Marina bisa menilai bagaimana sosok wanita yang telah merebut hati suaminya. Jauh beda dengan dirinya yang tinggi semampai, cantik, dan pandai berdandan.Siapa Inaya, perempuan gunung yang memakai bedak pun tak sempurna. Apa yang menarik sehingga suaminya sanggup menduakannya?"Kamu itu masih muda, kurasa kamu juga perempuan pandai. Pandai dalam arti berwawasan luas, bukan pandai mengambil suami orang. Tapi mau-maunya kamu dijadikan simpanan oleh Mas Andra. Hanya dijadi
Inaya memandang Andra. Pria itu menggeser duduknya mendekati sang istri. "Maafkan Mas, tidak bisa membawamu pada situasi yang tenang."Senyum getir terbit di bibir Inaya. "Nggak apa-apa, Mas. Wajar kalau Mbak Marina marah. Aku pulang saja ya. Bentar, aku pesan taksi online dulu." Inaya hendak mengambil ponsel dari dalam tasnya, tapi di tahan oleh Andra. "Mas akan ngantar kamu.""Nggak usah, biar aku pulang sendiri. Mbak Marina butuh teman.""Tunggu sebentar!" Andra berdiri dan masuk kamar. Di dalam Marina duduk menatap cermin meja rias. Memperhatikan wajahnya yang terpantul di kaca. Perempuan di luar sana tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya, lantas apa yang membuat Andra menyukai perempuan kampung itu?Andra mendekati dan memegang bahu Marina. Mereka berpandangan dalam pantulan cermin. "Mas akan ngantar pulang Inaya dulu.""Dia bisa pulang sendiri. Tadi datang juga sendiri," jawab Marina datar."Ini sudah malam, Rin," jawab Andra sambil melihat ke arah jam tangannya."Aku pulang
"Bangun dulu, habis Salat Subuh kamu bisa tidur lagi." Andra membangunkan Marina untuk kali kedua saat iqomah sudah terdengar dari masjid. Wanita itu menggeliat sambil menahan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Sepulang dari mengantar Inaya semalam, Marina memang sengaja menggoda suaminya. Jika Andra menolak, berarti telah sempat bersama Inaya saat mengantar wanita itu dalam waktu yang cukup lama. Ternyata Andra meladeni apa yang di inginkannya."Ayo!" Dengan gerakan pelan Andra membuat tubuh istrinya duduk dengan tegak. Menunggui wanita itu hingga tersadar sempurna."Mandi dulu, kita Salat Subuh berjamaah."Setelah menggendong Marina dan membawanya ke kamar mandi, Andra menunggu sambil duduk di atas sajadah. Diurungkan keinginannya untuk mengirim pesan pada Inaya, hanya untuk bertanya sudah Salat Subuh apa belum. Dia hanya memandang benda pipih itu teronggok dingin di atas nakas.Seminggu terlewati. Marina makin posesif terhadap suaminya. Setiap waktu akan menelepon Andra dan meng
One year later ....Andra memandang video yang baru saja di terimanya. Seorang bocah umur tujuh bulan sedang duduk dan bermain. Dia tersenyum sendiri di ruang kamar yang di fungsikan sebagai tempat kerjanya. Laptop di atas meja depannya masih menyala.Dia ingat tujuh bulan yang lalu, ketika itu hujan deras jam sepuluh malam. Andra baru saja merebahkan tubuh setelah menemani Amel dan Kiki belajar lalu menidurkan mereka. Sejak diajak pindah, dua anak itu lebih suka tidur di temani sang papa.Sebuah pesan masuk dari Inaya.[Mas, Amir sudah lahir.] Andra terlonjak dan segera bangun dari pembaringan. Untung Marina yang baru saja terlelap tidak terbangun. Amir. Berarti Inaya telah melahirkan bayi laki-laki. Waktu itu Andra pernah bilang kalau anaknya laki-laki akan di beri nama Alfarezel Amir Andriansyah. Padahal HPL-nya masih tiga hari lagi. Mata Andra berkaca-kaca saat memandang gambar bayi yang telah di bedong rapi dan di peluk Inaya. Andra keluar kamar, terus keluar dan duduk di teras.
Andra memperhatikan seorang bocah lelaki seusia Amir yang duduk di pangkuan ibunya, tidak jauh dari tikar tempatnya duduk. Andra rindu. Dia tidak bisa rutin mengunjungi mereka. Kadang dua Minggu sekali, kadang tiga Minggu, bahkan kali ini sudah lebih dari sebulan. Jadwal kerjanya sangat padat, dua Minggu yang lalu sempat ke kantor pusat untuk meeting dan menyambangi mamanya. Namun tiap hari Andra selalu menelepon Inaya, menanyakan kabar mereka. Foto dan video lucu si kecil selalu di kirim untuk papanya.Semilir angin yang berembus menggoyangkan tanaman padi yang masih menghijau, di sawah samping Andra duduk. Pria itu bisa melihat dari pagar pendek yang membatasi lesehan itu dengan persawahan.Sementara Marina berbincang dengan ibunya. Bu Cakra bilang, pasti kerasan tinggal di sana."Mama, mau sebulan atau dua bulan tinggal di sini aku malah senang. Nanti kuajak keliling kota kalau siang. Aku sudah hafal jalan di sini." Mobil Marina di antar oleh ekspedisi bersamaan dengan kepindahan a
Mobil berhenti di parkiran sebuah hotel tengah kota. Andra turun sambil membawa ransel berisi pakaiannya, serta beberapa papper bag berisi mainan untuk Amir dan brownis kukus rasa mocca kesukaan Inaya. Dulu waktu hamil, istrinya sangat menyukainya kue itu.Andra melangkah menuju lobby hotel dan menemui resepsionis. Bicara sebentar lantas menuju lift yang ada di lorong samping kiri. Hotel itu hanya lima tingkat dan kemarin Andra pesan kamar hotel di tingkat lima, karena mereka ada Amir, makanya Andra memilih kamar triple room dengan fasilitas deluxe room. Di ruangan itu ada satu tempat tidur berukuran besar dan satu lagi tempat tidur berukuran kecil. Andra sudah meminta satu fasilitas untuk box bayi, tapi hotel di kota kecil itu tidak menyediakan.Setelah berdiri di depan pintu kamar, Andra mengambil ponsel untuk menghubungi Inaya. Tidak lama kemudian pintu terbuka."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Inaya tersenyum menyambut kedatangan Andra. Mereka sejenak saling pandang, lalu ta
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt