Mobil berhenti di parkiran sebuah hotel tengah kota. Andra turun sambil membawa ransel berisi pakaiannya, serta beberapa papper bag berisi mainan untuk Amir dan brownis kukus rasa mocca kesukaan Inaya. Dulu waktu hamil, istrinya sangat menyukainya kue itu.Andra melangkah menuju lobby hotel dan menemui resepsionis. Bicara sebentar lantas menuju lift yang ada di lorong samping kiri. Hotel itu hanya lima tingkat dan kemarin Andra pesan kamar hotel di tingkat lima, karena mereka ada Amir, makanya Andra memilih kamar triple room dengan fasilitas deluxe room. Di ruangan itu ada satu tempat tidur berukuran besar dan satu lagi tempat tidur berukuran kecil. Andra sudah meminta satu fasilitas untuk box bayi, tapi hotel di kota kecil itu tidak menyediakan.Setelah berdiri di depan pintu kamar, Andra mengambil ponsel untuk menghubungi Inaya. Tidak lama kemudian pintu terbuka."Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam." Inaya tersenyum menyambut kedatangan Andra. Mereka sejenak saling pandang, lalu ta
Tidak ada hati yang tak cemburu, tak ada hati yang tidak ingin mendapatkan apa yang dia mau. Cemburu, itu selalu ada di hati Inaya saat mengingat kebersamaan suami dan istrinya di sana. Tapi kata tahu diri itulah yang membuatnya bisa ridho menerima keadaan. Daripada situasi makin runyam jika dia di bawa kembali ke kota kelahirannya, Inaya rela bertahan bersama orang tuanya. Mungkin butuh waktu bertahun-tahun untuk bisa di terima Marina. Tidak mengapa, dia juga sudah minta maaf. Walaupun mungkin tidak di maafkan, setidaknya dia sudah berusaha."Oh ya, meeting Mas tadi gimana?" tanya Inaya setelah diam beberapa lama."Mas sampai lupa mau cerita. Alhamdulillah, Mas berhasil dapat projek baru. Doakan lancar ya, agar Mas bisa mewujudkan membeli lahan dan bikin rumah untukmu dan Amir.""Aamiin. Nanti bisa di gabung sama tabunganku, Mas."Andra mengangguk. Membingkai wajah itu dengan kedua telapak tangannya. Tidak sabar, akhirnya Andra mengecup bibir yang setengah terbuka. Dia menginginkan I
Andra meletakkan ponsel di meja samping. Seperti halnya ketika bersama Marina saat mereka sedang bercinta, Andra tidak akan sibuk membalas pesan Inaya. Kali ini yang di lakukan pun sama. Lagipula itu bukan masalah urgent.Mereka kembali menikmati kebersamaan yang tinggal beberapa jam saja. Saling menatap dan memberikan kehangatan, yang akan jadi pengobat rindu saat nanti mereka kembali berjauhan. Sebab Andra langsung pulang setelah ini. Deru pendingin ruangan, serta suara karyawan ibunya yang sedang membuat minum di belakang tidak menjadi gangguan buat mereka berdua. Siapa yang berani mengganggu, saat seorang suami mendatangi istrinya. Pekerja yang ada di sana sangat memahami karena sama-sama sudah menikah.Setelah istirahat setengah jam usai kebersamaan mereka, Andra segera mandi. Sedangkan Inaya mempersiapkan oleh-oleh untuk di bawa pulang suaminya. Ada mangga manalagi dan mangga golek yang di kemas di kardus ukuran sedang. Mangga yang sudah masak itu menguarkan aroma wangi. Satu ka
Gerimis mulai turun ketika Andra masih di tengah perjalanan. Jalan propinsi yang dilewati lalu lintasnya cukup ramai sore itu. Kendaraan berat tanpa muatan milik sebuah proyek berjajar hendak pulang. Andra tidak bisa menambah kecepatan. Akses tol juga belum ada di wilayah itu.Dia ingat belum membalas pesan dari Marina. Di ambilnya bluetooth earphone dari dasbor dan segera menghubungi istrinya."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Maaf, Mas baru bisa nelepon. Mas masih di jalan ini. Di sini mulai gerimis.""Sama, di sini juga gerimis. Mas, sudah lihat foto anak kecil tadi, 'kan?""Sudah. Siapa yang mengirim foto itu?""Lia yang ngirim. Dia tahu dari suaminya. Ternyata yang merawat anak itu teman dari suaminya Lia.""Benarkah?""Iya.""Ya sudah, nanti kalau Mas sampai rumah saja cerita. Mas juga mau belikan pesanan anak-anak, mungkin sampai rumah sekitar jam tujuh malam.""Oke.""Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Panggilan terputus. Andra melepaskan benda kecil itu dari teli
Andra diam sejenak. Sambil memasukkan berkas ke dalam tas kerja dia berkata, "Oke, kita akan pergi berempat. Mas akan pesan tiket untuk penerbangan siang nanti.""Anak-anak nggak akan ikut, Mas. Mereka kan sekolah.""Inaya dan Amir yang akan ikut."Marina menatap nanar suaminya. Dia tidak menyukai ini. Tidak ingin seperjalanan dengan madunya. "Sebelum ngajak aku Mas udah ngubungi dia dulu untuk ikut?" Ketus kalimat Marina."Nggak. Aku bilang sama Naya setelah bicara sama kamu tadi.""Ya udah, aku nggak jadi ikut. Kalian pergi saja bertiga." Marina melangkah cepat keluar ruangan. Dia sangat kecewa, bisa-bisanya Andra hendak mempertemukan dirinya dengan Inaya. Sedangkan Andra diam mematung, tidak ada niat memaksa mereka bertemu, tapi kejadian tadi memang di luar dugaan.Pria itu keluar ruangan, menemui Marina yang sedang bersolek di depan meja rias. Mengecup puncak kepala istrinya lantas pamitan ke kantor. Andra juga pamitan pada mama mertuanya yang sedang memilih sayuran bersama ART me
Jam satu Inaya sudah selesai bersiap. Amir yang sudah sangat ngantuk di pangku neneknya di teras. Mobil hitam masuk pekarangan, Inaya mendekati bapaknya. "Pak, kita pakai mobil Pak Yogi?""Iya, mobilnya saja yang dipinjamkan. Nanti yang nyopir anak buahnya. Tadi Bapak mau ke rumah Pak Rockim, tapi ketemu Nak Yogi di jalan. Waktu kita udah mepet, Naya."Inaya pasrah. Yogi turun dari mobil, dan menghampiri mereka di teras. Pria itu tersenyum ramah sambil melangkah mendekat. "Nunggu sopir saya sebentar lagi datang," ucap pria itu lantas duduk di bangku semen dekat pot bunga besar di ujung teras."Maaf, saya jadi merepotkan Pak Yogi.""Nggak apa-apa, Naya. Pakai saja mobilnya."Belum juga berbincang lama, datang seorang laki-laki usia sekitar empat puluhan naik motor tua. Di letakannya motor itu di bawah pohon nangka. Pak Redjo yang semula duduk, segera berdiri dan bicara. "Motornya taruh teras sini saja, Mas. Nanti kalau hujan biar aman.""Saya akan pakai motornya Pak Jalil untuk pulang,
Tidak ada perempuan yang tidak terluka atau patah dalam situasi seperti Inaya. Meski sesadarnya dia menjadi yang kedua dan harus banyak mengalah. Minta maaf sudah dilakukan, menyapa dengan sopan juga sudah dilaksanakan. Mungkin memang akan butuh waktu lebih lama lagi agar dirinya bisa di terima oleh Marina.Dirinya tidak masalah di abaikan, tapi kenapa tak sedikitpun kakak madunya mau memandang bayi lelaki yang tidak berdosa, yang menatap dan berusaha menyapa dengan mengulurkan tangan untuk menyentuhnya tadi. Ketika masih duduk di bangku tunggu atau ketika Amir di gendong papanya saat berjalan di lorong hendak masuk pesawat. Dia juga seorang ibu yang memiliki anak. Mungkin karena Amir lahir dari rahimnya yang membuat Marina tidak peduli.Inaya menenangkan anaknya dengan memberinya ASI. Hati Andra juga merasakan kepedihan yang teramat dalam. Setiap melangitkan doa dia berharap agar hati Marina melunak, memang tidak mudah, tapi jika semua sudah terjadi tak kan mungkin dirinya akan membu
Marina mengangguk sambil menghapus riasan wajah di depan cermin lemari. Setelah Andra mengecup kening istrinya baru keluar kamar. Dipandangnya sejenak pintu kamar Inaya yang tertutup rapat. Mungkin Inaya dan Amir sudah terlelap. Andra memutar handle pintu kamar itu perlahan. Di atas ranjang, Inaya tidur sambil memeluk kaki putranya. Andra mendekat dan duduk di tepi pembaringan. Memandang dua insan yang telah hanyut dalam lelap. Cukup lama dia memandang Amir dan Inaya bergantian. Kemudian dengan pelan di lepaskannya hijab yang masih melekat di kepala istrinya, mungkin saking lelahnya Inaya sampai tak sempat melepaskan hijab.Inaya membuka mata. "Mas.""Mas ganggu, ya? Mas cuman mau lepasin hijab kamu."Inaya bangun, lantas melepaskan hijabnya sendiri dan menaruh di kepala ranjang. "Mas, baru pulang?" tanya Inaya."Iya. Udah lanjutin tidurnya, Mas mau nemani Mama.""Hu um," jawab Inaya tanpa bertanya tadi suami sama madunya pergi ke mana. Andra meraih tubuh Inaya dan mencium rambutnya y
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt