Andra masih bersikap tenang dan tetap sopan. Meski ucapan yang keluar dari bibirnya membuat tersinggung papa mertuanya. "Kita sama-sama melakukan kesalahan yang sama, Pa. Mendua.""Jangan kurang ajar kamu, Andra!" Pak Cakra tersulut emosi. Bahkan suaranya tak lagi terkontrol. Netranya tajam memandang menantunya. Andra mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Membuka galeri dan menunjukkan satu foto perempuan dengan baju seragam rumah sakit jiwa, sedang duduk di bangku taman. Tatapan wanita itu hampa ke udara. Pak Cakra gemetar dan pucat. Diletakkannya ponsel Andra di meja."Walaupun kondisinya seperti ini, Papa pasti masih mengenalinya, 'kan?""Kamu jangan main-main denganku. Bisa saja aku membuatmu meringkuk dalam penjara karena telah berani menikah diam-diam. Aku juga bisa membuatmu tak akan bertemu dengan anak-anakmu seumur hidup," ancam Pak Cakra dengan suara tertahan dan gigi gemertak menahan geram."Oke, kita akan sama-sama meringkuk dalam penjara, Pa. Tentunya dengan masa
Marina lemas mendengar perkataan sang mama. Mereka sama-sama terpuruk oleh kisah yang sama. Ingin Marina mengamuk pada papanya saat itu juga, tapi tidak ingin para pekerja dan anak-anak akan tahu aib mereka. "Ma, aku nemui Mas Andra dulu. Mama tenangkan diri dan istirahat."Setelah mamanya berbaring dan di selimuti, Marina keluar kamar. Dia berdiri lama memandang pintu megah yang tertutup rapat. Papanya pasti masih ada di dalam sana. Lantas dia menaiki tangga. Di dalam kamar, Andra sudah memakai jaketnya. Menunggu sambil duduk di tepi tempat tidur."Mas, akan tetap pergi?""Papamu mengusir Mas, Rin. Kita harus pergi. Besok pagi kita temui anak-anak."Marina termenung. Lalu di pandangnya sang suami. Dia kembali terisak saat menceritakan keadaan mamanya. Tidak tega jika membiarkan mamanya sendirian. Andra meraih tubuh istrinya untuk di dekap. "Tidak apa-apa kalau kamu mau nemani Mama dulu. Tapi Mas harus pergi. Mas akan pulang ke rumah Mama atau ke rumah kita. Besok pagi-pagi sekali Ma
Pagi itu Andra hanya minum teh buatan sang mama. Dia tidak sempat sarapan karena harus segera mengantar anak-anak ke sekolah. Bahkan belum sempat menceritakan peristiwa kemarin."Urus dulu anak-anakmu. Selonggarnya kamu saja cerita ke mama." "Ya, Ma." Andra lantas pamitan. Bu Safitri mengantar ke depan, kembali masuk setelah mobil putranya tak lagi kelihatan.Andra memasang bluetooth earphone ke telinga kirinya. Dia menghubungi Inaya. Namun hingga panggilan ke sekian kali tidak dijawab istrinya. Kali ini Andra resah, tidak seperti sebelumnya. Takut sekali terjadi apa-apa pada Inaya, apalagi mertuanya sudah seperti orang kalap saja tadi malam. Kalau dulu dia bisa paham, karena dirinya juga yang meminta Inaya agar tidak berkomunikasi dengannya selagi ia pulang ke Marina. Tapi sekarang ....Tak putus asa, Andra tetap menghubungi hingga panggilan di jawab Inaya. "Assalamu'alaikum, Mas.""Alhamdulillah, Wa'alaikumsalam. Kenapa tidak di angkat teleponnya? Bikin Mas cemas saja." Andra berna
Satpam memberikan saran agar mereka berdua menemui petugas yang berjaga pagi itu. Sebab mereka bukan kerabat dari pasien yang hendak di jenguk. Laki-laki tadi menunjukkan kantor di mana Andra bisa meminta keterangan. Kartu visitor diberikan satpam pada Andra dan Marina.Tepat jam besuk di buka, Andra dan Marina menemui seorang wanita setengah baya yang berjaga pagi itu. Mereka terpaksa bilang kalau kerabat jauh dari pasien yang bernama Karisa. Wanita itu sempat tak percaya, setelah Andra mencoba meyakinkan dan hanya akan melihat pasien dari kejauhan, akhirnya di izinkan.Dari petugas itu pula, Andra tahu kalau selama tiga tahun ini Karisa tak lagi di urusi oleh sepupunya. Dulu yang sering berkunjung adalah sepupu wanita itu. Dari Pak Yusa dirinya tahu kalau Karisa hanya hidup berdua dengan ibunya. Dua tahun setelah Karisa di rawat di RSJ, ibunya meninggal dunia.Seorang perawat di sana mengantarkan Andra dan Marina ke sebuah kamar di bagian belakang. Ketika ruangan itu di buka, tak ad
Habis Salat Maghrib, Andra telah rapi dengan hem warna hitam. Baju yang ada di rumah mamanya. Dia akan mengajak Marina dan anak-anak makan makan malam sebelum kembali ke tempat kerjanya. Sebenarnya dia ingin mengajak anak-anak bertemu neneknya, tapi waktunya yang tidak ada. Apalagi malam ini papa mertuanya ingin mengajaknya bicara.Di ambilnya ponsel di atas meja kamar. Lantas menelepon Inaya. Kali ini panggilannya langsung di jawab. "Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Sudah Salat Maghrib apa belum?""Sudah. Dokter bilang aku sudah boleh pulang, Mas.""Tapi jangan pulang dulu. Tunggu Mas sampai, ya.""Hu um. Oh ya, katanya Mas mau ngajak anak-anak makan malam. Belum berangkat, ya?""Ini mau berangkat. Kamu sudah makan?""Sebentar lagi. Ya udah, Mas buruan berangkat nanti di tunggu sama anak-anak.""Oke. Bertahan di situ dulu, Mas besok pasti pulang. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Setelah mematikan ponsel Andra segera bergegas keluar kamar. Di temuinya sang mama yang sedang m
Marina mengantar suaminya sampai ke depan. Menunggu hingga mobil itu keluar pagar. Lalu ia duduk di kursi teras seperti kemarin malam, diam dan merenung lama di sana. Teringat percakapannya dengan Lia tadi sore. Obrolan yang harus terhenti karena mamanya tadi memanggil. Di ambilnya ponsel di saku celana dan kembali menghubungi sahabatnya."Halo.""Sorry, tadi sore panggilan ku akhiri tiba-tiba karena Mama memanggilku.""Nggak apa-apa.""Ini aku ganggu kamu, nggak?""Nggak. Anak-anak dah tidur. Suamiku lagi nonton TV. Ngelanjutin yang tadi kita obrolin. Beneran kamu serius mau hidup di madu gitu?"Marina menghembuskan nafas sambil memandang langit malam. "Perceraian juga bukan jalan yang menjamin aku bisa tenang. Keluargaku juga dalam masalah. Papa mamaku dalam keadaan seperti yang kuceritakan padamu tadi, Mas Mario juga di somasi sama rekan bisnisnya, Kakak keduaku malah nggak mau tahu masalahku, karena selama ini aku nggak pernah dengar nasehatnya. Ruwet pokoknya, Lia. Aku mau menjal
"Kami akan tinggal di rumah kami dulu untuk sementara dan baru pergi setelah bapak selesai ngurus surat-surat pindah di kantor desa. Bapak harap, Nak Andra, nggak keberatan."Akhirnya Andra mengangguk pelan tanpa kata-kata. Setelah termenung cukup lama, Andra bangkit dari duduknya. "Saya selesaikan pembayaran dulu, Pak.""Nggak usah. Uang yang Nak Andra tinggalkan kemarin sudah cukup untuk membayar biaya rumah sakit," cegah Pak Redjo."Saya akan menggantinya nanti," ucap Andra kemudian kembali duduk."Ayo, kita pulang. Agar sebelum Maghrib sudah sampai rumah!" ajak Pak Redjo sambil meraih pegangan tas. Andra mengambil satu koper lagi. Sedangkan Bu Siti mengandeng Inaya berjalan di belakang mereka.Sepanjang perjalanan mereka tidak banyak bicara. Dari spion, Andra kerap memandang istrinya yang duduk di bangku tengah. Sementara Inaya fokus memandang tepian jalan yang dilewati.Jam lima sore mereka sampai di rumah orang tua Inaya. Beberapa tetangga yang bersantai di teras rumah masing-ma
Banyak berkas menumpuk di meja kerja yang harus di periksa. Namun Andra masih bertahan mendengarkan curhatan istrinya hingga selesai. Dirinya kalau sedang banyak masalah dipendam sendiri, tanpa Marina tahu. Sejak ditolak keluhannya, tak lagi Andra cerita mengenai pekerjaannya."Mas, kayaknya jatahku dari Papa nggak akan di kasih bulan ini. Mas Mario butuh uang banyak untuk mengurusi masalah dengan rekan bisnisnya.""Masih ada nafkah dari Mas, 'kan? Kenapa cemas? Untuk sementara stop dulu beli barang yang tidak perlu. Mas tahu kamu beli barang pakai uangmu sediri, tapi yang tak ada manfaatnya lebih baik tinggalkan dulu.""Hmm. Ya udah, aku nemui Mama dulu. Aku sudah pesan dodol garut kesukaanmu. Nanti kuambil kalau aku mau berangkat.""Oke, Terima kasih. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Andra menutup panggilan, kemudian mengirimkan pesan pada Inaya. Kalau siang ini akan ada gofood yang mengirim makan siang untuknya. Setelahnya ponsel di letakkan di meja. Dia mulai fokus dengan pek
Malam itu langit bertabur bintang. Berkelipan di angkasa yang membentang luas. Cuaca agak gerah, khas hawa ibukota karena kepadatan penduduknya. Andra mengajak Inaya dan Amel makan malam di luar. Di sebuah restoran pinggiran kota yang menjadikan nasi liwet sebagai menu khasnya.Mereka menikmati makan malam dengan lahap. Nasi liwet berlaukkan sambal balado, pindang ikan kembung goreng, dan cumi asin petai. Amel sudah mulai bisa beradaptasi dan nyaman tinggal serumah dengan ibu tirinya yang sekarang di panggilnya dengan sebutan bunda. Wanita itu bisa menjadi pendengar yang baik bagi Amel. Inaya juga sangat berhati-hati bicara dan bersikap dengan putri tirinya, bagaimanapun juga mereka baru sekarang ini tinggal serumah. Dan tidak kesulitan buat wanita itu untuk dekat dengan Amel.Senyaman-nyamannya tinggal dengan ibu tiri, sudah pasti lebih nyaman tinggal dengan ibu kandung. Namun kehadiran putri dari Om Haris yang membuat Amel tidak selesa dan lebih memilih tinggal dengan sang papa. Wa
Malam merangkak naik. Rintik hujan mewarnai malam yang kian hening. Suara detak jam dinding mengiringi setiap embus napas dua insan yang sedang menciptakan nikmat yang bertahun-tahun tak pernah lagi di kecap. Sensasi luar biasa menjalar di seluruh aliran darah, menyatu dengan rasa yang tertumpah. Delapan tahun lalu, tubuh itu menjadi miliknya. Hanya Andra yang menyentuhnya. Ternyata masih juga terjaga hingga kembali di miliki."I love you," bisik Andra di tengah aktivitas mereka. Kalimat yang baru kali ini di ucapkan pria itu untuk Inaya. Kebersamaannya di pernikahan dulu, tak pernah pria itu mengumbar kalimat romantis untuknya. Justru di hadapannya, Andra sering menelepon Marina dengan ucapan mesra.Bahkan dirinya pernah sempat berpikir kalau hanya jadi sampingan saat Andra jauh dari istri pertamanya, jadi pelampiasan seks ketika sedang dibutuhkan. Namun tak pernah dia memprotesnya. Sejak memutuskan mau dinikahi, dia menempatkan diri menjadi orang ketiga yang harus nerimo.Inaya men
Angin semribit menjelang sore menyambut rombongan pengantin pria saat turun dari kendaraan. Suasana rumah Pak Redjo lumayan ramai dengan kehadiran kerabat mereka dan para warga desa. Satu tenda ukuran besar berdiri megah di halaman rumah. Debar dada Andra makin terasa saat berpasang-pasang mata memandang ke arahnya. Disertai kasak-kusuk, entah bicara apa. Pasti tentang perjalanan hidupnya dengan Inaya. Biar saja, semua orang berhak berkomentar sesuai penilaiannya.Mereka di jamu masuk ke ruang tamu yang sudah di sulap dengan dekorasi yang sederhana. Karpet warna hijau terbentang dengan meja kecil di tengahnya. Andra menyalami petugas KUA yang sudah menunggunya dan siap melaksanakan tugasnya.Anak-anak berkumpul jadi satu di salah satu sudut ruangan setelah menyalami dan mencium tangan Pak Redjo dan Bu Siti. Amel, Kiki, dan Amir berangkulan penuh haru. Kemudian duduk bersama dengan sepupu dan anak-anaknya Tony.Seluruh perhatian yang hadir tertuju pada Inaya yang muncul dari ruang dala
Amelia Side's StoryAmel berbaring menatap langit-langit kamarnya. Air mata haru mengalir dari sudut netra ingat saat di kabari kalau papanya akan menikah lagi.Tidak ada anak yang menginginkan orang tuanya berpisah. Tapi jika semuanya sudah terjadi, dia sebagai anak hanya bisa ridho menerima. Tidak ada anak yang ingin memiliki ayah tiri atau ibu tiri, tapi dia juga sadar, selain sebagai orang tua bagi anak-anaknya, mereka adalah manusia dewasa dan individu yang memiliki keinginan personal yang tidak bisa diberikan oleh seorang anak pada orang tuanya.Dia yang paling besar di antara kedua saudaranya, ketika perceraian papa dan mamanya terjadi. Jadi dia yang paling mengerti meski umurnya saat itu baru menginjak usia dua belas tahun.Apakah dia harus membenci papanya karena telah mendua, atau membenci mamanya dengan sikap egoisnya, atau membenci Inaya yang masuk menjadi orang ketiga? Jika terus mengingat peristiwa bertahun-tahun lalu itu hanya membuat pusaran dendam tak ada habisnya dal
"Saya calon suaminya," sahut Andra cepat. Tidak peduli para karyawan dan beberapa pengunjung fokus memandangnya. Dahi Pak Halim mengernyit antara heran dan tidak percaya. Inaya juga tak kalah kagetnya. "Benar dia calon suamimu?" Inaya menjawabnya dengan semyum samar. Kemudian membantu pelayan memasukkan kaos ke dalam paper bag. "Maaf, Pak Halim. Saya harus pergi!" Jujur saja Inaya sebenarnya lebih was-was berhadapan dengan laki-laki berwajah timur tengah itu daripada berhadapan dengan pria lain yang berusaha mendekatinya. Pak Halim ini karakternya suka memaksa dan tak peduli dengan situasi di sekitarnya. Inaya bicara sejenak dengan karyawannya kemudian meraih tali tas yang di letakkannya di kursi, lantas bergegas menghampiri Andra.Pria itu paham dengan raut cemas yang ditunjukkan mantan istrinya. Andra bergegas membuka pintu kaca dan mereka keluar toko. Mobil melaju di tengah keramaian kota. Cuaca begitu cepat berubah, siang tadi mendung tapi sore ini langit lumayan cerah. "Laki-la
Pagi itu Andra memesan kopi hitam pahit dan kental pada room service untuk mengusir rasa kantuknya. Sebab semalaman dia hanya bisa tidur beberapa jam saja. Entah pukul berapa dia mengirimkan pesan pada Inaya, tapi hanya di jawab, "Kita bicarakan besok saja, Mas." Padahal dirinya sudah tidak sabar menunggu esok hari.Sepiring nasi goreng di atas meja kamar hanya di makan sebagian. Ada bimbang yang melanda dalam dada. Sekarang Inaya sudah sukses secara finansial, tokonya berkembang, usaha konveksi ibunya juga berjalan baik. Tentunya dia sudah sangat nyaman dengan kondisinya. Apa mungkin kembali bersedia mengarungi hidup bersamanya? Bersama mantan yang dulu gagal membahagiakannya.Andra ingat perkataan mamanya tadi malam ketika ia di perjalanan pulang. Pria itu memberitahu kalau akan melamar kembali Inaya. Suara wanita di seberang terdengar bahagia, ketika sang putra mau kembali berumah tangga meski rujuk dengan mantan istrinya. "Kamu memang harus memikirkan perasaan anak-anak, tapi kamu
"Siapa Halim?" tanya Andra cepat. Perasaannya mulai tak enak."Kekasih kamu?" Andra tidak sabar menunggu jawaban."Bukan. Hanya kenalan. Dia pemilik toko onderdil mobil depan itu." Inaya menunjuk toko besar yang kini sudah tertutup rapat."Perhatian sekali sampai ngirim-ngirim barang kayak gitu.""Ini cuma kue lapis. Sudah biasa dia bagi makanan buat karyawan toko.""Termasuk untuk bosnya, 'kan? Untuk menarik perhatian bos, biasanya akan mendekati anak buahnya lebih dulu." Andra benar-benar gusar, ketika Inaya tampak santai menjawab pertanyaannya. Pria itu mengajak Inaya masuk sebuah kafe yang sepi pengunjung, dengan harapan bisa segera di layani. Setelah mengambil tempat duduk, Andra mengirimkan pesan pada Muhlisin agar laki-laki itu tahu keberadaannya."Mau pesan apa, Mas?" Inaya menyodorkan buku menu pada Andra. Seorang pelayan sudah menunggu dengan sebuah nota di tangan."Chicken steak tanpa nasi sama jeruk hangat." "Saya juga sama, Mas." Inaya bicara pada pramusaji yang sedang m
Siang itu Marina baru selesai makan siang dan minum obat. Kemarin sore dia keluar dari klinik. Sekarang di rumah di temani Amel dan seorang ART, karena mamanya kemarin langsung pulang. Sejak papanya terkena stroke, tidak bisa di tinggal lama-lama oleh sang mama. Tidak seperti dulu waktu masih sehat, bahkan tidak peduli Bu Cakra menginap hingga hitungan bulan di rumah anak-anaknya.Begitulah, semua baru terasa saat sedang membutuhkan atau di saat terkena musibah. Marina ingat bagaimana dulu Andra minta maaf dan memohonnya untuk bertahan. Dia juga ingat permintaan tulus dari seorang perempuan yang telah masuk dalam kehidupan dirinya dan Andra. Wanita yang mengalah karena sadar kalau dirinya hanya pihak ketiga. Namun dirinya malah ingin melihat mereka hancur.Kemarahannya memuncak setelah dia tahu kalau Inaya sedang hamil anak keduanya dengan Andra, padahal jarang sekali suaminya mendatangi madunya. Namun Tuhan menganugerahkan bayi di rahim perempuan itu sedangkan dia yang sebenarnya sa
Muhlisin yang baru dari kamar mandi menghampiri Andra. Pria itu memberi kesempatan istirahat kepada sopirnya.Kesempatan itu Inaya menanyakan kabar tentang Bu Safitri dan keluarga Andra yang lain. Mereka berbincang hingga hampir jam tiga. Perutnya yang terasa perih membuatnya tersadar kalau belum makan siang."Kita makan siang dulu, kamu juga belum makan," kata Andra pada Inaya. "Sudah hampir jam tiga. Kita makan bakso di depan sana saja. Mau, nggak?" Andra menunjuk sebuah kedai bakso di seberang jalan depan masjid.Inaya mengangguk. "Terserah Mas Andra saja."Mereka bertiga melangkah menyeberang jalan. Mobil di tinggalkan di parkiran masjid. Andra mengajak Inaya dan Muhlisin mengambil tempat duduk lesehan luar. Pria itu memesang dua bakso untuk dirinya dan Inaya, satu mangkuk mie ayam untuk Muhlisin. Minumnya memesan tiga es jeruk. Muhlisin memilih duduk terpisah di pojok teras sambil bersandar pada tiang. Laki-laki itu sengaja membiarkan bos dan mantan istrinya punya kesempatan unt