"Dia apa, Kang?" Aku kembali bertanya karena tak sabar. "Surya masih di kota. Dia tidak mau pulang tanpa Neng Rahma, Syah. Katanya, dia akan mencari celah agar bisa membawa kabur putrinya. Iya, sih, sebagai seorang ayah, Akang pun merasakan apa yang Surya rasakan. Mana mungkin bisa tenang, jika tahu keadaan darah daging kita berada dalam masalah. Apalagi, Neng Rahma bekerja jadi wanita malam, bukan karena inginnya. Tapi karena tekanan dan paksaan dari orang lain," ujar Kang Marwan menjelaskan. Air mataku langsung turun tanpa bisa dicegah. Iya, paham. Aku mengerti bagaimana perasaan suamiku. Sebagai orang tua, aku juga pasti akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada buah hatiku. Meskipun seorang ayah tidak selalu ada di setiap waktu karena harus mencari nafkah, tapi kasih sayangnya tak kalah besar dari seorang ibu. Aku percaya, jika Kang Surya adalah ayah yang baik. Dia pria bertanggung jawab yang tidak akan membiarkan anaknya sendirian menghadapi ini semua. Aku bersaks
"Wa–waalaikumsalam ... Akang! Alhamdulillah, akhirnya Akang pulang juga!" Aku berseru, lalu memeluk suami yang sangat aku tunggu kepulangannya."Kenapa lama, Kang? Akang baik-baik saja, kan?" tanyaku lagi, lalu memindai tubuh suamiku dari atas sampai bawah. Kang Surya tersenyum tipis, lalu di menoleh ke belakang di mana seseorang tengah berdiri seraya menunduk dalam. "Masya Allah, Neng .... Sini masuk, Geulis." Aku menarik pelan tangan Neng Rahma yang bergeming di belakang ayahnya. Seperti pada Kang Surya, aku pun memeluk Neng Rahma, meskipun tidak ada balasan dari gadis itu. Sama seperti terakhir datang ke sini, wajah Neng Rahma masih pucat dan terlihat tidak bersemangat. Mungkin dia lelah karena perjalanan jauh dari kota. "Saga, sudah tidur, Syah?" tanya Kang Surya seraya merendahkan tubuh, lalu duduk di kursi kayu paling ujung. Neng Rahma mengikuti ayahnya. Dia pun duduk di samping Kang Surya."Sudah tidur sejak tadi, Kang. Aku ke dapur dulu, ya? Mau ambil minum." Tanpa me
Hatiku terenyuh melihat Sagara yang ada di pangkuan Neng Rahma.Aku tidak menyangka, jika anak sambungku mau mengajak ngobrol Saga sampai anak itu tertawa. Mudah-mudahan ini awal yang baik buat mereka ke depannya. Aku akan sangat bahagia jika Neng Rahma mau menganggap Sagara sebagai adiknya. Meskipun Saga tidak lahir dari rahim yang sama dengannya. Aku yang tidak ingin mengganggu mereka, memilih duduk seraya menonton televisi. Tidak lama kemudian, Kang Surya keluar dari kamar Neng Rahma seraya menggendong putra kami. "Wah, ternyata gorengannya sudah jadi?" ujar suamiku. "Sudah, Kang. Si Eneng lagi apa?" "Lagi mau mandi, katanya.""Oh, kalau gitu, aku masakan air, ya? Biar dia enggak kedinginan." "Tidak usah, Bu," ujar gadis manis yang baru saja keluar dari dalam kamarnya. "Aku mandi air dingin saja, biar seger."Aku yang hampir berdiri, akhirnya duduk kembali seraya mengangguk dan tersenyum. "Kang, tadi aku lihat si Eneng ngajak Saga ngobrol, rasanya hati ini adeeeeem ... bange
"Dia juga anakku, Salsa! Dan aku pun berhak atas Neng Rahma! Aku tidak akan membiarkan putriku dibawa oleh manusia setengah siluman sepertimu! Kamu wanita stres! Kamu tidak pantas dipanggil ibu karena kelakuanmu yang tidak punya nurani. Kamu menjual anakku, kamu menyuruh dia melayani pria hidung belang dengan alasan balas budi karena telah bertaruh nyawa melahirkan dia. Kamu pikir, dia mau dilahirkan oleh wanita murahan sepertimu? Tidak! Aku yakin anakku tidak sudi beribukan wanita sepertimu!" Kang Surya berujar menggebu-gebu. Dada suamiku naik turun, sama seperti mantan istrinya yang wajahnya sudah sangat merah padam. "Jaga mulutmu, Kang Surya." Suara Teh Salsa melemah. "Lupa, kalau kamu pernah menggilaiku, sebelum akhirnya seleramu merosot turun pada wanita seperti dia?"Aku memalingkan wajah saat telunjuk Teh Salsa tertuju padaku. "Dia lebih baik darimu. Derajat Aisyah jauh lebih tinggi darimu yang hanya seorang wanita penghibur," ujar Kang Surya membela. Teh Salsa yang merasa
Beberapa hari setelah kejadian datangnya Teh Salsa, Neng Rahma jadi buah bibir di seantero desa. Anak sambungku itu sampai tidak mau keluar rumah, merasa malu dan jijik pada dirinya sendiri. Aku dan Kang Surya terus memberikan dukungan, memberikan semangat pada dia agar tidak usah menanggapi ucapan orang lain yang menyakiti hati. Akan tetapi, tetap saja. Neng Rahma lebih suka mengurung diri daripada bersosialisasi. "Aku nggak mau ikut acara perpisahan sekolah, Pak. Aku malu, nanti pasti diledekin teman-teman," ujar Neng Rahma pagi ini. Aku dan Kang Surya saling pandang, kemudian mengembuskan napas seraya beralih melihat pada Neng Rahma. Acara perpisahan di sekolah akan dilaksanakan esok hari. Namun, Neng Rahma enggan menghadiri. Iya, aku paham perasaan anak itu. Jika jadi dia pun, aku pasti akan melakukan hal yang sama. Bahkan lebih dari itu. "Yasudah, kalau gak mau mah, gak apa-apa. Tapi ... nanti kamu gak ada di foto alumni sekolah, loh." Kang Surya masih berusaha membujuk.
"Ini disimpan lagi, ya, Neng?" Aku menggeser celengan berbentuk pinguin itu ke depan Neng Rahma. "Tapi, Bu ....""Gak ada tapi-tapian. Jangan karena tadi Eneng mendengar Bapak dan Ibu membicarakan tentang uang, kamu jadi punya pikiran untuk ngasih ini ke Ibu." Aku mendahului ucapan Neng Rahma yang menggantung. "Iya, Bu. Aku gak enak, tinggal di sini cuma menyusahkan Ibu dan Bapak. Makan dan tidur saja bisanya. Jajan juga," tutur Neng Rahma, kemudian mengerucutkan bibir diakhir kalimatnya. "Eh, eh, eh .... Kenapa si Teteh bicaranya seperti itu? Yang namanya anak perempuan belum berumah tangga, itu artinya tanggung jawab masih ada di pundak Bapak, Neng." Kang Surya yang sedari tadi hanya berdiri di ambang pintu, kini dia mendekat, ikut menjawab ucapan putrinya. Obrolan kami pun terus berlanjut, membicarakan perjalanan Neng Rahma ke pantai tadi, juga tentang keadaan rumahnya di kampung sebelah. "Jadi, motor Eneng dijual?" tanyaku, dan kemudian dijawab anggukan kepala oleh anak itu
Teh Dela lari tunggang-langgang menuju rumahnya setelah melihat wajah Kang Surya yang merah padam. Suamiku benar-benar sangat marah kali ini. Dia tidak terima dengan ucapan Teh Dela yang di luar batas. "Akang, istighfar ...." Aku mengusap-usap dada Kang Surya yang naik turun. Suamiku itu mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia balik kanan dan mengetuk pintu kamar Neng Rahma. Namun, anak itu tidak berkenan membuka pintu. Hanya suara tangisnya yang terdengar sampai ke luar. "Neng, jangan dengarkan kata-kata orang tadi. Bapak tidak akan melakukan yang si Dela sarankan. Kamu anak Bapak, bukan anak dia. Tidak usah dipikirin, ya? Urusan jodoh dan menikah, itu rahasia Gusti Allah, bukan manusia," ujar Kang Surya, membujuk anak gadisnya. Aku yang berada di belakang dia, harus menjauh setelah ada Mak Nia datang dan menanyakan apa yang barusan terjadi. Ternyata teriakan Kang Surya barusan terdengar sampai ke rumah Mak Nia, juga ke rumah tetangga yang jarak rumahnya berdekatan denganku.
"Tidak ada alasan untuk Ibu meninggalkan kamu, Neng. Kamu anak Ibu, anak gadis Ibu yang akan selalu jadi bagian dari hidup Ibu. Jangan bersedih lagi, ya? Buang jauh-jauh keinginan untuk kembali ke masa-masa kelam itu, ya?" Neng Rahma mengangguk. Dia mengusap kedua matanya yang basah, lalu mengangkat kepala. Beberapa saat berdiam diri di kamar Neng Rahma seraya mendengarkan keluh kesahnya, aku pun keluar saat Sagara merengek. Rupanya anakku sudah mulai merasa jenuh dengan mainannya, dan meminta ASI. "Bapak biasanya pulang jam berapa, Bu?" Neng Rahma ikut keluar dari kamar, lalu duduk lesehan seraya membereskan mainan adiknya. "Kalau turunnya malam, biasanya Bapak pulang pagi, Neng.""Oh ... masih sama ternyata," katanya, "dulu, waktu Bapak masih sama Mama, aku sering, loh, nungguin Bapak pulang di pantai. Aku main pasir, main air laut sampai semua baju basah semua.""Masa, Teh?" ujarku, menanggapi cerita Neng Rahma. "Iya. Sering banget telingaku kena jewer Mama karena gak mau den
Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.
"Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga
"Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"
"Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk
"Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba
"Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku
"Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."
"Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne
"Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany