"Tidak ada alasan untuk Ibu meninggalkan kamu, Neng. Kamu anak Ibu, anak gadis Ibu yang akan selalu jadi bagian dari hidup Ibu. Jangan bersedih lagi, ya? Buang jauh-jauh keinginan untuk kembali ke masa-masa kelam itu, ya?" Neng Rahma mengangguk. Dia mengusap kedua matanya yang basah, lalu mengangkat kepala. Beberapa saat berdiam diri di kamar Neng Rahma seraya mendengarkan keluh kesahnya, aku pun keluar saat Sagara merengek. Rupanya anakku sudah mulai merasa jenuh dengan mainannya, dan meminta ASI. "Bapak biasanya pulang jam berapa, Bu?" Neng Rahma ikut keluar dari kamar, lalu duduk lesehan seraya membereskan mainan adiknya. "Kalau turunnya malam, biasanya Bapak pulang pagi, Neng.""Oh ... masih sama ternyata," katanya, "dulu, waktu Bapak masih sama Mama, aku sering, loh, nungguin Bapak pulang di pantai. Aku main pasir, main air laut sampai semua baju basah semua.""Masa, Teh?" ujarku, menanggapi cerita Neng Rahma. "Iya. Sering banget telingaku kena jewer Mama karena gak mau den
"Tumben, Syah?" "Neng Rahma yang minta, Kang."Seperti orang-orang yang aku jumpai, Kang Surya pun menanyakan ketidakbiasaanku yang sayang ke pelabuhan. Seperti kepada orang lain, jawabanku pun masih sama. Aku di sini karena keinginan anak gadis Kang Surya. Suamiku itu baru saja turun turun dari perahu, dia langsung menghampiriku setelah sebelumnya menemani dua anaknya bermain air laut. Ikan hasil tangkapan Kang Surya kali ini, tidak dijual semua, sengaja dia sisakan beberapa untuk dibakar dan dimakan bersama anak istrinya. "Alhamdulillah, Syah. Sedikit-sedikit, Neng Rahma sudah mulai membuka diri," ujar Kang Surya seraya membalikkan ikan yang sedang kami bakar. "Iya, Kang. Mudah-mudahan seterusnya, ya?""Aamiin ...."Beberapa saat kemudian, ikan yang kami bakar sudah matang. Aku pun menyuruh Neng Rahma menyudahi bermain air, untuk makan bersama aku dan ayahnya. Saga yang bajunya basah semua, aku ganti terlebih dahulu, sementara Neng Rahma langsung menghampiri ayahnya. "Enggak
"Allahuakbar ...," ucap suamiku dengan tangan gemetar setelah melihat garis dua di testpack yang aku pegang. Jika biasanya orang tua akan sangat bahagia ketika mengetahui putrinya mengandung, tapi tidak denganku dan Kang Surya. Dunia yang aku pijak seakan berhenti berputar, langit pun terasa runtuh dan menghimpit tubuh ini hingga sesak terasa nyata di dalam dada. Bagaimana aku akan bahagia, bagaimana kami akan gembira dengan kabar kehamilan Neng Rahma, jika anak itu tidak memiliki suami. Jangankan aku, atau ayahnya, dia sendiri pun tidak tahu siapa anak yang tumbuh di perutnya saat ini. "Gimana ini, Kang?" tanyaku, seraya terduduk dan memeluk tubuh Neng Rahma. Kang Surya melepaskan Saga. Dia menyugar rambutnya kasar, dan akhirnya terduduk juga dengan punggung bersandar pada tembok. Mata merah suamiku menatap putrinya yang menangis tersedu di pelukanku. Tidak ada kata dari bibir Kang Surya, yang pada akhirnya kami pun menangis bersama. Ini bukan tangisan bahagia, tapi bingung y
"Kang!"Aku menyebut suamiku yang barusan mengambil pisau dari tanganku. "Kamu mau menyakiti Neng Rahma?" "Tidak, Kang. Sama sekali tidak. Barusan aku—""Bukan Ibu yang mau menyakiti aku, Pak, tapi akulah yang ingin mengakhiri hidup," ujar Neng Rahma, memotong ucapanku. Tatapan tajam Kang Surya kini beralih pada putrinya. Kening suamiku mengkerut, lalu bertanya dengan nada yang pelan. "Kamu mau bunuh diri? Apa dengan bunuh diri semua masalah selesai, Rahma? Apa kamu pikir Tuhan akan langsung melempar kamu ke dalam surga setelah kamu mati?""Aku lebih baik mati daripada malu, Pak! Aku juga tidak mau membuat kalian tambah malu dengan membesarnya perutku!" Plak!"Akang!" Aku menjerit melihat tangan suamiku melayang dan mendarat di pipi bagian kiri Neng Rahma. Anak itu terhuyung. Dia terduduk di lantai setelah ditampar ayahnya. "Akang! Kenapa kamu menyakiti Neng Rahma?!" tanyaku, kemudian dengan cepat merangkul tubuh anak itu yang bergetar akibat menangis. "Biar dia sadar, Syah!
"Yadi.""Hah?" Aku tercengang mendengar satu nama yang disebut Kang Surya. "Iya, ternyata selama ini si Yadi menyukai Neng Rahma. Aku pun awalnya tidak percaya, tapi ... tadi anak itu mengatakannya langsung tentang perasaan dia, dan kesediaannya untuk menikahi Neng Rahma."Mendengar ada laki-laki yang mau menikah dengan Neng Rahma, membuat sebagian hatiku merasa senang. Apalagi, pria yang dibicarakan Kang Surya memanglah baik orangnya. Yadi pemuda yang giat bekerja, dia juga tidak neko-neko dan pastinya bertanggung jawab. Akan tetapi ... aku tidak yakin jika Neng Rahma mau. Apalagi setelah pembahasan aku dan dia. Pastilah anak itu akan memilih melanjutkan hidup sebagai wanita tanpa suami, daripada menjadi seorang istri. "Sebaiknya jangan bicarakan ini dulu, Kang. Kita fokuskan diri saja pada kehamilan Neng Rahma. Dia harus mendapatkan perhatian lebih banyak dari kita. Kalau tidak, akibatnya akan membahayakan dirinya, juga jabang bayi di dalam kandungan dia," ujarku kemudian. "Iya
"Kalau Teh Dela tidak mulai duluan, aku juga tidak akan melawan, Kang. Aku capek, direndahkan terus sama dia." Kang Surya menghela napas panjang saat aku menjawab pertanyaannya mengenai perkelahianku dengan tetangga menyebalkan itu. Kejadian tadi pagi, sudah tersebar ke seluruh kampung, hingga Kang Surya yang berada di pelabuhan pun tahu jika istrinya ini bertengkar dengan Teh Dela. "Orang kayak Teh Dela memang sesekali harus dilawan. Biar dia paham, kita diam bukan karena tidak berani, tapi menghargai dia sebagai tetangga. Kalau terus menerus direndahkan, diremehkan, ya aku capek juga, Kang. Aku juga punya keinginan untuk membela diri," ujarku lagi tanpa melihat pada Kang Surya. Tangan ini melipat pakaian yang baru saja diangkat dari jemuran. Seraya bicara, aku tetep bekerja, meskipun hasilnya agak berantakan karena masih menahan kesal. "Yasudah, sekarang Akang mandi dulu lah. Bau ikan." Kang Surya menyudahi percakapan. Suamiku itu memang baru saja pulang. Dia belum sempat mand
"Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany
"Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne