"Lauknya hanya dengan ikan, gak apa-apa, Neng?" lanjutku, setelah tadi menggantung ucapan. "Nggak apa-apa, Bu. Nasi tanpa lauk juga enggak apa-apa, kok." Neng Rahma menjawab cepat pertanyaanku. Sebagai seorang ibu, hatiku merasakan ada yang tidak beres dengan Neng Rahma. Aneh. Dia seperti bukan Neng Rahma yang sering aku jumpai. Mata tajam ketika dia melihatku, kini berubah sendu dengan penuh harap dan ratap. Ada apa sebenarnya dengan Neng Rahma? "Ya–yasudah, mari, ikut Ibu ke dapur." Aku berucap terbata. Tanpa berucap lagi, Neng Rahma langsung berdiri dan mengekor di belakangku. Dia aku persilakan duduk di kursi plastik yang menghadap ke meja kayu. Aku mengambil piring, mengeluarkan gulai ikan hasil tangkapan Kang Surya kemarin malam. Lalapan serta sambal pun turut aku suguhkan pada putri sambungku yang tengah diam seraya menatap makanan di atas meja. "Dimakan, Neng. Maaf, cuma ada ini di rumah Ibu," kataku. Neng Rahma mengalihkan pandangannya ke arahku. Matanya berkaca-kaca
"Tidak, tidak boleh seperti ini, Aisyah!" Aku memejamkan mata seraya terus beristighfar. Ini salah. Aku tidak boleh membuka sesuatu yang diamanahkan orang lain. Cepat aku berdiri, menyimpan amplop dari Neng Rahma ke dalam bufet agar tidak terlihat dan menghadirkan keinginan untuk membukanya. "Ya Allah ... astaghfirullahaladzim," ujarku lagi. Saga melihatku tak mengerti. Bayi itu masih anteng dengan mainan di tangannya, lalu merangkak mengambil mainan lainnya. Aku duduk, menyesali perbuatan yang hampir menjadikanku manusia munafik yang tidak bisa menjalankan amanah. Tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya, hari ini waktu terasa lambat. Aku terus saja melirik jam dinding, berharap malam segera datang. Apa lagi alasannya kalau bukan ingin suamiku cepat pulang. Dengan begitu, rasa penasaran akan pemberian Neng Rahma, akan segera aku ketahui. "Sah!" Suara seseorang memanggil, membuatku menoleh ke arah pintu. Dari suaranya aku sudah tahu jika Mak Nia lah yang memanggilku.
"Tadi Neng Rahma ke sini, Kang." Lelaki empat puluh tiga tahun itu melihat padaku sejenak, kemudian dia kembali menikmati makan malam yang aku suguhkan. "Minta uang?" tebaknya. "Minta makan."Kang Surya tertawa seraya melihat ke arahku yang menyipitkan mata. Masih dengan diiringi tawa Kang Surya, aku duduk di samping dia, menemaninya makan. "Kamu bisa aja jawabnya, Syah. Iya, sih, harusnya aku gak nanyain itu. Karena jawabannya pasti sudah sangat mudah ditebak. Uang memang jadi tujuan anak itu. Iya, kan?" lanjut Kang Surya. Aku mengembuskan napas kasar seraya menyandarkan punggung pada sandaran kursi plastik. Sengaja aku menunda menceritakan tentang Neng Rahma, sampai suamiku itu selesai makan. Rasanya tidak tepat jika membicarakan sesuatu di saat suamiku tengah kelaparan. Makanya, aku menungguinya, setia berada di sampingnya sampai piring yang tadi aku isi, tidak menyisakan satu butir nasi pun. "Alhamdulillah .... Selalu tidak pernah gagal masakan istriku ini. Terima kasih,
"Mana amplop tadi, ya?" Mataku menyapu ke semua penjuru rumah, mencari amplop yang tadi malam dibuka separuh oleh Kang Surya. Rasa penasaran akan isi amplop tersebut, belum juga mereda, karena tadi malam Sagara putraku tiba-tiba menangis minta ASI. Sialnya, aku malah ketiduran sampai subuh dan tidak mengetahui dengan jelas apa isi di dalamnya. Jika harus menebak, sepertinya berisikan sebuah surat. Isi suratnya apa dan membicarakan apa, aku belum tahu. "Tanya Kang Surya aja kali, ya?" ujarku menyerah. Mungkin amplop itu sudah disimpan Kang Surya. Pekerjaan di dapur dan sumur sudah menjadi rutinitasku setiap hari. Memang, kadang tidak selesai sampai Kang Surya berangkat ke laut. Selalu ada saja yang belum dikerjakan, karena Saga yang keburu bangun. Seperti sekarang ini, baru saja aku hendak mencuci pakaian, suara Saga mengalihkan perhatianku. Aku meninggalkan cucian yang sudah direndam, kemudian kembali ke kamar untuk mengambil anak itu. "Jam berapa ini, Syah?" tanya Kang Sury
Mata saling melihat, dengan bibir saling terkatup rapat. Di dalam hati, aku terus beristighfar melihat nominal utang Neng Rahma. Detik kemudian, embusan napas Kang Surya terdengar berat dan lesu. "Jika tidak dilunasi sekarang, minimal setengahnya juga nggak apa-apa, Pak." Si pemilik kantin berucap lagi. Sebelah tanganku mengusap tangan Kang Surya seraya mengangguk dan tersenyum ke arahnya. Namun, suamiku itu tak membalas senyumku. Wajahnya memperlihatkan kebingungan serta rasa terkejut yang begitu kentara. "Syah, aku cuma pegang tiga ratus ribu. Kamu ada tambahannya?" Kang Surya mulai bicara. "Ada satu juta di aku, Kang."Lagi-lagi Kang Surya mengembuskan napas dengan begitu berat. Uang yang ada pada Kang Surya, juga ada padaku, belum bisa menutupi utang Neng Rahma, yang jumlahnya dua juta lima ratus ribu rupiah. Allah .... Ingin sekali aku berbicara, menanyakan bagaimana cara anak itu jajan hingga memiliki utang yang banyak? Namun, aku sadar posisi. Malu rasanya jika protes,
"Lagi apa, Syah?" Aku menoleh pada pria yang baru saja turun dari sepeda motornya. Dia menghampiriku yang masih mematung di dekat tempat sampah. "Kamu ngapain berdiri di sini? Jangan bakar sampah jam segini, angin masih kenceng, asapnya nanti masuk ke rumah," ujar Kang Surya lagi. "Aku bukan untuk bakar sampah, Kang. Tapi ... apa malam itu Akang baca semua pesan dari Neng Rahma?" Kini aku yang bertanya. Kang Surya mengerutkan kening mendengar pertanyaan yang mungkin terasa aneh untuk dijawab. Aku mengulang pertanyaan yang sama, berharap mendapatkan jawaban yang bisa melegakan hati. "Enggak, sih. Lagian, dari atasnya sudah bahas utang, pasti ke bawahnya juga tentang uang, Syah. Sudahlah, ngapain terus dibahas lagi, sih? Kata kamu, enggak boleh diomongin lagi, tapi kamu sendiri malah terus mengulang pembahasan yang sama. Ini, uang penjualan cincin." Kang Surya memberikan uang padaku. "Astaghfirullahaladzim, Akang ...." Aku mengusap wajah, kemudian menatap Kang Surya dengan dada
"Akang tahu, Teh Salsa kerja di mana?" Aku balik bertanya."Di kota.""Iya, di kota. Kerjanya apa, Akang tahu?" tanyaku lagi. "Tadi Kang Marwan bilang, jadi pemandu lagu di tempat karaoke. Ya, terus kenapa jika di tempat karaoke? Kan, kerjanya cuma nganterin minuman ke pengunjung, kan?" Aku menggelengkan kepala seraya tersenyum sinis pada Kang Surya. Ternyata suamiku itu tidak tahu tentang dunia yang sekarang tengah dijelajahi mantan istrinya. Dalam pikirannya, tempat karaoke itu sama seperti kafe. Padahal, mungkin lebih dari itu. Iya, aku juga tahu tidak semua tempat karaoke kelam. Tidak semua pemandu lagu nakal, tapi tidak jarang juga ada pengelola tempat usaha tersebut yang menjajakan wanita untuk pelanggannya. Dan aku yakin, itulah pekerjaan Teh Salsa sekarang. "Tidak mungkin Salsa menjerumuskan anaknya sendiri, Syah," ujar Kang Surya, saat aku mengatakan kemungkinan yang terjadi dengan Neng Rahma. "Aku juga tidak ingin berpikir ke arah sana, Kang. Tapi, setelah kemarin mel
"Sah, sini!" Tangan Teh Dela melambai ke arahku. Dia bersama putrinya yang berusia lima tahun, tengah duduk di teras rumahnya seraya menghadap makanan serta segelas kopi. Aku tidak ingin menghampiri, tapi untuk menolak pun tidak punya alasan. Akhirnya, aku membawa Saga ke rumah Teh Dela, dan duduk lesehan bersama si tuan rumah. "Tadi Kang Dani ngapain, Sah?" tanya Teh Dela kemudian. "Nanyain Kang Surya. Tidak tahu mau apa. Katanya urusan laki-laki.""Oh ...." Teh Dela membulatkan mulut seraya mengangguk. Wanita yang selalu tampil cantik dengan rambut pirangnya itu menawariku makanan yang dia punya. Namun, aku menolaknya. Bukan jijik, tapi karena belum mau makan apa pun. Hanya Sagara saja yang makan biskuit dari tangan anaknya Teh Dela. "Sah, katanya kemarin kamu ke sekolahan si Rahma, ya?" tanya Teh Dela lagi. "Aku tahu dari adik iparku. Katanya, kamu bayar utang bekas jajan anak tirimu itu?" Aku mengangguk dengan senyum tipis. Ada penyesalan kenapa tadi aku tidak langsung m
Dia duduk di lantai, melihatku yang tengah melihat televisi seraya berbaring di kursi. "Emangnya Amih kenapa lagi?" tanyaku. "Katanya, Amih sakitnya sudah parah. Sudah tidak bisa diobati, Bu.""Oh .... Yasudah, nanti sore kita ke sana, ya? Kita jenguk Amih." Aku tersenyum, yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Samudra.Amih adalah panggilan anak-anakku pada Teh Salsa. Aku memang tidak pernah menutup pintu untuk dia, jika ingin bertemu cucunya. Sejahat apa pun Teh Salsa di masa lalu, tidak akan membuat hatiku beku. Dia aku perbolehkan bertemu Samudra, tapi tidak dengan membawanya. Sedihnya, sudah tiga tahun ini Teh Salsa sakit. Kata tetangganya, dia sakit ... ah, aku tidak kuasa mengucapkannya. Yang jelas, katanya sudah parah dan tidak bisa diobati. Mungkin karena itu jugalah yang membuat Teh Salsa berhenti dari keperjakaannya di kota. Menurut kabar yang kudengar, dia diberhentikan karena sudah tidak bisa menghasilkan. Juga karena penyakit yang bisa menular pada pelanggannya.
"Samudra! Jangan berenang terlalu jauh, nanti terbawa ombak!" "Tidak akan, Ibu! Aku, kan jagoan! Aku sudah besar, Bu!" Aku menarik sudut bibir ke samping seraya mengusap dada. Pandanganku tidak beralih dari dua anak lelaki yang saat ini tengah berenang di pantai. Sagara dan Samudra. Rasanya, baru kemarin aku menggendong mereka, mengayunnya saat akan tidur. Sekarang, kedua anak itu sudah besar. Perbedaan usia yang hanya satu tahun, membaut keduanya seperti anak kembar. Apalagi, tubuh Samudra yang lebih tinggi dari Sagara, mengikis perbedaan usia di antara mereka. Sepuluh tahun begitu cepat berlalu. Sekarang, mereka bukan lagi balita yang merengek minta digendong. Mereka sudah beranjak remaja. "Ibu, tadi aku hampir kelelep. Sagara menekan belakang kepala aku, Bu." Aku mengangkat kedua alis, melihat pada Samudra yang mengadu. "Aku enggak sengaja, Bu. Aku hampir kelelep juga, makanya tanganku meraba mencari pegangan." Sagara membela diri. Kalau sudah begini, aku pasti kebingunga
"Surya, istighfar!" Mak Nia berteriak kencang. Orang-orang yang ada di teras rumah pun, segera menghambur menghentikan Kang Surya yang seperti orang kesetanan. Sorot mata suamiku sangat tajam dan memerah, menatap pada mantan istrinya yang ketakutan.Pria yang sejak semalam bersama Teh Salsa, terlihat sangat panik ketika wanita itu diseret Kang Surya yang juga membawa benda tajam. "Akang, istighfar ...." Aku berucap pelan seraya berjalan mendekati suamiku. "Diam di sana, Syah!" ujar suamiku tegas. "Aku ingin membuat wanita ini merasakan sakit seperti yang anakku rasakan. Kalau bukan karena ulahnya, jika bukan karena kebodohan dia, Neng Rahma tidak akan meninggal. Wanita ini yang telah menjual anakku hingga dia hamil tanpa suami. Secara tidak langsung, dia juga yang telah membuat Neng Rahma mati muda. Semua kesulitan yang terjadi pada anakku, itu karena dia. Semua penderitaan yang dirasakan Neng Rahma, itu karena dia. Salsabila wanita durjana! Sekarang adalah kematianmu!""Akang!"
"Neng Rahma berhasil melahirkan buah hatinya, tapi dia gagal melawan perjanjiannya dengan Gusti Allah. Neng Rahma ... sudah kembali pada pemilik-Nya, Bu." "Tidak mungkin," ucapku lirih, kemudian kembali menggoyahkan tubuh Neng Rahma yang tidak terusik sedikit pun akan guncangan dariku. Tubuhku merosot, air mataku luruh seraya memegangi kaki ranjang yang di atasnya ada Neng Rahma. "Lakukan sesuatu, Bu Bidan! Lakukan sesuatu untuk mengembalikan detak jantung Neng Rahma!" ujarku meminta. Bidan itu segera lari ke luar ruangan, lalu kembali dengan dua perawat yang membawa alat kejut jantung. Sayang, beberapa kali benda itu ditempelkan pada dada Neng Rahma, tapi tidak sedetik pun jantung anak itu berdetak. Suara tangis bayi pun beriringan dengan suara tangisku yang pasrah akan kepergian Neng Rahma. Mendengar kegaduhan di dalam sini, tidak berapa lama kemudian Kang Surya masuk. Tatapannya langsung tertuju pada tubuh putrinya ditutup selimut dari ujung kaki hingga kepala. "Tidak mungk
"Kenapa Teh Salsa ke sini?" "Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Tidak boleh, aku melihat anakku yang akan melahirkan?" jawabnya sewot. Teh Salsa langsung menerobos masuk setelah pintu rumah terbuka. Wanita yang tak lain adalah mantan istri suamiku itu mengetuk pintu kamar Neng Rahma seraya terus memanggil nama putrinya. "Punten, Teh. Tadi, saat saya sedang mencari mobil, ketemu Teh Salsa di jalan. Maaf, saya malah mengatakan yang sebenarnya saat dia bertanya." Yadi, lelaki uang aku mintai tolong, berujar seraya menunduk. Dia merasa bersalah karena secara tidak langsung, telah membawa Teh Salsa ke rumahku. "Tidak apa-apa, Di. Mungkin memang sudah jalannya," kataku. Teh Salsa yang masih berdiri di depan pintu kamar Neng Rahma, dia tak hentinya membujuk anak itu supaya mau keluar dan ikut bersamanya. Akan tetapi, Neng Rahma berulang-ulang menolak ajakan ibunya, dia merasa trauma karena pernah dipaksa untuk ikut ke kota. "Neng, Mama tidak akan membawa kamu ke kota, Mama mau memba
"Bu!""Ibu!"Suara Neng Rahma dari kamarnya membuatku membuka mata. Aku langsung keluar dari kamarku seraya mengikat rambut, lalu pergi melihat Neng Rahma. "Kenapa, Neng?" tanyaku, merendahkan tubuh seraya menempelkan telapak tangan di keningnya."Perutku sakit, Bu," katanya. "Sakit?" Aku terkejut. "Apa sekarang waktunya?" "Waktu apa, Bu? Apa aku akan melahirkan sekarang? Aku takut, Ibu. Aku harus apa?""Tenang, Neng. Tenang, ya? Kamu tunggu dulu di sini, Ibu mau ke rumah Mak Nia. minta dia untuk nemenin kita di sini."Neng Rahma mengangguk pelan seraya meringis mengusap-usap perutnya. Aku beranjak. Keluar dari rumah, dan berjalan tergesa menuju rumah Mak Nia. Waktu yang masih malam, membuat kampung terasa sepi dan sunyi. Hanya ada suara binatang malam yang menjadi irama di sekitar. "Mak! Mak Nia, buka pintunya, Mak!" Aku mengetuk pintu dengan pelan dan beruntun seraya memanggil wanita di dalam rumah panggung ini. "Siapa?" tanyanya dari dalam. "Aisyah, Mak! Cepet buka!" kataku
"Jadi ... seperti itu, Kang? Pantas, barusan Neng Rahma menanyakan tentang Yadi."Kang Surya tersenyum dengan pipi yang mengambang penuh dengan makanan di mulutnya. Menurut penuturan Kang Surya, kemarin di pasar malam Neng Rahma dan Yadi sempat bertemu. Sebagai seorang lelaki yang menyukai lawan jenisnya, katanya Yadi sempat melakukan pendekatan kepada putri sulung suamiku itu. Meskipun hanya dengan perhatian kecil, tapi mampu membuat Neng Rahma tersipu-sipu. "Jangan dibiarkan terlalu deket banget, Kang. Ingat, loh anak kita itu sedang mengandung." Aku berucap kembali. "Akang, juga sudah mengatakan itu pada Yadi. Dan katanya, dia akan sabar menunggu. Itu, tadi bungkusan yang Akang bawa, dari Yadi. Dia menitipkan makanan untuk Neng Rahma."Aku diam beberapa saat, memikirkan bagaimana orang tua Yadi saat tahu anak bujangnya jatuh hati pada wanita yang ... ah, tidak usah aku perjelas. Semua orang pun tahu latar belakang Neng Rahma, juga jalan hidupnya yang penuh nestapa. "Kang ...."
"Mak, ada?" Aku memanggil Mak Nia, yang sedari pagi pintu rumahnya selalu tertutup rapat. Entah dia pergi atau tidak, aku ingin memastikan jika Mak Nia baik-baik saja. "Ada, Isah. Masuk saja, pintunya enggak Emak kunci."Lega rasanya mendengar suara Mak Nia. Aku bersama Saga pun masuk, menemui Mak Nia yang ternyata sedang berkutat dengan pekerjaannya di dapur. "Emak sedang apa? Aku kira, Emak sakit. Dari pagi enggak aku lihat Emak keluar rumah," kataku, saat melihat wanita paruh baya itu. "Emak lagi buat rengginang, Sah. Tadi pagi, Emak buat yang manis, sekarang yang asin.""Banyak banget, Mak. Kayak yang mau hajatan.""Lah iya. Harus banyak, Sah. Selain untuk Emak makan sendiri, ini Emak buat untuk syukuran empat bulanan Neng Rahma. Nanti bakalan ada pengajian, kan?" Aku tertegun dengan pernyataan Mak Nia. Bukan tersinggung, tapi justru merasa bodoh jadi orang tua yang belum mempersiapkan ke sana. Bahkan tidak terpikirkan sedikit pun dalam otakku mengenai acara empat bulanan Ne
"Ga, pijitin punggung Bapak, Ga!" Kang Surya yang baru saja pulang dari laut, langsung memanggil putranya yang tengah bermain ditemani Neng Rahma. Benar kata dia kemarin, ternyata Kang Surya pulang pagi. Padahal, tadi malam aku sampai begadang menunggu dia pulang. Aku tidak tahu kalau suamiku itu pulangnya pagi. "Minum, Kang." Aku memberikan satu gelas air pada Kang Surya. Dia yang tengah tengkurap, langsung bangun dan mengambil gelas dari tanganku."Makasih, Syah.""Sama-sama," jawabku, "Mau makan sekarang, nggak? Biar aku ambilkan.""Nanti saja, Syah. Akang mau mandi dulu. Saga main sama Teteh lagi, ya? Bapak badannya bau anyir," ujar Kang Surya, menyuruh putranya menjauh. Suamiku langsung pergi ke belakang, dan aku pun menyusulnya. Bukan untuk ikut mandi, tapi untuk menjemur pakaian yang beberapa menit yang lalu sudah aku cuci. Langit sangatlah cerah pagi ini. Padahal masih pukul tujuh, tapi sinar matahari sudah terasa panas dan sangat cocok untuk menjemur pakaian. Bukan hany