Rumah berlantai dua dengan cat berwarna putih menjadi pemandangan Marwa saat ini. Ragu ia memasuki kediaman mertuanya. Jika bukan karena ingin melihat kondisi Arum yang terpisah sejak tiga hari lalu mungkin ia tak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di rumah orang yang selalu memberinya luka. Terpaksa, ia sungguh terpaksa saat ini.Tiga hari kemarin, berkaki-kali ia menghubungi ibu mertua juga suaminya melalui ponsel, tetapi tak terhubung. Sepertinya keduanya telah memblokir nomor Marwa. Tak hilang akal ia mencoba menekan nomor Fitri dan tersambung. Hanya saja ketika ia hampir berhasil berbicara dengan anaknya, tiba-tiba terdengar suara ibu mertuanya yang berteriak memarahi Fitri karena lancang menerima telepon darinya. Kemudian sambungan telepon itu langsung terputus.Sungguh Marwa lelah menghadapi keluarga suaminya itu. Namun, ia harus kuat demi Arum. Tanpa sepengetahuan Sela ia datang mengunjungi rumah mertuanya. Sahabatnya itu tentu akan melarang jika mengetahui niatnya. Karena
"Sakit, ya, Mas?" tanya Fitri ketika mengobati luka di wajah Pandu. Lelaki muda itu hanya meringis menahan perih."Lagian kenapa ga bilang terus terang aja, sih! Mas Galih pasti mengerti, Kok!" lanjutnya memberi saran.Galih tak jadi mengetuk pintu ketika mendengar namanya disebut."Mbak Marwa, kan, seperti itu karena marah melihat Arum dikurung di gudang. Coba Mas Pandu jelaskan saja. Ibu mana, sih, yang tega ngeliat anaknya ketakutan di ruangan gelap." Galih membulatkan mata mendengar penuturan Fitri. Kemarahan telah membutakan hatinya sampai lupa menanyakan kronologi yang sebenarnya. Begitupun ibunya tidak menjelaskan perihal pengurungan anaknya. Melainkan hanya mengatakan Marwa mengambil Arum secara paksa.Pantas saja istrinya begitu murka. Galih tahu benar, Marwa sangat lembut dan penurut, tetapi jika sudah menyangkut anaknya. Marwa bisa bertindak bagai singa yang kelaparan. Ia pun pernah mengalami ketika geram mendengar tangisan Arum yang tak mau berhenti. Dengan gemas ia men
Galih menuju kamar ibunya di lantai atas. Ingin memberitahukan akan menunda mengambil Arum. Banyak hal yang harus ia pikirkan terlebih dahulu sebelum mengambil keputusan. Sejak dulu, ia kurang pandai dalam mengelola emosi. Berkali-kali hal itu membuatnya jatuh pada keputusan yang salah. Namun, anehnya hal itu terjadi jika menyangkut sang ibu. Seperti saat tadi, emosinya langsung tersulut ketika ibunya mengatakan seolah Marwa menginjak-injak harga dirimya. Berlaku kurang ajar karena mengambil Arum tanpa izin. Rupanya perempuan yang membesarkannya itu menyembunyikan penyebab utama Marwa berlaku seperti itu. Bodohnya ia pun tak bisa berpikir jernih."Sebenarnya Ibu males banget, Git ngurusin Arum," ujar Atik berbicara di dalam kamar.""Lah, Gita juga males, Bu. Pokoknya aku ga mau dititipin anak itu," balas Gita."Ya enggaklah, Ibu juga ga tega sama kamu. Anak itu, ya, udah rewel, penyakitan pula. Ibu, kan, takut kalau air liurnya kena ibu. Ntar ikutan epilepsi pula hahaha," canda Atik
Galih mematut diri di cermin menatap dirinya yang saat itu mengenakan kaos oblong dan celana jin. Setelah dirasa semuanya sudah sempurna, ia mengambil kunci mobil dan melangkah ke luar rumah.Semalam ia telah memikirkan masalah yang sedang terjadi dalam keluarganya. Galih memutuskan untuk bertemu Marwa dan berbicara dari hati ke hati dan akan meminta penjelasaan versi istrinya. Ia menyesalkan saat itu tak melindungi sang istri dari hinaan orang-orang di sekitarnya.Kesalaham sebesar apapun, seharusnya ia melindungi perempuan yang menjadi tanggung jawabnya. Apalagi jika ternyata Marwa terbukti tidak bersalah, Galih akan merasa jadi suami yang tidak bertanggung jawab. Mulai hari ini ia akan mengurus masalah keluarganya sendiri. Dimulai dengan mencari tahu kebenaran perselingkuhan yang dituduhkan pada Marwa.Selama perjalanan, Galih terus memikirkan setiap ucapan ibu dan kakaknya yang didengar kemarin. Ia tak menyangka jika ternyata mereka tak menyukai kebe
Atik sudah bersiap untuk mengantarkan Galih ke rumah Marwa. Ada keenganan di hatinya untuk mengunjungi rumah besan yang dianggapnya tidak sederajat. Namun, demi mengambil hati putra tirinya yang sedang naik daun, ia harus rela membuang sedikit egonya. Setelah mematut diri di cermin dan merasa penampilannya sudah sempurna, Atik bergegas keluar menuju meja makan."Pagi, Bu," sapa Fitri yang sedang meletakkan piring di meja makan. Atik tersenyum dan mengangguk kemudian duduk di salah satu kursi."Mana yang lain?" Atik mulai mengambil nasi goreng yamg dibuatkan anaknya."Bapak belum pulang, Bu .""Masih jogging?""Iya."Atik melihat pergelangan tangannya. Pukul delapan."Tumben, biasanya jam tujuh sudah balik," ucap Atik, "Galih sama Pandu mana?" tanyanya"Pandu masih tidur, Bu. Kalau Mas Galih udah pergi dari tadi."Atik menghentikan sendok yamg hendak dimasukkan ke mulut."Pergi? Loh bukannya ki
"Duh, Pak, lain kali ga usah kaya pahlawan kesianganlah. Jadi susah sendiri, kan?" gerutu Atik tak suka melihat suaminya menolong orang lain, apalagi sampai menyebabkan luka-luka. Nantinya ia akan menjadi repot karena hal itu.Noto tak terlalu menghiraukan omelan sang istri, ia sedang merasakan perih di beberapa bagian tubuhnya. Pagi tadi ia sedang joging sampai ke wilayah kayu manis, di saat sedang beristirat sejenak di depan minimarket sambil meminum air mineral, ia melihat seseorang di parkiran minimarket terlihat kesulitan memutar motornya. Noto langsung berdiri dan membantu perempuan muda yang sedang hamil."Terima kasih, Pak," ucap perempuan yang memakai celana dan kaos yang agak ketat, sehingga perutnya yang membuncit terlihat jelas. Noto hanya terssnyum sambil mengangguk kala itu dan hendak berbalik."Maaf, Pak, boleh minta tolong lagi." Noto urung berbalik, dan menghampiri asal suara. "Ini kuncinya ga bisa masuk." Senyum malu-malu terukir dari w
"Oke, deal, ya. Minggu depan, kita mulai proyek usaha kita," ucap Amar antusias sambil mengulurkaan tangan ke arah Marwa. Namun, perempuan yang memiliki senyum manis itu hanya membalas dengan menangkupkan kedua tangan. Melihat itu Amar menjadi salah tingkah."Oke, deal," sahut Sela sambil mengambil alih untuk membalas uluran tangan lelaki berambut agak kecokelatan itu. "Sekarang saatnya merayakan kesepakatan kita," lanjutnya semringah."Oh, ya, ayo dipesan lagi!" Amar memanggil seorang pelayan. Tadi, mereka hanya memesan minuman.Setelah kepergian Galih, Amar menyarankan untuk menunda pembicaraan mereka. Ia khawatir jika perempuan yamg selalu mengisi pikirannya itu sedang bersedih. Namun, Marwa memutuskan untuk tetap berjalan sesuai rencana dan meyakinkam diri jika ia baik-baik saja. Bagi Marwa ini adalah sebuah kesempatan untuknya bisa mandiri. Walaupun kaget ketika melihat siapa yang menjadi rekan usahanya, tetapi jauh di lubuk hati ia merasa lebih ny
"Bagaimana kondisi bapak, Fit?" tanya Galih. Mereka duduk berdua di balkon depan kamar sang ayah."Ya, gitu, Kak. bapak masih merasakan sakit di lututnya. Barusan Fitri kasih obat dari dokter. Sepertinya sakitnya berkurang. Jadi, bapak bisa istirahat," jelas Fitri. "Mas Galih mau minum apa? Nanti biar Fitri ambilkan." Fitri menyadari jika kakak keduanya ini terlihat letih. Wajahnya kusut seperti menyimpan banyak beban. Terlebih bibirnya pucat dan kering.Melihat Galih yang masuk kamar sang ayah dengan wajah panik, tentunya lelaki dengan alis tebal itu tergesa-gesa untuk datang ke rumah. Namun, sayang, sang ayah baru saja terlelap tidur sejak beberapa waktu tadi merasakan sakit di beberapa bagian tubuh terutama lututnya. Fitri yang kala itu sedang menyelimuti ayahnya meletakan telunjuk di bibirnya setelah melihat Galih masuk, memberi tanda untuk tidak bersuara. Setelah itu, Fitri mengajak kakaknya untuk ke balkon. "Ga usah Fit, kamu di sini aja," jawab G
Sebuah bangunan di pinggir jalan raya terlihat sangat ramai. Dari kaca jendela yang besar, terlihat banyak pengunjung yang datang untuk mencoba restoran baru yang terkenal enak di Jakarta Selatan. Kini, tempat makan tersebut membuka cabang baru di Jakarta Timur. Tentunya masyarakat yang sudah mengetahui restoran khas Betawi lewat video viral di media sosial itu tak akan melewatkan kesempatan untuk mencicipinya. Dengan setengah harga mereka dapat menikmati makanan yang sudah sering didatangi para food blogger. Hampir semuanya menyatakan jika makanan di restoran tersebut patut diacungkan jempol. Walaupun di tempat berbeda, tetapi masih dengan pemilik yang sama, tentunya rasa masakannya pun akan sama. Tampak wajah-wajah ceria yang terlihat menikmati setiap suapan yang singgah dalam mulutnya. "Mantab ini, sih, masakannya. Rempahnya melimpah," puji seorang lelaki yang tampak merem-melek menikmati setiap gigitan pecak ikan yang termasuk makanan best seller.
Melihat video dari nomor tak dikenal, wajah Galih tampak pias. Suatu kebenaran telah dungkap oleh tiga orang yamg terlibat dalam kasus perselingkuhan sang istri. Tulang rahangnya mengeras dengan wajah memerah. Teringat dengan ibu juga kakaknya yang tega menuduh Marwa. Padahal ternyata itu adalah rencana jahat mereka. Marwa tidak bersalah.Napasnya memburu dengan dada yang mulai turun naik. Ingatannya melayang ketika perempuan yang dinikahinya diusir paksa bahkan dipisahkan dari Arum. Setelahnya, berbagai caci maki kerap dilontarkan Atik dan Gita terhadap Marwa. Galih mengeram, teriakan menggema di ruang tamu rumah ibunya. "Mas, Mas Galih!" Fitri yang baru keluar dari kamar bersamaan Pandu yang baru datang dari luar segera menghampuri Galih yang berteriak. "Mas, tenang, Mas!" Kedua adik kakak itu berusaha menenangkan kakak kedua mereka. Mereka juga sudah tahu apa yang telah terjadi. Video yang dikirimkam nomor tak dikemal juga membuat Pandu dan Fitri terkejut dan
Melihat orang yang sudah ramai, Dito semakin resah. Rencananya untuk melarikan gagal di saat bertemu adik iparnya. Namun, bukan Pandu yang menjadi penyebabnya, melainkan dua orang satpam yang menyapa sehingga, membuat Lila bangun dan keluar rumah.Kala itu perempuan yang masih menggunakan piyama mendelik tajam melihat kunci mobil di tangan Dito dengan kondisi pintu pagar terbuka. Terlihat wajah yang memerah, tetapi masih ditahan karena melihat dua orang yang sedang berkeliling untuk ronda ditambah Pandu yang mematung dengan tatapan dingin."Eh, ini yang ngaku adikmu, Mas." Setelah penjaga keamanan komplek pergi, Lila menunjuk Pandu dengan curiga. Dito pernah mengatakan jika adiknya masih di kampung, sehingga ia merasa orang yang mengunjunginya adalah penipu, tetapi melihat kehadiran Pandu di depan rumahnya membuat Lila curiga."Ini Pandu, adik iparku." Sejenak Lika terperanjat, kemudian ia langsung menguasai diri. Wajah ayunya menyunggingkan senyum sinis.
"Mbak Ratih, maaf, ya. Aku jarang datang, sekalinya ke sini malah bawa keluh kesah." Marwa terlihat tak enak hati pada guru mengajinya. Sejak menikah, ia hanya berkunjung satu kali ketika perempuan yang selalu memberikan ilmu agama padanya itu pindah ke Bogor. Setelah itu, karena kesibukan suaminya, ia agak sulit untuk berpergian. Ingin keluar sendiri, tetapi Galih tidak pernah mengizinkan. Sebagai istri, Marwa hanya berusaha patuh. Namun, tidak dipungkiri jika ia jadi menjauh dengan guru mengaji juga temannya yang lain.Merupakan suatu kebahagiaan bisa bertemu kembali dengan perempuan berusia empat puluh lima tahun itu. Usia yang sama dengan almarhumah ibunya. Namun, Ratih terlihat lebih muda dan energik, terlebih anak kedua dari empat bersaudara itu selalu aktif dalam organisasi dan kegiatan masyarakat. Pembawaannya yang selalu berpikir positif dan ramah terhadap orang lain membuat Ratih banyak dikenal dan disukai sekitarnya."Ya ampun, ente kaya sama siapa
Setelah mematikan mesin, Galih langsung turun dari mobil dengan tergesa memghampiri rumah bercat hijau muda., kemudian menyibak kerumunan sambil mengucapkan maaf dan menghampiri ibunya."Ibu!" Suara panggilan seseorang membuat semua yang berada dekat Atik menengok. Mengetahui bahwa keluarga korban telah hadir, mereka bergeser memberi tempat untuk sang anak mendekati ibunya.Meskipun Galih selalu mendapat perlakuan buruk, tetap saja ia memiliki kekhawatiran ketika orang yamg membesarkannya mengalami musibah. Satu tangannya terulur memegang tangan yang sedikit berkeriput, sambil memanggil dan menanyakan keadaan. Namun, Atik hanya terdiam. Tatapannya kosong seperti memendam beban. Berkali-kali mengusap lengan juga bahu sang ibu, tetap saja perempuan paruh baya itu tak merespon. Akhirnya, dengan sentuhan agak keras, Atik baru menengok."Galih!" Atik lengsung menghambur memeluk anaknya. "Ibu takut!" pecah tangis Atik yang sejak tadi merasa ketakutan.
"Dokter, Apakah Kak Gita dan temannya baik-baik saja?" Galih memastikan berkali-kali mengenai kondisi kakaknya. Melihat kedua orang ditemukan dalam kondisi terikat dan tak berdaya membuat lelaki berambut ikal itu khawatir jika ada mental yang terganggu. Terlebih, temannya Vika selalu berteriak ketika tidur. Seolah ada yang sedang menyiksa di alam mimpinya."Kemungkinan pasien mengalami trauma. Apalagi kejadian tersebut hampir saja membahayakan nyawa mereka. Beruntung ditemukan pada waktu yang tepat," jelas lelaki berjas putih tersebut. "Nanti kami akan menjalani pemeriksaan lebih lanjut terkait kesehatan mental keduanya." Secara fisik, Gita dan Vika tidak mengalami luka yamg serius, hanya saja bibir Vika mengalami memar karena gesekan paku.Galih mengangguk, membenarkan perkataan dokter. Beruntung ia dan Pandu memilih datang ke rumah kakaknya untuk mencari petunjuk. Pada saat membuka gerbang, suara teriakan minta tolong bergema dari ruangan di depan mereka. Walau,
"Ah, sial! Dimana kuncinya?" Hampir lima belas menit Dito mencari benda pembuka pintu itu, tetap tak ditemmukan. Padahal biasanya Lila selalu meletakkan di lubang kunci atau digantung di dinding samping plintu. Akan tetapi, benda itu tak ditemukan dimanapun.Padahal, ia sudah menunggu moment ini selama berjam-jam. Pada saat kekasihnya lelap tertidur, Dito akan keluar rumah untuk mencari keberadaan Gita. Apalagi mertuanya sejak tadi selalu menelepon menanyakan keadaan sang anak. Dengan terpaksa Dito berbohong, mengatakan belum menemukan. Nyatanya ia sama sekali belum mencari, masih terjebak di rumah Lila.Seingatnya, ia meletakkan kunci serep yang pernah diberikan Lila di dalam tasnya, tetapi benda itu juga menghilang tanpa jejak. Jika seperti ini kejadiannya, sudah pasti ini adalah perbuatan Lila yang tak ingin dia pergi."Argh!" Lama-lama Dito merasa kesal dengan sikap perempuan itu. Belakangan ini, Lila terlalu banyak menuntut. Sungguh, kondisi seperti
Pada saat orang lain mempertanyakan keberataan Gita, dua orang di dalam gudang sedang berusaha untuk melepaskan diri. Semenjak mereka disembunyikan dalam ruangan berukuran 5X7 meter itu, hanya kesedihan dan ketakutan yang menguasa hati keduanya. Mereka tak berpikir hal lain, hanya berharap ada yang segera datang menolong. Namun, hampir waktu hampir terlewat setengah hari, tak menunjukkan ada orang yang datang. Mereka semakin putus asa dan terus menangis dengan tangan dan kaki yang terikat juga mulut yang disumpal lakban dengan diberi lubang kecil di tengah mulut untuk mereka mengambil udara. Tetap saja itu terasa sesak, karena mereka tak leluasa menghirup udara bersih dan mengeluarkan karbondioksida Gita memiliki rumah tiga lantai dengan lantai bawah diperuntukkan untuk parkir mobil dan gudang. Sedangkan, lantai dua untuk ruang tamu, ruang santai, dapur, kamar pembantu, dan kamar utama dan di lantai tiga terdapat kamar tamu dan taman. Akses tangga menuju lantai
Galih berhenti di depan pagar rumah berlantai dua, kemudian ia turun hendak menekan bel untuk meminta dibukakan pintu. Akan tetapi gerakannya terhenti ketika seorang lelaki dengan seragam cokelat bertanya dari balik pagar."Siang, Pak, maaf cari siapa?""Marwa, Pak." "Dengan siapa?""Galih, suaminya.""Oh, Pak Galih. Bentar, Pak." Lelaki paruh baya itu menggeser gerbang dan mempersilahkan Galih masuk. "Mbak Marwa tadi sudah pesan jika Pak Galih datang. Silahkan langsung masuk saja, Pak.""Terima kasih, Pak." Galih melangkah menuju mobil dan masuk ke halaman yamg dipenuhi dengan tumbuhan hijau di pinggir kanan dan kiri jalan menuju pintu utama. Setelah mematikan mesin mobil Galih mengambil beberapa kantong makanan kecil, kue bolu, dan buah-buahan untuk tuan rumah. Hatinya berdebar kencang, tubuhnya merasa gugup untuk bertemu istri dan anaknya. Ia akan berusaha bersikap sebaik mungkin, dan mencoba mengambil hati Marwa juga m