"Apa? Kamu tau dari mana, Ri?""Waktu kemarin aku menjenguk Liana di rumah sakit, Friska sendiri yang mengatakannya padaku."Mata Mas Daffi membulat. Tiba-tiba tangannya memegangi kepala. "Mas, Mas Daffi kenapa?"Ia hanya diam dan terus mengerang kesakitan. Pasti sakit kepalanya kambuh lagi. "Ayo, Mas, Riana bantu jalan ke mobil. Kita ke apartemen saja. Mas butuh istirahat." Mas Daffi tetap tidak menjawab, ia hanya menuruti semua perlakuanku. ***"Ini, Mas diminum dulu obatnya." Kuberikan sebutir obat berwarna hijau dan segelas air kepada Mas Daffi, kemudian membantunya untuk minum. Mas Daffi yang berbaring di sofa ruang tamu apartementku mencoba bangun. "Makasi, ya, Ri. Kamu memang yang paling tau apa yang kubutuhkan saat sakit kepalaku sedang kambuh."Mas Daffi lalu berbaring kembali. "Mas pasti kurang tidur. Pasti makan makanan yang asin-asin terus, makanya sakit kepalanya tiba-tiba dateng lagi."Mas Daffi hanya diam, lalu tersenyum. "Jadi waktu itu, kau sempat datang menjengu
"Riana, Mas tau salah mas padamu begitu besar. Sikap Mas dulu sangat keterlaluan dan rasanya tidak pantas menerima maafmu. Bahkan tanpa tau kalau kau yang telah menyelamatkan nyawa mas, Mas malah terus saja menghina dan menyakiti perasaanmu. Maafkan, Mas ya, Ri. Jika diizinkan, Mas mau membayar semua kesalahan Mas padamu kemarin. Kembalilah ke sisiku, Ri. Mas janji mulai saat ini, Mas akan selalu membuatmu bahagia," ucap Mas Daffi seraya menatapku lekat. Perlahan detak jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Sikap Mas Daffi tadi begitu berbeda dan penuh ketulusan. Tidak ada sedikitpun sikap sombong seperti Mas Daffi yang kukenal dulu. "Mas, jangan begini." Aku mengalihkan pandangan sambil berusaha melepaskan genggaman tangannya, tapi bukannya terlepas, ia malah memegangku semakin kuat. "Bangun, Mas.""Aku ga akan bangun sebelum kau jawab, Ri. Please, katakan kalau kau mau kembali pulang ke rumah bersamaku. Demi kebahagiaan Liana, Ri, putri kita." "Maaf, Mas. Saat ini aku belum
"Ibuuu!" Liana berlari menghampiriku. Ia memeluk tubuhku yang masih terkejut akan kehadirannya. "Ibu, maafin Liana, ya, Bu. Liana salah. Liana sudah jahat sama ibu. Liana bukan anak yang baik. Ibu jangan pernah tinggalkan Liana lagi ya, Bu. Liana kangen sama ibu," isaknya sambil mengeratkan pelukan. Tanpa bisa ditahan lagi, air mata sudah memenuhi kedua pelupuk mataku. Perlahan tapi pasti turun semakin deras membasahi seluruh wajah. Tubuhku merosot ke bawah demi menyejajari tinggi Liana, lalu membalas pelukannya. "Liana, Liana anak ibu," tangisku pecah. Rasanya baru kali ini gadis kecilku memeluk tubuhku erat dengan penuh kasih seperti sekarang ini. Bahkan dia tidak merasa jijik dan takut padaku. Dia juga bilang kangen padaku. "Ibu udah ga marah, kan, sama Liana? Ibu mau maafin Liana, kan?" "Ibu ga pernah marah sama Liana. Ibu sayang sekali sama Liana."Dalam beberapa menit, kami berdua larut dalam isak tangis. Hingga kehadiran Mas Daffi menghentikan semuanya. "Oh, pantas saja ke
"Bu, ibu mau, kan, pulang lagi ke rumah sama Liana?" Liana kini mendekat ke kursi depan. Ia sedikit mengguncang-guncang lengan kananku. Beruntung mobil Mas Daffi sudah tiba di halaman kantor Om Sahid jadi aku masih punya alasan untuk menunda jawaban pada Liana. "Mmh, Sayang, sekarang Ibu harus kerja dulu, ya. Liana juga kan harus sekolah." Aku membuka pintu mobil lalu bersiap turun, diikuti Mas Daffi dan Liana. "Liana ga mau sekolah. Liana mau ikut ibu kerja aja," rengeknya. "Ya, Pa, ya? Liana ga usah sekolah ya hari ini. Sehariii aja. Boleh, kan, Pa?" Gadis kecil itu kembali menempel padaku. Aku memandang Mas Daffi, memberi kode dengan mata agar ia tidak mengabulkan permintaan Liana. "Baiklah, Liana boleh ikut ibu. Tapi janji, ya, ga boleh nakal dan gangguin ibu kerja.""Asik, makasi, ya, Pa. Liana janji." Gadis kecil itu tampak begitu bahagia. Sambil tersenyum, ia memeluk erat Mas Daffi. "Ta, tapi ....""Riana, ga pa-pa, kan, kalau hari ini Liana ikut denganmu? Hanya sehari saja
Beberapa menit lamanya, bingkai kecil di wajahku melekat erat dengan birai hangat Mas Daffi dan entah kenapa aku menerimanya, bahkan cenderung membalas dan berusaha menyalurkan rasa yang sama pada papa dari putriku itu. Merasa tindakannya tidak mendapat penolakan, Mas Daffi menarikku ke kamar lalu mengunci pintu. Sedikit kasar memang. Bahkan sempat membuatku mengerang pelan, tapi dia hirau. Aku menghela napas dalam lalu membuangnya pelan. "Mas, gimana kalau nanti Liana bangun?" ujarku berusaha menghentikan aksi nakalnya. Mas Daffi menatapku dengan sorot mata dinginnya. Ia kembali memerangkapku di dinding. "Riana, jujur aku masih belum tau bagaimana perasaanku saat ini padamu, yang jelas perasaan benciku padamu perlahan kian terkikis tanpa sisa. Mungkin aku mulai mencintaimu," ujarnya pelan tepat di depan wajahku. "Karena itu aku ingin membuktikannya sekarang.""Tapi, Mas, Liana ....""Kamu ini kayak gak tau aja, anak itu mana pernah bangun sendiri. Dia tidak akan bangun, kalau ti
"Udah, kamu ga usah pikirin kerjaan dulu. Sekarang, alihkan semua berkas kasusmu ke Fikri, anggota timmu yang lain. Sekarang yang harus kamu pikirin adalah kebahagiaan dirimu sendiri.""Tuh, Om Sahid bener, Sayang. Kita harus banyak-banyak produksi biar Liana cepet punya adik," bisik Mas Daffi mesra tepat di telinga yang sontak membuat darahku berdesir lagi. "Udah, ya. Om mau ada rapat, ni. Om banyak kerjaan juga. Daffi, kau bawalah istrimu ini liburan. Buat dia bahagia. Kasian selama ini hidupnya selalu menderita.""Siap, laksanakan, Om.""Dan, awas! Kalau kau sampai membuatnya terluka lagi, Om sendiri yang nanti akan membuat perhitungan denganmu!" Om Sahid lalu pergi, meninggalkanku berdua saja dengan Mas Daffi di ruangannya, membuat ia berani melancarkan aksinya lagi. "Mas, nakal banget, si. Ini di kantor, banyak orang." Dengan gerakan secepat mungkin aku beranjak dari posisi, menghindar dari pria di sebelahku itu, tapi tangannya kembali mampu meraihku. Ia menggendongku dengan gay
Liana terlihat cemberut saat aku dan papanya pamit pergi untuk liburan ke Bali selama tiga hari. "Liana mau ikut ibu aja. Liana ga mau ditinggal," rengeknya sambil terus memelukku. Sebenarnya tak tega melihatnya menangis seperti ini, tapi Mas Daffi bersikeras tidak mengajak Liana, karena ia harus sekolah. Untuk sementara Liana akan tinggal bersama Mama Juwita. Itu pun ditolak Liana yang mulai tidak menyukai sikap neneknya itu karena masih memusuhiku. Akhirnya dengan bujukanku yang berjanji akan membelikannya banyak hadiah, aku berhasil membuat Liana menurut. Ia juga bilang tidak akan mengatakan apapun pada neneknya soal kepergian kami ke Bali. "Kamu tunggu di sini, dulu, ya. Aku mau mengantar Liana ke tempat Mama. Aku katakan kalau ada dinas ke luar kota selama tiga hari." "Kenapa buru-buru, Mas?" tanyaku penasaran. "Pesawat kita, kan, jam tujuh malam. Ini masih jam sepuluh pagi.""Ga apa, lebih cepat lebih baik," lirih Mas Daffi sambil mencium keningku. Kupeluk erat putriku yang
Mataku mengerjap pelan. Sinar kekuningan yang berasal dari lampu yang tergantung di atasku terasa menyilaukan. Rasanya lama sekali aku tak sadarkan diri hingga tubuh ini terasa sangat lemas. Bahkan untuk membuka mata saja begitu sulit. Kucoba untuk bangkit dari posisi tidur. Beruntung orang yang sudah membawaku ke sini tidak mengikat tangan dan kakiku. Namun, ini di mana?Nampak berbagai lukisan kuno mendominasi ruangan yang kira-kira berukuran sembilan meter persegi ini. Sepertinya ini galeri lukisan yang sudah lama tidak terpakai. Warna dinding bercat hijau tosca tampak sudah memudar di beberapa bagiannya. Bau cat kanvas bercampur debu terasa sangat menusuk penciuman. Perlahan dadaku terasa sangat sesak seperti ditekan oleh benda yang sangat berat. Air mata sudah tak terbendung, turun bergantian membasahi pipi. Teringat kembali saat tadi aku membukakan pintu apartemen untuk seseorang yang kukira adalah Mas Daffi, sampai dengan aku tak sadarkan diri setelah menghirup cairan di sapu
Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki
Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b
33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl
Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"
"Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di
Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget
"Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben
Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar
Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal