"Ri, Om dapat informasi dari Rafif kalau kau datang ke sana untuk mengintai Daffi. Iya?"Rafif? Refleks mataku melihat ke arahnya yang ternyata juga tengah memandang ke arahku. Untunglah Frans sepertinya tidak mengenaliku yang tengah hamil besar seperti ini. Terlebih penampilanku yang sudah jauh berbeda dibanding dulu. Tiba-tiba jantungku melaju cepat. Udara di sekitarku terasa menipis. Jadi sejak tadi Rafif tau kalau aku ada di sini? Tapi, kenapa dia tidak menghampiriku seperti biasa? Kenapa dia malah menghubungi Om Sahid?"Hallo!" Om Sahid menyadarkanku dari lamunan. "Iya, Om. Riana ...." Ah, panggilan terputus. Kucoba lagi untuk menghubungi Om Sahid, tapi pandangan mataku menangkap sosok Mas Daffi yang sudah keluar dari toilet dan kini tengah membayar makanannya. Fokusku terbagi, antara ingin menjelaskan pada Om Sahid, memperhatikan Mas Daffi serta dua orang di sisi barat yang kucurigai anggota BNN, dan menghubungi Rafif untuk meminta penjelasannya. Kulihat Mas Daffi dan pria yan
Suara yang kuduga berasal dari ledakan timah panas itu sedikit banyak menyurutkan langkahku untuk terus berusaha masuk ke dalam. Terang saja, siapa yang tidak takut mendengar suara letusan senjata api? Walaupun nyaliku bisa terbilang tinggi, tapi di situasi seperti sekarang ini tetap saja merasa ciut. Sambil memegangi dada, kuraup udara sebanyak-banyaknya, seraya terus merapal doa. Pikiran buruk semakin merasuk ke pikiran. Siapa yang menembak tadi? Dan siapa yang tertembak? Ya Tuhan, kumohon semoga bukan Mas Daffi.Pasca suara ledakan tadi, suasana kembali hening. Hembusan angin mendadak berada dalam posisi pause hingga membuat puluhan pohon jati yang tumbuh di sekitar gudang pun ikut terdiam dan hanya berdiri kokoh memandangiku yang sedang ketakutan di tengah pekatnya malam ini. Kuhirup napas dalam sekali lagi. Kali ini selain berusaha memasukkan udara sebanyak mungkin ke dalam organ pernapasan kucoba juga untuk menenangkan calon bayiku di dalam perut yang masih bergolak. "Tenang say
Selain bekerja di kantor produk suplement kesehatan, Mas Daffi memang dikenal sebagai Professional Cupper. Pekerjaannya adalah untuk menilai rasa kopi dengan cara objektif secara lebih dalam. Professional cupper yang kelak akan menentukan apakah kopi ini berkualitas baik atau buruk. Ia juga menganalisis kecacatan pada kopi, cup clarity, body dan karakteristik yang ada pada kopi lainnya lalu membuat penilaian secara numerik tentang kualitas kopi tersebut. Mas Daffilah yang menilai kopi yang kelak akan menentukan nasib kopi tersebut. Apakah untuk dijual atau bisa dilelang. Dulu Mas Daffi pernah cerita kalau ia mengambil jurusan ahli kopi di Universitas. Di sanalah dia mengenal Friska. Hanya bedanya, Mas Daffi tidak meneruskan profesinya di bidang kuliner seperti Friska yang sudah mendirikan restoran. Namun, ternyata restoran itu dibuat hanya sebagai kamuflase untuk transaksi obat-obatan terlarang. "Gue udah duga pasti lo cuma pura-pura amnesia, Daf." Friska tersenyum hambar. "Kalau lo
"Fris! Jangan keterlaluan!" Rafif berusaha menghentikan Friska. "Diem, lo! Gue bilang lo jangan ikut-ikutan!" bentak Friska pada Rafif. "Frans, lo ambil ponselnya yang tadi dia pake buat ngerekam. Hancurin! Abis itu lo ikut gue, bawa ni perempuan!" Selesai bicara, Friska langsung pergi begitu saja. Tak lama setelah itu, Frans menarik tanganku kasar. Ia membawaku keluar menyusul Friska. Bahkan ia tidak memberiku kesempatan untuk berbicara sedikitpun."Frans, lepasin dia!" "Riz, Lo ga denger tadi bos bilang apa? Lagian kenapa si, lo peduli banget sama ni cewek?""Karena gue sayang, gue cinta sama dia!" teriak Rafif hingga suaranya menggema di seluruh ruangan yang sontak membuat bola mataku hampir keluar. Refleks, kuarahkan pandangan kepada Mas Daffi yang masih terikat di sudut ruangan di sisi lain dari tempatku berdiri sekarang. Kini di mulutnya pun sudah terpasang lakban hitam. Sepertinya mereka memutuskan untuk menutup mulutnya karena ia terus berteriak. Dari raut wajahnya, ia terl
Pasti ulah si Rizki. Dasar penghianat!"Frans benar, itu mobil polisi. Ada lampu sirine yang terpasang di atas mobil tersebut. Namun, suaranya tidak terdengar. Sepertinya mereka mematikan suaranya. Salah satu mobil itu melaju cepat dan mencoba untuk menyalip mobil Frans, tapi Frans yang memang jago menyetir terus membawa mobil untuk menghindari kejaran mereka. "Pemilik mobil B 4588 XYO harap berhenti!" seru suara yang berasal dari alat pengeras suara dari mobil di belakang kami. Namun, Frans tidak menghiraukan. Ia semakin menggila. "Frans mending lo berhenti. Serahin diri. Jangan bikin hukuman lo ntar semakin berat.""Diem, lo! Ini semua gara-gara lo tau!" Beberapa detik kemudian terdengar suara senjata api dengan bunyi yang sangat memekakkan telinga. "Aaaaargh!" Mobil seketika berguling ke arah kiri karena Frans mengemudikan dengan kecepatan yang cukup tinggi. Sepertinya peluru yang ditembakkan dari salah satu petugas yang ada di mobil belakang kami tepat mengenai ban mobil bela
Sambil memegangi dada yang kini kembali terasa sesak, tangisanku pecah lagi. "Riana yang salah, Om. Riana ga mau denger kata Om waktu itu, Riana ceroboh dan ga mampu menjaga calon bayi Riana sendiri." Dadaku naik turun dan isakanku kembali terdengar memilukan. "Ikhlas, sabar, ya. Kita semua tidak tahu apa yang akan kita alami di masa depan. Om yakin, Kau hanya ingin melakukan yang terbaik saat itu untuk menyelamatkan Daffi."Tangisanku semakin pecah. Om Sahid mencoba untuk terus menenangkanku sambil terus mengusap pelan bahuku. Setelah puas menangis, kucoba meraup udara sebanyak-banyaknya. "Oh ya, Om ada kabar baik untukmu. Juwita dan Friska sudah berhasil tertangkap, begitu pula dengan Frans. Namun, sayang sekali, nyawa Frans tidak bisa terselamatkan karena kecelakaan itu. Begitu pula dengan ...."Mataku mengarah kepada Om Sahid. "Siapa, Om?""Rafif alias Rizki."Mataku terbelalak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Om Sahid. "Dia mengakui semuanya, Run. Dia juga yang mem
Oh, pantas saja aku merasa kalau bayi Friska itu mirip dengan Rafif. "Rizki juga yang selama ini menjadi pecandu dan pengedar narkoba bersama dengan Friska dan Frans.""Lo inget waktu Rizki ngelakuin semua itu?""Awalnya, semua yang Rizki lakukan, Rafif tidak tau. Begitupun sebaliknya. Makanya waktu lo bilang gue yang nyulik lo, kemarin, gue bingung.""Karena Rizki pelakunya," sambungku. "Iya, tapi di ponsel gue ada foto-foto lo, Ri, yang gue ga inget kapan itu pernah diambil. Dari situ gue berkesimpulan kalau Rizki yang udah nyulik, lo. Dia juga yang ngirimin foto itu ke Friska dan ke lo."Wajahku memerah. Foto itu sungguh tidak pantas. Jujur, aku tidak ingin Rafif melihat penampilanku saat itu, walaupun sebenarnya dia yang mengambil fotoku."Oh, pantas saja saat itu kau langsung bilang ke Daffi kalau Riana sudah ketemu." Om Sahid yang sedari tadi hanya ikut mendengarkan kami berbicara ikut menanggapi. "Lo udah konsul ke psikiater? Kenapa bisa lo punya dua kepribadian yang berbeda?
Aku mengendikkan bahu. "Aku jawab apa, ya, Mas?""Sini, biar, Mas, yang jawab."Mas Daffi segera mengetikkan balasan. "Nih, udah mas balas." Mas Daffi memberikan ponselku kembali. "Om Indra minta kita ke rumahnya besok. Ga tau mau ngapain."Segera kubaca pesan yang nampak di layar. "Maaf, ada perlu apa, Om Indra menghubungi Riana? Ini Daffi, Om.""Kebetulan, kamu juga ada, Daf. Saya mau minta tolong pada Riana. Tolong. Besok saya tunggu kalian berdua di rumah saya, ya.""Mas bisa temenin aku ke sana, kan?" tanyaku setelah selesai membaca. Ia mengangguk. ***Om Indra menyambut kami sambil menggendong bayi mungil di pelukan. Penampilannya yang berantakan membuatku sedikit terkejut, karena sangat jauh berbeda dengan penampilan Om Indra yang biasa tampil rapi dan elegant. Wajahnya kini sudah ditumbuhi dengan rambut halus yang mulai menutupi atas bibir dan bagian pipi. "Silakan duduk, Daf, Ri. Maaf ya keadaannya menyedihkan begini. Sejak Friska ditahan dan mamanya dirawat di rumah saki