Sambil memegangi dada yang kini kembali terasa sesak, tangisanku pecah lagi. "Riana yang salah, Om. Riana ga mau denger kata Om waktu itu, Riana ceroboh dan ga mampu menjaga calon bayi Riana sendiri." Dadaku naik turun dan isakanku kembali terdengar memilukan. "Ikhlas, sabar, ya. Kita semua tidak tahu apa yang akan kita alami di masa depan. Om yakin, Kau hanya ingin melakukan yang terbaik saat itu untuk menyelamatkan Daffi."Tangisanku semakin pecah. Om Sahid mencoba untuk terus menenangkanku sambil terus mengusap pelan bahuku. Setelah puas menangis, kucoba meraup udara sebanyak-banyaknya. "Oh ya, Om ada kabar baik untukmu. Juwita dan Friska sudah berhasil tertangkap, begitu pula dengan Frans. Namun, sayang sekali, nyawa Frans tidak bisa terselamatkan karena kecelakaan itu. Begitu pula dengan ...."Mataku mengarah kepada Om Sahid. "Siapa, Om?""Rafif alias Rizki."Mataku terbelalak mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh Om Sahid. "Dia mengakui semuanya, Run. Dia juga yang mem
Oh, pantas saja aku merasa kalau bayi Friska itu mirip dengan Rafif. "Rizki juga yang selama ini menjadi pecandu dan pengedar narkoba bersama dengan Friska dan Frans.""Lo inget waktu Rizki ngelakuin semua itu?""Awalnya, semua yang Rizki lakukan, Rafif tidak tau. Begitupun sebaliknya. Makanya waktu lo bilang gue yang nyulik lo, kemarin, gue bingung.""Karena Rizki pelakunya," sambungku. "Iya, tapi di ponsel gue ada foto-foto lo, Ri, yang gue ga inget kapan itu pernah diambil. Dari situ gue berkesimpulan kalau Rizki yang udah nyulik, lo. Dia juga yang ngirimin foto itu ke Friska dan ke lo."Wajahku memerah. Foto itu sungguh tidak pantas. Jujur, aku tidak ingin Rafif melihat penampilanku saat itu, walaupun sebenarnya dia yang mengambil fotoku."Oh, pantas saja saat itu kau langsung bilang ke Daffi kalau Riana sudah ketemu." Om Sahid yang sedari tadi hanya ikut mendengarkan kami berbicara ikut menanggapi. "Lo udah konsul ke psikiater? Kenapa bisa lo punya dua kepribadian yang berbeda?
Aku mengendikkan bahu. "Aku jawab apa, ya, Mas?""Sini, biar, Mas, yang jawab."Mas Daffi segera mengetikkan balasan. "Nih, udah mas balas." Mas Daffi memberikan ponselku kembali. "Om Indra minta kita ke rumahnya besok. Ga tau mau ngapain."Segera kubaca pesan yang nampak di layar. "Maaf, ada perlu apa, Om Indra menghubungi Riana? Ini Daffi, Om.""Kebetulan, kamu juga ada, Daf. Saya mau minta tolong pada Riana. Tolong. Besok saya tunggu kalian berdua di rumah saya, ya.""Mas bisa temenin aku ke sana, kan?" tanyaku setelah selesai membaca. Ia mengangguk. ***Om Indra menyambut kami sambil menggendong bayi mungil di pelukan. Penampilannya yang berantakan membuatku sedikit terkejut, karena sangat jauh berbeda dengan penampilan Om Indra yang biasa tampil rapi dan elegant. Wajahnya kini sudah ditumbuhi dengan rambut halus yang mulai menutupi atas bibir dan bagian pipi. "Silakan duduk, Daf, Ri. Maaf ya keadaannya menyedihkan begini. Sejak Friska ditahan dan mamanya dirawat di rumah saki
"Permintaan yang mana? Soal dia memintamu menjadi pengacara Friska atau memintamu menjadi ibu bagi Rajata?""Yah, keduanya.""Soal itu, Mas percaya kamu tau apa yang harus diputuskan," jawab Mas Daffi sambil menikmati sajian es kelapa muda yang juga dipesannya. "Kalau aturan membolehkan, dibanding harus menjadi pengacara untuk Friska, sebenarnya aku ingin sekali menjadi pembela untuk mama, Mas," ucapku perlahan pada Mas Daffi. Raut wajahnya langsung berubah. Sepertinya moodnya sedikit terpengaruh. Ia seketika menghentikan aktivitas makannya, lalu memandang ke arah kolam. "Terkait mama, Mas, ga papa? Kalau nanti mama dijatuhi hukuman maksimal, gimana?""Soal mama, kamu ga usah khawatir, Ri. Mas udah meminta Om Sahid untuk bersedia menjadi penasihat hukum untuknya. Yah, awalnya memang Om Sahid tidak mau, tapi akhirnya ia bersedia. Katanya itu hal terakhir yang bisa ia lakukan untuk almarhum papa, mengusahakan hukuman seminimal mungkin untuk istrinya. Selain itu, itu juga adalah bentuk
Petrichor setelah hujan merasuk di penciuman. Wanginya menenangkan, seakan membuat perasaanku kembali ke masa lalu. Terkenang padanya yang kini sudah tak berada di sisiku. "Bu, jadi, kan kita jenguk papa?" tanya gadis kecilku yang kini sudah beranjak besar. Dengan seragam abu-abunya ia terlihat cantik dan nampak dewasa. "Insya Allah jadi, Sayang. Setelah hujan benar-benar reda, ya. Kita tunggu sebentar lagi." Kuusap kepalanya yang tertutup kain berwarna putih. Sudah lima tahun ini, setelah akil baligh, Liana memutuskan untuk mengenakan hijab, menutupi semua bagian tubuhnya yang seharusnya tidak boleh terlihat oleh orang lain. "Ya udah, kalau gitu kita makan siang aja dulu, Bu. Itu Bik Sumi kelihatannya sudah selesai masak. Masak makanan favorit Liana lagi. Sop iga dan oseng tempe."Mendadak hatiku dilanda rasa gerimis. Dilingkupi perasaan rindu yang teramat pada seseorang yang juga menyukai makanan yang sama dengan Liana. Itu adalah makanan favorit Mas Daffi. Liana menuntun tangank
Sambil membetulkan letak kaca matanya, ia berkata, "Maaf kalau saya harus menyampaikan ini.""Ada apa, Dok?"Dokter Sandi menunjukkan kertas film berisi gambar hasil pemeriksaan ct-scan atas nama Mas Daffi. Dahiku berkerut, kapan ia melakukan pemeriksaan itu? "Sebenarnya Pak Daffi meminta saya untuk merahasiakan ini dari Ibu Riana, ia tidak mau menambah kesedihan ibu karena sempat mengalami kehilangan putra kedua kalian. Namun, menurut saya, ibu harus tau." Dokter Sandi menarik napas dalam. "Ini hasil ct-scan Pak Daffi yang diambil sebulan lalu. Beliau menyuruh saya yang menyimpannya. Gambar ini menunjukkan telah terjadi kalsifikasi berlebihan di Globus pallidus bilateral," jelasnya. "Itulah tandanya seseorang sudah menderita kanker. Dari sini terlihat bahwa sel kanker sudah menyebar di seluruh bagian otak bapak."Detak jantungku mulai melaju cepat seiring dengan penjelasan dokter Sandi. "Benturan pada kepala saat peristiwa kecelakaan yang menimpa Pak Daffi sepuluh tahun lalu, menye
"Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana pengedaran obat-obatan terlarang yang dilakukan secara bersama-sama sebagaimana didakwakan dalam dakwaan primer oleh penuntut umum. Menyatakan terdakwa Friska Ayudia Indira telah terbukti secara sah dan meyakinkan dan bersalah melakukan tindak pidana percobaan pembunuhan kepada Asmoro Wisaksana dan mendalangi penculikan terhadap Riana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan tambahan oleh penuntut umum. Menjatuhkan pidana kepada terdakwa Friska Ayudia Indira dengan pidana mati."Seketika ruang sidang dipenuhi suara seperti dengung lebah. Kusempatkan juga melirik ke arah Friska. Ia yang semula duduk tegak di kursinya, seakan lunglai dan bersandar. Begitu pula dengan Om Indra yang langsung tertunduk dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan sampai saat eksekusi dan membebankan biaya perkara sebesar dua ratus lima puluh ribu rupi
"Kau memikirkan apa sampai-sampai Om bicara barusan kau tak dengar?"Aku hanya tersenyum. "Si Rafif, besok dia dibebaskan," jawab Om Sahid lalu menghisap dalam cerutu di tangan. "Ga kerasa ya, Om, sudah sepuluh tahun berlalu. Perasaan hakim baru saja menjatuhkan vonis pada mereka kemarin. Riana masih ingat betapa shocknya wajah Friska saat menerima vonis mati dari hakim.""Kau masih menyalahkan dirimu atas vonis mati Friska?"Kutarik pelan kedua sudut bibir. "Kau, kan, sudah berusaha maksimal, Ri. Bahkan sudah sampai tahap kasasi ke Mahkamah Agung. Namun, pengadilan tetap memvonis mati.""Iya, si, Om. Bahkan presiden juga menolak grasi yang kita ajukan. Riana cuma merasa tidak enak pada Rajata. Apa yang harus Riana sampaikan padanya saat nanti ia tahu kalau Riana gagal menyelamatkan ibunya dari hukuman mati.""Ri, Kau itu bukan malaikat. Kau tidak punya kewajiban untuk berhasil menyelamatkan semua orang yang ingin kau bantu seperti dulu kau menyelamatkan Daffi saat dia hampir saja d