Share

Mengantar Liana

Author: DeealoF3
last update Last Updated: 2022-10-21 21:22:37

Mas Daffi dan Friska. Mereka berdiri angkuh sambil memandang rendah ke arahku. Hei, apa-apaan si Friska? Dia itu kan cuma tamu.

Ah, tapi apa yang bisa kulakukan?

Aroma parfum khas feminin yang berbau vanila, bercampur dengan aroma floral seketika terhidu olehku. Penampilan Friska kali ini juga lagi-lagi mampu membuatku seakan langsung terhujam ke dalam kerak bumi. Kulit seputih pualam yang khas seperti dewi kayangan dan hidung bangir, terpahat begitu cantik di wajahnya.

"Tante Friska, yuk, masuk!" Liana lalu menggandeng tangan Friska, kemudian mengajaknya ke dalam rumah. Ia melewatiku begitu saja.

"Eh, cucu nenek sudah pulang. Pasti capek, ya, habis pulang sekolah?" tanya Mama Juwita yang ikut bergabung bersama kami.

"Iya, Nek. Liana capek banget," jawab Liana manja. Ah, kenapa ia tidak bisa juga bermanja seperti itu padaku?

"Tapi Nek, tadi Liana seneng, deh, Nek. Tante Friska ikutan jemput, terus ngasih Liana boneka. Bagus banget."

"Oh, ya? Mana coba nenek lihat bonekanya."

Gadis kecil itu lalu mengeluarkan sebuah boneka barbie berbaju princess berwarna pink dari dalam tasnya.

"Wah, bagus banget. Jadi ngerepotin kamu ni, Friska, pake ngasih Liana hadiah segala."

"Nggak apa, nggak repot, kok, Tante. Saya senang bisa ngasih hadiah ke Liana." Wanita cantik itu berkata lalu tersenyum. Lubang kecil di salah satu sudut pipi semakin menambah pesona di wajahnya.

"Sini, Mas, tasnya biar Riana bantu letakkan di kamar," tukasku sambil mencoba untuk segera beranjak dari suasana yang sudah mampu membuat dadaku sesak itu.

Tanpa enggan menarik pandangannya sama sekali, Mas Daffi memberikan tas kerjanya. Ia kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya, memandangi wajah Friska.

***

"Mas, apa hari ini aku boleh ikut mengantar Liana les piano?" tanyaku pada Mas Daffi yang baru saja selesai mandi.

Iring semut di atas mata Mas Daffi seketika merapat. "Ngapain kamu mau pake nganter Liana segala? Udah kamu di rumah aja," ujarnya sambil menatap pantulan diri di cermin.

"Ya, sekali-sekali, Mas. Aku kan belum pernah ke tempat les Liana. Sebagai ibunya, ingin juga rasanya datang ke sana," tukasku dengan kalimat yang sudah kutata sebaik mungkin.

"Boleh, kan, Mas? Sekali aja, Mas."

"Terserah Liana saja! Kamu tanya dia baik-baik, kalau Liana nggak mau, kamu nggak usah maksa!"

Setelah selesai mematut diri, Mas Daffi langsung keluar kamar, menuju ruang makan. Aku yang ditinggalkannya begitu saja di kamar masih dapat merasakan aroma parfum maskulin yang Mas Daffi kenakan pagi ini.

Langsung kuhampiri Liana ke kamarnya. Nampak gadis kecil itu masih sibuk menata rambut panjangnya. "Sini, Nak, biar ibu bantu." Kuambil sisir dari tangan Liana lalu menyisiri rambutnya dengan penuh kasih. "Hari ini rambutnya mau diapakan, Nak? Kalau dikepang aja gimana?"

"Terserah," jawabnya sembari tangannya memainkan boneka pemberian Friska.

Gadis kecil di depanku terlihat cantik. Jika diperhatikan lebih lanjut garis wajahnya memiliki kemiripan dengan wajahku, tentu saja mirip dengan wajahku sebelum memiliki luka seperti sekarang. Dulu Papa Asmoro pun pernah menyatakan hal serupa.

"Dah, siap. Anak mama cantik sekali," pujiku pada gadis kecil itu seraya mengusap pelan kepalanya.

"Oh, iya, Liana, boleh nggak ibu ikut nganter ke tempat les?"

Liana merengut. "Mau ngapain?"

"Ibu cuma mau lihat tempat les Liana aja, Kok. Ibu, kan, belum pernah ke sana. Boleh ya, Sayang? Kata Papa, kalau Liana setuju, baru ibu boleh ikut."

Ia mengangguk pelan. Saking bahagianya, mataku sampai berkaca-kaca. Akhirnya aku bisa melihat tempat Liana menghabiskan sebagian besar waktunya di akhir minggu.

***

"Nanti kamu tunggu aja di deket mobil, nggak usah ikutan nganter Liana sampai pagar segala," ujar Mas Daffi yang sedang fokus menyetir.

"Loh, kenapa, Mas?"

"Apa perlu aku kasih tau alasannya?" Dia bertanya dengan tajam.

Aku menunduk, sudah memperkirakan apa yang akan keluar dari mulut Mas Daffi selanjutnya.

Baru saja aku akan menjawab Mas Daffi, ponselku berbunyi. Ada tanda pesan masuk di sana dari nomor yang tidak kukenal.

"Hai Riana. Udah lama ya kita nggak ketemu?"

Bersambung.

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Candra Sinaga
cerita nya gak nyambung habisin data aja nih
goodnovel comment avatar
Vierzy Oktavia
tak suwir tu anak ,kurang ajar teman..
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Gila yah tuh anak dibikin jd anak durhaka ke mamanya ndiri
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Sedikit Perhatiannya

    "Kamu, kan, cuma ingin tau Liana les di mana. Buat apa pake nganter ke pagar segala? Di sini itu banyak preman, Aku gak mau kalau nanti mereka ganggu kamu." Mas Daffi bicara lagi, mengalihkan sejenak pikiranku akan isi pesan di ponselku. Tapi, tunggu, apa yang dia bilang tadi? Aku nggak salah dengar, kan? Kenapa kata-katanya manis sekali? Membuatku serasa seperti disiram air es, sejuk sekali. Benarkah ia sekhawatir itu padaku?"Lagian kasian kalau sampai teman-teman Liana nanti sampai melihat wajahmu. Nanti dia malu," ucapnya kasar di depan Liana. Bahuku melorot. Baru saja ia membuatku serasa terbang tinggi ke langit, dalam sekejap ia menghempaskanku lagi ke bumi. Menyebalkan! Aku sadar memang wajahku ini membuat takut sebagian orang, makanya aku tak pernah lupa untuk menutupinya dengan selendang saat sedang berada di luar rumah. Termasuk saat ini, aku juga mengenakan selendang di kepala. Sebenarnya Papa Asmoro dulu pernah menawariku untuk melakukan operasi plastik di wajah. Tapi a

    Last Updated : 2022-10-21
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keinginanku

    "Mas mau melarangku menunggui Liana dan malah menyuruh Friska? Enak saja."Di tengah teriknya mentari hari ini, mataku memandang tepat ke arah pagar pembatas ruko tempat Liana kursus piano, memperhatikan kawanan anak-anak seumuran Liana keluar dari pagar. Kunantikan buah hatiku keluar dari sana. Akhirnya penantianku selama kurang lebih dua jam usai sudah. "Ah, itu, dia!" Kakiku melangkah cepat menghampiri Liana. "Liana! Sini, Sayang!" pekikku seraya melambaikan tangan dan berjalan mendekatinya. Liana seketika terdiam, raut wajahnya yang semula ceria berubah pias. "Liana, itu siapa? Ibumu, ya?" tanya seorang gadis kecil di sebelahnya."Itu, itu, bukan-bukan siapa-siapaku, kok. Aku, gak, kenal," ucap Liana dengan mulut mungilnya yang sukses membuat perasaan senangku seketika memudar. "Ibuku itu cantik, bukan seperti ibu itu."What? "Liana, Hai!" Tiba-tiba saja Friska sudah berada di sebelahku. Liana langsung berlari menghampiri Friska yang baru saja tiba. Ia menarik tangan wanita

    Last Updated : 2022-10-21
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Rencanaku

    Teringat kembali bagaimana Mas Daffi sering kali mengatakan kalau ia sebenarnya berencana untuk menceraikan dan berusaha mengenyahkanku dari kehidupannya, hanya saja ia masih terikat janji pada almarhum Papa Asmoro dan juga memikirkan nasib putrinya. Biar bagaimanapun, Mas Daffi masih memandangku sebagai ibu kandung Liana. Ia menyadari bahwa Liana masih membutuhkan bimbingan dari seorang ibu di usianya yang masih belia seperti sekarang ini. Sebenarnya aku tahu, kalau keinginan Mas Daffi masih belum terlaksana hingga saat ini, seandainya saja dulu Papa Asmoro tidak pernah memaksanya menikah denganku, ia pasti sudah berbahagia bersama Friska, wanita yang sudah sejak lama ia cintai. Aku tahu selama tujuh tahun pernikahan kami, Mas Daffi sering menemui Friska secara diam-diam, terlebih saat Papa Asmoro masih hidup. Dulu Friska tidak pernah berani datang ke rumah ini. Mas Daffi dan Mama Juwita pun juga tidak pernah berani membuka pintu rumah ini lebar-lebar untuk menyambut Friska seperti

    Last Updated : 2022-10-21
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Lagi-lagi Diabaikan

    "Eh, Ibu ngapain di sini? Papa, papaa!" pekik gadis kecil itu seakan baru saja melihat sosok yang sangat menyeramkan. Dia masih terus memekik sampai hampir menangis. Ya Allah, Liana. ***Siang itu saat sedang membersihkan kamar Liana, tanpa sengaja aku menemukan undangan untuk orang tua dalam rangka penyerahan piagam bagi peraih tiga besar terbaik di kelas. "Lianaku ternyata menjadi peringkat kedua di kelasnya," ucapku dengan mata yang mulai berkabut. Kubaca lagi selembar kertas putih yang tertoreh nama putriku di atasnya secara perlahan. Acara penyerahan piagam akan dilaksanakan Hari Sabtu besok. Bersamaan dengan pengambilan raport semester pertama. "Ah, tapi, mana mungkin Liana dan Mas Daffi mau mengajakku. Sampai sekarang saja mereka tidak membahas mengenai ini, padahal acaranya tinggal besok," gumamku lebih kepada diri sendiri. Mereka lupa atau memang sengaja tidak memberitahuku? Selama ini aku memang tidak pernah mengetahui apapun tentang kegiatan sekolah Liana, karena semua d

    Last Updated : 2022-10-26
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Siang yang Menegangkan

    Saat sedang membantu Bik Sumi mencuci piring di dapur, tanpa sengaja kujatuhkan piring hingga hancur berantakan. Suara pecahannya sedikit membuatku tersadar akan lamunan. "Ya Allah, Ibu nggak papa? Udah sini biar saya aja yang nerusin, Bu.""Ga papa, Bik. Biar saya lanjutin aja, tanggung tinggal dikit lagi, kok.""Ibu kenapa? Kok kayak lagi ada yang dipikirin gitu?" tanya Bik Sumi. Sepertinya ia memperhatikan kegusaranku sedari tadi. "Hari ini Liana terima raport, Bik. Dan akan ada penyerahan piagam juga karena dia berhasil meraih peringkat kedua di kelasnya. Saya ingin sekali datang untuk melihatnya menerima piagam," ceritaku pada akhirnya kepada Bik Sumi. "Ya udah, ibu ke sana aja. Ibu, kan, orang tuanya Non Liana, pasti diundang.""Iya, Bik. Tapi dia nggak ngomong apa-apa ke saya." "Hmm, kok aneh? Seharusnya, kan, Non Liana bilang ke ibu," ujar Bik Sumi lagi. "Itulah, Bik. Saya tau karena gak sengaja menemukan surat undangannya waktu kemarin lagi membersihkan kamarnya, Bik. Say

    Last Updated : 2022-10-26
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Terlalu Sakit

    Selamat membaca**Kulihat anak yang tadi bicara denganku sudah bergerak menjauh. "Ibu ngapain ke sini, sih?" bentak Liana."Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam aja, kok, Sayang," jawabku lalu mencoba untuk tersenyum. "Ini ibu juga sudah mau pulang.""Kamu bukan ibuku. Berhenti manggil aku sayang!" Mas Daffi menatapku dengan pandangan setajam keris. Rasa segan hingga membuat tubuhku sedikit gemetar tak kuhiraukan. Tatapanku masih tertuju pada Liana yang memeluk pinggang Friska sambil menangis.Gadis kecil itu hanya menggeleng kencang sambil membenamkan wajah pada tubuh Friska. "Pergi, Bu. Pergi!""Liana dengar ibu! Ibu nggak bermaksud bikin Liana malu. Ibu cuma pengen lihat Liana menerima piagam, itu aja!" ucapku berusaha tegas hingga membuat Mas Daffi dan Friska terdiam. "Tapi Liana nggak mau! Kenapa sih ibu nggak seperti Tante Friska? Liana nggak suka ibu deket-deket sama Liana! Liana nggak suka ibu itu jadi ibunya Liana!"Aku hanya bisa terdiam mendengar pernyataan putrik

    Last Updated : 2022-10-26
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keputusan Riana

    "Lo itu Riana, kan?" tanyanya lagi. "Rafif? Kok lo bisa ada di sini?""Kenapa? Lo kaget kalau gue sekarang jadi supir taksi online? Deu, mentang-mentang udah jadi istri orang kaya sms gue ampe nggak dibales."Aku tersenyum hambar. "Istri orang kaya?" ucapku pelan hampir tanpa suara. Tepatnya istri yang tak dianggap sedikitpun, Fif. "Eh, jadi yang kemarin itu lo, Fif?"Rafif mengangguk. "Ri, Lo mau langsung gue anter pulang? Atau mau nemenin gue makan siang dulu?""Langsung pu ....""Temenin gue aja dulu. Udah lama, kan, gue ga ketemu sama lo," ujarnya memangkas kalimatku. Aku tahu dia berusaha membuatku lupa akan tangisku tadi. Sejak dulu, Rafif memang selalu begitu, tak peduli aku sedang sedih seperti apa, ia selalu bisa mengembalikan senyumku seperti semula. Rafif mengajakku untuk makan siang di salah satu restoran fastfood yang ada di tengah kota. Restoran yang berjarak sekitar dua puluh kilometer dari sekolah Liana. Sebelumnya ia memasang mode transit pada aplikasi driver online

    Last Updated : 2022-10-26
  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Kehilangan

    "Habis ini Liana mandi, trus istirahat, ya," ucap Daffi setibanya ia di rumah sambil menggendong Liana ke kamarnya. Sebelum memasuki kamar Liana, ia sempat memindai sekeliling tapi merasa sedikit aneh karena tak menemukan kehadiran Riana di sana. Biasanya Riana akan menyambutnya di depan pintu saat ia baru saja memasuki halaman rumah. Namun, Daffi hanya mengangkat bahu berusaha cuek dan berpikir mungkin istrinya itu sudah berada di kamar."Pa, Liana mau di kamar aja, ya, Pa?" pinta gadis kecil itu dengan suara manja. Ia masih merasa kesal dengan kejadian di sekolahnya tadi."Ya sudah, nanti papa suruh Bik Sumi bawain susu coklatnya ke sini. Nanti susunya harus di habiskan, loh, ya.""Iya, Pa."Daffi mencium kening Liana lalu keluar dari sana menuju kamarnya. Namun, lagi-lagi ia tidak bisa menemukan Riana. Setibanya di sana, kondisi kamarnya gelap dan tidak ada siapapun di dalam.***"Bik tolong buatkan susu coklat untuk Liana, ya. Terus tolong bibik antar ke kamarnya.""Baik, Pak."Bar

    Last Updated : 2022-10-26

Latest chapter

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Kebahagiaan Seorang Ibu

    Sontak mata Damar membesar bersamaan dengan cairan kental yang keluar dari perutnya. Tak lama kemudian tubuh tegapnya pun rebah ke atas lantai. Rafif yang masih berada tak jauh dari ruangan sontak menghentikan langkah. Ia memutar tubuh dan melebarkan mata. "Damar!" Ia meletakkan Riana kembali di lantai dan menghampiri Damar. Sebelumnya Rafif mendekati Darma yang tengah syok sambil membuang pisau dari tangan lelaki itu. "Mar, bertahan, ya. Gue yakin lo pasti bisa."Damar hanya mengangguk pelan. "Cepat bawa Riana pergi dari sini." Sekejap kemudian Damar pun tak sadarkan diri. Rafif mendadak diselingkupi kegundahan karena Riana pun harus cepat ditolong. Akhirnya ia memutuskan untuk membawa Riana turun lebih dulu. Beruntung saat Rafif tiba di bawah, ambulan sudah datang. Setelah menusuk Damar, Darma hanya mematung. Ia panik kala saudara kembarnya tak sadarkan diri dan bersimbah darah. "Mar, bangun, Mar. Maafin gue. Gue nggak mau lo mati! Gue cuma mau membalas sakit hati gue dulu," peki

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pertarungan Dua Saudara

    Setelah mendapat informasi dari Damar kalau lokasi Darma ada di Bekasi, mereka berdua segera meluncur ke lokasi. Tak lupa keduanya memberitahu informasi tersebut pada Sahid dan Liana. Sahid pun segera menghubungi pihak kepolisian. "Fif, gue rasa biar gue sendirian aja yang masuk ke sana," ucap Damar setibanya mereka di depan rumah dua lantai berdinding putih gading. Rumah yang dulu pernah ada di mimpi Damar dan juga pernah Damar datangi. "Loh, kenapa, Mar? Gue kan juga mau nyelamatin Riana.""Gue rasa, Darma lagi nungguin gue. Dan dia mau gue dateng sendirian," ucap Damar sambil menatap tajam bangunan angkuh di depannya. "Gue harus bayar hutang masa kecil gue dulu ke dia. Dulu gue seharusnya datang ke sini, buat nyelamatin dia, tapi gue malah pura-pura nggak tahu kalau dia ada di sini."Sontak, kedua alis Rafif merapat. "Guelah yang sebenarnya Darma tunggu, Fif. Bukan orang lain.""Tapi, Mar, gue nggak bisa ngebiarin lo masuk sendirian. Bisa jadi Darma punya senjata, nyawa lo bisa b

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Keluarga Baru

    33 tahun lalu. "Mama," isak seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun yang tengah menangis di tengah mall. Sudah sekitar sepuluh menit berlalu, Darma menangis sambil berjongkok, tapi tidak ada seorang pun yang peduli. Terlebih tidak ada seorang penjaga keamanan pun yang terlihat berlalu lalang. Di kota besar seperti Jakarta, pemandangan seperti itu tampak sudah biasa. Orang-orang yang mengatasnamakan kesibukan berdampak pada terkikisnya rasa kepedulian satu sama lain. Berbeda dengan saudara kembarnya, Darma memang memiliki sifat penakut. Ia jarang sekali keluar rumah, selain pergi ke sekolah dan ke tempat sanak saudara. Itu pun tidak pernah sendirian. Selalu bersama Damar, kakaknya atau kedua orang tuanya. Akhirnya sejenak kemudian, seorang pria bersama istrinya, yang kebetulan sedang berkunjung ke mall itu, menghampiri Darma. Sejak melihat Darma, Flora, nama wanita itu, bagai mendapatkan durian runtuh. Rasa rindunya yang setinggi Rinjani akan kehadiran sang buah hati, membuat Fl

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Penyesalan Damar

    Mendengar kalimat Dodi, Rafif dan Damar saling pandang. "Amar? Maksud Bapak Amar anaknya Pak Suryadi, mantan direktur PT. Niskala Semesta?" ucap Damar dengan ekspresi keterkejutan yang sama dengan Dodi. Seketika alis Dodi merapat. "I-ya. Amar itu suaminya Arini, keponakan saya.""Saya Damar, Pak. Saya menantunya Rafif dan juga seorang hakim pengadilan negeri.""Maafkan saya, Pak Damar. Tapi Bapak mirip sekali dengan Amar. Bahkan terlalu mirip." Untuk kedua kalinya di malam itu, kedua pria di depan Dodi saling beradu tatap. Harapan untuk segera menemukan Riana membanjiri dada keduanya. "Oh, iya, silakan duduk dulu, Pak. Mau pesan apa?" Rafif lalu melambaikan tangannya. Tak lama kemudian, seorang pemuda berkemeja putih dan bercelana hitam datang mendekat seraya menyodorkan buku menu. "Saya pesan kopi susu aja, Mas. Sama roti bakar selai kacang," kata Dodi bersamaan dengan menarinya tangan pramusaji di atas kertas."Ada lagi, Pak?" "Sementara cukup, Mas.""Baik, silakan ditunggu,"

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Petunjuk

    "Puas kamu? Itu kan yang mau kamu dengar?" Sontak, mata Liana memanas dan tanpa bisa ditahan lagi matanya sudah memproduksi banyak air mata."Li, aku itu lagi pusing banget mikirin soal Riana yang belum tahu di mana. Tolong kamu jangan nambahin. Nggak usah mikir sesuatu yang belum jelas!"Raga Liana meluruh. Di depan Damar ia mengira dan memohon maaf. "Maaf, Mas. Aku cuma mau menyampaikan apa yang ada dalam pikiranku aja."Damar menarik napas dalam. Melihat Liana menangis seperti itu membuat hatinya sedikit terenyuh. Ia tahu tidak seharusnya ia berkata sekadar itu pada Liana. Bahkan, Liana yang biasanya tegas dan keras menjadi wanita yang sangat lemah tanpa daya di hadapannya. Damar juga tahu bahwa niat Liana baik. Ia juga pasti sama khawatirnya seperti Damar.Pelan-pelan, tangan Damar terulur ke atas kepala Liana yang tengah rebah di atas kakinya. Ia lalu mengusapnya lembut. Sosok Riana yang tengah tersenyum seakan hadir di hadapannya. "Mar, perlakukan Liana dengan baik, ya. Jaga di

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Pengakuan Damar

    Diam-diam, Arini menahan kesal. Ia tidak menyangka jika Damar tiba-tiba mencurigainya. Padahal niatnya hanya ingin mengucap turut berduka cita pada keluarga mereka. "Mas, udah. Nggak baik menuduh orang tanpa bukti. Dia belum tentu melakukan apa yang tadi Mas bilang.""Kamu diam, Li! Aku tahu yang aku katakan," ucap Damar hingga membuat Liana tersentak. Lagi-lagi Damar membentaknya. Bahkan, kali ini suaminya itu melakukannya di depan umum hingga membuat Liana malu. Damar kembali memutar kepalanya ke arah polisi yang sedang menanyainya. Ia bahkan tidak sadar jika Liana sudah beranjak dan memilih masuk ke dalam kamarnya. "Saya yakin kalau wanita tadi pelakunya, Pak. Dan ada satu lagi, yaitu lelaki bernama Darma.""Pak Damar tahu dari mana? Sedangkan rekaman CCTV saja tidak menunjukkan gambar apa pun pada saat kejadian," sanggah petugas polisi bernama Alfred. "Itu karena Darma sudah merusak CCTV-nya, Pak!" Damar mulai emosi. Alfred mendengkus kasar. Sedangkan Rajata yang tidak menget

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Riana Menghilang

    "Tolooong! Pergi kamu!" Riana terus melempari Amar dengan benda-benda di dalam kamarnya. Ia pun berteriak sekuat tenaga. "Kamu mau apa? Jangan mendekat!""Saya mau anda merasakan apa yang ayah dan keluarga kami rasakan!" Amar mendekati Riana lalu menarik tangan wanita itu. Setelahnya ia membenturkan kepala Riana ke dinding berkali-kali. Seketika kepala Riana bagai terkena sengatan listrik jutaan volt. Bayangan hitam pun perlahan menutupi semua pandangannya. Di depannya tidak tampak apa pun lagi. Telinganya hanya samar-samar mendengar tawa Amar yang membahana. ***Rajata yang baru selesai kerja mendadak merasa ingin bertemu dengan Riana. Sejak awal ia terus memikirkan sang ibu angkat sampai tidak konsentrasi bekerja. Ia lalu mengambil ponsel yang diletakkan di saku belakang, lalu menekan nomor Riana. "Ayo dong, Bu. Angkat," ujar Rajata karena sampai dengan dering ke tiga, ponsel Riana masih juga belum diangkat. Ia bahkan mengulang sampai tiga kali tapi hasilnya masih sama. "Tumben

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Terpojok

    Di kediamannya, Damar yang sedang makan malam berdua dengan Liana, seketika teringat kembali pada Darma. Suami dari Liana itu tidak tahu kenapa bayangan Darma tiba-tiba mendatanginya lagi. Terakhir kali itu terjadi saat Darma baru saja hilang, seakan-akan Darma ingin mengatakan pada Damar tempatnya berada. Namun, saat itu, Damar kecil tidak mengatakan apa pun pada kedua orang tuanya. Ia bahkan sengaja diam karena merasa saingannya di rumah sudah tidak ada. Tanpa diketahui Sasti dan Narto, Damar kecil kerap kali menyimpan rasa iri pada saudara kembarnya. Darma yang pintar, baik dan penurut selalu menjadi kebanggan keluarganya. Tidak hanya Sasti dan Narto, kakaknya pun lebih menyayangi Darma daripada Damar. Sedangkan Damar hanya dijadikan pembanding. Kelakuannya yang 180 derajat berbanding terbalik dengan Darma. Namun, itu dulu. Seiring bertambahnya usia, Damar pun merasa kehilangan dan bersalah pada Darma. Saat Damar pergi ke tempat yang Darma tunjukkan dalam mimpinya, tentu saja Dar

  • Kesombonganmu Kubayar Tunai   Teror

    Rafif, Riana, Liana dan Damar menuju ke teras dan melihat ke rumah sebelah. Namun, sosok yang keluar dari mobil itu bukanlah sosok yang mereka nantikan. Dia sama sekali tidak mirip dengan Damar. "Dia siapa?" gumam Riana yang hanya bisa didengar telinganya sendiri. Riana lalu mengenakan sandal dan menuju ke rumah sebelah. "Ri, kamu mau ke mana?""Mau ke sebelah, Mas. Aku mau tanya langsung sama dia tentang orang yang semalam datang."Langkah Riana langsung diikuti Damar. Sedangkan Rafif dan Liana tetap menunggu di teras. "Assalamu'alaikum, Permisi. Maaf kalau saya mengganggu," kata Riana sesopan mungkin. Ia lalu mengulurkan tangan pada wanita di depannya. "Wa-ala-ikumsalam." Wanita itu menerima uluran tangan Riana lalu membalas senyum. "Saya Riana, tinggal di sebelah. Ini Damar menantu saya. Sedangkan yang di teras itu Suami dan anak saya." Setelah menjabat tangan Damar, wanita itu lalu mengarahkan pandangan ke arah teras rumah Riana. Ia tersenyum sambil sedikit mengangguk, membal

DMCA.com Protection Status