Sekitar pukul dua pagi, Sepia keluar dari kamar. Rupanya menangis semalaman membuatnya dehidrasi. Ia lantas pergi ke dapur. Suara air yang mengalir dari dispenser terdengar cukup nyaring. Ia kembali meletakan gelas setelah meneguk dua gelas air mineral.
"Boleh kita bicara sekarang?" Suara Ray menadadak memecah keheningan.Kursi berderit saat Ray menarik kursi dan duduk di hadapan Sepia, jarak mereka hanya terpaut oleh meja makan yang tidak begitu lebar."Aku tidak pernah tidak memilirkan kamu dan Shabiru." ucapnya lagi.Ray memiliki mata yang bulat tegas dengan iris hitam bak gerhana, beberapa detik pandangan mereka saling bertaut."Kamu yang harusnya bicara Ray. Aku akan mendengarkan dan sebisa mungkin berusaha mengerti..." Sepia menjeda kalimatnya beberapa saat. "Itu pun jika memang pantas ada yang masih bisa dimengerti," lanjutnya lagi.Ray menggenggam tangannya sendiri, terlihat betapa ia berusaha untuk berbicara jujur. Beberapa lama, hanya detak jam yang terdengar memecah kesunyian."Kamu terlihat sangat cemas dan gugup Ray. Kenapa? Apakah kamu tidak pernah merasa ragu saat melakukan kesalahan itu?" ucap lagi Sepia semakin mendesak."Bukan begitu, kamu terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Lain kali coba kesampingkan perihal perasaanmu yang berlebihan itu," Ray memejamkan matanya."Terlalu cepat? Apanya yang terlalu cepat Ray? Aku harus mengesampingkan perasaan ini kemana? Ini bukan hanya perihal perasaan Ray, ini perihal kita, keyakinan kita, janji kita dan komitmen kita. Aku berhak marah, karena kamu juga salah Ray!" Sepia tertawa getir."Tapi itu semua gak kayak yang kamu pikirkan," Ray kembali membela dirinya."Yang mana? Yang mana yang gak sesuai sama pikiran aku? Jadi aku salah sangka dengan hal yang udah keliatan jelas kayak gitu?" Napas Sepia kembali tersengal."Aku bisa jelasin semuanya," "Iya, kamu memang harus jelasin semuanya. Jelasin juga kenapa kamu mau repot bolak-balik ke apartemen perempuan itu. Sementara Shabiru yang sangat membutuhkanmu, kamu abaikan gitu aja,""Aku terpaksa!" Nada suara Ray semakin meninggi."Tapi kamu sama sekali gak terlihat terpaksa," Sepia menyunggingkan senyum kecut, menyilangkan tangan di dada."A-ayah, Ibun..." Tiba-tiba Shabiru datang melerai perdebatan mereka yang mulai meninggi.Sepia langsung beranjak dari duduk lalu memeluk putranya itu, "Kenapa sayang? Ini masih malam kok sudah bangun?""Ibun Biru mimpi buruk. Biru takut," jelasnya dengan polos."Ibun temani tidur ya?""Malam ini boleh 'kan Ayah yang temani?" pinta Shabiru sembari melihat ke arah ayahnya."Tentu boleh," sahut Ray.Shabiru langsung menarik lengan Ray dengan bahagia. Kini Sepia kembali duduk sendirian. Pandangannya terus mengikuti punggung Shabiru dan Ray sampai mereka tak terlihat lagi setelah menaiki anak tangga.Waktu bergulir begitu cepat. Sorot hangat mentari kembali menerobos jendela. Namun suasana rumah tetap terasa begitu dingin tak terelakan.Ray turun dengan tergesa sembari mengancingkan lengan kamejanya. Sementara Sepia sedang memanaskan air di dapur. "Panggil pemadam kebakaran, saya segera kesana!"Sepia hanya mendengar sebait kalimat itu yang terlontar dari mulut Ray saat sedang menelepon karyawannya."Aku harus pergi, salah satu restoran kita tertimpa musibah kebakaran." Ray berusaha memberitahu Sepia. Namun perempuan itu bahkan tetap berdiri membelakangi Ray, terlihat acuh begitu saja.Melihat Sepia yang tidak merespon apa-apa, Ray memutuskan untuk pergi.Selang beberapa menit setelah mobil Ray meninggalkan gerbang, Sepia melepaskan celemek yang ia kenakan. Ia melangkah dengan tergesa menuju mobil lalu dengan cepat ia memutar stir kemudi menyusul mobil Ray.Ternyata mobil Ray memang menuju ke arah salah satu cabang restoran, namun dipertigaan jalan terakhir justru mobilnya berbelok ke arah yang berbeda."Kamu terus melakukan kesalahan meski dalam situasi genting seperti ini," gumam Sepia yang tetap berusaha fokus dengan kemudinya.Tiga puluh menit membuntuti Ray, mobilnya berhenti di sebuah apartemen.Restoran memang benar sedang tertimpa musibah kebakaran, namun ternyata Ray lebih memilih memadamkan kepercayaan Sepia dengan menemui perempuan itu lagi secara diam-diam.Tangis kembali berurai membasahi wajah Sepia, ia menangis tak bersuara menyaksikan tangan Ray menggenggam tangan perempuan lain.Tergesa, Ia meraih ponselnya."Hallo Ale, kamu bisa membantuku?"...Bunyi guliran roda koper terus berderit mengiringi suara derap kaki ditengah heningnya malam menuju pagi. Lima belas menit lalu, Sepia dan Shabiru akhirnya sampai di Jakarta. Keputusan Sepia sudah bulat dan keputusan itu sekarang telah ia ambil sepenuhnya. Shabiru masih tertidur pulas dalam gendongan Sepia. Anak itu bahkan tidak tahu bahwa saat ini ia telah pergi berpuluh-puluh kilometer meninggalkan tempat kelahirannya. Apakah berpisah adalah satu-satunya jalan? Apakah perseteruan tidak bisa dilerai? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi ruang kepala Sepia. Namun kedua pertanyaan itu berhasil dibungkam oleh kenyataan bahwa Ray memang telah menghancurkan kepercayaannya. Kenyataannya tetap sama, Ray selingkuh. Semesta masih berbaik hati kepada Sepia, dua hari lalu kebetulan ia mendapatkan email dari penerbit tempatnya bekerja dulu. Rupanya hal itu mampu menjadi jalan tengah atas hal-hal pelik yang menimpanya. Kebenaran yang lain adalah tidak ada perempuan yang mau diduakan. "Maafkan Ibun ya Biru,"Sepia membaringkan Shabiru ke tempat tidur, ia juga ikut merebahkan diri. Menatap langit-langit kamar dengan nyala lampu redup, merasakan nyeri persendian setelah menempuh perjalanan panjang dengan kereta dari Yogyakarta sampai Jakarta. Sesakit apa pun pengkhianatan, kehidupan Sepia harus tetap berjalan. Ia akan menjaga putranya, ia tak ingin putranya terpengaruh oleh kesalahan yang dilakukan ayahnya. Ia akan membuat Ray menyesal karena telah menghancurkan kepercayaannya. Ray harus tahu makna kehilangan. Mungkin saja lelaki itu hari ini tengah mengitari seisi kota untuk mencari mereka, atau mungkin ia justru semakin leluasa dengan perempuan itu? Yang jelas pergi merupakan jawaban yang paling tepat. Meski, tak dapat dipungkiri sampai saat ini pun ia masih bertanya-tanya apakah keputusan yang telah ia ambil dengan tergesa ini benar? Bila benar, mengapa rasanya batinnya masih amat tersiksa? Bila salah, mengapa rasa sakit dalam hatinya tak kunjung mereda? Bila salah, mengapa kata maaf sulit sekali ia berikan? "Ibun kita dimana?"Pertanyaan itu langsung menyapa Sepia ketika ia baru membuka mata. Sorot cahaya sudah menerobos melewati celah tirai jendela. "Kita di rumah teman Ibun," sahut Sepia dengan tenang seraya membereskan rambutnya yang berantakan. "Kita menginap? Apa ayah sudah berangkat ke restoran lagi sepagi ini?" Pertanyaan-pertanyaan polos Shabiru kembali melambung bertubi-tubi seperti embun yang bergelantungan membasahi dedaunan. "Ayah tidak ikut. Kita akan menginap di sini untuk beberapa minggu, entah ayah akan menyusul kita kapan.""Mata ibun terlihat sangat kecil, apakah ibun menangis semalaman karena sedih ayah terlalu sibuk dengan pekerjaannya?" Shabiru memincingkan sebelah alisnya. Sepia mengembangkan senyum, "Benarkah? Mata ibun kecil?" alibinya bercanda. Shabiru mengangguk, "Kira-kira kapan ayah kesini ya?""Kalau masalah di restoran sudah beres, ayah akan ke sini menjemput kita." jemari Sepia mengusap ujung hidung Shabiru. "Sebesar apa masalah itu Ibun? Sehingga ayah tidak punya waktu untuk bersama kita?"Pagi hari Sepia duduk di kursi kayu, menghadap jendela yang membingkai pemandangan gedung-gedung pencakar langit. Ia menyesap secangkir teh hangat dengan perlahan. Raganya mungkin sedang ada disana menatap dinamika gedung-gedung dan segala kesibukannya, namun lamunan menyeret paksa ingatannya pergi jauh ke masa silam. Rasanya baru kemarin, tapi ternyata ia telah sampai sejauh ini. Sampai pada takdir dan nasib yang diluar rencananya. Rasanya baru kemarin ia menerima ajakan Ray untuk hidup bersama, namun hari ini lelaki itu tega berlaku tanpa logika. "Yang lalu-lalu jangan terlalu dipikirkan nak. Kurang baik," seorang perempuan renta menyeret kursi dan duduk di sebelahnya. Rambutnya sudah memutih separuh, Oma Ina panggilannya. Pemilik rumah sekaligus bibi dari Alea. Mendengar Sepia kebingungan mencari tempat tinggal di Jakarta, Alea akhirnya menawarkan kediaman bibinya. Selain karena ia tinggal sebatang kara, ia juga tidak memiliki anak sama sekali. Suaminya meninggal enam tahun la
"Kemarin restoran Ray tertimpa musibah kebakaran Al...""Astaga? Tapi gak ada korban jiwa 'kan?" Alea tampak terkejut karena Sepia memang belum memberitahunya sama sekali.Sepia menggeleng kecil, ia terlihat menarik napas panjang. "Ray bilang dia mau pergi ke restoran. Terus aku ikutin diam-diam, tapi ternyata dia gak pergi ke sana. Dia malah ke apartemen perempuan itu," sorot mata Sepia kembali berkaca."Alea, Ray bohong lagi. Dia bilang kalo dia ngelakuin semua itu terpaksa, tapi sikap dia lagi-lagi kayak gitu."Sepia berbicara pelan dan sehati-hati mungkin, mengingat di depan mereka ada dua anak kecil yang belum dan tidak boleh mengetahui apa-apa.Alea juga tidak berbicara banyak, semakin mereka membahas Ray, Sepia semakin terjebak dalam kecemasannya."Sudah, tenang Pia. Sekarang kamu disini untuk menenangkan diri, semoga kamu cepat menemukan jalan keluar terbaiknya," Alea mengusap bahu Sepia."Eh nostalgia bentar sih, pojok bangku itu." ia mengarahkan telunjuknya ke meja paling
"Apakah jalan terbaiknya adalah berpisah?" batinnya. Sepia tertegun cukup lama, memandangi bayanganya di cermin. Tenggelam dalam banyak pengandaian dan kekhawatiran.Bayangan Ray tiba-tiba saja muncul di cermin itu, seolah nyata ada di belakangnya. Ia mengerejap dan memejamkan matanya dalam-dalam. Rindu dan amarah mungkin tengah berkelahi mengalahkan ego di dalam dadanya."Ah, kepalaku kenapa tiba-tiba sakit sekali..." Ucapnya pelan seraya memijat keningnya.Ia menghela napas berat, setelah minum segelas air ia beralih meraih bedak dan gincu. "Kenapa Biru tidak boleh ikut? Biru tidak akan nakal kok. Janji tidak akan mengganggu nanti di kantor ibun," Shabiru datang dan kembali merengek di samping meja rias. Sedikit mengganggu konsentrasi ibunya yang sedang memoleskan bedak tipis."Enggak Biru. Biru lebih aman di sini sama Oma. Nanti Vanilla juga akan ke sini lho. Nanti kalo ikut ke sana tidak ada teman."Sepia berdiri, merapikan setelan kameja berwarna navy yang ia kenakan. Ia mengunc
"Aku perhatikan, sekarang kamu ini menjadi lebih pendiam. Kamu seperti melamun. Apa ada masalah tentang hari pertamamu ini?" Rupanya Ara memperhatikan Sepia sangat detail. Seharian ini usai meeting, Sepia memang sudah mulai fokus pada pekerjaan yang dipegangnya duduk di depan laptop dan menggulir layar monitor. "Ah, tidak juga Ra. Biasalah, aku juga harus beradaptasi lagi. Banyak yang berbeda sekarang ini, sistem kerja yang baru lebih efesien namun kita harus benar-benar siap on time setiap waktu ya," Kedua perempuan itu keluar meninggalkan ruangan. Kantor sudah sangat sepi karena jam kerja juga sudah selesai setengah jam lalu."Ya, begitulah. Sekarang kita tidak perlu terburu-buru mengadakan meeting, menganggarkan dana besar untuk sewa tempat dan sebagainya. Bekerja dari rumah, lebih nyaman dan bisa hemat transportasi 'kan. Apalagi sekarang segala kebutuhan serba mahal," sahut Ara."Soal Nilam, anggap aja dia gak ada. Setelah naik jabatan, sombongnya bukan main..." bisik Ara tepa
"Seharusnya kita sekarang ini sedang menikmati secangkir kopi hangat, bersantai di balkon atau masih tidur nyenyak. 'Kan, aneh banget emang direktur tercantik kita itu seneng banget ngerjain orang," protes lagi Ara. Entah sudah berapa kali ia terus mengulangi perkataan yang sama."Urgent Ara. Toh sebentar ini," sahut Sepia tetap santai."Justru itu, cuma sebentar juga kenapa gak lewat zoom aja? Aneh kan emang. Itu akal-akalan Nilam aja biar kita semua tahu kalo CEO itu juga punya peran penting di kantor ini. Alias Nilam mau pamer kalo kekasihnya juga punya harta dan tahta mentereng," ungkapnya lagi semakin meradang."Hm, ya..." Sepia hanya mengedikkan bahu, apa yang diucapkan Ara memang ada benarnya juga."Tampang laki-laki kayak CEO tunangannya Nilam itu nih ya paling-paling cewe simpenannya sekecamatan," Ara tertawa sinsis. "Berani taruhan," ia mengacungkan jemari telunjuk dan tengahnya."Sssstttt!" Sepia refleks menutup mulut Ara ketika Nilam tiba-tiba lewat di depan mereka. Beber
Sepia pulang dengan tergesa setelah mendapat telepon dari Oma Ina. Katanya, Shabiru tiba-tiba demam. Tadi pagi, ketika ia berangkat ke kantor putranya itu memang belum bangun terpaksa ia harus meninggalkannya karena rapat dadakan itu.Sepia berlari tunggang langgang turun dari mobil, memasuki rumah Oma Ina. Ia sangat panik, terlebih karena dahulu sewaktu baru lahir putranya itu juga pernah mengalami kondisi drop sehingga harus mendapat penanganan intensif dari dokter. Ia tidak ingin hal yang sama terulang untuk kedua kalinya. Sakit seringan apa pun, sudah naluri seorang ibu akan merasa cemas."Sejak kapan Oma?" pintu berderit pendek saat Sepia memasuki kamar.Pandangannya langsung melihat Shabiru yang masih tertidur, ditemani Oma Ina di sampingnya."Dari tengah hari. Bangun tidur dia menangis menanyakan keberadaanmu, dia murung seharian ini. Dia juga terus mengigau ayah," jelas wanita renta itu."Dia enggak sesak napas 'kan Oma?" tanyanya lagi."Tidak Nak. Tenanglah,"Oma Ina beranja
"Aw!"Lorong yang menghubungkan ruangan admin, tamu dan ruangan staf memang selalu dingin dan sepi. Suara pekikkan pelan pun terdengar bergema.Tas make up yang belum tertutup rapat yang dibawa Sepia juga ikut terjatuh ke lantai menumpahkan segala isi di dalamnya."Ah sial!" Sepia kembali mengumpat dalam hati. Entah sudah berapa kali ia mengatai dirinya sendiri hari ini. Lekas ia segera berdiri."Maaf,"Suara bariton yang ia dengar cukup mengusik pendengarannya. Ya, untuk kali ini Sepia mengakui ia juga ceroboh karena tergesa dan tidak memperhatikan jalannya.Ia juga tak menyahut apa-apa, bibirnya hanya melukiskan garis datar. Ia kembali memunguti kosmetiknya yang berceceran, tanpa mempedulikan sekitar.Semakin hari, Sepia rupanya harus menghadapi banyak kesialan yang tak pernah terduga."Yah, Mba maaf... Lipstiknya pecah," ucap lagi lelaki itu, ia mengambil tabung kaca kecil yang pecah dan menumpahkan cairan kental berwarna merah pekat itu. Sepia masih acuh seperti orang tuli, bahka
Pilihannya tetap sama, beri kesempatan kedua atau akhiri.Sepia tertegun beberapa saat, berusaha meluruhkan amarah yang selama ini menguasainya. Keheningan malam telah menyeretnya ke dalam banyak ketakutan-ketakutan."Kamu dimana? Sayang, tolong aku khawatir banget sama kalian berdua. Aku selalu berusaha nyari kalian selama ini..."Suara cemas Ray dari balik telepon rupanya berhasil membuat hati Sepia sedikit meluluh. Kembali tumbuh rasa rindu berbalut cemburu, perlahan mengalahkan marahnya amarah."Sayang, aku salah. Tapi aku mau kita selesaikan masalah kita dengan baik-baik, tolong beri aku kesempatan untuk itu," Sepia masih belum mengucapkan sepatah kata pun. Dadanya masih terasa sesak, menahan luapan kesedihan yang saling bercampur tak keruan. Berkali-kali ia meyakinkan dirinya bahwa suara yang ia dengar bukanlah mimpi. Namun berkali-kali juga ia berusaha meyakinkan dirinya bahwa rentetan masalah yang menerjangnya adalah mimpi buruk semata."Aku tidak akan memaksa keputusannmu, t
Sore hari, ketika udara sedang hangat-hangatnya, Sepia sedang berada di stasiun.Anak kecil yang ketika berdiri tingginya sama dengan Sepia ketima berlutut itu memeluk erat Sepia, melesak dalam pundaknya cukup lama dan enggan melepas pelukannya."Sayang," panggil Sepia dengan lembut.Setelah banyak hal terlewati, akhirnya Shabiru akan pergi mengunjungi Yogyakarta, mengunjungi kota kelahirannya. Kota yang sering banyak orang sanjung sebagai kota yang istimewa. Shabiru melepaskan pelukannya, lalu menatap wajah ibunya lamat-lamat dengan tatapan sendu."Ibu tidak apa-apa aku tinggal dulu?" tanyanya.Sepia tersenyum dan membelai lembut wajah anaknya. "Tidak apa-apa. Kan katanya kamu mau mengunjungi adik kecil?""Ibun, kalau ada apa-apa minta tolong sama Kak Panji saja, ya. Dia pasti akan selalu membantu ibun. Aku sudah bilang padanya agar sering-sering mengunjungi ibun."Sepia mengangguk mengiyakan permintaan anak kecil itu. "Iya, iya siap kapten!"Shabiru menghela napas berat lalu memeluk
Beberapa saat keheningan kembali meliputi Sepia dan Panji.Panji terlihat menarik embuskan napas beberapa kali, seolah ada keraguan yang menahan perkataan yang akan ia ucapkan pada perempuan itu. "Aku ... mm ...." Panji bergeming.Sepia menoleh saat Panji mulai berbicara, tetapi lagi-lagi Panji kehilangan kata-kata setiap menatap Sepia."Kenapa? Apa kamu sedang ada masalah?" tanya Sepia.Panji langsung menggeleng seraya tersenyum. "Tidak.""Nanti malam kamu ada acara nggak?" tanya Panji."Sepertinya tidak, kenapa memangnya?""Aku ingin mengajakmu keluar untuk makan malam. Tapi kalau kamu sibuk atau mau istirahat, aku tidak ingin memaksa," jelas Panji setengah menahan gugup."Boleh. Udah lama juga aku nggak makan di luar," sahut Sepia tanpa pikir panjang.Kejadian yang baru ia alami cukup membekas, ia takut jika San datang lagi dan mengganggunya. Barangkali bila bersama Panji, ia bisa menghindar dari kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi.Sepia tahu, San bukanlah laki-laki yang mud
Jarak wajah Sepia dan San mungkin hanya satu jengkal. Sepia bisa merasakan embusan napas laki-laki itu semakin dekat. Dada Sepia benar-benar bergemuruh, ada ketakutan yang dia rasakan. Ketakutan itu berkali-kali lipat lebih besar dari ketakutan yang dulu ketika San hampir melakukan hal yang sama padanya. Bedanya, dulu San memintanya dengan lemah lembut, tidak seperti yang terjadi saat ini. Laki-laki itu benar-benar kasar, memaksa, dan tidak memiliki etika."Kamu ... bohong soal mencintaiku. Semua yang kamu katakan hanya omong kosong yang tidak bisa dilihat apalagi dibuktikan. Aku membencimu San, sangat membencimu! Aku tidak sudi bertemu denganmu lagi!" Napas Sepia terengah-engah, ia terjebak dalam situasi yang benar-benar mendesak. Ia berusaha berpikir keras, mencari cara untuk melarikan diri. "Aku peringatkan sekali lagi, menjauhlah dariku!"San sudah berubah menjadi laki-laki dewasa yang telah melihat dunia lebih luas. Dia benar-benar bisa melakukan apa pun dan Sepia tidak ingin dip
Seminggu berlalu, hari-hari Sepia kembali berjalan baik. Shabiru sudah pulih dari sakitnya dan Sepia kembali disibukkan dengan urusan tokonya. "Mel, sekarang aku mau pergi belanja. Nanti kalau ada tamu penting minta hubungi lewat telepon aja ya. Soalnya aku bakalan agak lama nih. Stok toko yang harus dibelanjain udah dicatet semua, kan?"Sepia menutup laptopnya dan mengambil tas."Sudah, Kak. Sudah aku kirim lewat WA. Kain organza yang paling cepat habis Kak," jelas Melly."Oke kalo gitu, aku akan belanja kain organzanya lebih banyak."Sepia keluar dari toko dengan tergesa, dia sampai tidak sengaja menabrak seorang laki-laki yang memiliki tubuh tinggi dan dada bidang."Maaf, aku tidak sengaja," ucap Sepia.Raut wajah perempuan itu langsung berubah tidak suka ketika melihat orang yang ditabraknya.Sungguh ia ingin segera pergi sejauh mungkin, enyah dari laki-laki itu. Namun, sebelum Sepia sempat mengambil satu langkah kecil pun laki-laki berbadan kekar itu langsung mencengkeram tangan
“Aku langsung pulang, ya,” kata Panji. “Shabiru sudah tidur. Kelihatannya dia sangat merindukan tidur di kamarnya, nyenyak sekali.”Sepia yang sedang memeriksa pesanan pelanggan di laptopnya menoleh. Di luar hujan turun sangat deras, dia tahu Panji sedang dalam keadaan sangat lelah karena menemani anaknya.“Kita sarapan dulu. Aku sedang meminta pegawaiku untuk membelikan makanan. Kamu tidak boleh pergi dalam keadaan perut kosong. Kamu sudah benar-benar membantuku, jadi aku merasa tidak enak denganmu.”“Kamu merasa begitu padahal aku tidak melakukan apa-apa. Kamu makan saja bersama pegawaimu, kalau denganku lain waktu saja ya.” Panji menolak secara halus.Sepia menghela napas kesal. Dia tahu Panji sama keras kepalanya dengan dirinya, tetapi kali ini dia tidak akan membiarkan laki-laki itu pergi begitu saja. Mungkin Panji tidak menyadari bahwa walau hanya kehadirannya itu sudah sangat berarti besar, bukan untuk dirinya melainkan untuk Shabiru. Atau mungkin Sepia sendiri yang tidak bisa
Ray menghela napas panjang, tubuh Sepia sudah berjalan menjauh, tetapi perkataannya tetap tertinggal dalam benaknya. Ray kembali terhempaskan oleh kenyataan. Semua yang pernah ada di antara mereka sudah berakhir, bahkan hancur. Ray sudah tidak memiliki haka pa-apa, sekecil apapun pada perempuan itu. Bahkan ia merasa tidak berhak untuk sekadar menatap bayangan perempuan itu.Helaan napas Ray terdengar cukup keras, pada waktu yang bersamaan ponselnya berdering. Ia langsung merogoh sakunya sambil duduk pada kursi tunggu yang kosong.“Halo, iya saat ini aku masih di rumah sakit. Keadaan Shabiru sudah lumayan membaik, aku akan segera pulang,” sahut Ray, ia memutus panggilan, lalu berjalan meninggalkan lorong itu.Tangan Ray hampir menyentuh gagang dingin pintu ruang perawatan, tetapi suara gelak tawa Shabiru dan Panji yang terdengar berhasil membekukan waktu. Dari celah kaca, Ray bisa melihat kedekatan antara mereka. Sungguh, saat itu juga ia didera rasa cemburu yang begitu hebat.“Aku dan
“Lihatlah, Ray. Dia begitu berharap kamu akan datang dan mengajaknya berkunjung. Bahkan dia menganggap bahwa rumah yang dulu adalah miliknya, sekarang dia merasa tidak berhak lagi. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan rumahnya, Ray. Jangan biarkan dia merasa telah kehilangan ayahnya, hanya karena ayahnya telah memiliki keluarga baru. Apa pun yang telah terjadi dalam hidup kita, itu tidak akan pernah bisa merubah kenyataan bahwa Shabiru adalah anakmu. Anak yang berharap bisa disayangi dengan tulus, hanya sesederhana itu permintaannya ….” Sayangnya Sepia hanya mengatakan kata-kata itu dalam hatinya.Ray masih terdiam, ia sepertinya sangat terkejut dengan permintaan kecil anaknya untuk sekadar mengunjungi rumah lamanya. Ray sebenarnya ingin memberitahu bahwa rumahnya saat ini bukanlah rumah yang sama seperti dulu. Tidak ada lagi mobil memenuhi garasi, hanya tinggal dua mobil yang tersisa. Semuanya habis karena kerugian restoran yang ia alami. Ia ingin menceritakan segalanya pada Sh
Rumah sakit, Bandung.Jam menunjukan sekitar pukul delapan malam. Sekarang ayah dan ibu Sepia juga telah datang sejak sore hari. Keadaan Shabiru masih sama saja belum ada perubahan yang berarti, ia harus lebih banyak tidur untuk meredam rasa sakit yang mendera tubuh kecilnya.“Ayahnya sudah diberitahu, Pi?” tanya ibunya Sepia.Sepia mengangguk. Sebenarnya dalam situasi seperti ini ia tidak ingin melibatkan ayah dan ibunya, ia tidak ingin membuat mereka cemas, tetapi tidak mungkin juga untuk menyembunyikan hal ini. Pikiran Sepia benar-benar kalut, tidak benar juga jika ibunya terus mempertanyakan kehadiran Ray.“Lalu bagaimana? Akan ke sini?” cecar ibunya.“Aku tidak tahu, Bu. Tadi yang mengangkat telepon adalah istrinya,” jelas Sepia.“Kalau begitu telepon lagi dan minta dia untuk datang,” perintah ibunya Sepia.Sepia menghela napas. Tidak, ia tidak akan bisa menelepon Ray. Suara Arumi yang ia dengar telah membangkitkan banyak luka yang tadinya sudah lenyap tertimbun kesibukkan. “Suda
“Mau makan dulu, Kak? Pasti dari pagi Kak Pia belum makan,” Afandi membawakan makan siang.Dalam kondisi seperti ini tidak ada yang namanya lapar atau haus yang ada hanyalah perasaan cemas yang semakin lama semakin menggunung tinggi. “Aku belum lapar, kamu makan saja duluan.”“Baiklah, Kak kalau begitu. Aku keluar sebentar, ya.” Afandi keluar.Hanya menyisakan Sepia dan Shabiru dalam ruangan itu. Sepia memperhatikan cairan infus yang terus menetes dan merasakan betapa heningnya ruangan itu. Ia beranjak mendekati jendela.Firasat yang kuat telah terhubung antara ibu dan anak. Perasaan Sepia yang mendadak tidak enak ternyata terbukti, tetapi ia tidak perah menduga bahwa hal seperti itu bisa terjadi. Sepia berdiri mematung di depan jendela ruangan perawatan. Ia berandai-andai seandainya ia bisa memutar waktu, maka ia tidak akan pergi kemana-mana dan ia juga tidak akan membiarkan Shabiru pergi kemana-mana. Pikirannya kembali sibuk berdebat sekaligus mengumpulkan keyakinan tentang memberit