"Jadi ini calonmu itu Put? Cantik, langsing, kayaknya baik." Dengan antusias, Bu Hani terus saja memujiku. Senyumnya yang begitu manis, membuat diri merasa nyaman.Di kelilingi boss Putra, Bu Hani, dan Ayahnya. Aku merasa malu, juga merasa bersalah. Bagaimana jika mereka tahu, kalau apa yang kami tampilkan hanya sebuah kepura-puraan?Terlihat bahwa mereka bukan hanya keluarga kaya, tapi, hangat, dan baik. Apa bisa aku menusuknya dengan sebuah kebohongan?Arggggh, semua ini jelas karena kesalahan boss Putra. Dia menyeretku, ke dalam kubangan yang jelas tak ingin kumasuki.Lama hidup menjomblo, bukannya bersyukur ada yang lirik. Ini malah dengan sok, mau menolak.Parahnya ... Aku mau saja, hanya karena takut dipecat. Please Anna, kalau bukan karena ingin menunjukkan pada Mami
"Jadi ... Anne mengidap penyakit single or multifle fetal demise, satu atau kedua bayi menderita penyakit berbahaya yang mematikan. Begitu dok?" tanyaku, sambil bergidik ngeri. Bahasanya terlalu ribet, untuk aku yang biasa.Sore usai pulang bekerja, aku menyempatkan diri untuk datang ke rumah sakit. Tentu, ingin tahu separah apa penyakit yang sedang Anne derita.Untuk aku berjaga-jaga, dengan harapan lebih bisa tegar demi menolak keinginan Mami dan Anne yang selalu mengorbankan kebahagiaanku.Beruntung, setelah sedikit dipaksa dokter Adi mau sedikit menjelaskan. Meski tidak terlalu detail, sebab ia bilang Mami yang terus mewanti-wanti."Betul .... Kehamilan kembar memiliki resiko yang lebih tinggi, karena dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berbahaya," ungkap dokter Adi. Lagi aku hanya
Aku mencebik bibir, merasakan tusukan kekecewaan yang kian mendalam. Apa maksud Anne, ada di dalam mobil dokter Adi saat ini?Kalau bukan karena dokter yang terus memaksa, untuk menjemputku sepulang kerja. Ogah rasanya, dan melihat saudari kembarku rasa itu makin tergambar nyata."Masuk Ann, nanti aku jelaskan." Lagi, aku terpaksa menurut. Duduk di belakang kemudi, sedang mereka berada di depan membuat rasa yang entah apa ... Mengusik relung jiwa.Apa mungkin, dokter Adi ada maksud untuk mendamaikan aku dengan Anne?Aku sendiri nggak masalah, sepanjang dia bersikap apa adanya walau sakit tengah menerjang."Maaf ya Ann, tadi Anne datang ke RS. Kebetulan dia ada ambil obat, jadilah sekalian ak
Dua hari berlalu, dan aku tidak lagi mau membalas setiap pesan maupun telpon dari dokter Adi.Masih sakit hati, dengan kelakuan dia kemarin. Kenapa harus manut dengan permintaan Anne?Ahh, ya aku lupa. Dokter tampan itu jelas tahu betul, kondisi Anne yang tidak boleh tergores hatinya sedikitpun.Lagian, kenapa harus dipikirin sih? Aku dan dokter Adi jelas nggak ada hubungan apa-apa.Arggggh dasar Anna, kamu kenapa sih? Nyesel kenal sama dia, semua karena Mami!"Ann ... Nggak tahu kenapa, aku pikir Anne sedang mencoba untuk menggaet dokter Adi." Dahiku mengernyit, mendengar penuturan Nindy di sela jam istirahat kantor.Namun, apa yang Nindy bilang. Bisa jadi tidak meleset, tapi, kenapa harus sekarang?
"Aku datang ... Karena ada yang ingin dibicarakan," katanya masih berdiri di ambang pintu. Menatapku yang tengah sibuk, menata beberapa barang untuk dibawa ke rumah Papi.Malam itu, aku tidak langsung ikut dengan Papi. Karena harus membereskan banyak hal, juga menegaskan pada Mami tentang aku yang tak mau lagi mencampuri urusan dirinya dengan Anne.Pagi sekali, Angga datang dengan membawa sejuta kerinduan yang seolah ingin aku luapkan.Namun, mati-matian aku menahan. Sadar betul, bahwa kini kami bukan lagi pasangan. Melainkan mantan, dengan status ipar."Silakan masuk Ngga," titahku, untuk sesaat menghentikan aktivitas. Seraya membuka pintu selebar mungkin, "Ada apa?"Setelah sekian lama, baru kali ini aku dan Angga bisa bicara. Hanya berdua tanpa ad
"Makan yang banyak Anna, aku lihat kamu seperti kekurangan gizi. Kurus dan tak bergairah," ucap boss Putra. Terdengar seperti cemoohan, yang cukup telak mengenai hati.Kalau Mami dengar, bisa ngamuk dia. Tapi, memang dalam hal makanan wanita itu selalu memberi yang terbaik.Untuk soal keadilan, tahu sendirilah. Aku lagi nggak ada mood bagus, untuk membahas hal seperti ini. Lagi dan lagi.Malam ini boss Putra, mengajakku makan di salah satu Restoran bintang lima. Setelah sebelumnya minta izin kepada Papi, sempat kesal karena Tante Mita terlihat ganjen.Seharusnya wanita itu sadar, untuk cukup tahu diri agar bersikap layaknya seorang istri yang baik.Lagi, aku hanya bisa mendengkus kesal. Apalagi, boss Putra terlihat beramah-tamah kepada Tante Mita.&nb
Aku menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan, dada begitu sesak. Harus berbicara dengan bahasa apa, supaya Mami dan Anne paham. "Keputusanku sudah bulat, antara aku dan Angga tidak akan pernah terulang lagi."Semua mata menatapku lekat, termasuk Angga yang kian kalut di sofa yang tengah ia duduki. Sekali lagi maaf, aku sudah kadung kecewa."Aku ... Mohon Ann, beri kesempatan sekali lagi. Aku tahu salah, terlalu menyimpan rasa kasihan terhadap orang lain. Hingga mengabaikan cinta kita," ungkap Angga. Berdiri untuk menghampiri, lantas bersimpuh dengan derai air mata.Kutepis lengan Angga, kasar. Perbuatan manis seperti apapun, sudah tidak akan menggoyahkan keputusanku. Tidak ada tempat, untuk seorang pengkhianat.Mere
"Tunggu Ann ... Percayalah aku dan Anne sudah bercerai. Tinggal menunggu surat resmi, dan setelah itu kita bisa kembali. Kamu mau 'kan?" Demi menanggapi ucapan Angga, aku mendengkus kesal. Dia datang layaknya seorang pengemis cinta, setelah kemarin mencampakkan diriku.Bila kemarin rasaku masih membumbung tinggi untuknya, entah kenapa seiring dengan berjalannya waktu. Cinta itu mulai terkikis, Angga bukan pria idaman seperti yang dulu.Tatapannya yang lekat, jua penuh penyesalan tak lagi mampu membuat hatiku luluh.Mungkin, dia lupa. Bagaimana sifatku, bila sudah kadung tersakiti maka tidak akan mudah untuk bersikap seperti dulu."Pergilah! Aku lagi nggak ada mood, untuk menghadapimu saat ini. Tolong," pintaku, lirih tak mau lagi berhubungan dengan diriny
Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund
Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu
"Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal
Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.
Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t
"Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im
Tubuhku menegang. Menatap pria yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumah, ada angin apa hingga takdir perlu membawanya ke mari? Masih ingat betul, dengan segala pengkhianatan yang pernah ia torehkan. Apalagi, wanita biasa mengingat itu hingga ke detailnya sekalipun. Adanya dia di sini, seakan membuka luka lama. Sekelebat bayang masa lalu, kembali bermunculan. Dulu, kamu gagah dan tampan di balik seragam dokter. Kini, status itu hanya tinggal nama akibat kelakuan yang amat tak bermoral! "Anna, apa kabar?" Memantik senyum di bibir, aku sama sekali tak ada niat untuk membalasnya. Bagiku, Radit sudah mati!"Sangat baik, bahkan semenjak kamu TIDAK ADA!" Menekan kata demi kata, yang kuharap pria itu cukup tahu diri. "Maafkan aku Ann, semua memang salahku.""Ya, kamu memang salah. Dan semua orang tahu itu!" Bibirku bergetar, menatap pria yang sempat kupuja setengah mati. Tak ada bedanya dengan Angga, sama-sama ba***an!Menunduk l
"Ka-mu ...." Menjerit kecil, netraku seakan menatap tajam pada wanita di depan sana. Sedang yang tengah menjadi sorotan, enteng mengendikan bahu.Harusnya, pagi ini menjadi hal terindah. Melewati sarapan bersama anak-anak, suami, dan mertua. Namun, harapan hanya tinggal harapan.Melangkah cepat, aku terpaksa diam. Tak mau ribut di depan si kembar, yang sempat kaget melihatku menjerit."Pagi Kakak kesayangan," sapanya.Menyunggingkan senyum, "Makanan di sini enak-enak, beda dengan kontrakanku."Aku memutar bola mata malas, mengucap dalam hati bahwa ini kali terakhir ia masuk ke dalam istanaku! "Ya. Pagi juga adik kesayangan, silakan makan yang banyak. Biar tubuh kurusmu, menjadi besar!"Anne mendengkus, aku terkikik. Menikmati sandiwara yang amat menyebalkan, "Mas, rotbaknya mau nambah lagi?" Dahiku mengernyit, berani sekali dia bersikap sok manis.Tangannya bergerak ke sana-ke mari, bagai Nyonya rumah. Aku berdehem,
"Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa