Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair.
"Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan.
"Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.
Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.<
"Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal
Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu
Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund
Semua Demi AdikDadaku semakin sesak, kala ijab qobul usai diucapkan. Semua hadirin bersorak riang, bertolak belakang dengan hatiku yang sedang tercerai berai.Seharusnya, hari ini menjadi hari paling bahagia untukku. Bisa menikah dengan Angga, pria tampan yang sangat digilai kaum hawa.Namun, lagi-lagi Anne mengambil segalanya dariku. Sakit yang dia rasa, seolah dijadikan senjata untuk bisa memikat hati semua orang.Mami bilang, aku perempuan cantik, kuat, sehat, dan bisa mendapatkan apapun yang lebih dari Anne. Tetap saja, sebuah kenyataan hari ini cukup membuat hati merasa terkoyak.Bahuku terguncang, isak tangis tak dapat lagi ditahan. "Anna, maafkan Mami sayang."Dulu, pelukan Mami selalu menjadi obat paling mujarab dikala hati sedang gundah gulana. Sekarang, semu
Ada Yang CemburuPlakPlakPlak"Puas kamu Ann? Lihat, karena kelakuanmu Anne kambuh dan mungkin nggak akan bisa diselamatkan." Untuk pertama kalinya dalam seumur hidup, Mami menamparku hingga tiga kali pukulan.Jangan tanya gimana rasanya! Hatiku jauh lebih sakit, dan kata maaf tidak akan mampu untuk menyembuhkan hingga ke akar-akarnya.Andai masih ada Papi, beliaulah orang yang selalu hadir di depan. Kala Mami mulai pilih kasih, sayang, takdir yang begitu kejam harus memisahkan kami."Kamu boleh marah sama aku, Ann. Tapi, jangan lampiaskan semua sama Anne! Seharusnya, kamu lebih tahu gimana kondisi dia." Angga, berucap dengan sedikit nada tinggi. Kupikir ucapan dan ta
Tusukan KesedihanSedari tadi, aku terus merenung. Memikirkan jalan hidup, yang sama sekali tak pernah berpihak.Mami terus memaksa, agar aku tetap tinggal di rumah sakit. Menyaksikan keintiman Anne dengan sang suami, Angga ... Kini hatiku tengah diselimuti keresahan.Kenapa semudah itu, kamu dekat dan terlihat sayang dengan tulus terhadap Anne?Masih adakah, secuil rasa untukku? Ke mana cinta yang sering kamu agungkan? Bisikan kata rindu, yang seolah terucap dari bibir.Mengepalkan tangan dengan kuat, aku mencoba berdiri. Berniat keluar, tak ingin menjadi serangga pengganggu untuk mereka.Mami bilang, Anne kambuh lagi karena aku. Mana buktinya? Sedari tadi dia hanya diam, merajuk dengan menyebalkan pada Angga.Untuk apa cob
Pergi Dari Rumah"Ke mana Mami sama kak Angga?" tanya Anne, lagi merajuk dengan gayanya yang sok imut."Ada di rumah, katanya ada surprise untuk kamu." Menjawab dengan malas, dan rasa sedih. Aku terus menuntun Anne, penuh kehati-hatian. Kalau tergores sedikit saja, tamatlah riwayatku!Aku nggak tahu, surprise apa yang sedang Mami dan Angga persiapkan. Hanya saja, mereka terlalu berlebihan.Lagi-lagi aku tak bisa membantah, selain takut kualat juga masih ada rasa kasihan dan juga sayang sama Anne.Tuh, kurang baik apa coba? Udah disakiti, tapi, aku masih saja baik. Seharusnya kalian sadar, terlebih kamu Anne.Terus berperang ucapan dalam diri, rupanya kami telah sampai mobil. Yang telah dipersiapkan sebelumnya, tentu untuk Putri
Masih Cinta"Apa kabar? Lama nggak jumpa," tanya dokter Adi, sok akrab dan sok manis pula.Aku memutar bola mata dengan malas, kalau bukan karena ancaman Mami. Mana sudi datang ke rumah sakit, hanya untuk mengambil obat untuk Anne.Lagi, aku tak bisa menolak. Merasa terlalu bodoh, selalu diperalat oleh Mami dan Anne. Kalau bukan karena ikatan keluarga, malas sekali rasanya.Baru dua hari aku merasakan kebebasan yang haqiqi, Mami kembali menelpon. Bilang, kalau Anne kehabisan obat. Dan hanya ingin aku yang mengambilnya, dengan dalih Angga dan Mami sibuk.Sebenarnya maksud Anne apa sih? Kesannya kayak sengaja banget, buat hatiku geram tak berkesudahan.Apa nggak cukup, dia mendapat Angga. Kasih sayang Mami yang se