"Aku datang ... Karena ada yang ingin dibicarakan," katanya masih berdiri di ambang pintu. Menatapku yang tengah sibuk, menata beberapa barang untuk dibawa ke rumah Papi.Malam itu, aku tidak langsung ikut dengan Papi. Karena harus membereskan banyak hal, juga menegaskan pada Mami tentang aku yang tak mau lagi mencampuri urusan dirinya dengan Anne.Pagi sekali, Angga datang dengan membawa sejuta kerinduan yang seolah ingin aku luapkan.Namun, mati-matian aku menahan. Sadar betul, bahwa kini kami bukan lagi pasangan. Melainkan mantan, dengan status ipar."Silakan masuk Ngga," titahku, untuk sesaat menghentikan aktivitas. Seraya membuka pintu selebar mungkin, "Ada apa?"Setelah sekian lama, baru kali ini aku dan Angga bisa bicara. Hanya berdua tanpa ad
"Makan yang banyak Anna, aku lihat kamu seperti kekurangan gizi. Kurus dan tak bergairah," ucap boss Putra. Terdengar seperti cemoohan, yang cukup telak mengenai hati.Kalau Mami dengar, bisa ngamuk dia. Tapi, memang dalam hal makanan wanita itu selalu memberi yang terbaik.Untuk soal keadilan, tahu sendirilah. Aku lagi nggak ada mood bagus, untuk membahas hal seperti ini. Lagi dan lagi.Malam ini boss Putra, mengajakku makan di salah satu Restoran bintang lima. Setelah sebelumnya minta izin kepada Papi, sempat kesal karena Tante Mita terlihat ganjen.Seharusnya wanita itu sadar, untuk cukup tahu diri agar bersikap layaknya seorang istri yang baik.Lagi, aku hanya bisa mendengkus kesal. Apalagi, boss Putra terlihat beramah-tamah kepada Tante Mita.&nb
Aku menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan, dada begitu sesak. Harus berbicara dengan bahasa apa, supaya Mami dan Anne paham. "Keputusanku sudah bulat, antara aku dan Angga tidak akan pernah terulang lagi."Semua mata menatapku lekat, termasuk Angga yang kian kalut di sofa yang tengah ia duduki. Sekali lagi maaf, aku sudah kadung kecewa."Aku ... Mohon Ann, beri kesempatan sekali lagi. Aku tahu salah, terlalu menyimpan rasa kasihan terhadap orang lain. Hingga mengabaikan cinta kita," ungkap Angga. Berdiri untuk menghampiri, lantas bersimpuh dengan derai air mata.Kutepis lengan Angga, kasar. Perbuatan manis seperti apapun, sudah tidak akan menggoyahkan keputusanku. Tidak ada tempat, untuk seorang pengkhianat.Mere
"Tunggu Ann ... Percayalah aku dan Anne sudah bercerai. Tinggal menunggu surat resmi, dan setelah itu kita bisa kembali. Kamu mau 'kan?" Demi menanggapi ucapan Angga, aku mendengkus kesal. Dia datang layaknya seorang pengemis cinta, setelah kemarin mencampakkan diriku.Bila kemarin rasaku masih membumbung tinggi untuknya, entah kenapa seiring dengan berjalannya waktu. Cinta itu mulai terkikis, Angga bukan pria idaman seperti yang dulu.Tatapannya yang lekat, jua penuh penyesalan tak lagi mampu membuat hatiku luluh.Mungkin, dia lupa. Bagaimana sifatku, bila sudah kadung tersakiti maka tidak akan mudah untuk bersikap seperti dulu."Pergilah! Aku lagi nggak ada mood, untuk menghadapimu saat ini. Tolong," pintaku, lirih tak mau lagi berhubungan dengan diriny
Pagi yang suram, bahkan untuk pergi bekerjapun rasanya malas. Terlebih di luar rintik hujan mulai menghiasi kota, maklum sebentar lagi orang-orang akan menyambut Natal juga tahun baru.Aku mengenyakkan diri pada sofa ruang tamu, tak ada siapapun karena Papi dan Tante Mita sudah lebih dulu pergi.Tujuan Papi sudah pasti bekerja, sedang Tante Mita apalagi kalau bukan sibuk dengan dunianya yang selalu penuh dengan gemerlap kehidupan.Aku memejamkan mata, perih dada ini kala mengingat bahwa dokter Adi akan menikah dengan Anne.Bodohnya aku, kenapa harus memiliki rasa pada pria yang tak seharusnya?Akhir bulan tinggal beberapa hari lagi, aku ingin tahu prediksi dokter tentang kematian Anne
"Cepat katakan, ada urusan apa hingga kamu minta untuk ketemu?" cecarku, menatap Angga dengan rasa tak suka."Kangen ...," sahutnya, sambil memperlihatkan beberapa poto antara aku dengan dirinya. Sewaktu masih pacaran dulu, "Kamu masih ingat sayang? Lihat, kita begitu bahagia sebelum takdir menjungkir balikkan keadaaan."Aku menggeleng lemah, Angga terlalu melankolis sore ini. Berulang kali ditolak masih saja memaksa, jengah aku jengah!"Kembalilah sayang, demi cinta kita." Angga meraih tanganku dengan erat, seolah tak ingin melepaskan.Kutatap sekeliling danau, sangat sepi dengan matahari yang akan tenggelam. Mendesah resah, ingin segera pergi."Mimpi! Aku nggak mau, dengar!" sahutku, benci sekali dengan paksaanya.
Hari yang sibuk, tentu untuk Papi yang tengah mengurus perihal laporan terkait insiden pelecehan beberapa hari yang lalu.Aku sempat dimintai keterangan, dengan beberapa saksi yang akan semakin menguatkan banyaknya bukti.Aku yang tidak mengerti tentang hukum, manut saja ketika Papi menyarankan ini dan itu. Terpenting, Angga mendapat balasan setimpal dari apa yang dia perbuat.Namun, kejadian tentang di mana aku dan Angga bertemu di rumah Mami. Masih menjadi misteri, apa mungkin mereka memang sudah merencanakan semua ini dari awal?Tidak!Rasanya nggak mungkin Mami sekalut itu, membiarkan anaknya sendiri mengalami pelecehan. Semoga saja kasus berjalan lancar, dengan tidak membawa nama mereka di pe
Papi pulang dengan rasa lelah luar biasa, karena kasihan yang teramat dalam. Kuputuskan untuk memijat pundaknya dengan lembut, sebagai tanda terima kasih atas perjuangannya selama ini.Tante Mita belum jua pulang, memang ia berpesan untuk kembali lebih dari jam biasanya. Tetap saja, itu tak pantas dilakukan seorang istri.Aku masih diam, dengan tangan sibuk memijat Papi. Mood untuk bertanya perihal Angga rasanya menguap, apalagi mendengar penuturan Anne tadi pagi.Mereka pura-pura bercerai untuk apa? Berarti Angga memang bersekongkol dengan Mami dan Anne ... Mungkin, juga termasuk insiden di danau.Aku menggeleng lemah, otakku sudah tak cukup muat untuk dijejali tentang mereka yang terus mencoba menyakiti.
Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund
Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu
"Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal
Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.
Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t
"Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im
Tubuhku menegang. Menatap pria yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumah, ada angin apa hingga takdir perlu membawanya ke mari? Masih ingat betul, dengan segala pengkhianatan yang pernah ia torehkan. Apalagi, wanita biasa mengingat itu hingga ke detailnya sekalipun. Adanya dia di sini, seakan membuka luka lama. Sekelebat bayang masa lalu, kembali bermunculan. Dulu, kamu gagah dan tampan di balik seragam dokter. Kini, status itu hanya tinggal nama akibat kelakuan yang amat tak bermoral! "Anna, apa kabar?" Memantik senyum di bibir, aku sama sekali tak ada niat untuk membalasnya. Bagiku, Radit sudah mati!"Sangat baik, bahkan semenjak kamu TIDAK ADA!" Menekan kata demi kata, yang kuharap pria itu cukup tahu diri. "Maafkan aku Ann, semua memang salahku.""Ya, kamu memang salah. Dan semua orang tahu itu!" Bibirku bergetar, menatap pria yang sempat kupuja setengah mati. Tak ada bedanya dengan Angga, sama-sama ba***an!Menunduk l
"Ka-mu ...." Menjerit kecil, netraku seakan menatap tajam pada wanita di depan sana. Sedang yang tengah menjadi sorotan, enteng mengendikan bahu.Harusnya, pagi ini menjadi hal terindah. Melewati sarapan bersama anak-anak, suami, dan mertua. Namun, harapan hanya tinggal harapan.Melangkah cepat, aku terpaksa diam. Tak mau ribut di depan si kembar, yang sempat kaget melihatku menjerit."Pagi Kakak kesayangan," sapanya.Menyunggingkan senyum, "Makanan di sini enak-enak, beda dengan kontrakanku."Aku memutar bola mata malas, mengucap dalam hati bahwa ini kali terakhir ia masuk ke dalam istanaku! "Ya. Pagi juga adik kesayangan, silakan makan yang banyak. Biar tubuh kurusmu, menjadi besar!"Anne mendengkus, aku terkikik. Menikmati sandiwara yang amat menyebalkan, "Mas, rotbaknya mau nambah lagi?" Dahiku mengernyit, berani sekali dia bersikap sok manis.Tangannya bergerak ke sana-ke mari, bagai Nyonya rumah. Aku berdehem,
"Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa