"Ada keperluan apa, hingga dokter datang ke mari? Perihal Anne pasti," tebakku. Yakin tak akan meleset, bukankah semua orang menaruh rasa peduli terhadap dirinya?Aku mengalihkan tatapan ke manapun, asal tidak perlu ke arah sang dokter. Sialnya dia telah berhasil mencuri hatiku, bahkan tanpa permisi!Padahal, kami jarang bertemu. Kenapa rasa itu makin kuat? Mencoba untuk move on, tapi, rasanya teramat sulit."Kamu benar," sahutnya. Sambil menghela napas panjang, terlihat seperti sedang menyimpan beban berat. "Semalam ... Dia jatuh pingsan. Itu karena habis bertengkar di sini, betul?""Memang betul ... Lantas, apa urusannya dengan dokter? Mau ceramah? Sana gih di mesjid," selorohku. Menatapnya sengit, tak habis pikir bisa mencintainya setengah mati.
"Sungguh ... Hatimu baik, bagai Malaikat tak bersayap sayang," puja Papi. Mengelus punggung tanganku lembut, sore yang cerah seolah melukiskan keadaan hati.Seminggu berlalu, dan kasus pelecehan tempo hari sudah usai. Tentu dengan kemenangan berada di pihak kami, Papi memang juara.Namun, aku tak dapat menyeret Mami untuk ikut ke dalam penjara. Mereka sudah terbang ke luar Negeri, melakukan pengobatan Anne.Dan selama itu pula, aku menahan diri untuk tidak datang menemui mereka. Satu hukuman yang harus diterima!Berbagai pesan juga telpon dari Mami, sengaja kuabaikan. Maaf, hatiku sudah lelah. Tak ingin lagi berhubungan dengan kalian!Hari ini, Papi memuji. Karena dengan mudah bisa melepaskan Mami begitu saja, tanpa haru
Hari ini resmi sudah, diri menjadi pengangguran. Tak ada lagi yang bisa menahanku untuk terus bekerja di Perusahaan boss Putra.Entah kata apa yang dia ucap, untuk menjelaskan tentang kepura-puraan kami selama ini. Sudahlah, nggak penting lagi.Mungkin, aku akan menerima tawaran dari Papi. Untuk bekerja di Perusahaan miliknya, oh tidak. Jadi pengangguranpun, rasanya juga bisa.Aku terkikik, usai melaksanakan shalat Subuh. Diri seolah tak ingin beranjak dari kasur, rasanya begitu nikmat menjadi kaum rebahan.Dan ... Masalah dokter Adi, sudah berulang kali ia datang. Meminta untuk bertemu, tapi, lagi aku menolak tak ingin lagi mengalami hal yang sama.Biarlah cinta ini kukubur selamanya, tak p
Kepiwaian Mami dalam merebut hati Papi, memang patut diacungi jempol. Berkat dia yang tidak lantas menyerah, pagi ini aku duduk di kursi kekuasaannya.Mengecek satu-persatu dokumen, tentang penjualan di bulan ini. Dan hal lain yang tentu membuat kepala pusing tak karuan, selalu aku lagi yang dilibatkan dalam hal yang tak disuka.Tentang kondisi Anne, aku jelas tak mau tahu. Ia pasti baik-baik saja, pulang dengan sehat dan akan menindas kembali diriku tanpa rasa kasihan.Perihal Angga, mungkin seiring dengan berjalannya waktu. Ia akan sadar juga, tidak lagi ikut dalam permainan Anne dan Mami.Aku mengembuskan napas dengan berat, kepergian mereka sama sekali tak lantas membuat diri menemukan bahagia yang seharusnya.
Netraku terbuka lebar, merasakan nyeri di sekujur tubuh. Peralatan medis tengah bertengger di mana-mana, lagi-lagi membuat diri meringis. Kenapa harus aku yang mengalami kesakitan bertubi-tubi?Aku mendesah sedih, bahkan hingga saat ini hanya Mami yang setia menemani. Di mana kamu kak Anna? Segitu bencinya sama aku, hingga menolak untuk ikut ke luar Negeri.Air mataku mengalir deras, merasa lelah dengan penyakit yang tak kunjung usai. Kenapa bukan kakak yang sakit, bukan aku!Tuhan memang tidak adil, selalu aku yang menjadi sasaran. Itulah sebabnya, aku tak pernah ingin melihat kakak bahagia."Anne." Mami menggeliat, tubuhnya terlihat lebih kurus sekarang. Dengan kantung mata ya
"Mami kecewa sama kamu Anna," ucap Mami di depan semua orang. Tahu bagaimana rasanya hatiku? Remuk, seremuk-remuknya.Sedang Anne terlihat mengulum senyum, ia sama sekali tak merasa iba atas apa yang tengah terjadi pada diriku.Apa aku bilang, sembuh tak membuat Anne sadar. Begitupun dengan Mami, mereka lebih bringas sekarang. Menuduh, tanpa bukti yang kuat."Gimana dong Mami? Gaunnya rusak kayak gini, sial emang nih nggak teliti jadi orang," tuding sang pelanggan. Sebab, mendapati kerusakan di bagian gaun paling bawah.Kemarin semua baik-baik saja, sebelum mereka datang mengacaukan. "Anda yakin tidak merusaknya sendiri, Miss?"Aku menelisik perubahan wajah si pembeli, semua gaun meman
Jantungku berdetak kencang, hari ini dokter Adi akan membawa serta kedua orang tuanya untuk melamar secara resmi.Hati riang nan gembira, semoga sang pujaan akan menjadi pria terakhir yang menyusup di dalam kehidupan.Masalah lamaran ini, kututup rapat dari Anne juga Mami. Terlebih dengan kejadian kemarin, jelas Papi tahu dan marah besar.Namun, kutahan mati-matian. Menunggu waktu yang tepat untuk membalas semua perlakuan mereka, harus ada bukti siapa yang bersalah di sini bukan?Setengah jam berlalu, dan dokter belum jua datang dari waktu yang sudah ditentukan. Aku mendesah resah, tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak enak.Mencoba menelpon berkali-kali tetap tak ada jawaban, apalagi pesan
SAH!SAH!SAH!Air mataku meluncur deras, sang pujaan begitu lancar dalam mengucap ijab qobul. Hari yang kusangka menjadi lamaran resmi, justru dihadiahi dengan pernikahan tak terduga.Tak begitu banyak yang datang, hanya keluarga dan beberapa tetangga. Mengingat persiapan ini, pasti sangat terbatas jua mendesak.Namun, semua ini tak penting. Toh, kami menikah bukan atas dasar tanda kutip kecelakaan!Dokter Adi dan Papi, pasti sudah membahasnya secara matang. Hanya saja, Mami begitu tega dengan tak hadir di hari bahagiaku.Terang saja ia begitu enggan, ada Anne yang pasti melarang
Sore itu, tepat saat suami pulang. Aku merenung dengan tangan memegang remote TV, kuabaikan acara di sana. Karena pikiran sibuk menerka tentang Anne, sudah beberapa hari semenjak aku dinyatakan sembuh ia tak kunjung datang.Apa mungkin kemarin adalah satu drama terbarunya? Tidak! Aku berharap, itu hanya pikiran tidak baik yang sempat menyergap diri. Selebihnya, Anne berubah ke arah yang memang jauh lebih baik."Mikirin apa sih? Serius banget," cetus Putra. Duduk di sampingku, dengan sesekali menghela napas."Ahh, sayang. Kamu udah pulang? Maaf, lagi sibuk tadi." Takzim, aku mencium punggung tangannya. Lantas, ia balik mengusap kepalaku tak kalah lembut."Ya, aku tahu itu. Kamu, serius bukan karena nontonin TV. Tapi, karena ada pikiran lain. Ada apa sih? Ceritalah," terkaan Putra. Memang benar, aku mengulas senyum. Meletakan remote, berniat untuk bercerita."Anne, Mas. Dia ke mana ya? Kok, nggak lagi datang?" tanyaku, dengan gund
Dua hari berlalu, dan aku tak mendapati kabar secuilpun dari Putra. Suami yang harusnya ada kala istri terbaring sakit, kini harapan hanya tinggal harapan. Apalah aku, Anna yang memang sedari dulu selalu tersakiti.Ibu jua tak banyak bicara perihal anak lelakinya, beliau seakan bungkam. Mungkin, tak mau terlalu ikut campur lebih dalam. Atau hal lain yang aku tidak tahu, entahlah terlalu banyak misteri dalam hidup ini.Tubuhku mulai membaik, sudah bisa keluar masuk kamar mandi seorang diri. Anne, masih rajin datang. Merawatku dengan baik, tanpa banyak kata yang kadang kala menyebalkan itu.Kandunganku masih baik-baik saja, menjelang dua minggu hari ini. Sesekali kau bicara via WA bersama dokter Ratna, beliau banyak membantu dan menenangkan diri yang sempat gundah gulana."Anne, Mami kerja bareng Papi. Apa kamu nggak marah?" tanyaku, suatu hari saat ia memberiku sarapan."Nggak, kenapa harus marah? Aku senang, jika itu bisa menebu
"Cieeee ...." Wanita yang tengah kugoda, melirik dengan senyum di bibir. Tangannya sibuk menari di atas keyboard, penampilan yang dulu pernah menghiasi perlahan berubah ke arah yang jauh lebih baik."Anna, kamu sendirian?" tanyanya, sibuk membereskan peralatan kerja. Waktu makan tiba, semua karyawan wajib istirahat."Diantar sopir, Mi. Semenjak aku hamil, Putra makin rewel." Tersenyum getir, entah aku harus bahagia atau sedih. Mendapati kenyataan ini, sedangkan tekanan untuk memiliki anak lelaki seakan tidak memberi suatu ketenangan."Begitu, bagus dong. Itu namanya suami pengertian, beruntung kamu punya dia." Meraih lenganku, kami melangkah beriringan. Memutuskan makan di kantin, berhamburan dengan karyawan lain.Usai memesan dua porsi menu makan dan minum, kami duduk di pojokan. Menghindari keramaian, sedang Papi mungkin masih di ruangan.Kutatap Mami, lekat. Keceriaan tergambar jelas di wajah, amat berbeda dengan Mami yang kukenal
Kabar bahagia datang, justru ketika sebulan berlalu usai melakukan program kehamilan. Ada calon bayik, yang sudah mengisi perutku seakan menebar berita baik bagi seisi rumah terlebih suamiku Putra.Seperti halnya malam ini, Aya dan Ayi terus berceloteh riang. Sambil memegangi boneka di tangan, bersandiwara layaknya itu adik mereka kelak. Menanggapi itu, aku tersenyum. Menyeka sudut mata, yang terkadang selalu berair."Aku nggak sabar deh, kepengen lihat dedek bayi. Momy, kapan sih dia lahir?" Ayi bertanya dengan bibir merenggut, kepalanya yang miring seakan menambah kesan menggemaskan."Emm, masih lama sayang. Tapi, kalau Ayi sama Aya sabar. Allah, pasti akan memberinya dengan cepat." Tepukan riuh seakan memenuhi langit kamar, istana megah kami tak pernah sepi semenjak hadirnya kedua putri tercinta.Putra yang tampak bahagia, sesekali mencuri pandang. Berkali-kali mengucap terima kasih, atas kehamilan yang sedang kurasa saat sekarang.
Hari-hari berlalu, dan pikiranku masih berkutat pada Papi. Tentang permintaan dan keluhan yang sempat beliau lontarkan, merasa nggak berguna justru saat dibutuhkan.Tepat jam sepuluh pagi, aku berkutat di taman yang dipenuhi banyak bunga bermekaran. Si kembar tengah bermain, tak lupa ada Ibu yang selalu berada di samping."Maafkan Putra ya, entah kenapa Ibu merasa ... Dia terlalu memaksakan," ucap beliau, mengusap bahuku lembut."Memaksa apa Bu?""Kehamilan, padahal Ibu cukup tahu kamu belum siap lahir batin. Terlebih kedatangan Papimu, seakan membuat kegamangan." Aku mengangguk lemah, mengusap perut yang belum dikaruniai seorang anak juga. Butuh waktu dan kesabaran, itu yang dokter Ratna ucapkan berkali-kali.Mematikan kran yang sedang terpakai, kami duduk di kursi panjang. Kegiatan yang setiap hari dijalani, sambil memantau anak-anak bermain.Aku nggak paham, apa yang mendasari Putra ingin memiliki anak laki-laki. Bukan t
"Kamu, mantan dokter. Mau-maunya kerja di kantor? Staff biasa lagi." Aku berdecak, menatap Radit dalam stelan kemeja biru polos.Pria itu mengulum senyum, mengangguk hormat. Hidup yang pahit, telah banyak memberi pelajaran untuknya."Teruskan kerjamu, kalau rajin siapa tahu bisa naik jabatan.""Baik, Bu." Formal sekali dia, tanpa menunggu perintah mantanku itu kembali menatap layar besar di depannya. Bekerja serius, seakan menikmati peran baru.Sepanjang jalan menuju ruang suami, aku mulai berpikir untuk membantu pria itu kembali bekerja sebagai dokter. Sesuai stylenya selama ini, memang agak susah untuk membersihkan nama yang tercoreng.Dulu, karena amarah yang membuncah. Kuputuskan untuk melaporkan semua kelakuannya pada kepala rumah sakit, tak pernah berpikir hal itu akan berimbas pada hidupnya kini.Ahh, bukankah itu sesuai dengan perbuatan dia? Hatiku terluka, dan jelas saja aku menginkankan hal sama pada dirinya. Im
Tubuhku menegang. Menatap pria yang tengah berdiri tepat di depan pintu rumah, ada angin apa hingga takdir perlu membawanya ke mari? Masih ingat betul, dengan segala pengkhianatan yang pernah ia torehkan. Apalagi, wanita biasa mengingat itu hingga ke detailnya sekalipun. Adanya dia di sini, seakan membuka luka lama. Sekelebat bayang masa lalu, kembali bermunculan. Dulu, kamu gagah dan tampan di balik seragam dokter. Kini, status itu hanya tinggal nama akibat kelakuan yang amat tak bermoral! "Anna, apa kabar?" Memantik senyum di bibir, aku sama sekali tak ada niat untuk membalasnya. Bagiku, Radit sudah mati!"Sangat baik, bahkan semenjak kamu TIDAK ADA!" Menekan kata demi kata, yang kuharap pria itu cukup tahu diri. "Maafkan aku Ann, semua memang salahku.""Ya, kamu memang salah. Dan semua orang tahu itu!" Bibirku bergetar, menatap pria yang sempat kupuja setengah mati. Tak ada bedanya dengan Angga, sama-sama ba***an!Menunduk l
"Ka-mu ...." Menjerit kecil, netraku seakan menatap tajam pada wanita di depan sana. Sedang yang tengah menjadi sorotan, enteng mengendikan bahu.Harusnya, pagi ini menjadi hal terindah. Melewati sarapan bersama anak-anak, suami, dan mertua. Namun, harapan hanya tinggal harapan.Melangkah cepat, aku terpaksa diam. Tak mau ribut di depan si kembar, yang sempat kaget melihatku menjerit."Pagi Kakak kesayangan," sapanya.Menyunggingkan senyum, "Makanan di sini enak-enak, beda dengan kontrakanku."Aku memutar bola mata malas, mengucap dalam hati bahwa ini kali terakhir ia masuk ke dalam istanaku! "Ya. Pagi juga adik kesayangan, silakan makan yang banyak. Biar tubuh kurusmu, menjadi besar!"Anne mendengkus, aku terkikik. Menikmati sandiwara yang amat menyebalkan, "Mas, rotbaknya mau nambah lagi?" Dahiku mengernyit, berani sekali dia bersikap sok manis.Tangannya bergerak ke sana-ke mari, bagai Nyonya rumah. Aku berdehem,
"Momy, tadi ada aunty Anne. Dia datang bawa sekotak makanan buat Papa, ituloh kembaran Momy." Ayi berucap riang, menimbulkan emosi di jiwa. Dia lagi? Benar-benar tak tahu malu!Netraku mengitari sekitar halaman, Anne lenyap. Dia sudah berlalu, mungkin untuk menghindari keributan. Sial, wanita itu memang tak pernah bisa menyerah!"Ayi, sini kotak makanan itu buat Momy." Ia memberikan dengan senang hati, sedang aku menggengam dengan rasa tercabik. Kututup pintu, memastikan bahwa Anne benar-benar sudah tidak ada. Hari ini makanan, besok apa lagi?"Kenapa sayang?" Putra menyelidik. Menatapku membawa sesuatu di tangan, baiknya kuapakan makanan ini?Duduk di sampingnya dengan gelisah, aku menaruh barang tersebut pada meja. "Anne, bawain sarapan buatmu."Putra melotot. "Iya, tapi, untuk apa?"Aku mendengkus, "Tentu saja untuk merebut hati suamiku!"Menyilangkan tangan di dada, napasku makin tak beraturan. Harus dengan cara apa