Radit membantu Nirmala berdiri, “Kamu baik-baik saja, Yang?” katanya sambil memutar Nirmala ke kanan dan ke kiri.
“Aku baik-baik saja,” katanya. “Kamu baik-baik saja, Mas?” tanya Nirmala yang melihat Bisma masih belum berdiri.Melihat Bisma yang terluka jiwa dokter yang selalu ingin menolong sesamanya, membuat Radit mengesampingkan sejenak rasa cemburunya. Segera dia memeriksa Bisma, sepertinya tangan kanannya terluka, darah mengalir dari balik kemejanya yang telah dia gulung tadi.“Aku baik-baik saja.” menolak uluran tangan Radit, Bisma bangkit berdiri lalu membersihkan celananya yang kotor, tapi saat akan menggerakkan tangannya laki-laki itu meringis menahan sakit.“Tuh, kan bandel sih, biar aku obati bentar.” Tanpa menunggu persetujuan Bisma Radit berlari ke mobilnya mengambil kotak p3k yang memang selalu dia simpan di sana. sebagai seorang dokter dia tak bisa berdiam diri saja melihat orang terluka di depan matanya terlepasGita memandang Nirmala heran, “ kamu undang Bisma juga?”“Iya, Mbak.”“Kamu yakin ini tak akan berdampak pada hubunganmu dengan Radit? Apalagi ada orang tua Radit juga, mbak nggak mau lihat kamu nangis lagi, ya.”“Jangan mendo’akan aku nangis lagi juga sih, Mbak,” katanya dengan nada manis.Gita yang gemas menoyor kepala Nirmala, “bukan mendo’akan, tapi antisipasi apa kata Radit dan keluarganya coba kalau mantan kamu masih berkeliaran di sekitarmu.”“Lah, harusnya dikurung gitu biar nggak berkeliaran.”“Sesukamulah, pusing mbak ngomong sama kamu.”Nirmala tersenyum pada Gita yang menatapnya tajam, saat pertemuan mereka kemarin Bisma memang bertanya apa boleh dia datang saat pembukaan toko, dan meski mereka bukan lagi sepasang kekasih, tapi Bisma juga salah satu orang yang berjasa dalam usahanya ini meski akhirnya Bisma yang tak setuju juga dengan dia menjalankan toko, sebuah anomali mem
Nirmala melajukan motornya dengan kencang, bahkan beberapa kali dia harus menyalip kendaraan yang ada di depannya, tak dia perdulikan umpatan dari beberapa orang pengemudi di depannya dia terus melajukan motornya kencang. Nirmala bukan pengemudi yang nakal bahkan dia cenderung selalu taat peraturan, memakai helm, membawa semua kelengkapan dan tidak pernah mengemudi ugal-ugalan seperti saat ini. Setiap dia akan berkendara semua hal selalu dia siapkan dengan teliti. Tapi sepertinya kali ini dia punya urusan yang sangat mendesak. Telepon yang baru saja diterimanya ketika sedang menghias kue di lantai atas tokonya, menjadi penyebabnya, bahkan pada mbak Ratna dan Rina yang waktu itu ada di toko dia hanya mengatakan ada urusan penting dan menyerahkan urusan toko pada mereka berdua karena Nia sedang bertemu orang yang akan memesan kue mereka untuk acara seminar.Tiba di perempatan senopati Nirmala memelankan laju motornya, ada banyak antrian moto
Nirmala merasakan ponselnya bergetar di dalam saku celana, segera diambilnya benda pintar itu, melihat sesaat siapa yang menelepon. Rupanya Nia, astaga dia memang belum mengabari adiknya itu, bahkan dia tadi meninggalkan toko dengan tergesa-gesa tanpa penjelasan mereka pasti cemas.“Ya, Ni. Mbak di rumah sakit, Caca sakit.” Nirmala mendengarkan sejenak Nia yang sedang berbicara.“Diare dan muntah, sudah agak mendingan kamu nggak usah khawatir, kamu jaga toko saja, mbak nggak bisa balik sekarang.”Nirmala menutup telepon setelah memberi penjelasan singkat tentang kue pesanan pada Nia. Wanita itu kembali memandang Caca yang masih terlelap mungkin efek obat yang diberikan dokter. jam sudah menunjukkan pukul tiga sore. Perutnya terasa lapar, siang tadi dia belum makan apapun karena terlalu cemas, tapi meninggalkan Caca sendiri dia sangat tidak tega bisa saja anak itu sewaktu-waktu bangun dan mencariny
“Dia pasti jadi ayah yang sangat baik, dengan anak orang saja selembut itu apalagi dengan anak sendiri, “ bisik budhe menggoda Nirmala yang masih memandangi interaksi Radit dan Caca.“Iya, Budhe,” jawab Nirmala tanpa sadar.“Tunggu apalagi, segerakan saja membuat anak.” “Buat anak itu menikah dulu budhe.” Nirmala menatap budhenya cemberut mirip Caca yang tadi ngambek.“Iya itu maksud budhe segera terima lamarannya, nanti keburu diambil sundel lho.”“Hah sundel siapa budhe? Sundel bolong?”“Bukan itu lho perempuan yang suka merebut milik orang.” “Oalah pelakor maksud budhe.”“Nggak tahulah anak jaman sekarang nyebutnya apa, jaman budhe dulu disebut sundel.” Nirmala mengulum senyum budhenya ini ada-ada saja.“Bagaimana, La?”“Apanya?”“Kok apanya lagi, itu si Radit segera terima, biar bisa segera dicap sah kalau kalian punya anak.”
Nirmala menatap Radit dengan kesal. “Siapa juga yang cemburu.”“Kamulah, siapa lagi. Tapi aku suka kok kamu cemburui. Jadi makin cinta deh.” Radit menoel pipi Nirmala sambil tersenyum tengil yang membuat Nirmala melotot.Kalau tahu akan digoda kayak gini lebih baik tadi dia langsung pulang saja, bodoh amat kalau Radit nyuruh dia kemari. Tapi dia juga perlu bertanya tentang kamar Caca, sih.”Berpacaran dengan Radit membuat hatinya naik turun seperti roll coster, meski dia sendiri belum pernah naik roll coster. Ada saat dia merasa sangat bahagia karena perhatian Radit tapi kadang kala dia harus menebalkan kesabaran, karena banyak banget kupu-kupu yang ingin hinggap.Hubungannya dengan Bisma dulu hanya karena nyaman satu sama lain tak ada riak cemburu yang berlebih atau hati yang berbunga, berpacaran denga Bisma membuat dia merasa tenang, itu saja titik. Ketenangan yang menghanyutkan membuat mereka terseret arus.“Yu
Radit sangat menikmati sekali makan malam yang disediakan Nirmala padahal hanya berupa sayur asem, ditemani lauk wajib sejuta umat tahu dan tempe saja. Tadi Nirmala ingin memasakkan sesuatu atau meminta Nia membeli lauk yang lain, orang seperti Radit yang makan saja sendoknya mungkin dari emas tentu tak akan terbiasa dengan menu sangat sangat sederhana seperti ini. Tapi Radit yang memang sudah lapar dan ingin sekali makan masakan Nirmala sudah duduk terlebih dahulu mengambil nasi dalam bakul. “Bentar dulu aku gorengin telur sama ayam.” Nirmala segera membuka kulkas, ayam yang dia bumbui kemarin bisa langsung digoreng dan ada beberapa telur juga bisa dibuat telur mata sapi. “Ya udah aku tungguin sambil makan.” Nirmala mengerutkan kening, kalau dia sudah selesai makan ngapain dia goreng lauk lagi, tapi ya sudahlah mungkin Radit tipe orang yang makan nasi dulu baru lauknya, batinnya geli.Acara makan malam mereka sangat ramai s
Radit mengerutkan kening mendengar gumaman Nirmala, “pacar yang mana?” tanyanya bingung. “Pura-pura lagi ya pacar-pacar kamu yang berderet itu.” Radit tersenyum kecil, merangkul bahu Nirmala dan mengajaknya duduk di sofa ruang tamu. ”Aku nggak pernah ajak wanita selain mama dan saudara-saudaraku kemari,” katanya dengan mamandang langsung Nirmala tepat di kedua bola matanya seolah mentang wanita itu untuk membuktikan kebenaran ucapannya lewat pancaran bola matanya.“Seperti yang aku bilang tadi, kamu bisa bertanya langsung padaku atau siapapun yang kamu anggap bisa dipercaya, dulu memang hidupku dikelilingi banyak wanita tapi demi tuhan aku tidak pernah menyentuh wanita lebih dari semestinya.” Nirmala menunduk sedikit merasa bersalah karena menuduh Radit yang tidak-tidak meski tak secara langsung. Kenapa saat berhadapan dengan Radit penyakit lamanya yang suka berprasangka buruk pada orang lain selalu kumat. “M
Bisma memandang rumah mewah itu dengan perasaan hampa. Rumah yang dulu sangat sering dia kunjungi, tempat berbagi cerita dan keresahannya, karena salah satu penghuninya membuatnya memiliki teman dan sahabat yang selalu dia anggap mengerti dirinya.Tapi entah saat ini anggapan itu masih ada atau sudah hilang bersama semua kepercayaan yang dia miliki.Seorang wanita paruh baya yang dia kenali sebagai assisten rumah tangga di sini menyapanya dan mempersilahkan masuk.Dia langsung menuju taman belakang, tempat yang sering dia kunjungi selama ini."Hai kau datang." seru seorang wanita dengan binar ceria."Ya." Hanya itu jawaban Bisma laki-laki itu lalu melangkah mengambil tempat duduk di seberang sang wanita.“Apa yang sedang kamu lakukan?” tanya Bisma, dia memandang gadis itu heran lalu matanya tertuju pada gambar-gambar yang berserakan di atas meja, Gambar yang dia kenali sebagai baju pe
“Jadi ini karena penyakit ramahmu yang di atas normal itu?”Radit langsung manyun saat sikapnya yang ramah pada semua orang dibilang penyakit. Dia hanya ingin mempraktekkan apa yang diajarkan guru agamanya waktu SD bahwa senyum itu sama dengan shodaqoh, jadi kita harus banyak senyum biar pahala shodaqoh kita tambah banyak. Waktu itu uang sakunya tiap hari tak banyak, orang tuanya memang kaya raya tapi bukan berarti memberikan uang saku yang berlimpah padanya. Jadi dia yang pingin banget bershodaqoh berusaha mencari jalan lain, salah satunya dengan banyak senyum. “Itu bukan penyakit kali, Honey. Orang senyum itu dapat pahala.” “Iya tapi kalau terlalu banyak senyum dikira orang gila.” “Mana ada orang gila seganteng aku.” Nirmala memutar bola matanya mendengar kenarsisan Radit. “Memang penyakit gila itu tahu orang tampan atau enggak.” Ini mereka lagi ngomongin apa sih,
Dirapatkannya jaket tebal yang dia kenakan, kenapa harus sedingin ini sekarang. Dia berdo’a dalam hati semoga saja Nirmala tidak langsung mengusirnya. Paling tidak, ada secangkir minuman hangat untuknya. Tok… tokRadit mengetuk pintu itu dengan sedikit ragu, beberapa kali dia ulangi, tapi tetap saja pintu itu tak mau terbuka. Dia menoleh ke arah samping tempat yang dia ketahui sebagai dapur yang digunakan untuk memproduksi kue yang mereka jual. Nirmala pasti ada di sana sedang sibuk dengan berbagai kue. Radit tersenyum mengingat Nirmala yang selalu bersemangat membuat kue.“Apa sebaiknya aku ketuk pintu dapur saja,” gumamnya.Jalanan masih sangat lengang, jam dinding masih menunjukkan pukul lima pagi, sholat subuh telah dia tunaikan tadi di rumah. Udara yang dingin masih setia menyelimuti, bahkan untuknya yang terbiasa dengan AC yang sangat dingin masih merasakan tubuhnya menggigil. Ini bukan pertama kalinya dia berkendara dini hari, dia bahkan sering mendapat panggilan tugas yang
Pukul sembilan malam Radit sampai di rumah orang tuanya, seharian ini dia disIbukkan dengan banyaknya pasien yang datang, saat ini memang sedang musim hujan banyak anak-anak yang terkenal flu dan batuk. Dan mereka datang berduyun-duyun ke rumah sakit tempat Radit bekerja. Melihat anak-anak yang terbaring lemah membuatnya selalu tak tega, jadi dia berusaha membantu mereka sebaik mungkin, dan inilah yang menyebabkannya sangat sIbuk dan sedikit melupakan persoalan tadi siang. “Kenapa malam sekali baru pulang, Dit. Kami sudah menunggumu dari tadi?” Bu Lastri langsung menyambut putranya saat mobil laki-laki itu berhenti di halaman rumah, sejak pukul lima sore tadi memang Bu Lastri sdah mengirimkan pesan pada Radit untuk segera pulang dan membahas masalah tadi siang. Radit hanya membacanya tak berkeinginan membalas, Ibunya bukan tipe Ibu-Ibu obsesif yang kalau anaknya tak membalas pesan akan langsung menelepon, Bu Lastri tipe Ibu yang simple, asalkan pesannya sudah tersampaikan dia tak a
Radit melajukan mobilnya dengan kencang, wajahnya sudah merah dan tangannya memegang kemudi dengan sangat kencang, kalau saja kemudi itu tak dibuat dengan bahan yang baik pasti sudah bengkok. “Pelankan mobilnya, Mas aku takut!” teriak suara dari penumpang belakang tapi mana mau Radit mendengarkan, dia malah menambah kecepatan mobilnya meliuk ke kanan dan ke kiri menyalip kendaraan lain di depannya. “Hentikan,Dit, kamu bisa membunuh kita semua!” teriak wanita paruh baya yang tadi datang bersama Radit. Tangannya terasa kebas mencengkeram erat besi pegangan di atap mobil. Tapi telinga dan hati Radit seolah tertutup dengan teriakan dua orang wanita yang semobil dengannya. Bahkan dia juga tak memperdulikan pengendara sepeda motor yang juga melaju kencang dari arah yang berlawanan, menyerempet bagian samping mobilnya. Mobil keluaran eropa yang biasanya dia sayang, seolah tak berharga lagi. yang dia tahu saat ini hanyalah ingin le
"Aku mau tiga mangkuk es krim, tambahkan potongan strawberry yang besar dan kue coklat untuk kami, tolong cepat, ya Mbak siang ini panas banget," keluh Nia dengan senyuman manis di akhir kalimatnya."Segera, Mbak tunggu sebentar."Pelayan itu berlalu setelah mencatat pesanan Nia.Benar saja tak sampai sepuluh menit mereka menunggu pesanan sudah tersedia.Tiga mangkuk es krim, dengan saus strawberry dan ditambah potongan strawberry yang besar, terlihat sangat lezat.Nirmala memandangnya dengan berbinar, es krim strawberry tak pernah membuatnya bosan bahkan di saat suasana hatinya sedang tergores pisau tajam.Suasana cafe yang cozy membuat banyak pengunjung yang datang kemari."Lupakan diet dan mari habiskan es krim!""Yeiii lupakan jerawat juga, mari have fun!""Kalian serius mau menghabiskan es krim itu," Nirmala bertanya dengan wajah tak yakin, pasalnya dua wanita yang saat ini duduk bersamanya sangat anti makan es krim.Mbak Gita yang sejak melahirkan Caca menjadi gampang sekali gem
Nirmala menatap ke sekelilingnya dengan pandangan pias, orang-orang mulai berdatangan dan berbisik-bisik. Tentu saja kamu mereka biasanya tenang dan damai jarang sekali ada kejadian yang menghebohkan. Dan itu pun hanya seputar maling yang tertangkap warga saat mencuri atau tikus sebesar anak kambing yang nekat masuk rumah warga. Dan kali ini kedatangan wanita itu pasti sangat menggelitik rasa ingin tahu mereka apalagi posisi wanita itu yang berlutut di hadapan Nirmala dengan tangis yang berderai, pasti semua orang mengira bahwa Nirmala merebut suami orang dan istrinya sekarang datang memohon padanya. Ditambah lagi semua tetangganya sudah tahu tentang kabar pertunangannya dengan Radit, laki-laki tampan yang kaya raya, dan pastinya usianya jauh di bawah Nirmala, lengkap sudah penderitaannya.“Mbak, Mbaknya bangun dulu kita bicara di dalam saja.” Gita yang sejak tadi berdiri di samping Nirmala juga ikut membujuk, tak enak rasanya menjadi bahan tontonan warga sekitar. Dia memandang adi
Seperti hari-hari sebelumnya pagi ini Nirmala sudah disibukkan dengan berbagai tepung dan bahan pembuatan kue. Dengan adanya tiga orang tambahan, membuat Nirmala bisa bernafas dengan lega. dia tak perlu lagi menolak pesanan karena dirasa masih mampu mengerjakannya. Tapi semangat Nirmala untuk terus bereksperimen dengan berbagai jenis kue tak pernah pudar. Dan sekarang dia malah mempunyai banyak waktu untuk melanjutkan hobinya itu. Apalagi menjelang hari pertunangannya, dia semakin sibuk saja di dapur baik Mbak Gita maupun budhe sudah melarang Nirmala ke dapur tapi yang namanya Nirmala tetap saja keras kepala.“Aku bertanggung jawab dalam produksi kue tokoku bagaimana mungkin aku tak ke dapur,” kata Nirmala suatu hari saat Gita datang berkunjung dan melihatnya yang sudah bermain dengan bahan-bahan kesayangannya itu di dapur.“Ya paling tidak kamu kurangi, buat apa kamu bayar tiga orang karyawan kalu ujung-ujungnya kamu sendiri yang harus turun tangan.”“Aku cuma bantu, Mbak biar cepa
Siang ini matahari memang tidak bersinar terlalu terik, meski tak hujan, tapi awan kelabu sudah mulai berjalan-jalan, menemani burung-burung yang terbang mencari makan. Siang ini memang tak terlalu panas tapi tidak demikian dengan suasana hati Nirmala, wanita itu sudah setengah jam mondar mandir di depan sebuah butik ternama, tangan kanannya memegang ponsel lalu menempelkannya ke telinga begitu dari tadi tapi tak ada jawaban dari seseorang yang dia hubungi di seberang sana. “Kemana orang ini, katanya bisa datang kenapa sekarang tak menjawab telepon?” keluhnya kesal. “Sudah jawab, La?” “Belum, Ma.”“Coba hubungi terus, kemana anak itu katanya bisa datang kok nggak ada kabar.”Nirmala tak bisa menjawab pertanyaan yang sama juga sudah dia tanyakan berkali-kali tapi hanya semilir angin yang menjawab. Dia kembali sibuk menelepon lagi. “Kamu ada nomer perawat yang membantunya? Mungkin sa
“Ayo turun, La.” tanpa diminta dua kali Nirmala langsung turun dari dalam mobil, dia berniat membantu sopir Bu Lastri untuk mengangkat barang belanjaan mereka tapi, laki-laki itu melarangnya jadi Nirmala hanya mengikuti Bu Lastri dari belakang.Rumah ini masih tetap sama seperti beberapa waktu lalu saat dia pertama kali datang kesini, asri dan elegan. Dan satu hal yang selalu dirasakan Nirmala saat memasuki rumah ini adalah misterius, entah mengapa dia merasa kalau rumah ini banyak menyimpan misteri di dalamnya.Mungkin karena ini rumah kuno, yang banyak menyimpan rahasia para pendahulunya.“Ayo masuk.” suara Bu Lastri menyadarkan Nirmala tujuannya datang ke rumah ini. Setelah membeli semua perlengkapan seserahan tadi Nirmala memang diminta ikut ke rumah Bu Lastri, beliau bilang ada sesuatu yang ingin dia berikan pada Nirmala dan sekalian membicarakan rencana pernikahannya. Bagaimanapun mereka tak bisa mengandal