Hal pertama yang Rico lihat saat keluar kamar mandi adalah pemandangan seorang wanita yang masih ditutupi selimut hangatnya.
Setelah menemukan Ana tidak ada dikantornya kemarin malam. Rico kembali menghabiskan malamnya dengan wanitanya tadi siang.
Dia mendekat dan mengelus pelan kepala wanitanya itu, “Aku pulang dulu yah. Siang ini aku ada janji dengan yang lain,” ucap Rico setengah berbisik.
Wanita tersebut hanya mengangguk pelan yang disusul dengan Rico yang keluar dari kamar kosan temannya tersebut.
Alasan sebenarnya dia menolak bertemu dengan Ana hari ini, karena dari kemarin dia memang belum pulang. Saat dia hendak menaikin motornya, “Rico, kamu kemana aja dua hari ini?”
Terlihat pesan masuk di Hp nya. Dia pun membalas singkat pesan tersebut. “Sorry Nis, aku sibuk 2 hari kemarin. Ada apa?”
“Aku kangen tau, kamu gak ada kabar dua hari ini,” balas Nisa.
Rico mendecik pelan. Dia sangat tidak menyukak ketika ditanya seperti itu. “Nanti aku hubungi lagi yah. Aku mau pergi dulu ini.”
Kemudian dia mulai mengendarai motornya, menuju ke tempat pemberhentian selanjutnya.
***
Sambil menikmati suasana sore-sore, Ana tengah duduk di cafetaria kampusnya. Dia kemudian dikejutkan oleh sapaan temannya. “Eh Na, kenapa lu bengong sendirian disini?”
“Gw lagi agak kesel sebenernya.” Ana sambil memainkan sedotan didalam minumannya.
“Kesel kenapa?” Dia pun duduk disamping Ana.
“Biasa itu. Padahal gw udah ijin dari kantor buat Acc skripsian, eh dosennya gak ada.” Ana menaikan setiap nada perkataannya.
“Lah kita senasib. Gw juga udah berkali-kali di php sama dosen.” Teman Ana mulai memilih pesanannya. Dia pun melanjutkan perkataannya. “Btw Na, kayaknya kemarin gw sempet lihat cowok lu deh di bioskop.”
“Lu salah lihat kali. Kemarin dia bilang lagi sama emaknya.” Raut mukanya berubah. Dia yakin bahwa Rico kemarin bersama ibunya.
“Masa sih, cowok lu kan mudah banget dikenalin. Badannya yang tinggi itu bikin dia mudah ditemukan,” sanggah temannya.
“Kan yang badannya tinggi banyak.” Ana masih berusaha untuk menyanggah pernyataan temannya tersebut.
“Tapi yang tinggi item manis kek oppa-oppa korea kan cuman cowok lu,” sambung temannya.
Ana hampir tersedak mendengarnya. “Oppa korengan yang ada, hehe.”
“Yaudah gw pulang dulu yah bye,” jawab Ana melanjutkan. Dia pun berdiri dan bergegas untuk pulang.
Pernyataan temannya tersebut sedikit mengganggu pikiran Ana. Namun kali ini dia sudah memutuskan untuk mempercayai Rico kembali dan menghiraukan ucapan temannya tersebut.
Malam pun tiba, tapi Rico masih belum menghubungi Ana. ‘Dia masih sama temannya gitu yah? Apa aku telpon saja’ pikir Ana.
Tidak ada jawaban dari Rico yang membuat ana sedikit khawatir.
Untuk menghindari pikiran-pikiran negatifnya bermunculan, Ana mulai membuka grup chat sanggarnya.
‘Besok aku harus bersikap seperti apa yah sama Novan.' Dia mempelajari beberapa pertanyaan di grup chatnya. Seketika pikiran itu melintas dibenak Ana. ‘Setidaknya aku harus memberikan jawaban yang pasti untuknya.’
Tengah asik menggulirkan layar hp nya, ada telpon masuk dari papanya Rico. “Halo Ana. Om mau tanya apa Rico sama kamu?”
Ana menyipitkan matanya. “Gak om. Tadi siang Rico bilang kalau dia ada urusan sama temen-temennya.”
“Gitu yah, kamu tahu gak dengan siapa. Dari kemarin Rico gak pulang. Mamanya khawatir,” terang papanya.
Mata Ana terbelalak. Dia merasa aneh dengan pernyataan ayah Rico barusan. "Bukannya kemarin Rico sama tante ya om seharian?”
“Enggak kok Ana. Dari kemarin siang Rico pergi. Dia bilang akan makan malam dengan kamu. Jadi om kira dia nginep dirumah kamu.”
Alangkah terkejutnya Ana, bila apa yang diucapkan papanya benar berarti Rico sudah membohonginya kembali. Tapi Ana sekuat tenaga berusaha untuk tetap sopan didepan papanya Rico. “Kemarin emang mau makan malam Ana tadinya. Cuman gak jadi om, nanti coba Ana tanya sama temen-temennya ya om.”
Suara Papa Rico sedikit tercekat. “Oke Ana, makasih yah sebelumnya.”
Ana merasa tidak bisa lebih lama menahan kekecewaannya. “Gapapa Om, Ana tutup telpon nya yah.”
“Iya Ana, selamat malam.”
“Iya malam juga om.” Jawab Ana sambil mematikan sambungan telpon miliknya.
Sekali lagi Ana sangat kecewa oleh tindakan Rico. Dia pun teringat dengan ucapan salah satu temannya tadi sore.
Ana mulai memberanikan diri untuk menelpon temannya tersebut, “Malam, sorry ganggu. Lu lagi sibuk gak?”
“Malem juga Na, gak kok. Tumben lu nelpon malem-malem gini?” Terdengar keragu-raguan didalam ucapan temannya.
Ana mengigit pelan bibir bawahnya. Menahan emosinya. “Gw mau tanya, kemarin lu lihat yang mirip Rico tuh jam berapaan yah?”
“Sekitar jam dua apa jam tiga kali yah. Gw juga gak begitu inget soalnya kayak sekilas gitu dia terburu-buru keluar dari studio sama cewek. Padahal filmnya belum selesai, soalnya cuman mereka berdua aja yang keluar,” jelas temannya.
Mendengar hal itu membuat Ana diam. “Lu gak apa-apa kan? Gak usah terlalu lu pikirin mungkin gw yang salah lihat,” sambung temannya khawatir.
“Ah iya gak papa, thanks yah,” ucap Ana dengan sedikit terbata.
“No problem dear, udah jangan lu pikirin banget,” ucap temannya. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan Ana.
“Iya gw tutup yah, makasih sekali lagi.” Ana langsung menutup telponnya.
Ana pun kini kehilangan semua tenaganya. Hatinya sangat sakit. Penyesalan dan pengkhianatan yang dia alami kini semakin terasa berat.
Dia menyadari bahwa Rico sudah membohonginya lagi. Terlebih fakta bahwa Rico dari kemarin tidak pulang ke rumah membuat Ana semakin terluka.
Dia tidak pernah jadi prioritas untuk Rico, itulah yang dibenak Ana saat ini. Dia merasa sangat bodoh telah merasa bersalah pada Rico belakangan ini.
Ternyata dari awal dialah yang selalu dicurangin oleh Rico. Anapun hanya bis menangis dibalik selimutnya sepanjang malam.
Sama halnya dengan Novan, malam itu sangat berbeda dari minggu kemarin. Novan terlihat lebih lemas dan tidak bersemangat untuk menghadiri pertemuan kedua besok pagi.
Namun dia merasa harus meminta maaf terhadap Ana. Dia akan menerima apapun yang akan diputuskan Ana besok. Dan mungkin saja dia harus menerima juga kalau Ana akan benar-benar menolaknya. Tapi itu adalah yang terbaik untuk dirinya dan Ana.
Kedua insan itu tengah terlarut dalam kegelisahan dan kekecewaannya masing-masing. Mereka tidak menyadari bahwa takdir akan mulai mempermainkan mereka.
Bunyi alarm di Hp Ana pagi itu sudah mulai berdering. "Sial gue belum tidur dari semalam!" Rutuk Ana pada dirinya sendiri. Dia hanya menangis semalaman dibalik selimut tebalnya. Dengan langkah gontai Ana menuju kamar mandi. Dia berfikir lebih baik melupakan masalahnya dengan Rico terlebih dahulu dan fokus terhadap projeknya kali ini. Setelah selesai mandi, dia bergegas melihat Hp nya. Belum ada satu pun pesan dari Rico membuatnya menjadi lebih sakit. Dengan sisa tenaganya dia mulai memakai baju dan bersiap-siap untuk pergi ke taman kota. Kali ini Ana pergi dengan ojek online, karena merasa bahwa dia tidak akan bisa mengendarai motornya dengan baik. Tak berbeda jauh dengan Ana, Novan yang baru terlelap setelah lewat tengah malam. Bangun dengan sedikit lemas dan lebih murung. "Gue harus minta maaf kali ini sama Ana." Dia sudah sangat membulatkan tekadnya untuk mengakhiri permainannya. Dia merasa tidak enak bila terus membuat Ana menjadi tidak nyaman. Dilain tempat terlihat Rico ya
“Ahhh,Novan.” Rintih Ana. “Sakit kah?” Dia mengakhiri ciumannya dan mengusap pelan bibir Ana. Ana kini menelungkupkan mukanya di dada Novan.“Kamu, nakal ternyata.” “Makasih yah kak." Novan mulai mengelus kepala Ana. Dia memberikan sebuah ciuman lembut dipucuk kepala Ana. “Iya, aku pun merasa senang. ” Ana kembali memeluk erat tubuh Novan. Kini Ana mendorong sedikit tubuh Novan, dia mendongkakan kepalanya keatas. Dilihatnya wajah Novan yang kini mulai menatapnya. Novan menunduk. Menatap Ana dengan heran. “Kenapa kak?” “Gapapa, aku cuman seneng aja. Ternyata ini rasanya jujur dengan diriku sendiri.” Tergambar sebuah senyum manis dimuka Ana. Novan kembali mendekapnya. “Kak, mau kemana habis ini? Kita harus merayakan hari ini?” Dia sedikit menggoyangkan tubuh mungil Ana. “Mau makan dulu aja? Mumpung masih belum jam tujuh malem,” jawab Ana. Alih-alih melepaskan pelukannya. Novan malah semaki
Setelah pulang ke rumahnya, kini raut wajah Rico berubah panik. Terlebih ketika dia mendengar bahwa papanya secara tidak sengaja mengungkapkan kebohongannya terhadap Ana. Didalam kamarnya Rico beberapa kali terlihat mengirim pesan singkat terhadap Ana. “Na, aku bisa jelaskan.” Belum semenit dia menulis pesan kembali, “besok kita ketemu ya sayang.” Tetap tidak ada balasan dari Ana. Rico pun memutuskan untuk menelpon Ana. Saat itu Ana sedang berada dipanggilan lain. ‘Apa Ana menolak panggilanku?’ Selang sepuluh menit dia pun kembali menelpon Ana. Kali ini bahkan tidak ada jawaban sama sekali. Rico hanya bisa menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Rasanya ingin sekali dia menelpon orang tua Ana. Namun segera diurungkan niatan tersebut. ‘Gimana kalau nanti papanya Ana malah balik tanya sama gue?’ batinnya. Sementara itu Ana kini telah berada didepan rumahnya. Sebelum turun, dia memberikan se
Dari semenjak bangun tidur, wajah Novan nampak sangat ceria. Siang ini adalah waktu dia akan jalan dengan Ana untuk pertama kalinya. Sejak malam kemarin ketika akan mengajak Ana, dia sebenarnya ragu. Takut bila Ana akan menolak lagi untuk jalan bersamanya. Namun kali ini berbeda, dengan senang hati Ana menerima tawarannya. Setiap hari sabtu Ana hanya kerja sampai jam satu siang saja. Maka dari itu, mereka bisa berencana untuk jalan bersama. “Kak, nanti aku jemput kakak yah!”Tulis Novan. Tak berapa lama, balasan dari Ana diterimanya. “Oke, tapi nanti kamu jangan keluar mobil yah. Aku takut ada yang lihat salah paham.” Perasaan tidak nyaman muncul ketika melihat balasan Ana. Dia sebenarnya paham betul dengan konsekuensi hubungan mereka. Hanya saja entah kenapa hatinya masih belum terbiasa dengan itu. “Siap bu bos.” Dia pun mencoba menepis perasaannya dan kembali mempersiapkan keberangkatannya.
*Warning 21+* Beberapa adegan mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman untuk sebagian orang. *** “Rico, lu beneran gak akan masuk dulu?” tanya teman wanitanya. “Gak lah, gw mau pulang aja cape. Bye ya duluan.” Rico melambaikan tangannya. Dia pun segera memacu mobil menuju rumahnya. Sesampainya dirumah, tak bisa dipungkiri kalau Rico memikirkan apa yang dia lihat tadi siang. ‘Apa mungkin itu Ana? Tapi Ana gak akan mungkin kayak gitu. Dia kan udah cinta mati ama gw.’ ‘Apa gw terlalu lembek akhir-akhir ini sama dia? Sampe dia berani diemin gw kayak gini?’ sambungnya pada dirinya sendiri. Semakin Rico memikirkan hal itu, semakin dia menjadi pusing. Tak lama kemudian ada telpon masuk ke HP Rico. ‘Nisa? Sudah lama dia gak nelpon.’ “Halo Rico, kamu gimana kabar?” tanya Nisa dibalik telponnya. Rico tersenyum riang. Dia benar-benar bahagia mendengar suara Nisa. “Nisa, kamu memang ajaib tau aj
Sepulangnya dari tempat karaoke perasaan Ana mulai membaik, namun tidak untuk Novan. Dia dipenuhi dengan rasa bersalah yang sangat dalam. Dia tidak menyangka bahwa orang yang dia dekati adalah serapuh ini. Sampai merasa bahwa Ana akan sangat hancur ketika dia genggam dengan sedikit lebih keras.“Van, kamu mikirin apa?” tanya Ana.“Gak apa-apa kak, yuk abis ini kita mau kemana lagi?” jawab Novan. Mereka pun mulai memasuki mobilnya dan keluar dari tempat parkir.“Hmmm, aku lagi pengen beli sesuatu yang manis-manis Van.” ujar Ana memecah keheningan.“Kalau gitu kita ke cafe unicornaja yah, disana banyak cake-cakemanis loh kak. Pasti kamu suka,” usul Novan.“Boleh, aku belum pernah kesana. Katanya disana juga konsepnya lucu banget gitu loh Van. Makasih ya Van,” ucap Ana.“Yes princess, anything for you.” jawab Novan sambil mengelus kepa
Saat itu, Rico adalah yang paling pertama sampai ke rumah Ana.Mendengar suara motor Rico yang kini sudah berhenti, Ana segera menuruni tangga rumahnya.Begitu sampai Rico pun segera memarkirkan motornya dan bergegas untuk mengetuk pintu. Namun, dia harus terhenti sejenak ketika melihat mobil yang cukup asing mulai terparkir dihalaman rumah Ana.Mendengar suara mobil Novan, Ana mengurungkan niatnya untuk membukakan Rico pintu. Dia sangat takut dan memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu apa yang akan mereka bicarakan.Keluarlah Novan dari dalam mobil, dia sedikit terkejut dengan kehadiran Rico disana. Segera dia ubah raut mukanya menjadi sangat ramah kepada Rico.“Halo kak, saya Novan.” sapa Novan sambil mengulurkan tangan. .“Oh iya saya Rico, kamu mau ke siapa yah?” tanya Rico.“Ah kebetulan saya mau ketemu kak Ana, ada titipan dari kak Ana buat project nanti kak,” jawab Rico.&lsq
Tepat setelah mereka berdua pulang, Ana kini tengah terduduk sendiri diruang tamu rumahnya. Pikirannya kosong, dia tidak bisa berfikir dengan benar kembali. Baru saja dia telah bermain api tepat didepan Rico. Beberapa kali Ana menepuk-nepuk mukanya, “Sadar Ana, sadar astaga.” ucap Ana pada dirinya sendiri.Dia bahkan tidak bisa menahan hasratnya sedikitpun untuk tidak melakukan hal itu. Entah apa yang Novan lakukan padanya. Setiap melihat kedua bola mata Novan yang memandangnya penuh hasrat, membuat diri Ana bergetar. Seakan terperangkap, dia tidak dapat lepas dari permainan Novan dan lupa diri. Semakin Novan menariknya, semakin ia menginginkannya pula. “Ini tidak baik untukku,” umpat Ana pada dirinya sendiri lagi. Namun sisi lain dirinya tidak dapat berbohong, bahwa dia pun menyukai hal itu. Malam tersebut Ana habiskan dalam keadaan yang penuh dengan penyangkalan.***Pagi hari pun tiba, Ana masih senantiasa mendekap selimut hangatnya ke
“Sudah tenang?” Novan segera menyambut Ana yang baru masuk ke dalam mobil.Ana mengangguk pelan, “keluar bentar yuk, biar lebih enak ngobrolnya.”Mereka pun duduk berdua dibawah pohon yang rindang.Ana menarik nafas panjang, “Novan, I love you. Really loving you. Tapi kita harus sadar, kadang tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Ana mulai meraih tangan Novan, “maafkan aku terlalu pengecut untuk memilih bersama kamu. Aku pun sadar kita sangat berbeda baik dari keluarga dan lainnya, hal itu akan menyusahkan kamu kedepannya.”Novan menggenggam tangan Ana dengan kuat. “Me too, Ana. Aku dari awal menyerahkan semua pilihan padamu. Maafkan aku telah menempatkan kamu ke dalam situasi yang rumit ini.” Omongan Novan sedikit tertahan, “andai, maksudku aku berharap kamu selalu mendapat yang terbaik.”Dengan cepat Ana menggelengkan kepalanya, “tidak Novan, aku bisa memilih untuk menolakmu dari awal. Tapi aku tetap bersama mu pada akhirnya. Terimakasih telah memberikan ku kepercayaan
“Aaaargh gila lu Rico, gue belum mau mati!” Vania memegang seat beltnya erat-erat.Rico tetap tidak memperhatikan sepupunya tersebut. Kini dia hanya ingin melampiaskan emosinya dengan melaju mobilnya secepat mungkin.“Anj*ng Rico! Lu kalau mau mati jangan ajak-ajak gue tolong!” kali ini dia mengerahkan sekuat tenaganya untuk berteriak dan berhasil menyadarkan Rico.‘Kriieeeeet….’ Rico menginjak rem mobilnya mendadak membuat bunyi deritan yang cukup panjang.“Sumpah yah lu gak ada otak!” Vania terus saja berteriak, meluapkan kekesalannya.“Sorry gue gak sadar Van,” dengan gelagapan Rico menjawab.Vania menarik nafas dalam, mencoba mengatur emosinya. “Okee.. Sekarang lu tenang dulu, abis itu baru cerita sama gue yah.”Rico mengangguk lemas, dia sudah sangat kalut dan tenggelam dalam pikirannya. Tak terasa air matanya mengalir.“Gila gue nangis cuman gara diselingkuhi si Ana. Bangsat emang tu cewek!” Rico memukul dasboard depan mobilnya.Vania mengelus punggung Rico pelan. Mencoba menena
Kembali ke masa SMA di tahun dua ribu lima belas. Rico tengah berjalan santai menuju ruang OSIS untuk menemui Ana sore itu. “Astaga dia bisa tertidur dengan pulas ditempat seperti ini.” Rico bergumam pelan. Dia tersenyum melihat Ana, pacarnya yang merupakan kakak kelas sekaligus ketua Osis disekolahnya. “Teledor banget sampai gak nyadar ada orang yang membuka pintu,” dengan pelan dan hati-hati Rico mendekati Ana. Dia terus menatap Ana penuh kasih. ‘Memang cantik banget cewekku ini!’ batinnya. Kini tangan usilnya tengah memainkan ujung rambut Ana pelan. Membuat kening Ana mulai berkerut dan membuka matanya perlahan. “Aaaaawww..” rintih Rico saat dengan cepat Ana malah memelintir tangannya. “Rico!” Ana lekas melepaskan tangannya begitu menyadari pria yang dihadapannya adalah kekasihnya. “Maaf, habisnya kamu mengagetkan aku sih salah siapa coba!” dengan kesal Ana menggembungkan pipinya. Melihat Ana yang begitu lucu, Rico pun tidak tega untuk memarahi Ana. “Kamu yang budeg sayang, a
Di lain tempat Nisa tengah sibuk mempersiapkan kepergiannya menemui Rico. Dia bersemangat sekali untuk bertemu dengan lelaki pujaannya itu. ‘Sayang aku kesana yah minggu depan!’ tulis Nisa dalam pesan singkatnya. Namun pesan tersebut ternyata bertanda ceklis satu. “Apa dia lagi sibuk yah?” pikir Nisa dalam hatinya. Namun dia segera menepiskan kecurigaannya tersebut dan lebih memilih untuk fokus terhadap barang yang akan dia bawa nanti. ***”Kak, kita makan disini aja yuk!” Novan mengelus pundak Ana pelan. Ana pun duduk mengikuti permintaan Novan. “Kakak mau pesen apa? Aku yang traktir deh kali ini!” “Terserah kamu aja Van,” jawab Ana lemas. Ana terus tertunduk lesu. Pikirannya sedang kacau saat ini. Kenapa dengan mudahnya dia percaya ucapan lelaki dihadapannya saat ini. “Kak… kak Ana!”, panggilan lembut Novan tidak dapat menyadarkan Ana dari pikirannya. Seketika Novan menangkup kedua pipi Ana, membuat Ana sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya. “Ah Van, maaf aku sedang me
“Habis ini kita langsung pulang yah Ric, aku udah capek.” Ana berdiri dan membereskan barang bawaannya. Rico memberikan buket bunga yang tertinggal pada Ana. “Iya aku antar kamu pulang langsung, yuk!” “Makasih yah.” Ana langsung pergi begitu menerima buket dari Rico. Saat didalam mobil terjadi keheningan diantara mereka berdua. Tidak ada satupun yang memulai percakapan. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. “Ana, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Novan?” Seperti tersambar petir, pertanyaan Rico tersebut membuat Ana tidak bisa berkutik. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Terlihat sedang mencari alasan yang terbaik untuk menjawab pertanyaan Rico. “Hmmm.. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Novan. Kenapa kamu nanya kayak gitu?” Rico tahu dengan pasti gelagat Ana ketika berbohong. Penyangkalan Ana semakin membuatnya penasaran. Ini pertama kali Ana melakukan hal seperti itu padanya. “Kamu yakin? Aku merasa kalian memiliki sesu
“Nia, kamu kenal sama Novan?” tanya Rico. Dia mulai curiga dengan kecanggungan yang terjadi diantara mereka berdua. Rico terus memperhatikan Ana dengan sangat lekat. Dia melihat wajah Ana semakin memucat. Vania segera melepas gandengan tangannya dari Rico. Dia mulai mendekati Novan dan merangkulnya. “Iya kak, ini yang tadi sempet aku ceritain pas mau kesini. Beberapa minggu ini aku lagi deket sama dia. Seneng deh ternyata kalian semua udah saling kenal, jadi aku tidak perlu memperkenalkannya lagi.” Ana hanya bisa memandang mereka dengan tatapan sendu. Dia terus berusaha untuk tersenyum dan menyembunyika perasaan yang sesungguhnya. “Kakak dukung kok Nia hubungan kamu sama Novan. Dia ini anak yang baik pasti bakal jagain kamu dengan baik.” Rico mulai menerka-nerka situasi yang terjadi. Dia langsung memamerkan kemesraan didepan Novan. Rico mulai merangkul pinggang Ana dan mencium pucuk kepalanya sekilas. “Makasih yah, kalian udah datang ke wisuda Ana. Habis ini
Waktu berlalu begitu saja. Sudah dua minggu sejak Novan mulai berusaha membuka hatinya untuk wanita lain. Ada keraguan dan rasa bersalah didalam hatinya. “Van, lusa aku wisuda. Kamu datang kan?” sebuah pesan masuk dari Ana, sukses membuyarkan lamunannya. Dia menghela nafas dalam. “Kak Ana,” lirihnya. Pikiran Novan sangat kalut. “Gimana ini. Fitri bilang aku harus jaga jarak sama Ana. Tapi, aku kangen dia,” gerutu Novan. Berkali-kali dia menghapus balasannya. “Aku usahain ya kak!” balas Novan singkat. Dia tidak tega untuk menolak Ana. Hatinya tetap luluh pada akhirnya. Tak berapa lama, Ana membalas pesan Novan. “Makasih yah, aku tunggu.”\ Novan mengusap mukanya dengan berat. “Kenapa aku gak bisa lepas dari dia?” dia bertanya pada dirinya sendiri. Ditengah keputusasaannya, Hp Novan berdering. “Halo Van?” terdengar suara wanita yang sudah seminggu terakhir ini menemaninya setiap hari. “Vania, tum
“Rico, apakah aku memiliki pilihan lain selain menerima permintaan maafmu?” Mata Ana kini mengintimidasinya. Rico tidak dapat berkutik. Bibirnya seakan terkunci. Dia tidak menyangka permintaan maafnya, dibalas dengan begitu sinis oleh Ana. Rico menggigit bibir bawahnya. “Kalau itu mau mu. Apa yang bisa aku lakukan?” Rico tersenyum tipis. Hatinya begitu terluka dengan perlakuan Ana. “Banyak Rico. Kamu bisa lakuin banyak hal. Kamu bisa tunjukin kesungguhan kamu. Atau kamu bisa diam. Atau kamu bisa lari dan mengaggap semua tak pernah terjadi. Persis seperti yang selalu kamu lakukan padaku!” Emosi Ana kian meningkat. Dia masih berusaha tersenyum disetiap kata yang diucapkan. Matanya benar-benar menatap Rico tajam. Tidak ada jawaban sedikitpun. Rico menelan ludahnya. Dia tidak bisa menyangkal satupun ucapan Ana. “Maaf.” Rico menundukan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Aku bosan Rico. Kata itu gak pernah punya arti dihubungan kita.
“Halo Van. Sorry kayaknya aku besok gak bisa pergi bersama kamu.” ucap Ana dengan lirih. Novan kecewa dengan pernyataan Ana tersebut. Dia terdiam sejenak, mengatur emosinya. “Gitu yah. Kalau boleh tau kenapa kak?” Ana menggenggam telponnya lebih keras. “Rico tadi sore kecelakaan. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Maaf ya Van.” Dia menggigit bibir bawahnya. Mengontrol perasaannya yang kini tak menentu. Sorot mata Novan kini berubah sendu. Dengan lirih dia berkata, “Aku mengerti kok kak. Sekarang kakak fokus sama Rico dulu aja yah.” “Terimakasih ya Van.” ucap Ana mengakhiri percakapan. Tepat setelah telpon ditutup. Ana mulai memeluk selimut yang sedari tadi dia pakai. Ada perasaan menyesal didalam dirinya. Dia teringat ucapan Izal. Bahwa semua ini tidak perlu terjadi. Bersama Novan adalah bukan jawaban yang tepat. Ana pun mulai membenamkan dirinya di bantal. Berharap bahwa dia akan segera tertidur. *** Muka Novan menger