Dari semenjak bangun tidur, wajah Novan nampak sangat ceria. Siang ini adalah waktu dia akan jalan dengan Ana untuk pertama kalinya.
Sejak malam kemarin ketika akan mengajak Ana, dia sebenarnya ragu. Takut bila Ana akan menolak lagi untuk jalan bersamanya. Namun kali ini berbeda, dengan senang hati Ana menerima tawarannya.
Setiap hari sabtu Ana hanya kerja sampai jam satu siang saja. Maka dari itu, mereka bisa berencana untuk jalan bersama.
“Kak, nanti aku jemput kakak yah!” Tulis Novan.
Tak berapa lama, balasan dari Ana diterimanya. “Oke, tapi nanti kamu jangan keluar mobil yah. Aku takut ada yang lihat salah paham.”
Perasaan tidak nyaman muncul ketika melihat balasan Ana. Dia sebenarnya paham betul dengan konsekuensi hubungan mereka. Hanya saja entah kenapa hatinya masih belum terbiasa dengan itu.
“Siap bu bos.”
Dia pun mencoba menepis perasaannya dan kembali mempersiapkan keberangkatannya.
*Warning 21+* Beberapa adegan mungkin akan menimbulkan perasaan tidak nyaman untuk sebagian orang. *** “Rico, lu beneran gak akan masuk dulu?” tanya teman wanitanya. “Gak lah, gw mau pulang aja cape. Bye ya duluan.” Rico melambaikan tangannya. Dia pun segera memacu mobil menuju rumahnya. Sesampainya dirumah, tak bisa dipungkiri kalau Rico memikirkan apa yang dia lihat tadi siang. ‘Apa mungkin itu Ana? Tapi Ana gak akan mungkin kayak gitu. Dia kan udah cinta mati ama gw.’ ‘Apa gw terlalu lembek akhir-akhir ini sama dia? Sampe dia berani diemin gw kayak gini?’ sambungnya pada dirinya sendiri. Semakin Rico memikirkan hal itu, semakin dia menjadi pusing. Tak lama kemudian ada telpon masuk ke HP Rico. ‘Nisa? Sudah lama dia gak nelpon.’ “Halo Rico, kamu gimana kabar?” tanya Nisa dibalik telponnya. Rico tersenyum riang. Dia benar-benar bahagia mendengar suara Nisa. “Nisa, kamu memang ajaib tau aj
Sepulangnya dari tempat karaoke perasaan Ana mulai membaik, namun tidak untuk Novan. Dia dipenuhi dengan rasa bersalah yang sangat dalam. Dia tidak menyangka bahwa orang yang dia dekati adalah serapuh ini. Sampai merasa bahwa Ana akan sangat hancur ketika dia genggam dengan sedikit lebih keras.“Van, kamu mikirin apa?” tanya Ana.“Gak apa-apa kak, yuk abis ini kita mau kemana lagi?” jawab Novan. Mereka pun mulai memasuki mobilnya dan keluar dari tempat parkir.“Hmmm, aku lagi pengen beli sesuatu yang manis-manis Van.” ujar Ana memecah keheningan.“Kalau gitu kita ke cafe unicornaja yah, disana banyak cake-cakemanis loh kak. Pasti kamu suka,” usul Novan.“Boleh, aku belum pernah kesana. Katanya disana juga konsepnya lucu banget gitu loh Van. Makasih ya Van,” ucap Ana.“Yes princess, anything for you.” jawab Novan sambil mengelus kepa
Saat itu, Rico adalah yang paling pertama sampai ke rumah Ana.Mendengar suara motor Rico yang kini sudah berhenti, Ana segera menuruni tangga rumahnya.Begitu sampai Rico pun segera memarkirkan motornya dan bergegas untuk mengetuk pintu. Namun, dia harus terhenti sejenak ketika melihat mobil yang cukup asing mulai terparkir dihalaman rumah Ana.Mendengar suara mobil Novan, Ana mengurungkan niatnya untuk membukakan Rico pintu. Dia sangat takut dan memilih untuk mendengarkan terlebih dahulu apa yang akan mereka bicarakan.Keluarlah Novan dari dalam mobil, dia sedikit terkejut dengan kehadiran Rico disana. Segera dia ubah raut mukanya menjadi sangat ramah kepada Rico.“Halo kak, saya Novan.” sapa Novan sambil mengulurkan tangan. .“Oh iya saya Rico, kamu mau ke siapa yah?” tanya Rico.“Ah kebetulan saya mau ketemu kak Ana, ada titipan dari kak Ana buat project nanti kak,” jawab Rico.&lsq
Tepat setelah mereka berdua pulang, Ana kini tengah terduduk sendiri diruang tamu rumahnya. Pikirannya kosong, dia tidak bisa berfikir dengan benar kembali. Baru saja dia telah bermain api tepat didepan Rico. Beberapa kali Ana menepuk-nepuk mukanya, “Sadar Ana, sadar astaga.” ucap Ana pada dirinya sendiri.Dia bahkan tidak bisa menahan hasratnya sedikitpun untuk tidak melakukan hal itu. Entah apa yang Novan lakukan padanya. Setiap melihat kedua bola mata Novan yang memandangnya penuh hasrat, membuat diri Ana bergetar. Seakan terperangkap, dia tidak dapat lepas dari permainan Novan dan lupa diri. Semakin Novan menariknya, semakin ia menginginkannya pula. “Ini tidak baik untukku,” umpat Ana pada dirinya sendiri lagi. Namun sisi lain dirinya tidak dapat berbohong, bahwa dia pun menyukai hal itu. Malam tersebut Ana habiskan dalam keadaan yang penuh dengan penyangkalan.***Pagi hari pun tiba, Ana masih senantiasa mendekap selimut hangatnya ke
*WARNING*21+Rico hampir saja terlelap ketika alarm hp nya berbunyi dengan keras.“Sial kenapa sudah pagi lagi,” umpat dia pada dirinya sendiri. Sepanjang malam dia tidak bisa sedikitpun memejamkan matanya. Pikirannya terus melayang ditempat lain. Meski otaknya memerintahkan untuk tidak memikirkan tentang kejadian semalam. Hatinya tetap tidak bisa berbohong, Rico terus memikirkan orang yang bertamu pada Ana tadi malam. Dia baru kali ini merasa cemburu, bahkan pada orang yang baru saja dia temui. Entah kenapa hatinya terus berdegup kencang ketika teringat cara Ana menatap Novan. Lembut, pandangan Ana ketika menatap Novan sangat lembut. Sama seperti saat Ana memandang dirinya dulu. Dia mulai menyadari, entah kapan terakhir kali Ana memandangnya seperti itu.“Ah, kenapa gw baru nyadar sekarang sih.” rutuknya sambil memukul kepalanya sendiri.“Dari kapan Ana bisa mandang orang lain
Terik mentari mulai membakar kulitnya perlahan. Entah sudah berapa lama Rico duduk dibangku taman kota siang itu. Semenjak dia tahu dari Izal bahwa Ana akan datang, dia langsung bergegas menuju taman kota dan menunggunya disana. Satu persatu dari anggota grup kesenian pun datang dan menyapa Rico. Namun, belum ada sedikitpun tanda dari Ana akan datang ke tempat itu.“Eh, Ric. Dari kapan lu datang kesini?” tanya Izal.“Dari sejak tadi lu tutup telpon gw,” jawab Rico.“Gila lu, seharian nungguin! Lu sama Ana lagi ada apasih, main kucing-kucingan segala?” tanya Izal penasaran.“Biasalah, doi lagi pms kali yah. Ngambek mulu akhir-akhir ini. Gw berasa salah mulu loh, pusing gw.” terang Rico.Kemudian Novan terlihat datang sendiri dan menyapa mereka berdua dengan santainya.“Hey kak izal sama kak rico. Gimana nih kabarnya?” Sapa Novan. Mereka pun berjabat tangan kemudian mengobrol santai.
Sudah 2 minggu sejak kejadian terakhir di taman kota, namun Ana masih belum berbaikan dengan Rico. Selain karena Ana masih merasa kesal dengannya, diapun telah disibukkan oleh persiapan sidang dikampusnya. “Ana, turun bentar papa kamu mau ngomong!” panggil ibu Ana dari bawah kamarnya.“Iya ma, bentar.” sahut Ana sambil turun kebawah dan duduk disofa depan ayahnya.“Nak, besok kamu sidang. Kamu udah bilang sama Rico belum?” tanya Papa Ana.“Ehm, harus yah pak?” jawab Ana enteng.“Kamu lagi ada masalah sama Rico?” tanya Papa Ana kembali.“Ya, sekali-kali Rico perlu aku gituin Pah. Biar dia gak kelewatan sama aku,” ujar Ana menjelaskan.“Papa harap kalian bisa segera baikan ya nak. Semua bisa dibicarakan baik-baik, inget sebentar lagi kalian akan tunangan. Papa gak mau hal-hal aneh mengganggu kamu.” bujuk Papa Ana.“Iya Pah, Ana ngerti. Ana balik ka
Rico yang telah sampai di kampus Ana mulai memarkirkan mobilnya. Dia kemudian bergegas ke dalam kampus untuk memberi kejutan pada Ana. Cukup lama berada didepan ruang sidang menunggu mungkin saja ada orang yang dia kenal keluar. Sekitar satu jam berlalu akhirnya salah satu teman Ana keluar. Segera dia menemui temannya Ana tersebut, “Hei, selamat ya atas kelulusannya. Btw kamu lihat Ana gak?” tanya Rico pada teman Ana tersebut. “Ah, Ric. Thanks yah, setau gw Ana udah dari jam 10 tadi beres loh. Dia tadi langsung cabut gitu abis foto-foto bentar sama yang kloter pertama.” jawabnya. “Ah, serius? Yah gw ngapain dong kesini dianya gak ada.” tanya Rico kebingungan. “Lah emang dia gak bilang sama lu?” tanya temannya balik. “Gak ada sih, kayaknya gw juga tadi belum bangun jam segitu hehe. Yaudah thanks yah, gw pergi dulu.” ucap Rico seraya melangkah pergi. Didalam mobil sebenarnya Rico mulai memikirkan banyak kemungkinan yang terjadi. Dia benar-benar
“Sudah tenang?” Novan segera menyambut Ana yang baru masuk ke dalam mobil.Ana mengangguk pelan, “keluar bentar yuk, biar lebih enak ngobrolnya.”Mereka pun duduk berdua dibawah pohon yang rindang.Ana menarik nafas panjang, “Novan, I love you. Really loving you. Tapi kita harus sadar, kadang tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan.” Ana mulai meraih tangan Novan, “maafkan aku terlalu pengecut untuk memilih bersama kamu. Aku pun sadar kita sangat berbeda baik dari keluarga dan lainnya, hal itu akan menyusahkan kamu kedepannya.”Novan menggenggam tangan Ana dengan kuat. “Me too, Ana. Aku dari awal menyerahkan semua pilihan padamu. Maafkan aku telah menempatkan kamu ke dalam situasi yang rumit ini.” Omongan Novan sedikit tertahan, “andai, maksudku aku berharap kamu selalu mendapat yang terbaik.”Dengan cepat Ana menggelengkan kepalanya, “tidak Novan, aku bisa memilih untuk menolakmu dari awal. Tapi aku tetap bersama mu pada akhirnya. Terimakasih telah memberikan ku kepercayaan
“Aaaargh gila lu Rico, gue belum mau mati!” Vania memegang seat beltnya erat-erat.Rico tetap tidak memperhatikan sepupunya tersebut. Kini dia hanya ingin melampiaskan emosinya dengan melaju mobilnya secepat mungkin.“Anj*ng Rico! Lu kalau mau mati jangan ajak-ajak gue tolong!” kali ini dia mengerahkan sekuat tenaganya untuk berteriak dan berhasil menyadarkan Rico.‘Kriieeeeet….’ Rico menginjak rem mobilnya mendadak membuat bunyi deritan yang cukup panjang.“Sumpah yah lu gak ada otak!” Vania terus saja berteriak, meluapkan kekesalannya.“Sorry gue gak sadar Van,” dengan gelagapan Rico menjawab.Vania menarik nafas dalam, mencoba mengatur emosinya. “Okee.. Sekarang lu tenang dulu, abis itu baru cerita sama gue yah.”Rico mengangguk lemas, dia sudah sangat kalut dan tenggelam dalam pikirannya. Tak terasa air matanya mengalir.“Gila gue nangis cuman gara diselingkuhi si Ana. Bangsat emang tu cewek!” Rico memukul dasboard depan mobilnya.Vania mengelus punggung Rico pelan. Mencoba menena
Kembali ke masa SMA di tahun dua ribu lima belas. Rico tengah berjalan santai menuju ruang OSIS untuk menemui Ana sore itu. “Astaga dia bisa tertidur dengan pulas ditempat seperti ini.” Rico bergumam pelan. Dia tersenyum melihat Ana, pacarnya yang merupakan kakak kelas sekaligus ketua Osis disekolahnya. “Teledor banget sampai gak nyadar ada orang yang membuka pintu,” dengan pelan dan hati-hati Rico mendekati Ana. Dia terus menatap Ana penuh kasih. ‘Memang cantik banget cewekku ini!’ batinnya. Kini tangan usilnya tengah memainkan ujung rambut Ana pelan. Membuat kening Ana mulai berkerut dan membuka matanya perlahan. “Aaaaawww..” rintih Rico saat dengan cepat Ana malah memelintir tangannya. “Rico!” Ana lekas melepaskan tangannya begitu menyadari pria yang dihadapannya adalah kekasihnya. “Maaf, habisnya kamu mengagetkan aku sih salah siapa coba!” dengan kesal Ana menggembungkan pipinya. Melihat Ana yang begitu lucu, Rico pun tidak tega untuk memarahi Ana. “Kamu yang budeg sayang, a
Di lain tempat Nisa tengah sibuk mempersiapkan kepergiannya menemui Rico. Dia bersemangat sekali untuk bertemu dengan lelaki pujaannya itu. ‘Sayang aku kesana yah minggu depan!’ tulis Nisa dalam pesan singkatnya. Namun pesan tersebut ternyata bertanda ceklis satu. “Apa dia lagi sibuk yah?” pikir Nisa dalam hatinya. Namun dia segera menepiskan kecurigaannya tersebut dan lebih memilih untuk fokus terhadap barang yang akan dia bawa nanti. ***”Kak, kita makan disini aja yuk!” Novan mengelus pundak Ana pelan. Ana pun duduk mengikuti permintaan Novan. “Kakak mau pesen apa? Aku yang traktir deh kali ini!” “Terserah kamu aja Van,” jawab Ana lemas. Ana terus tertunduk lesu. Pikirannya sedang kacau saat ini. Kenapa dengan mudahnya dia percaya ucapan lelaki dihadapannya saat ini. “Kak… kak Ana!”, panggilan lembut Novan tidak dapat menyadarkan Ana dari pikirannya. Seketika Novan menangkup kedua pipi Ana, membuat Ana sedikit tersentak dan tersadar dari lamunannya. “Ah Van, maaf aku sedang me
“Habis ini kita langsung pulang yah Ric, aku udah capek.” Ana berdiri dan membereskan barang bawaannya. Rico memberikan buket bunga yang tertinggal pada Ana. “Iya aku antar kamu pulang langsung, yuk!” “Makasih yah.” Ana langsung pergi begitu menerima buket dari Rico. Saat didalam mobil terjadi keheningan diantara mereka berdua. Tidak ada satupun yang memulai percakapan. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing. “Ana, sebenarnya ada hubungan apa kamu dengan Novan?” Seperti tersambar petir, pertanyaan Rico tersebut membuat Ana tidak bisa berkutik. Matanya melirik ke kanan dan kiri. Terlihat sedang mencari alasan yang terbaik untuk menjawab pertanyaan Rico. “Hmmm.. Aku tidak ada hubungan apapun dengan Novan. Kenapa kamu nanya kayak gitu?” Rico tahu dengan pasti gelagat Ana ketika berbohong. Penyangkalan Ana semakin membuatnya penasaran. Ini pertama kali Ana melakukan hal seperti itu padanya. “Kamu yakin? Aku merasa kalian memiliki sesu
“Nia, kamu kenal sama Novan?” tanya Rico. Dia mulai curiga dengan kecanggungan yang terjadi diantara mereka berdua. Rico terus memperhatikan Ana dengan sangat lekat. Dia melihat wajah Ana semakin memucat. Vania segera melepas gandengan tangannya dari Rico. Dia mulai mendekati Novan dan merangkulnya. “Iya kak, ini yang tadi sempet aku ceritain pas mau kesini. Beberapa minggu ini aku lagi deket sama dia. Seneng deh ternyata kalian semua udah saling kenal, jadi aku tidak perlu memperkenalkannya lagi.” Ana hanya bisa memandang mereka dengan tatapan sendu. Dia terus berusaha untuk tersenyum dan menyembunyika perasaan yang sesungguhnya. “Kakak dukung kok Nia hubungan kamu sama Novan. Dia ini anak yang baik pasti bakal jagain kamu dengan baik.” Rico mulai menerka-nerka situasi yang terjadi. Dia langsung memamerkan kemesraan didepan Novan. Rico mulai merangkul pinggang Ana dan mencium pucuk kepalanya sekilas. “Makasih yah, kalian udah datang ke wisuda Ana. Habis ini
Waktu berlalu begitu saja. Sudah dua minggu sejak Novan mulai berusaha membuka hatinya untuk wanita lain. Ada keraguan dan rasa bersalah didalam hatinya. “Van, lusa aku wisuda. Kamu datang kan?” sebuah pesan masuk dari Ana, sukses membuyarkan lamunannya. Dia menghela nafas dalam. “Kak Ana,” lirihnya. Pikiran Novan sangat kalut. “Gimana ini. Fitri bilang aku harus jaga jarak sama Ana. Tapi, aku kangen dia,” gerutu Novan. Berkali-kali dia menghapus balasannya. “Aku usahain ya kak!” balas Novan singkat. Dia tidak tega untuk menolak Ana. Hatinya tetap luluh pada akhirnya. Tak berapa lama, Ana membalas pesan Novan. “Makasih yah, aku tunggu.”\ Novan mengusap mukanya dengan berat. “Kenapa aku gak bisa lepas dari dia?” dia bertanya pada dirinya sendiri. Ditengah keputusasaannya, Hp Novan berdering. “Halo Van?” terdengar suara wanita yang sudah seminggu terakhir ini menemaninya setiap hari. “Vania, tum
“Rico, apakah aku memiliki pilihan lain selain menerima permintaan maafmu?” Mata Ana kini mengintimidasinya. Rico tidak dapat berkutik. Bibirnya seakan terkunci. Dia tidak menyangka permintaan maafnya, dibalas dengan begitu sinis oleh Ana. Rico menggigit bibir bawahnya. “Kalau itu mau mu. Apa yang bisa aku lakukan?” Rico tersenyum tipis. Hatinya begitu terluka dengan perlakuan Ana. “Banyak Rico. Kamu bisa lakuin banyak hal. Kamu bisa tunjukin kesungguhan kamu. Atau kamu bisa diam. Atau kamu bisa lari dan mengaggap semua tak pernah terjadi. Persis seperti yang selalu kamu lakukan padaku!” Emosi Ana kian meningkat. Dia masih berusaha tersenyum disetiap kata yang diucapkan. Matanya benar-benar menatap Rico tajam. Tidak ada jawaban sedikitpun. Rico menelan ludahnya. Dia tidak bisa menyangkal satupun ucapan Ana. “Maaf.” Rico menundukan kepalanya. Dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. “Aku bosan Rico. Kata itu gak pernah punya arti dihubungan kita.
“Halo Van. Sorry kayaknya aku besok gak bisa pergi bersama kamu.” ucap Ana dengan lirih. Novan kecewa dengan pernyataan Ana tersebut. Dia terdiam sejenak, mengatur emosinya. “Gitu yah. Kalau boleh tau kenapa kak?” Ana menggenggam telponnya lebih keras. “Rico tadi sore kecelakaan. Aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Maaf ya Van.” Dia menggigit bibir bawahnya. Mengontrol perasaannya yang kini tak menentu. Sorot mata Novan kini berubah sendu. Dengan lirih dia berkata, “Aku mengerti kok kak. Sekarang kakak fokus sama Rico dulu aja yah.” “Terimakasih ya Van.” ucap Ana mengakhiri percakapan. Tepat setelah telpon ditutup. Ana mulai memeluk selimut yang sedari tadi dia pakai. Ada perasaan menyesal didalam dirinya. Dia teringat ucapan Izal. Bahwa semua ini tidak perlu terjadi. Bersama Novan adalah bukan jawaban yang tepat. Ana pun mulai membenamkan dirinya di bantal. Berharap bahwa dia akan segera tertidur. *** Muka Novan menger