Mata Candramaya melebar dengan mulut terbuka, kedua tangannya meremas seprei. Gadis itu bertanya, " Sejak kapan kamu melihatnya?" Indrayana menutup mulutnya dengan rapat dan tersenyum penuh arti, dia memilih keluar kamar tanpa menjelaskan sesuatu. "Indrayana jawab? Indrayana!" Candramaya berteriak. Dia memukul ranjang dengan kedua tangannya yang terkepal saat pemuda itu mengabaikannya. "Pemuda itu tidak sebodoh yang aku kira!" Candramaya mengeram kesal. Gadis itu memegang kakinya yang berdenyut nyeri. Tidak seharusnya dia memaksakan dirinya untuk berjalan. Sekarang dia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Indrayana berjalan keluar rumah setelah membuat Candramaya kesal. Dia juga sangat kesal dan sedih. Jadi mencari udara segar itu adalah solusinya. Pemuda itu berdiam diri menyaksikan para Pamannya sedang sibuk di halaman untuk mengatur upacara pernikahannya yang dadakan. Ranu Baya sedang duduk dengan salah satu rekannya bernama Baladewa. Pria yang dulunya adalah ketua peramp
"Tidak! Aku tidak butuh bantuanmu, kali ini aku akan menahannya." Candramaya memiliki firasat buruk, jadi dia menolaknya dengan tegas."Baiklah ..ini yang terakhir." Indrayana memberikan cawan itu dan mengedipkan sebelah matanya.Candramaya memutar bola matanya dengan jengah. Ternyata ada yang jauh lebih genit dari kakaknya. Bedanya hanya Danumaya pria dewasa yang mesum dan pemarah. Sedangkan Indrayana, pria manja yang suka merajuk."Gluk!" Candramaya menutup hidungnya dan menengguknya dengan susah payah. Kening gadis itu mengerut dan menaikan hidungnya. Karena rasa pahit yang memenuhi mulut dan tenggorokannya."Gadis pintar .." ujar Indrayana, pemuda itu menepuk-nepuk kepala Candramaya dengan gemas.Pipi pucat Candramaya merona, gadis itu tersipu malu."Lihat ..wajahmu langsung berseri, semua ramuan Romo memang manjur," ujar Indrayana. Pemuda itu kini duduk di sisi ranjang lalu menyentuh kaki kiri Candramaya. Dia mengurutnya dengan lembut.Candramaya meringis kesakitan dan mengeluark
Danumaya kembali menyusuri hutan terlarang, dia berjalan mengikuti jejak kaki yang begitu banyak. Sayup-sayup terdengar suara gemericik air. Hingga dia mendekati sumber suara itu berada.Di sebuah tebing, kini Danumaya berdiri, angin berhembus menerpa wajahnya yang tampan. Kedua tangannya terkepal kuat dan bibirnya bergetar. Bulir bening mulai jatuh dari sudut matanya yang tajam, menatap lurus kebawah. Danumaya bermonolog, "Mungkinkah Candramaya tercebur ke dalam sungai? Tapi dia di lindungi Putri Tanjung Kidul."Di bawah sana ada sebuah sungai yang besar. Arusnya terlihat tenang artinya sungai itu sangat dalam. Permukaan air terlihat bercahaya layaknya berlian yang bertabur di atas permadani saat terkena cahaya matahari.Danumaya bergegas pergi dengan membawa sobekan kain milik Candramaya. Pemuda itu menuju kudanya dan pergi mencari jalan lain menuju ujung sungai.Saat Danumaya menuruni jalan yang semakin masuk ke dalam hutan terlarang. Yang dia temui hanya padang sabana yang luas da
"Balas dendam! Aku ingin membunuh siapa pun yang terlibat atas kematian orang tuaku," ujar Candramaya, sorot matanya penuh amarah. Indrayana merasakan betapa menderitanya gadis ini, jadi dia mengucap janji, "Sebentar lagi kita akan menjadi suami istri, kamu bisa memanfaatkanku sesukamu. Aku akan mengikutimu bagaikan bayangan. Aku juga akan setia seperti anjing. Kamu juga tidak perlu membalas perasaanku. Dan aku juga tidak akan mengeluh." Hati Candramaya terasa hangat, dia merasa tersentuh. "Sedalam itukah perasaanmu?" Indrayana membalas genggaman Candramaya, kepalanya mengangguk dengan mantap dia berkata, "Tentu!" Candramaya tersenyum bahagia, tapi dia sedikit menggoda Indrayana, "Kamu sedang membual?" Indrayana menganga dan matanya membelaklak. Mulutnya sudah berbusa dan dia juga sudah mengikrarkan sebuah janji dan Candramaya masih mempertanyakan ke seriusannya. Apakah gadis ini ingin di cium. Candramaya tertawa terbahak-bahak melihat expresi wajah konyol pemuda itu. Setid
"Kamu harus mengatakan segalanya kepada gadis itu, bahwa kamu di jebak dan di salahkan. Sebelum dia tahu dari orang lain," ujar Baladewa. Dia selalu mengingatkannya. Ranu Baya terduduk lesu, dia tidak bisa berbuat apa-apa, selama belahan jiwanya berada di dalam cengkraman Adi Wijaya. Walaupun Asri Kemuning adalah putri kandungnya, tua bangka itu lebih mencintai tahtanya. "Apa yang bisa ku jelaskan? Aku sendiri tidak tahu siapa pelakunya. Di sisi lain aku menghawatirkan istriku," ujarnya. Brakkk! Tiba- tiba Darma menggebrak meja dia sangat bersemangat lalu berkata, "Kalau begitu, selamatkan Tuan Putri Asri Kemuning terlebih dahulu." Entah sejak kapan orang itu duduk di sebelah Baladewa. Ranu Baya mengelus dadanya dan wajahnya menegang, dia terkejut. Baladewa juga terkejut, hingga dia terlonjak dari duduknya. Dengan geram dia berkata, "Kebiasaan ya kamu!" ujarnya sambil menonyor kepala adiknya. Darma hanya cengengesan. Sedangkan Baladewa melotot horor. Ranu Baya tersenyum
"Suara apa itu?" Candramaya reflek menatap langit. Suara Dentuman itu seperti suara halilintar yang menyambar, namun langit malam ini begitu cerah. Ada banyak bintang dan bulan purnama begitu besar dan terang. Karena rasa penasarannya begitu kuat. Dia memutuskan untuk pergi ke sumber suara yang berasal dari arah sungai. Sungai dan rumah Indrayana lumayan dekat. Gadis itu berjalan menyusuri jalan setapak yang sekelilingnya di tumbuhi bunga kenikir dan bunga liar lainnya. Dengan Cahaya rembulan yang temaram membuat malam itu begitu bersinar. Semilir angin dingin yang lembut menerpa tumbuhan liar yang membuat mereka menari-nari kegirangan. Semerbak wangi dari bunga-bunga itu membuat Candramaya terlena dan membuatnya berhenti sejenak. Dia menikmati keindahan yang belum pernah dia lihat sebelumnya. Dia seperti bidadari berbalut pakaian pengantin di bawah sinar rembulan. Kulit halusnya bercahaya, tubuhnya terpahat sempurna. Keelokan paras gadis itu menyatu dengan tanah Para Dewa. Ta
Indrayana menangkap tubuh Candramaya yang terkulai lemas. Dia mengangkat sudut bibirnya dengan tatapan dingin dan menggendong gadis itu layaknya karung beras. Pemuda itu menggunakan ilmu meringankan tubuh. Hingga dalam sekejab, dia sudah sampai di rumah. Pemuda itu menurunkan tubuh Candramaya di atas ranjang. Sebelumnya dia mengunci pintu. Membelai wajah Candramaya dengan lembut, "Kenapa kamu sangat Cantik?" Indrayana melepaskan hiasan di sanggul Candramaya dan membiarkan rambut hitam panjangnya tergerai indah. Dia dulu selalu kabur dari rumah hanya untuk pergi ke waringin untuk melihat gadis itu. Dia selalu bersembunyi dan diam-diam mengamati Candramaya dari kejauhan. Awalnya dia hanya mengikuti Ki Sentot dan Darma pergi ke Waringin untuk membeli bahan ramuan yang hanya di jual di Waringin. Tapi saat dia melihat cunduk manik pemberian ibunya yang selalu di kenakan Candramaya. Pemuda itu mengenali gadis kecil yang dulu pernah dia temui. "Cantiknya istriku ..tapi sayangnya sanga
Candramaya terus menggoyang-goyangkan tubuh Indrayana. Begitu banyak pemikiran buruk yang melintas di kepalanya. "Aku mengantuk," ujar Indrayana lirih. Nafasnya semakin terengah-engah dengan mata sedikit terbuka. Dan akhinya dia benar-benar terpejam dan tidak sadar Candramaya histeris, rasa takut kini menjalar di tubuhnya. Bibir dan tubuhnya gemetaran, apakah pemuda ini mati? "Ibu ..bagaimana ini? Hiks!" Ujar Candramaya dengan tangisannya. Sebuah bisikan terdengar lirih di telinganya, "Hisap racun dalam lukanya, cepat!" Racun? Jadi keris itu mengandung racun. Tanpa pikir panjang Candramaya merobek pakaian Indrayana dan menghisap lukanya. Dia memuntahkan cairan berwarna putih seperti bisa ular. Gadis itu berulang kali melakukannya sampai yang dia hisap darah segar. Wajah Indrayana berangsur memerah, Candramaya menangis di atas dada suaminya. Tanpa sadar dia memeluknya. Dalam hati dia berkata, "Jangan mati, aku mohon." Dia menyalahkan dirinya, kenapa dia begitu gegabah. Sekali la
"Huaaa!!!" Kumala jatuh terjerembab di dalam perahu dengan menyedihkan. Perahu yang Kumala naiki juga bergoyang-goyang di atas air. Kumala segera bangun dan menyesuaikan duduknya agar perahu bisa seimbang. Dia memegangi dua sisi perahu dan berteriak marah, "Jangan keterlaluan! Kamu ingin aku tenggelam!"Danumaya tertawa sinis sambil melempar dayung ke arah Kumala, "Cepat pergi!"Mata Kumala seketika melotot dan giginya berkertak, "Awas kamu!""Jika lain kali kamu mendapatkan kesulitan. Aku tidak akan pernah menolongmu lagi," ujar Danumaya dengan sinis. Dia tidak seharusnya menyesal karena telah menolong seseorang. Hanya saja orang yang dia tolong ternyata orang yang tidak tahu diri.Kumala membuang muka lalu berbalik badan, sejenak dia merenung. Gadis itu menggenggam dayung kayu itu dengan erat. Dia harus melawan rasa takut yang dia rasakan. Jarak antara pulau Wijaya Kusuma dan pulau Jawa memang tidak terlalu jauh. Hanya saja dua pulau itu di pisahkan oleh sebuah lautan. Jadi dia har
Wanita lemah lembut itu menatap ke arah Kumala yang sedang berdiri sambil berkacak pinggang, matanya berkilat dengan amarah. "Pantas putraku tidak menyukaimu! Selain kasar, kamu juga tidak tahu malu. Bagaimana bisa kamu berteriak dan mengumpat di depan orang tua. Apa kamu tidak tahu adab dan sopan santun?"Kumala merasa malu, pipinya memerah dan wajahnya tertunduk. Dia kembali duduk dan berkata lirih tanpa berani menatap mata Asri Kemuning, "Maaf, Tuan Putri."Suasana menjadi hening, semua orang tertunduk dan kembali melanjutkan makannya. Berbeda dengan Candramaya yang terang-terangan menatap wajah Ibu Mertuanya. Dia merasa kagum terhadap wanita yang begitu lembut namun sangat tegas.Dia jadi teringat dengan ibunya, mereka sangat mirip.Merasa sedang diamati, Asri Kemuning ikut menatap Candramaya. Mereka saling memandang untuk beberapa detik. Hingga tatapan itu berubah menjadi tatapan canggung. Wajah Candramaya yang dingin melembut, dia tersenyum tipis. Asri Kemuning juga ikut tersen
Kesedihan meliputi semua orang, gadis ceria seperti Cempaka sekarang hancur karena kematian orang yang dia Cintai. Cempaka terus menangis di atas jasad Saka, cinta pertama dan mungkin cinta terakhirnya.Sebuah tangan terulur dan menyentuh pundak Cempaka yang bergetar, "Lepaskan dia, biarkan dia beristirahat dengan tenang."Cempaka mendongak dan membiarkan Indrayana dan Baladewa mengangkat jasad Saka. Cempaka memeluk tubuh Candramaya dan menangis di pelukannya."Menangislah Cempaka! Itu akan membuatmu semakin lebih baik," ucap Candramaya dengan penuh kasih sayang."Terima kasih, Adik," ujar Cempaka dengan suara parau.Memang benar kata pepatah, 'Hanya wanita yang bisa mengerti wanita.'Asri Kemuning sangat tersentuh, dia tidak menyangka gadis dengan wajah dingin itu sangat begitu lembut dan dewasa. "Mungkin ini alasan Indrayana berselingkuh dengannya. Tapi alangkah baiknya jika aku memastikannya lebih dulu," batinnya.Setelah semua mayat di kebumikan termasuk Saka. Cempaka berdiri di
"Sebentar Romo," Candramaya berlari dan mengambil air dalam sebuah kendi besar. Ada gayung yang terbuat dari cangkang kelapa. "Ini Romo, basuh mata Romo," ujar Candramaya.Arya Balaaditya membasuh matanya, perlahan matanya terasa lebih baik dan pandangannya kembali membaik."Siapa gadis itu?" tanya Asri Kemuning. Dia tersenyum melihat perlakuan manis gadis itu. Dia kira gadis itu sangat kejam, terlihat dari wajahnya yang dingin dan galak. Apalagi saat gadis itu membunuh satu persatu para pemanah dengan keji dan sadis. Seperti pembunuh berdarah dingin.Asri Kemuning mulai semakin meragukan kata-kata Kumala.Indrayana sedang bertarung dengan Saka. Dia menyerang dengan membabi buta, Marah karena orang itu berani melukai ayahnya.Kumala semakin terdesak, dia kira Candramaya tidak ikut. Dengan begitu dia bisa membujuk Asri Kemuning untuk membujuk Putra dan suaminya.Beraninya Paman melukai Romoku!" teriak Indrayana dengan marah. Karena dia mulai kewalahan jadi Indrayana menarik cemetinya.
"Kang Mas!!" Asri Kemuning bangkit. Rasa lega dan bahagia bercampur membuatnya semakin terharu. Air mata kebahagian mengalir dari matanya yang indah. Dia hendak pergi menuju sumber suara, namun sayang Saka menghalanginya. Wajah pria itu terlihat semakin dingin, dia bahkan memberi isyarat agar Asri Kemuning kembali duduk dengan tenang.Suara riuh itu semakin kencang dan semakin mendekat. Mata Asri Kemuning semakin liar, bergerak-gerak mencari sosok yang dia kenal.Tangan Kumala bergetar, dia sedikit panik kalau kebohongannya akan terbongkar. Tapi dalam sekejab dia berusaha mengendalikan emosinya dan bersikap wajar. Asalkan mendapatkan dukungan Ibu dan Kakek Indrayana, pemuda itu pasti akan patuh.Arya Baladitya dan pasukannya yang dipimpin oleh Baladewa telah sampai di pulau Wijaya Kusuma. Indrayana, Candramaya, Cempaka dan Danumaya juga ikut bersama mereka.Perasaan Arya Balaaditya berkecambuk. Kerinduannya semakin besar dan tak terkendali lagi. Rasa ingin bertemu semakin menggebu-geb
Saat pintu terbuka mata Saka terbelaklak, dia tercengang bukan main. Bukan karena terpesona melainkan kaget dengan dandanan Kumala yang begitu mewah dan terkesan norak. Dia memakai kain sutra terbaik dan rambutnya terlihat begitu berat dan ramai dengan banyak hiasan yang terbuat dari emas. Begitu juga dengan riasannya yang begitu tebal. Dan perhiasan emas yang dia kenakan."Apa gadis ini benar-benar waras," batin Saka. Pria yang biasa selalu acuh dengan sekitar dan sibuk dengan dunianya kini teralihkan.Pemandangan itu benar-benar membuat matanya sakit."Aku sudah selesai," ujar Kumala, dia mengangkat dagunya dan berjalan lebih dulu.Ketakutan Saka saat ini bukanlah pertempuran yang mengancam hidupnya. Dia lebih takut jika perahu yang nanti mereka tumpangi terbalik dan Kumala akan tenggelam ke dasar laut akibat tubuhnya yang terlalu berat karna emas-emas yang dia kenakan.Saka naik ke atas kuda, sedangkan Kumala hanya berdiri dengan wajah masam. Gadis itu mulai bertingkah, " Apakah k
Pupil mata Adi Wijaya melebar, namun dengan cepat Adi Wijaya menutupi rasa keterkejutannya dengan tertawa, "Kamu cucu menantuku rupanya. Siapa orang tuamu?""Hamba anak yatim piatu. Hamba sebatang kara, maka dari itu hamba mohon keadilan dari Gusti Prabu. Hanya Kang Mas Indrayana yang hamba miliki di dunia ini, hiks ... " Kumala menangis dengan pilu. Kebohongannya semakin menjadi-jadi.Akting Kumala memang hebat, hanya saja Adi Wijaya tidak peduli. Dia juga tidak suka cucunya menikah dengan gadis yang tidak jelas asal-usulnya. Adi Wijaya memijit keningnya, bagaimana bisa cucunya menikahi sembarang gadis. Dan lebih parahnya, dia juga menjalin hubungan dengan putri Damarjati. Bagaimanapun Indrayana adalah cucunya. Dia membenci Arya Balaaditya tapi tidak dengan cucunya. Darahnya mengalir di dalam tubuh anak itu.Adi Wijaya menghela nafas dan mencoba menahan diri untuk mendapatkan simpati gadis itu. Tujuannya adalah mendapatkan banyak informasi tentang Arya Balaaditya dari gadis itu. "Apa
Pengawal yang berjaga membuka pintu, mereka berdua tampak marah jadi berbicara dengan keras karena suara mereka teredam oleh suara air hujan. Tentu saja kedua pengawal itu tidak akan memberi izin, "Jangan lancang! Kenapa terus berteriak?""Aku ingin menyampaikan sesuatu! Tolong antarkan aku menghadap Gusti Prabu. Aku tahu di mana Arya Balaaditya berada," Kumala membungkuk dan menyatukan tangannya. Wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil.Dua pengawal itu tentu tidak percaya begitu saja. Mana mungkin buronan seperti Arya Balaaditya yang sudah hampir 15 tahun menghilang bagaikan di telan bumi itu kembali. "Jika kamu ingin mengeluh, datang besok saat ada pertemuan di balai istana. Gusti Prabu sedang istirahat," ujar salah satu pengawal."Tidak! Ini sangat penting. Ini masalah Arya Balaaditya. Aku harus bertemu sekarang," ujar Kumala dengan gigi gemeletuk karena kedinginan. Mereka telah menghinanya jadi sekarang mereka harus mendapatkan balasan yang setimpal. Bahkan harus lebih kejam. Dua
Arya Baladitya memerintahkan tugas mereka masing-masing. " Darma dan Ki Sentot kalian datanglah ke ibukota Harsa Loka, sebarkan kabar tentang pelaku yang suka menculik para gadis telah kembali. Buat agar sedramatis mungkin. Karena dengan begitu, berita itu akan menyebar luas dengan sendirinya ke segala penjuru wilayah Harsa Loka. Kita akan memanfaatkan ketakutan rakyat untuk mengusik ketenangan Adi Wijaya." "Baik ... akan kami lakukan, Ketua," ujar Darma dan Ki Sentot. "Dan sekarang sudah saatnya aku menunjukan diriku," Arya Balaaditya menjeda ucapannya. Tatapannya menjadi tajam dan penuh keyakinan. Lalu setelahnya tatapan pria itu beralih kearah keempat para punggawa Harsa Loka. "Dan kalian berempat, gunakan surat perintah dari Adi Wijaya untuk mengejarku," ujar Arya Balaaditya. Pria itu tersenyum penuh arti. Sedangkan Wismaya dan teman-temannya juga ikut tersenyum. Mereka akan mulai bersandiwara dengan seolah-olah mengejar Arya Balaaditya dan membuat pelaku sesungguhnya terkec