Home / Pendekar / Keris Bunga Bangkai / 99 - Bersabarlah

Share

99 - Bersabarlah

Author: Rytíř
last update Last Updated: 2022-05-07 21:07:53
Prajurit asing itu sama sekali tak memberikan Rangkahasa waktu untuk berdiam diri. Lagi pula, sudah terlalu lama dirinya disibukkan oleh Rangkahasa seorang, sedikit merusak harga dirinya yang menganggap peperangan itu akan menjadi sesuatu yang mudah baginya.

Rangkahasa tak punya pilihan lain selain menangkis semua gempuran dari serangan bertubi-tubi prajurit berbadan besar tersebut. Tentu dia tetap mencoba untuk menghindari apapun yang bisa dihindarinya. Ketika dia terpaksa harus menangkis, jeritan di kepalanya itu kembali menyiksa dirinya. Hal tersebut sesuatu yang tak pernah dialami Rangkahasa sebelumnya, karena selama ini dia memang belum pernah mendapatkan lawan bertarung yang sekuat kali ini.

“Aku mohon, bertahanlah!” serunya lirih, di saat dia semakin kesulitan untuk mempertahankan konsentrasi saat bertarung.

Hanya sesaat dia mendapatkan kesempatan untuk menjauh dari jangkauan serangan musuhnya itu. Namun itu justru memberi ruang bagi prajurit berbadan besar itu untuk melancar
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Keris Bunga Bangkai   100 - Penghinaan

    Dia menghirup nafas begitu dalam, dan kemudian menarik keluar seluruh tenaga dalamnya yang tersisa. Namun alih-alih membuat Rangkahasa menjadi lebih kuat, dia justru terlihat lesu setelahnya. Matanya mulai sayu, sementara pedang itu terhunus saja lurus ke tanah.Pria itu melihat Rangkahasa mulai berayun berdiri seperti orang yang sudah begitu kelelahan. Namun Pria asing itu justru menjadi semakin waspada, karena merasakan sesuatu yang aneh pada diri Rangkahasa. Terutama pada pedang hitam Damaskus tersebut, seolah udara di sekitar pedang itu nampak memuai.Pria itu menggelengkan kepalanya, mulai ragu dengan penglihatannya.“Sepertinya sudah cukup lama juga kita bertarung,” tuturnya lirih, mulai berpikir bahwa dirinya hanya sedang kelelahan saja.Setelah itu pria bertubuh besar itu memutuskan untuk menyudahi saja pertarungan itu. Dia mengambil resiko melancarkan serangan langsung, berlari lurus sekencang-kencangnya sembari menyeret pedang besarnya. Sesaat sebelum dia sampai pada jarak j

    Last Updated : 2022-05-07
  • Keris Bunga Bangkai   101 - Penolakan Indra

    Rangkahasa berbalik saja, nampak abai dengan peperangan yang masih berlangsung. Sementara itu, pasukan dari Kerajaan Marajaya juga sudah berhasil memukul mundur musuh mereka. Pemimpin mereka sudah memerintahkan untuk kembali ke benteng, karena sudah tak mungkin mengusir pasukan dari Kerajaan Marajaya.Namun Bayantika juga tidak memaksakan pasukannya untuk terus menggempur musuh. Dia tahu prajuritnya juga sudah terlalu lama bertempur dan membutuhkan istirahat.“Segera tarik kembali pasukan kita. Dipaksakan pun, justru hanya akan berakibat buruk bagi kita,” tutur Bayantika memberikan perintah.“Baik, Senopati!” jawab Aruna sebelum dia pergi untuk menarik kembali pasukannya.Senopati Bayantika memutar haluan kudanya, hendak meninggalkan tempat tersebut untuk kembali ke lokasi perkemahan mereka.“Sepertinya kami benar-benar tak diperlukan berada di sini,” ucap Indra datang menghampiri mengarak kudanya mendekati Bayantika.“Bukannya kalian sendiri yang bilang, kalau kalian hanya ingin meli

    Last Updated : 2022-05-09
  • Keris Bunga Bangkai   102 - Penghinaan Dari Prabu Yasoka

    Bayantika tersenyum dengan jawaban tersebut. Namun Indra ternyata masih kebingungan meski Rangkahasa sudah memberikan jawabannya. “Dengar, jika kita bisa langsung menyerang raja, akan lebih banyak pion yang terselamatkan,” jelas Bayantika sembari merangkul bahu Indra. “Tapi sebenarnya, yang kita lakukan ini juga tidak sedang mencoba menyerang pusat kerajaan mereka secara langsung,” tutup Bayantika, yang kembali membuat Indra semakin kebingungan. Setelah itu dia menggiring Indra berjalan mendekati tebing, dan memancingnya untuk mengamati lebih seksama hamparan padang luas yang membentang dari medan pertempuran yang terlihat dari jauh dari Benteng Matuwiru tersebut. “Jika kita tidak langsung merebut benteng mereka itu, mereka akan terus memusatkan pertahanan mereka di sana. Mereka akan terus mengirim bantuan. Hal yang sama juga sedang terjadi di sisi lainnya di perbatasan barat Cindani. Dharma juga melakukan hal yang sama yang aku lakukan di sini.” “Jika waktunya sudah tiba, satu pas

    Last Updated : 2022-05-09
  • Keris Bunga Bangkai   103 - Dua Orang Murid Kesayangan

    Hari itu juga, Tarendra bersama rombongan prajuritnya bertolak menuju Benteng Calikis, salah satu benteng perbatasan Kerajaan Cindani yang telah dikuasai oleh Panglima Bramanti. Tidak banyak prajurit yang dibawa untuk menemaninya pergi, karena Kerajaan Marajaya masih harus menjaga perbatasan bagian timur mereka dari ancaman Kerajaan Cakradwipa. Namun tetap saja, pergerakan rombongan yang dibawa Tarendra mengundang perhatian banyak penduduk, karena rakyat sudah menganggapnya sebagai calon raja mereka. Di sepanjang perjalanan, banyak rakyat yang antusias untuk menyaksikan seorang Tarendra walau hanya sekadar lewat saja di jalan. Kebetulan di saat bersamaan, Dharma seorang diri memutuskan untuk turun gunung karena ingin kembali bertemu dengan Rangkahasa. Perhatiannya juga terpancing dengan rombongan prajurit tersebut, dan mengenali keberadaan Tarendra dalam rombongan. “Kangmas!” panggilnya dari balik ramainya warga. Namun Tarendra terus saja berlalu, entah tak mendengar atau tak sadar

    Last Updated : 2022-05-11
  • Keris Bunga Bangkai   104 - Ketegasan Dan Keadilan Tarendra

    Sesampainya di Benteng Calikis, Tarendra meminta Senopati Bayantika untuk menemaninya ke desa di dekat benteng tersebut yang juga sudah dalam kekuasaan mereka.Desa itu nampak hening karena masih dalam suasana perang yang mencekam. Hampir semua mata penduduk desa melirik dengan tatapan takut bercampur tidak senang dengan mereka.“Segera kumpulkan mereka di alun-alun desa,” seru Tarendra berbisik pada Bayantika.Bayantika pun menyampaikan perintah itu pada prajurit bawahannya, dan semua warga desa pun diarak menuju alun-alun desa. Di tempat itu sudah disediakan panggung oleh prajurit-prajurit Marajaya. Tarendra dan Senopati Bayantika berserta beberapa orang Lurah Prajurit berdiri di atas panggung tersebut.Setelah semua warga itu dikumpulkan, Tarendra pun maju ke depan seperti ingin menyampaikan sesuatu pada mereka.“Kalian pasti sudah tahu juga kondisi saat ini. Keadaan yang sama akan terjadi di desa kami jika Kerajaan Cindani yang berhasil datang menjajah lebih dulu,” ujar Tarendra m

    Last Updated : 2022-05-11
  • Keris Bunga Bangkai   105 - Bingkisan Untuk Yasoka

    Bayantika memerintahkan prajuritnya untuk membereskan mayat tiga orang prajurit yang sudah dipenggal oleh Tarendra. Setelah itu, dia juga memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk mengarak beberapa orang petinggi prajurit Cindani yang telah mereka tahan selama ini. Ada sekitar tujuh prajurit, satu orang Senopati, dua orang Bekel dan sisanya berpangkat Lurah Prajurit. Mereka semua didudukkan berjejer dengan tangan terikat ke belakang dan kepala mereka ditundukkan ke lantai panggung. Tarendra pun kembali maju dan berpidato di panggung tersebut. “Kalian telah melihat kebaikanku. Aku beri kalian kebebasan untuk menjalani kehidupan kalian sehari-hari. Tapi ingat, aku adalah seorang Panglima Perang dari Kerajaan Marajaya.” “Kami telah memberikan tawaran damai pada Raja kalian, dan kalian pasti juga sudah tahu balasan dari Raja kalian yang telah menghina kami.” Setelah itu Tarendra memberikan kode pada Bayantika, dan Bayantika pun langsung memerintah algojo untuk bersiap memenggal tujuh o

    Last Updated : 2022-05-11
  • Keris Bunga Bangkai   106 - Ketenangan Sebelum Badai

    Setelah itu, Tarendra melakukan hal serupa di tujuh desa lain di dekat tiga benteng perbatasan Cindani yang sudah mereka kuasai. Dia memenggal beberapa kepala, dan membiarkan beberapa prajurit untuk kembali membawa bingkisan kepala tersebut pada Raja Yasoka.Ancaman tersebut pun sampai pada Raja Yasoka. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali dengan pesan yang sama. Hingga cerita itu pun menjadi buah bibir di hampir segala lapis prajurit dan juga lapis masyarakat. Meski ancaman itu membuat Raja Yasoka semakin marah, namun hal berbeda terjadi pada rakyatnya.Banyak rakyat Cindani berharap agar Raja mereka tunduk saja pada Kerajaan Marajaya. Bahkan ada beberapa kalangan pejabat istana hingga prajurit yang berpikir bahwa tak ada gunanya melawan Marajaya dengan perkembangan kondisi tersebut. Tentu Tarendra juga mengetahui perkembangan itu karena sudah menyebar mata-matanya di hampir segala wilayah Cindani.Di antara prajurit mata-mata yang disebar itu adalah Rangkahasa dan Dharma. Mereka b

    Last Updated : 2022-05-12
  • Keris Bunga Bangkai   107 - Ketimpangan Di Candrapura

    Dua hari setelahnya, seperti yang sudah diberitakan Bayantika, Pasukan Majaraya yang dipimpin oleh Panglima Tarendra melakukan perjalanan menuju Candrapura, wilayah pusat Kerajaan Cindani. Dia hanya membawa setengah dari jumlah pasukannya, dan sisanya tetap mempertahankan tiga benteng perbatasan yang sudah mereka kuasai.Meski begitu, jumlah pasukan itu sudah sangat besar. Tak kurang dari 1000 prajurit melakukan longmarch dari tiga penjuru yang berbeda melewati beberapa desa. Satu rombongan di bawah pimpinan Senopati Bhadra, satunya lagi di bawah pimpinan Senopati Bayantika.Sisanya adalah rombongan utama yang dipimpin oleh Panglima Tarendra sendiri. Sementara itu, Panglima Bramanti bertahan menjaga benteng Calikis yang posisinya paling dekat dengan perbatasan Marajaya. Dia bertahan di sana untuk memberikan respon yang cepat jika sewaktu-waktu Tarendra membutuhkan bantuan pasukan untuk menyerang, atau bantuan untuk mengaman

    Last Updated : 2022-05-12

Latest chapter

  • Keris Bunga Bangkai   197 - Pendekar Misterius Di Daerah Perbatasan

    Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta

  • Keris Bunga Bangkai   196 - Ajian Peluruh Indra

    Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug

  • Keris Bunga Bangkai   195 - Keputusan Rangkahasa

    Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya

  • Keris Bunga Bangkai   194 - Perpisahan

    Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga

  • Keris Bunga Bangkai   193 - Melepaskan Beban

    Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu

  • Keris Bunga Bangkai   192 - Kudeta

    Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.

  • Keris Bunga Bangkai   191 - Perempuan Dalam Pengasingan

    Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.

  • Keris Bunga Bangkai   190 - Sikap Dingin Adji Antharwa

    Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me

  • Keris Bunga Bangkai   189 - Kembali Jadi Pengintai

    Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann

DMCA.com Protection Status