Setelah itu, Tarendra melakukan hal serupa di tujuh desa lain di dekat tiga benteng perbatasan Cindani yang sudah mereka kuasai. Dia memenggal beberapa kepala, dan membiarkan beberapa prajurit untuk kembali membawa bingkisan kepala tersebut pada Raja Yasoka.Ancaman tersebut pun sampai pada Raja Yasoka. Tidak hanya sekali, namun berkali-kali dengan pesan yang sama. Hingga cerita itu pun menjadi buah bibir di hampir segala lapis prajurit dan juga lapis masyarakat. Meski ancaman itu membuat Raja Yasoka semakin marah, namun hal berbeda terjadi pada rakyatnya.Banyak rakyat Cindani berharap agar Raja mereka tunduk saja pada Kerajaan Marajaya. Bahkan ada beberapa kalangan pejabat istana hingga prajurit yang berpikir bahwa tak ada gunanya melawan Marajaya dengan perkembangan kondisi tersebut. Tentu Tarendra juga mengetahui perkembangan itu karena sudah menyebar mata-matanya di hampir segala wilayah Cindani.Di antara prajurit mata-mata yang disebar itu adalah Rangkahasa dan Dharma. Mereka b
Dua hari setelahnya, seperti yang sudah diberitakan Bayantika, Pasukan Majaraya yang dipimpin oleh Panglima Tarendra melakukan perjalanan menuju Candrapura, wilayah pusat Kerajaan Cindani. Dia hanya membawa setengah dari jumlah pasukannya, dan sisanya tetap mempertahankan tiga benteng perbatasan yang sudah mereka kuasai.Meski begitu, jumlah pasukan itu sudah sangat besar. Tak kurang dari 1000 prajurit melakukan longmarch dari tiga penjuru yang berbeda melewati beberapa desa. Satu rombongan di bawah pimpinan Senopati Bhadra, satunya lagi di bawah pimpinan Senopati Bayantika.Sisanya adalah rombongan utama yang dipimpin oleh Panglima Tarendra sendiri. Sementara itu, Panglima Bramanti bertahan menjaga benteng Calikis yang posisinya paling dekat dengan perbatasan Marajaya. Dia bertahan di sana untuk memberikan respon yang cepat jika sewaktu-waktu Tarendra membutuhkan bantuan pasukan untuk menyerang, atau bantuan untuk mengaman
Meski di sekitar lingkungan istana nampak asri. Tak jauh dari situ, di tempat di mana para prajurit Bayantika saat ini berkumpul, bentuk perumahannya sangat memprihatinkan. Ada begitu banyak gubuk berdempet-dempetan, dengan lapak pasar berantakan tak terurus, serta kondisi parit dan sungai yang menyedihkan.Meski saat ini tempat itu kosong, para prajurit itu bisa membayangkan pelik dan padatnya kehidupan di pusat Kerajaan Cindani tersebut andai tempat itu tidak ditinggalkan oleh warganya. Bahkan ketika angin semilir berhembus dari arah timur, mereka bisa mencium bau tak sedap dari muara yang tak jauh dari tempat mereka saat ini berada.“Ini kenapa, Tarendra begitu yakin dengan pendekatannya dalam meruntuhkan moral prajurit dan rakyat Cindani dalam peperangan ini.”“Dahulu, Kerajaan Cindani adalah kerajaan yang makmur. Namun sejak Yasoka menjadi raja, mereka terlalu bernafsu untuk memperlua
Tarendra pun nampak memejamkan matanya, berusaha untuk memantapkan pilihannya. Sesaat kemudian, dia mengangguk sedikit dan membuka matanya. Setelah itu dia memberikan sebuah gulungan yang berisi pesan resmi dari Kerajaan Marajaya.“Kalau begitu, bawalah ini dan pergilah. Sampaikan pesan itu dengan lantang di hadapan Yasoka!” serunya.Bayantika pun sedikit menundukkan kepalanya menerima gulungan pesan tersebut, dan kemudian mohon undur diri dari hadapan Panglima Tarendra.“Bayantika!” panggil Tarendra. “Jika sesuatu terjadi, jangan ragu untuk meminta bantuan,” pesannya.“Baik, Panglima!” jawab Bayantika dengan mantap.Senopati Bayantika kembali pada pasukannya dan mempersiapkan mereka untuk bergerak memasuki Istana Candrapura.Sebelum dia beran
Satu suara dengan lantang terdengar dari kejauhan oleh Bayantika dari puncak singgasana raja.“Kenapa kalian biarkan mereka masuk?”Namun begitu, Bayantika masih belum bisa melihat dengan jelas sang Raja Yasoka yang saat ini nampak duduk bertopang dagu di atas singgasananya.Sesaat kemudian, salah satu dari dua orang pembantu raja langsung datang menghadap dan berlutut di hadapannya.“Mohon ampun, Yang Mulia! Hamba benar-benar berharap agar Yang Mulia mau mendengarkan pesan dan penawaran dari Marajaya. Hamba takut ini satu-satunya pilihan terbaik yang tersisa untuk kita,” terangnya.Memang saat itu tak banyak dari pembantu raja yang masih bertahan untuk membela Raja Yasoka. Bahkan dua orang yang masih berada di sisinya saat ini bertahan karena mereka masih berusaha untuk meyakinkan Raja Yasoka untuk m
Bayantika memang sudah merasakan firasat buruk sedari awal, namun masih tak tahu kalau itu akan ada hubungannya dengan apa yang akan dilakukan oleh Yasoka. Raja itu menancapkan kerisnya ke tangga singgasana di tempat dia berdiri. Seketika itu, bagian yang ditancap keris itu berubah menjadi onggokan daging yang menyembur keluar. Sebuah denyutan mulai terdengar meski samar. Dari sana, muncul begitu banyak tentakel iblis, menjalar begitu cepat dan menangkap semua prajurit-prajurit istana yang baru saja hendak melarikan diri. “Jangan pikir kalian bisa kabur dari tempat ini,” gumam Yasoka, berdiri berlagak pinggang membiarkan keris bunga bangkai itu bekerja. Langit yang sebelumnya cerah perlahan mulai mendung, dan tekanan udara pun perlahan turun. Cuaca yang tadinya begitu tenang sekarang mulai diterpa angin ribut yang tak jelas dari mana dan berhembus ke arah mana. Para prajurit Marajaya yang masih bersiap-siap di luar istana masih belum sadar akan kengerian yang sedang menghampiri me
Imbas dari besarnya tanah yang berubah menjadi kelopak bunga bangkai itu meninggalkan lobang yang mirip seperti kawah meski tak begitu dalam. Sementara pangkal dari bunga bangkai itu berada di tengah-tengahnya. Bentuknya mirip tumbuhan Amorphophallus titanum. Hanya saja, semua kelopaknya berupa daging merah berdenyut dan berlendir. Ukurannya sangat besar menutupi seluruh Istana Candrapura. Meski Rangkahasa juga menyadari kengerian dari bunga iblis tersebut, dia nampak masih begitu ngotot untuk pergi menyelamatkan Bayantika. “Apa kalian hanya akan diam saja di sini?” tanya Rangkahasa. “Bagaimana, Kangmas?” tanya Dharma pada Tarendra. Tiba-tiba terdengar gemuruh dari puncak bunga iblis tersebut. Jeritan histeris dari dalamnya keluar lewat celah di atasnya, menghasilkan suara yang bagaikan siulan kematian dari dunia bawah. “Sudah kukatakan, jangan pernah dekati bunga iblis itu,” ujar Tarendra lirih bercampur ngeri. “Semua sudah terlambat. Tak ada satupun yang bisa keluar dari sana
Mereka pun semakin putus asa begitu melihat kemunculan satu kepala dedemit dari lubang nanah tersebut. Sementara itu, masih ada begitu banyak gelembung-gelembung lain bermunculan di berbagai tempat.Bahkan dari satu lubang nanah itu saja, masih ada dua dedemit baru muncul berebutan keluar setelah satu dedemit tadi berhasil naik ke permukaan.“Mimpi buruk apa lagi ini?” gumam Bayantika. “Hey, Rangkahasa! Apa aku benar-benar harus beteriak untuk minta tolong padamu?” ujarnya berbicara mengigau pada dirinya sendiri, nampak mempersiapkan diri menggenggam gagang pedangnya lebih erat.Pucuk dicinta ulam pun tiba. Tepat di saat Bayantika dalam keadaan putus asa, dia mendengar suara Rangkahasa berteriak dari atas.“Tuan Senopati! Apa Tuan mendengarku? Jawablah!”Bayantika kebingungan mendengar teriakan itu. Dia mendongak ke atas, berusaha mencari dari mana datangnya suara tersebut.Mereka sama sekali tak bisa mengamati dengan jelas kondisi bagian atas dari kelopak bunga iblis tersebut karena
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann