Rangkahasa langsung bertekuk lutut di depan bangkai siluman kelabang yang baru saja dibunuhnya. Tubuh kelabang raksasa itu tak lagi bergerak barang sedikit pun.
Sementara itu, nafasnya terdengar begitu lemah dengan ekspresi wajah yang begitu pasrah karena saking lelahnya.
“Syukurlah, akhirnya binatang menjijikan itu mati juga. Aku benar-benar sudah tak kuat lagi,” keluhnya nampak semakin tak berdaya.
Roh-roh dari potongan kepala itu masih mengambang mengitari Rangkahasa. Mereka nampak berusaha bertahan di sana seperti ingin menyampaikan sesuatu padanya. Namun sebagian dari mereka sudah mulai terurai di udara tanpa sempat mengatakan apa-apa.
“Semuda ini sudah menjadi incaran iblis,” ujar salah satu dari mereka, menghampiri Rangkahasa dengan tatapan sendu.
“Aku hanya bisa berharap kau bisa menemukan sesuatu yang berarti di tengah kehidupanmu yangRasa lapar, haus, kantuk, serta beban mental yang dialami Rangkahasa sudah mencapai titik kritisnya. Tak ada yang bisa dimakannya. Tak ada juga terdengar olehnya suara gericik air sungai di sekitarnya. Dia juga membutuhkan istirahat seperti halnya dia butuh makan dan minum. Hanya saja, dia tak mungkin langsung saja tidur di sana. Kawasan itu masih nampak gelap karena lebatnya hutan. Masih terlalu beresiko baginya untuk bersikap abai dengan keadaan di sekelilingnya. Setelah cukup lama berjalan tertatih, akhirnya Rangkahasa menemukan satu pohon pisang yang kebetulan sudah berbuah cukup ranum. Dia pun mencoba menggapainya, namun tak tergapai. Rangkahasa begitu kelelahan untuk melompat, sehingga dia memilih untuk menebas pohon itu dengan pedangnya. “Entah kenapa, pedang ini terasa semakin berat saja,” gumamnya sesaat sebelum mencoba menebas pohon pisang tersebut. Kar
Rangkahasa kembali mendekati gadis tersebut. Dia tahu tempat itu masih terlalu berbahaya untuk meninggalkan seorang gadis pingsan begitu saja.Dia mengambil salah satu kain panjang yang dibawa oleh gadis tersebut, dan kemudian menggunakannya untuk melilitkan pedang damaskus itu di pinggangnya.“Semoga saja tubuhnya tak terlalu berat,” gumamnya, sembari mengencangkan lilitan kain tersebut.Dia mulai menyelipkan tangannya ke bawah tubuh gadis tersebut. Setelah itu Rangkahasa berusaha untuk mengangkatnya. Cukup sulit baginya untuk mengangkat gadis tersebut. Bahkan ketika dia berhasil berdiri, tubuhnya nampak sempoyongan.Dengan pelan Rangkahasa berjalan menuju ke arah rumah yang terlihat olehnya di balik rumpun bambu tersebut. Dia semakin kesulitan ketika harus menapaki jalan yang cukup miring.Ketika sampai di perkarangan rumah tersebut, Rang
Namun setelah itu Rangkahasa hanya diam saja. Dia sama sekali tak bergerak, tak juga nampak sadar. Laki-laki paruh baya itu mencoba menggoyangnya sedikit dengan kakinya. Tak ada reaksi sama sekali dari Rangkahasa. Begitu pelan laki-laki paruh baya itu mendekatinya dan kemudian mengambil pedang milik Rangkahasa. Baru kemudian dia memeriksa keadaan remaja tersebut. “Bu, anak ini terluka,” jelasnya. “Bagaimana, Pak? Apa kita rawat saja?” tanya istrinya. “Yang jelas dia bukan dedemit, cuma remaja biasa,” balas si suami sebelum menitipkan pedangnya serta pedang Rangkahasa pada istrinya tersebut. Lalu laki-laki itu mengangkat tubuh Rangkahasa, berniat membawanya masuk ke dalam rumahnya. Namun istrinya nampak ragu dengan keputusannya. “Bapak mau membawanya ke dalam rumah? Bagaimana jika Lastri melihatnya terus pingsan lagi?” tanya si istri sedikit ragu. Laki-laki itu menoleh ke arah dua bangunan kayu lainnya, lumbung ternak dan dapurnya. Sedikit ragu sesaat, dia pun membawa Rangkahasa
Sudah seharian Rangkahasa belum juga sadarkan diri. Anak gadis bernama Lastri itu sesekali mengintip ke dapur karena penasaran. Dia sudah memastikan sebelumnya kalau Rangkahasa bukanlah setan atau dedemit. Tapi dia tetap saja kembali datang mengintip beberapa kali ke sana. Ibunya yang sedang sibuk memeras parutan kelapa tentu sudah menyadari tingkah gadis itu sedari tadi. Dia nampak tersenyum sedikit jenaka melihat kelakuan Lastri yang aneh tersebut. Namun dia mengerti juga kondisi Lastri yang sudah begitu lama tak bertemu orang lain selain dia dan suaminya. Dia pun menoleh, memergoki Lastri yang berdiri di balik jendela dan membuat gadis itu sedikit salah tingkah. “Kenapa kamu berdiri di situ? Ke sinilah, bantu Ibu di dapur,” serunya. Lastri pun masuk ke dapur, masih mencuri-curi pandang penasaran ke arah Rangkahasa. Setelah itu dia duduk di dekat ibunya, sama s
Malamnya Rangkahasa ikut makan bersama Waradana dan keluarganya. Dia terlihat sangat sungkan, membuatnya bertingkah kikuk dan serba salah. Namun Waradana mengalihkan perhatian Rangkahasa dengan obrolan ringan untuk membuatnya merasa nyaman. “Jadi, dari mana kamu berasal?” tanya Waradana. “Dari desa Talang Asri,” jawab Rangkahasa. “Desa Talang Asri? Bukankah itu desa di perbatasan bagian timur Kerajaan Cakradwipa?” tanya Waradana beretorika. “Benarkah? Aku tak begitu ingat,” balas Rangkahasa nampak bingung dan kikuk. Reaksi bingung Rangkasaha sedikit membuat Waradana penasaran. Begitu juga dengan Arsih. Sementara Lastri masih saja menundukkan pandangan, tak jelas apa yang sedang dipikirkannya. “Sudah lebih dari tujuh tahun aku tidak ke sana,” lanjut Rangkahasa
Sebelum tidur, Lastri mendatangi Rangkahasa yang saat ini masih berada di dapur. Dia datang membawakan makanan untuknya. “Maafkan aku soal kejadian tadi. Karena kamu muntah, aku khawatir perutmu masih kosong. Aku membawakanmu makanan, takut nanti kamu merasa kelaparan malam-malam.” Lastri yang masih merasa tidak enak langsung memilih ke luar. Namun dia berbalik dan sedikit menoleh sesaat ke arah Rangkahasa, hanya sesaat, sebelum akhirnya benar-benar pergi. Esok paginya, Rangkahasa terbangun oleh kegaduhan yang terdengar dari luar. Begitu dia mengintip dari celah di dinding papan, Rangkahasa melihat Lastri sedang berlatih pedang bersama ayahnya. Karena penasaran, dia pun keluar dan kemudian duduk bersandar di dinding dapur sembari memperhatikan mereka dari kejauhan. “Sudah bangun saja, Rangkahasa?” tegur Arsih dengan pertanyaa
Sudah satu minggu Rangkahasa menetap di rumah Waradana. Sementara tujuh orang teman-temannya dari Panji Keris Bertuah masih sibuk mencari dirinya dan juga Mergo di sisi lain gunung Jompang. Saat ini mereka mengamati keadaan Benteng Watukalis dari kejauhan di sebuah lereng bukit. Memang cukup jauh mereka mengamatinya, karena mereka tak berani mendekati tempat tersebut. Saat ini, Benteng Watukalis kembali menerima serangan pasukan dari Kerajaan Gamawuruh. “Ngotot juga mereka kembali menyerang setelah apa yang terjadi di peperangan sebelumnya,” tutur Yudhi. “Apa kau bisa mengenali mereka?” tanya Yasa. “Dari bendera yang mereka bawa, jelas-jelas itu prajurit dari Kerajaan Gamawuruh. Tapi ada yang aneh,” papar Yudhi berkomentar. Laki-laki bernama Yudhi ini terkenal memiliki daya pengamatan yang terbaik di antara ket
Beberapa saat kemudian, reaksi Yasa kembali berubah, nampak mencoba memantapkan diri. Tatapan matanya memperlihatkan seseorang yang sudah siap dengan resiko terburuk sekalipun. “Bima, kamu kembalilah dan bawa Yodha ke sini. Kita membutuhkannya. Sementara itu bilang pada Yudhi dan Basran untuk terus mengawasi di sana,” seru Yasa. Bima mengangguk sekali dengan tegas dan langsung bergerak menuju lereng bukit di kaki gunung Jompang ke tempat rekannya yang lain. Apa rencanamu, Yasa?” tanya Lindo Aji. “Kita akan menyelinap ke sana. Jika memang Sabdo membawa Mergo dan Rangkahasa ke sana, besar kemungkinan mereka di tahan dalam penjara,” jelas Yasa. “Kalian masih ingat lokasinya, kan?” lanjutnya bertanya memastikan. “Apa tidak terlalu ramai jika kita menyelinap berlima?” Lindo Aji kembali bertanya.
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann