Hanya ketika Bayantika sudah melihat ketakutan dan keputusasaan dari mata merah genderuwo itu, baru dia memenggal kepalanya dengan begitu kasar.
“Arsa, Naleindra, segera periksa kondisi yang lainnya,” seru Bayantika.
“Mereka masih hidup, Senopati!” sahut Arifin yang ternyata lebih dulu memeriksa kondisi mereka. “Tapi aku ragu mereka masih bisa bergerak setelah ini,” lanjutnya menyangsikan.
Mendengar penjelasan itu, Bayantika berbalik ke arah selatan seperti bersiap-siap menantikan sesuatu.
“Masih ada satu rombongan genderuwo yang mengejarku. Kita tak punya pilihan lain selain bertahan di sini. Jika ada yang ingin pergi untuk menyelamatkan diri, maka pergilah. Aku tak akan keberatan dengan pilihan itu,” jelas Bayantika.
“Yang benar saja. Apa Tuan Senopati ing
Bentrokan pun terjadi di tengah-tengah belantara hutan perbatasan tersebut. Ini kali pertamanya bagi Marajaya melakukan pertempuran di tengah hutan seperti itu.Di depan, Rangkahasa dan Arifin sudah membantai para genderuwo yang sebelumnya berjatuhan terkena serangan panah para prajurit bantuan. Para pasukan tameng dan tombak andalan Panglima Danadyaksa pun sudah sampai berbaris mengelilingi para prajurit khusus Kalongrolas yang terluka.“Kalian tetaplah di sana, jaga para prajurit itu!” seru Bayantika memberikan arahan.Sisanya, langsung menghadang para genderuwo itu secara langsung dengan panah dan pedang mereka. Kekisruhan pun terjadi di tengah-tengah hutan tersebut.Namun sekarang, genderuwo itu mulai kocar-kacir sejak kedatangan pasukan bantuan itu. Serangan panah senantiasa mengganggu mereka, membuat tubuh mereka yang besar menjadi sasaran empuk para pema
Menjelang tengah malam, mereka sampai juga di perbatasan Desa Luwung Ijo. Mereka terpaksa bertahan agak jauh dari desa tersebut. Setidaknya, para prajurit itu membantu mendirikan tenda untuk para pasukan khusus yang dipimpin Senopati Bayantika di sebuah dasar tebing, agak berjarak dari perkemahan pasukan Danadyaksa.“Senopati!” sahut sorang prajurit datang menghampiri bersama empat orang temannya.“Aryo? Jali dan Andra juga? Apa Panglima Tarendra juga yang menyuruh kalian ke sini?” tanya Bayantika.Tiga orang yang namanya disebutkan oleh Bayantika itu adalah tiga orang prajurit tambahan yang dulu diberikan oleh Panglima Tarendra pada Bayantika. Mereka sudah ikut membantunya sejak peperangan di Ujung Kandis sebelumnya, dan sepertinya mereka baru datang bersamaan dengan Dharma.“Ini ada dua orang lagi, Jaka dan Mulyon
Keesokannya, Panglima Danadyaksa bersama Panglima Adji Antharwa berniat untuk kembali menguasai Benteng Kalaweji. Namun sekarang Danadyaksa nampak disibukkan oleh Bayantika yang sepertinya bersikeras untuk ikut. Padahal, Danadyaksa ingin mereka beristirahat saja di perkemahan tersebut mengingat apa yang sudah mereka alami sebelumnya. “Jangan memaksakan diri begitu, Bayantika. Bisa-bisa Tarendra memarahiku jika dia tahu aku masih ngotot menggunakan mereka di saat kondisi mereka seperti itu,” jelas Danadyaksa. “Kenapa bawa-bawa Panglima Tarendra? Mereka kan awalnya prajurit di bawah kepemimpinanmu juga,” sanggah Bayantika. “Ya bagus. Kalau begitu suruh mereka tetap di sini untuk menjaga desa ini. Itu perintah dariku,” balas Danadyaksa sedikit ketus, tak mau lagi meladeni sanggahan temannya itu. “Baiklah, Panglima!” sahut Bayantika sedikit menundukkan pandangannya. Menjelang siang, semua prajurit itu pun beranjak pergi menuju Benteng Kalaweji. Mereka membiarkan tenda-tenda di perkem
Daiva langsung terdiam, karena dia pun sedikit risih dan takut juga dengan dugaan seperti itu. Dia sadar, menuduh seorang Panglima Perang berkhianat bukanlah hal main-main. Apa lagi jika yang dituduh itu adalah seorang Adji Antharwa, orang yang sudah lama membaktikan diri sejak masa pemerintahan Raja Aryasatya.“Aku juga tak tahu dasar dari tuduhan ini. Tapi yang melaporkan ini adalah prajurit terakhir yang selamat dari tragedi Benteng Kalaweji itu. Lagi pula, apa Senopati tak merasa aneh?” tutup Daiva memancing rasa curiga dalam diri Bayantika.Mau tak mau, Bayantika pun mulai memikirkan hal tersebut lebih serius. Bagaimana pun, dia juga merasakan keanehan tersebut.“Sebenarnya, aku juga agak terkejut saat pertama kali menemukan beliau berada di perkemahan ini. Ceritanya, beliau kabur dari benteng dan seminggu sendirian bertahan di dalam hutan,” balas Bay
Saat ini, Arifin, Rangkahasa beserta Dharma masih berada di tenda darurat yang berlokasi di bawah tebing di perbatasan desa. Mereka masih beristirahat setelah bergantian berpatroli semalaman. Selebihnya, hanya ada enam prajurit khusus lainnya yang masih bisa diandalkan. Selain itu, ada juga lima orang anggota baru yang dipilih langsung oleh Panglima Tarendra yang datang sehari sebelumnya.“Aku rasa kita perlu menyusul Panglima Danadyaksa ke Benteng Kalaweji. Tapi empat orang anggota kita tak mungkin bisa ikut saat ini. Kalau kita pergi, harus ada juga yang tinggal untuk menjaga mereka dari serangan dedemit dan para roh jahat di malam hari,” jelas Bayantika.“Kalau begitu, biar anggota baru ini saja yang menjaga keempat orang itu,” sahut Naleindra mengusulkan.Namun Bayantika menggelengkan kepala nampak tak begitu yakin dengan usulan tersebut.
Sedikit agak jauh dari perbatasan desa, di dasar sebuah curug yang tak terlalu tinggi, terdapat sebuah lubuk yang cukup luas di bawahnya. Di sana, Arifin seperti mulai terjebak oleh sifat kekanak-kanakan Dharma. Mereka ribut saling adu kebolehan dalam seni melempar batu, melihat siapa yang paling banyak bisa membuat pantulan di atas permukaan air sungai. Ide awalnya hanya untuk berendam dan membersihkan diri dari semua darah yang mengering di tubuh dan pakaian mereka. Namun sekarang, hanya Rangakahasa seorang yang sibuk membersihkan pakaian-pakaian kedua orang itu. Karena saking kesalnya dengan keributan yang mereka ciptakan, Rangkahasa tak sengaja sedikit menyobek celana Dharma. “Ups!?” gumamnya melongo melihat jahitan dari bagian selangkangan celana Dharma yang sobek olehnya. Dia pun menyudahinya dan langsung menjemur celana tersebut di atas batu. Begitu juga d
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Dia terlihat menggerak-gerakkan tangannya seperti mencoba memeriksa apakah tangannya sudah bisa digunakan. Sesaat kemudian, Nyi Lorong menarik tenaga dalamnya, seperti berniat menghadapi pendekar misterius itu lebih serius.Namun tiba-tiba, potongan kepala pria yang bernama Mantir itu tergeletak di dekat kakinya. Sementara tubuh si Mantir masih berdiri dengan leher seperti terbakar oleh api. Begitu juga dengan bagian leher di potongan kepala tersebut, seperti terselubung oleh api.Anehnya, tubuh tak berkepala itu masih bisa berjalan ke arah Nyi Lorong seperti mencari kepalanya. Tubuh itu memungut kepala tersebut dan kembali menempelkannya.“Apa-apaan kalian ini?” guman salah seorang pendekar misterius itu.Nyi Lorong pun mulai tertawa seperti merasa begitu senang mempermainkan kewarasan mereka.Tiba-tiba, pendekar misterius lainnya berseru memanggil temannya itu untuk menjauhi Nyi Lorong.“Lindo Aji, menjauhlah!” panggilnya. “Sudah jelas mereka adalah sebangsa siluman. Pedang biasa ta
Sementara itu, kondisi di perbatasan antara wilayah Marajaya dan Telunggung masih belum juga reda seperti yang mereka kira. Memang, Benteng Kalaweji yang dijaga oleh Panglima Danadyaksa masih terlihat aman tanpa ada gangguan. Begitu juga dengan benteng perbatasan bagian utara dari Kerajaan Telunggung. Namun hutan-hutan belantara di antara kedua benteng itu mengalami kekacauan. Para genderuwo masih berkeliaran mengusik ketenangan hutan. Mayat-mayat dari sebagian mereka juga semakin bertambah bergelimpangan di tengah hutan tersebut. Sebagian dari prajurit yang menjaga Benteng Kalaweji memang menyadari kegaduhan itu. Mereka sering melihat burung-burung ataupun kelelawar di senja haru berterbangan seperti terganggu oleh sesuatu. Namun tak satupun dari mereka yang berani untuk pergi memeriksa, dan memang Panglima Danadyaksa tak sekali pun memberikan perintah. Sekelebat bayangan bergerak cepat di atara pepohon, dan sesaat kemudian dia pun bersuara begitu keras. “Saprol! Apa kau belum jug
Namun ternyata, apa yang mereka khawatirkan sedikit meleset. Ki Bayanaka tak pernah menolak permintaan orang yang ingin belajar padanya. Yang ada, hampir semua yang ingin berguru padanya memilih berhenti karena beratnya latihan yang diberikan. Sementara itu, Rangkahasa sendiri tak pernah sekali pun meminta berguru pada orang tua tersebut. Dia hanya mendirikan sebuah gubuk sederhana di tengah-tengah hutan, sedikit agak jauh dari padepokan Ki Bayanaka. Namun tempatnya tak juga terlalu jauh agar dia selalu bisa berkunjung menemui Dharma dan Indra. Sering kali dia datang hanya untuk mengganggu teman-temannya itu. Karena sudah memilih untuk hidup mengasingkan diri, dia tak sekalipun menyia-nyiakan waktu untuk tetap bersama selagi masih ada kesempatan. Malamnya, dia selalu pergi mengasingkan diri di gubuk yang dia bangun sendiri di tengah-tengah hutan. Sesekali Dharma ikut menemaninya, tapi tak juga terlalu sering karena harus meneruskan latihannya. Panglima Tarendra sendiri pada akhirnya
Setelah menyelesaikan kekisruhan di kekeratonan Marajaya, Tarendra memerintahkan Bayantika untuk membawa semua prajurit khususnya untuk kembali ke pusat kekeratonan. Sementara itu, Panglima Danadyaksa tetap bertahan menjaga daerah perbatasan di Benteng Kalaweji.Panglima Adji Antharwa pun diperintahkan kembali oleh Prabu Yashaskar menjaga wilayah bagian timur. Tarendra sendiri memilih kembali ke Gunung Saringgih. Seperti yang dikatakan oleh Ki Bayanaka, dia harus kembali mengulangi ujian Tapa Adi Luhur sebelum menerima tahta kerajaan dari Prabu Yashaskar.Seperti biasanya, Ki Bayanaka sudah pergi lebih dulu di malam hari tanpa memberikan kabar seorang pun. Tinggal Tarendra sendiri yang akan melakukan perjalanan itu bersama Dharma.“Apa akan lama?” tanya Bayantika pada Tarendra.“Ditambah dengan waktu yang harus kutempuh untuk perjalanan, serta waktu untuk persiapan sebelum melakukan ujian tersebut, paling tak akan sampai dua minggu. Ujian Tapa Adi Luhur sendiri hanya berlangsung tiga
Melihat Tarendra yang murka seperti itu, semua yang ada di ruangan itu pun langsung bereaksi.“Lihatlah! Pada akhirnya, wajah aslimu pun akhirnya keluar,” sanggah Wisanggeni.Wisanggeni pun memegangi gagang pedangnya, langsung berteriak untuk memanggil semua prajurit kekeratonan untuk segera masuk melindungi sang Prabu.Semua prajurit kekeratonan yang baru saja dipanggil masuk oleh Wisanggeni sudah memenuhi ruangan tersebut. Tarendra pun melirik ke sekelilingnya, namun tak sedikitpun raut wajahnya berubah.“Kau pikir prajurit sebanyak ini bisa menyelamatkan lehermu dari pedangku, Wisanggeni?” tanya Tarendra dengan mata berbinar tajam.“Kau lupa, Panglima Adji Antharwa juga memiliki prajuritnya di kekeratonan ini. Tak peduli seberapa hebatnya kemampuanmu, kau tak akan bisa menghentikan semuanya,” balas Wisanggeni dengan sedikit senyum getirnya.“Adji Antharwa, segera keluar dan bawa pasukanmu ke sini!” seru Wisanggeni.Namun Panglima Adji Antharwa masih diam saja di sana. Hal itu membu
Sementara itu, Panglima Adji Antharwa yang sudah sampai di kekeratonan langsung menghadap pada Prabu Yashaskar. Tentu saja dia mendapatkan teguran, dan hilangnya nyawa ratusan prajurit pun dipermasalahkan. Di situlah isu soal penyerangan segerombolan genderuwo pun mau tak mau mencuat kepermukaan.Tentu cerita itu sulit mereka terima. Namun, Putri Tanisha yang beberapa tahun sebelumnya diserang oleh para dedemit hutan ikut menambah keruhnya suasana.“Sebetulnya, kegagalan aku dulu menyerang benteng perbatasan Telunggung juga karena munculnya dedemit hutan ke perkemahan kami. Ayahanda bisa tanyakan langsung ini nanti pada Panglima Danadyaksa, ” sahut Tanisha memotong.Sontak semua yang hadir di hadapan Prabu Yashaskar terpancing oleh keterangan Putri Tanisha. Begitu juga dengan sang Prabu sendiri.“Kenapa kamu baru cerita sekarang, Tanisha?” tanya sang Prabu.“Kalau waktu itu aku cerita, memangnya tanggapan seperti apa yang akan Ayahanda berikan padaku?” balas Putri Tanisha beretorika.
Mereka meneruskan memantau area tersebut sedikit lebih jauh ke arah selatan. Memang tak terlalu banyak, namun mereka terus saja menemukan mayat-mayat genderuwo lainnya. Sementara itu, para dedemit pun sudah mulai tak ada yang datang menghampiri mereka. “Jangan bilang kalau para genderuwo ini dibunuh oleh para dedemit,” tutur Arsa sedikit berkelakar. “Mana mungkin. Kita sudah merasakan sendiri bagaimana buasnya mereka. Lagi pula, sedari tadi kita sama sekali tidak didatangi oleh para dedemit,” balas Bayantika penasaran. “Apa perlu kita telusuri lebih jauh?” tanya Rangkahasa. Namun Bayantika terlihat ragu untuk meneruskan pemeriksaan tersebut. Meski tentu dia penasaran juga. “Kita sudah terlalu jauh meninggalkan kawasan Benteng Kalaweji. Sebaiknya kita kembali dulu ke utara. Lagipula, sebentar lagi fajar akan menyingsing,” papar Senopati Bayantika. Setidaknya, Bayantika cukup yakin bahwa tidak ada tanda-tanda akan datangnya penyerangan dadakan yang akan menyerang Benteng Kalaweji.
Bayantika pun langsung menundukkan kepalanya berlagak pura-pura kikuk di depan Panglima tersebut. Sebagai seorang prajurit spesialis pengintai, dia tahu pentingnya untuk tidak terlalu menarik perhatian.“Ngomong-ngomong, apa prajurit khususmu tidak ikut denganmu?” tanya Danadyaksa.“Ada tiga orang. Mereka aku suruh bertahan di luar,” jelas Bayantika pelan sembari geleng-geleng kepala seakan berkata tidak ada.“Kalau begitu, ikutlah denganku!” ajak Danadyaksa membawa ketiga orang itu naik ke lantai dua.Mereka pun menemui Panglima Adji Antharwa yang sedari tadi masih belum menjauhkan tatapan dinginnya.“Kangmas, kebetulan Senopati Bayantika datang ke sini. Biasanya setiap ikut denganku, dia akan keluar di malam hari untuk melakukan pengintaian. Dia memang sudah sering me
Ketika Rangkahasa sibuk melilitkan kembali pedang hitamnya dengan pita kain, Arifin datang menghampirinya dengan baju yang sudah kering juga. “Apa kau akan pergi saat ini juga?” tanya Arifin. Rangkahasa pun mengintip ke atas dan melihat matahari juga sudah hampir berada tepat di atasnya. “Katanya aku harus segera ke perkemahan prajurit saat tengah hari,” balas Rangkahasa. “Aku hanya ingin mengingatkan soal suara wanita malam itu. Aku rasa dia bukan wanita sembarangan. Sekarang sudah bisa dipastikan kalau para genderuwo itu memang ada yang menggerakkan mereka untuk menyerang Benteng Kalaweji,” papar Arifin mengingatkan. “Ya, bagaimana pun juga, mereka sudah membunuh dua orang rekan kita,” balas Rangakahasa dengan wajah sedikit murung dan tatapan yang cukup dingin. “Sebaiknya kamu tak usah berpikir untuk balas dendam dulu. Aku khawatir itu hanya akan membuat tugas Tuan Senopati menjadi sulit nantinya,” kembali temannya itu mengingatkan. Rangkahasa pun tersenyum lirih mendengarkann