Menoleh kembali ke belakang. Mengingat kembali sosok perempuan yang tidak sengaja ditabrak. Ingatan terlempar pada bekas noda merah di kemeja suami."Rani! Hay, Rani! Aku tanya sama kamu!" Adi mengibaskan tangan depan wajah istri."Iya, aku lihat. Terus ada apa, Mas?" balik tanya sengaja menampakkan muka judes.Adi menggaruk kepala belakang mulai salah tingkah. Menatap Rani cukup lama. Tampak sekali malu dan gugup."Ya Allah, jangan-jangan perempuan tadi...""Oh, itu tadi ada karyawan ku ngeluh ada perempuan yang menabrak gitu jadi telat masuk ke dalam ruangan rapat."Rani sengaja memasang muka percaya semua ucapan Adi. Dalam hati tentu saja tidak. Seorang istri pasti sangat peka dan menyadari ada yang tidak beres."Ya sudah, kita pulang ke rumah sekarang ya, Pak."Selama perjalanan pikiran Rani tambah terbebani dengan sosok perempuan di toilet kantor. Postur badan lebih tinggi daripada Rani. Parfumnya sangat wangi dan sekilas kulitnya putih. "Kenapa tadi aku gak lihat wajahnya? Sekil
"Mas Adi?"Rani panik menaruh kemeja di keranjang baju. berpura-pura melanjutkan kembali mengambil beberapa baju yang kotor. Sedikit melirik ke arah luar kamar."Kamu ngapain? Ayo, makan! Aku sudah lapar sekali.""I-iya, nanti aku menyusul.""Sekarang! Nanti kamu gak makan. Ayo, cepat!" Adi menarik tangan istrinya.Mereka menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Rani menoleh belakang masih kepikiran kemeja suaminya. "Ini enak sekali. Padahal cuma daging ayam tetapi kamu bisa mengolah ayam ini jadi enak sekali." Adi lahap menyantap ayam bumbu pedas.Sementara istrinya menyantap makanan perlahan. Acuh dan tidak peduli mendengar pujian yang dilontarkan suami."Ya Allah, aku gak bisa berhenti memikirkan kerah baju itu. Ada noda merah atau tidak, ya?" Rani tidak bisa nyaman duduk di dekat suami. Pikiran Rani negatif bercabang ke arah yang tidak jelas.Piring Rani masih penuh makanan. Adi memerhatikan isi piring istrinya. Masih tersisa banyak. Sekali lagi berusaha menepis perasaan tidak
"Apa? Syarat apa? Lewat pintu ini harus pakai syarat?" Rani mengangkat dua alis ke atas merasa heran dengan tingkah suami.Adi belum juga menurunkan tangan ke bawah. Bibir tersenyum diiringi satu kedipan mata sengaja menggoda istrinya. Sebaliknya, Rani justru merasa sedikit ketakutan dan geli."Tidak berat kok. Oh, iya ngomong-ngomong kita ini udah suami istri 'kan?" tanya Adi sengaja memancing perkara."Iya, terus kenapa?" balik tanya tanpa menatap suami.Adi memegang kedua pundak Rani dengan mata terpejam. Sudah tidak sabar bercinta dengan istri sendiri. Menantikan sejak lama karena Rani sangat jual mahal. Dari dulu sama sekali tidak tertarik dengan paras Adi. "Kalau gitu ayo dong, Sayang." Adi memeluk Rani dari depan. Semakin lama tambah kencang hingga Rani susah bernapas."Lepas! Aku bilang lepas, Mas! Minggir!" Teriak Rani mendorong suami hingga hampir terjatuh.Tidak sengaja punggung membentur pintu. Rani menutup mulut dengan netra melebar. Berlari menghindari Adi sejauh yang i
"Seperti suaranya Mas Adi." Rani mengernyitkan alis berusaha mendengar lagi."Rani! Rani!"Rani beranjak berdiri mendekati sumber suara. Tangan memegang pegangan pintu lalu berhenti sejenak. "Pasti Mas Adi cuma pura-pura. Nanti aku ke sana malah dikasari lagi. Astagfirullah," ucap Rani kembali memilih duduk di ranjang."Rani! Rani! Cepat ke sini! Tolong aku, Ran." Adi kembali berteriak. Kini suara teriakan berubah menjadi ketakutan."Aku ke sana atau tidak, ya? Tapi, kalau Mas Adi nekat lagi, gimana?" Rani sangat bimbang seraya menggigit bibir bawah."Rani! Aku takut!" Teriakan Adi lebih kencang."Astagfirullah, Mas Adi!"Rani bergegas turun ke lantai bawah. Mencari sumber suara sampai ketemu. Berlari ke ruang tamu tidak ada sosok suami. Lalu pergi ke dapur sangat panik."Mas Adi!" "Astagfirullah, kamu kenapa?" Rani panik mendekati suami. Segera mendekap tangan yang terluka hingga darah berhenti menetes."Sakit sekali, Ran! Aduh!" Keringat dingin membasahi wajah.Rani mengambil lap
"Aduh, gawat! Gimana ini?" Citra terus bergeser ke samping. Sudah pasrah dan siap apapun yang akan terjadi."Aku sudah pasrah. Mungkin ini hari terakhir pernikahanku" Adi membatin juga penuh tatapan pasrah.Rani terus mengayunkan kaki mendekati samping rumah yang sekilas terlihat tatanan rumput yang sangat rapi.Adi rasanya ingin sekali menarik tangan Rani. Namun, sama sekali tidak kuasa dan tidak mampu. Rani bukan wanita bodoh. Adi sangat paham sekali soal itu.Citra melirik tas yang melingkar di tangan kirinya. Terus memutar otak agar posisi nya tetap aman dan Adi juga aman menjalin hubungan gelap dengannya."Aku yakin pasti ada cara," batin Citra mengelap keringat dingin di wajah."Ya Allah, semoga aku tidak menemukan siapa-siapa di sana," batin Rani memegang dada dengan kuat."Aku pasrah dan buntu detik ini. Entah apa yang terjadi," batin Adi netra terpejam sangat rapat.Serapat dia melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di belakang istrinya. Tanpa peduli perasaan dan kond
Suasana hiruk pikuk di luar seakan tidak mampu mereka dengar. Semua terasa sunyi dan hening seketika. Saling bertatapan tanpa mengedipkan mata sedikitpun.Citra mengangguk pelan lalu menghadap depan. Kembali menoleh ke pria di sampingnya. Adi masih betah menatap sepasang mata yang mulai berkaca-kaca. Ingin sekali menarik kembali semua ucapan. Namun, sia-sia karena terlanjur terucap dengan lantang tanpa peduli perasaan."Aku mau turun sekarang juga!" Citra membuang muka dan menunjuk bawah."Citra, dengarkan aku dulu! Citra!" Adi menarik lengan selingkuhannya agar tidak pergi."Lepas! Aku bisa naik taksi, Mas!" Citra keluar dari mobil menepis tangan Adi sangat kasar.Citra meraih tas kecil di kursi belakang lalu melotot ke arah Adi. Pintu tertutup sangat kencang. Berjalan masuk ke dalam gang tidak jauh dari mobil Adi.Sengaja agar tidak bisa dikejar. Tanpa diduga, Adi keluar dari mobil berlari mengejar Citra."Ngapain sih ngikuti aku? Hah!" Citra menoleh ke belakang kesal."Citra, tun
"Ada apa lagi, ya? Sebentar ya, Pak?" Rani kembali melepas helm.Adi membuka dompet lalu mengambil beberapa lembar uang merah. Dalam sekejap sudah berpindah tangan ke Bapak sepeda motor online.Rani hanya bisa bengong dan tidak paham maksud yang dilakukan suami. Sama halnya dengan Bapak yang masih bingung memegang lembaran uang merah di tangan."Pak, i-ini uang apa? Banyak sekali! Buat saya, Pak?" tanya Bapak terbata-bata masih belum percaya."Lho, iya. Ini uang buat Bapak." Adi memasukkan dompet ke dalam tas pinggang miliknya.Sekilas Rani melirik ada lima lembar uang merah. Masih dipegang Bapak sepeda motor online dengan gemetar. Sepertinya memang tidak percaya atau merasa sangat bersyukur."Ini uang apa, Pak? Ibu, juga gak sampai sebanyak ini kok, Pak. Cuma dekat juga jaraknya." "Pak, ini rezeki buat Bapak hari ini." Adi tersenyum seraya memegang bahunya."Alhamdulillah, Pak. Ini uang dari suami saya buat Bapak. Iya, 'kan, Mas?" Rani memastikan lagi."Iya, Ran."Bapak mengucap syu
Dalam sekejap Rani membeku dingin seperti es. Tidak bisa berkata dan bergerak sedikitpun. Sebenarnya wajar apa yang ditanyakan oleh Adi. Yang tidak wajar respon Rani seperti pasangan yang belum sah."Rani, kenapa cuma diam? Harusnya aku tidak bertanya seperti itu. Jujur, dari dulu aku ingin bertanya soal ini." Batin Adi seraya meremas celana pendek selutut.Rani masih diam dan mengerutkan kedua alisnya yang tebal. Ikut meremas gamis yang ia kenakan. Lalu meraih kentang goreng di piring kecil.Adi membuang napas perlahan turut mengambil kentang goreng di tengah meja. Tidak sengaja menyentuh jari Rani. Kebetulan kompak tanpa janjian mengambil di piring yang sama.Suasana menjadi kikuk seketika. Rani menarik tangan lalu diikuti Adi. Mungkin sekilas jika ada yang melihat akan mengira kalau mereka berpacaran dan pertama kali kencan."Rani, maaf kalau kamu merasa tidak nyaman dengan pertanyaanku tadi," ucap Adi seraya menatap istrinya."Ya Allah, maafkan aku. Tidak seharusnya suamiku sendir
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be
"Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me
Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan
Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku